Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman iniKlasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Beberapa rumpun bahasa dimasukkan sebagai cabang dari dua rumpun bahasa yang berbeda. Untuk lebih lanjutnya, silakan lihat pembagian dari sub-rumpun Melayu-Sumbawa dan Kalimantan Utara Raya
Svasti! Pada 11 hari bulan separuh Vaiśākha tahun 605 Śaka, Dapunta Hiyang menaiki sampan untuk mendapatkan siddhayātra. Pada hari ke tujuh iaitu 15 hari bulan separuh Jyeṣṭha, Dapunta Hiyang berlepas dari Mināṅa membawa 20000 orang bala tentera dengan bekal-bekalan sebanyak 200 peti di sampan diiringi 1312 orang yang berjalan kaki banyaknya datang ke hulu Upang dengan sukacitanya. Pada 15 hari bulan separuh āsāḍha dengan mudah dan gembiranya datang membuat benua ... Śrīvijaya jaya siddhayātra subhikṣa nityakāla!
Selamat! Tahun Śaka memasuki 605, pada hari kesebelas, Dapunta Hiyang menaiki sampan untuk mengambil siddhayātra. Pada hari ketujuh, yaitu 15 hari pertama bulan Jyeṣṭha, Dapunta Hiyang meninggalkan Mināṅa untuk membawa 20.000 orang pasukan tentara dengan perbekalan sebanyak 200 peti di sampan diiringi sebanyak 1312 orang yang berjalan kaki datang ke hulu Upang dengan sukacita. Pada 15 hari pertama bulan āsāḍha dengan mudah dan gembiranya datang membuat benua ... Sriwijaya jaya siddhayātra subhikṣa nityakāla!
Cari artikel bahasaCari berdasarkan kode ISO 639 (Uji coba)Kolom pencarian ini hanya didukung oleh beberapa antarmuka
Halaman bahasa acak
Bahasa Melayu Kuno (atau Melayu Kuno saja tanpa "bahasa", terkadang juga disebut sebagai Melayu Tua, bahasa Inggris: Old Malay, OM) adalah nama yang digunakan untuk merujuk suatu bahasa tertulis pada beberapa prasasti yang berasal dari abad ke-7 hingga abad ke-10 masehi yang ditemukan di Sumatra dan Jawa. Sebagian besar prasasti yang menjadi sumber korpus (bukti tertulis) Melayu Kuno berkaitan dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya.[5] Nama "Melayu Kuno" menunjukkan bahwa bahasa ini adalah pendahulu dari bahasa Melayu Klasik (lalu bahasa Melayu Modern), walau beberapa ahli memiliki pandangan berbeda terhadap hal tersebut, yaitu apakah bahasa ini memang "bahasa Melayu", dan juga apakah bahasa ini memang berada di dalam rumpun bahasa Melayik. Ini disebabkan oleh bagaimana bahasa tersebut menggunakan imbuhan dan kata ganti orangnya, yang mana beberapa di antaranya tampak begitu beda dengan bahasa klasik dan modernnya.[6][7][8][9]
Bahasa Melayu pertama kali digunakan pada milenium pertama yang dikenal sebagai bahasa Melayu Kuno, bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Dalam waktu dua milenium, bahasa Melayu telah mengalami berbagai lapisan pengaruh asing melalui perdagangan, antarbangsa, penyebaran agama, penjajahan, dan perkembangan tren sosial politik baru. Tahap tertua bahasa Melayu, yaitu bahasa Melayik purba, berasal dari bahasa Melayu-Polinesia Purba yang dituturkan oleh pemukim Austronesia awal di Asia Tenggara. Tahap inilah yang kemudian berkembang menjadi bahasa Melayu Kuno, ketika mulai muncul pengaruh budaya dan agama India di Nusantara, kata beberapa peneliti linguistik. Dalam prasasti-prasastinya, bahasa Melayu Kuno mengandung banyak sekali kata pinjaman dari bahasa-bahasa India (khususnya Sanskerta), yang membuatnya sulit dipahami oleh sebagian besar penutur modern, berbeda jauh dengan tahapnya yang berikut bahasa Melayu Klasik, di mana di tahap itu juga bahasanya mulai semakin dekat dengan bahasa modernnya.[10]
Bahasa Melayu Kuno yang ditemukan dalam prasasti-prasasti sumber memakai banyak kosakata bahasa Sanskerta dan ditulis menggunakan aksara Pallawa yang merupakan aksara Brahmi sehingga terdapat beberapa penyesuaian yang ditemukan untuk mengakomodasi fonologi Melayu Kuno yang berbeda dengan Sanskerta.[11]
Nama
Para arkeolog dan linguis pada awalnya tidak menggunakan nama tertentu untuk menyebut bahasa yang digunakan pada prasasti-prasasti berbahasa Melayu yang ditemukan di Sumatra dan Jawa. Linguis Charles Otto Blagden (1913) dan arkeolog George Cœdès (1930) menggunakan penyebutan seperti "bentuk kuno" atau "teks paling kuno" dari bahasa Melayu sedangkan linguis Gabriel Ferrand menggunakan nama malayo-sanscrit ("Melayu-Sanskerta") dalam tulisannya pada tahun 1932.[a][14]IndologJ. G. de Casparis mulai menggunakan nama Oud-Maleise ("Melayu Tua") dalam bukunya Prasasti Indonesia jilid pertama yang terbit tahun 1950.[15] Nama tersebut kemudian digunakan oleh sastrawan A. Teeuw dengan menulis Old Malay dalam tulisan singkatnya tahun 1959 mengenai sejarah bahasa Melayu.[16]
Sejarah
Awal era umum menjadi saksi pengaruh peradaban India yang tumbuh di kepulauan ini. Sebelum kedatangan para pedagang India ke Kepulauan Melayu, bahasa yang digunakan masyarakat setempat dikenal dengan bahasa Melayu Purba. Dengan penyerapan dan penyebaran perbendaharaan kata Dravida dan pengaruh agama-agama besar India seperti Hindu dan Buddha, bahasa Purwa-Malayik berkembang menjadi bahasa Melayu Kuno. Prasasti Dong Yen Chau diyakini berasal dari abad ke-4 M, ditemukan di barat laut Tra Kieu, dekat ibu kota lama Campa di Indrapura, Vietnam modern.[18][19][20] Namun, bahasa ini dianggap ditulis dalam bahasa Cam Kuno daripada bahasa Melayu Kuno oleh para ahli seperti Graham Thurgood. Spesimen bahasa Melayu Kuno yang tidak menimbulkan perdebatan adalah Prasasti Sojomerto abad ke-7 M dari Jawa Tengah, Prasasti Kedukan Bukit dari Sumatera Selatan, dan beberapa prasasti lain yang berasal dari abad ke-7 hingga ke-10 yang ditemukan di Sumatra, Semenanjung Malaya, Jawa, pulau-pulau lain di Kepulauan Sunda, serta Luzon. Semua prasasti bahasa Melayu Kuno menggunakan aksara India seperti aksara Pallawa, Nagari atau aksara-aksara Sumatra Kuno yang dipengaruhi India.[21]
Tata bahasa Melayu Kuno sangat dipengaruhi oleh kitab-kitab Sanskerta dari segi fonem, morfem, kosakata, dan ciri-ciri keilmuan, terutama apabila kata-kata tersebut berkait erat dengan budaya India seperti puja, bakti, kesatria, maharaja, dan raja, serta pada agama Hindu-Buddha seperti dosa, pahala, neraka atau surga, puasa, sami, dan biara, yang bertahan hingga kini. Bahkan, beberapa orang Melayu tanpa memandang agama pribadi mempunyai nama yang berasal dari bahasa Sanskerta seperti nama-nama dewa atau pahlawan Hindu India antara lain Putri, Putra, Wira, dan Wati.
Secara populer diklaim bahwa bahasa Melayu Kuno prasasti-prasasti Sriwijaya dari Sumatera Selatan adalah leluhur bahasa Melayu Klasik. Namun, seperti yang dinyatakan oleh beberapa ahli bahasa, hubungan yang tepat antara kedua bahasa ini, baik leluhur maupun bukan, diragukan dan masih tidak pasti.[22] Hal ini disebabkan adanya sejumlah kekhasan morfologis dan sintaksis, serta imbuhan yang lazim dari bahasa Batak dan Jawa yang berkaitan, tetapi tidak ditemukan bahkan dalam manuskrip-manuskrip bahasa Melayu Klasik. Mungkin saja bahasa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah sepupu dekat dan bukannya leluhur bahasa Melayu Klasik.[23] Selain itu, walaupun bukti terawal bahasa Melayu Klasik telah ditemukan di Semenanjung Malaya dari tahun 1303, bahasa Melayu Kuno tetap digunakan sebagai bahasa tulisan di Sumatra hingga akhir abad ke-14, dibuktikan dari Prasasti Bukit Gombak bertarikh 1357[24] dan manuskrip Tanjung Tanah zaman Adityawarman (1347–1375). Bahasa Melayu Kuno mencapai kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-14 pada zaman kerajaan Sriwijaya sebagai bahasa perantara dan bahasa penadbiran.
Sumber-sumber bahasa Melayu Kuno
Meskipun tidak terlalu banyak, ada cukup sumber naskah atau tulisan yang dapat dipelajari sehingga orang cukup memperoleh gambaran mengenai aspek kebahasaan bahasa ini.
Bahasa Melayu Kuno ditemukan pada prasasti-prasasti berikut (tidak lengkap):
Bahasa Melayu Kuno merupakan sebuah bahasa Melayu–Polinesia namun belum terdapat konsensus mengenai kedudukannya di dalam rumpun bahasa tersebut. Linguis Alexander Adelaar menggunakan bahasa Melayu Kuno sebagai tambahan dalam rekonstruksi bahasa Proto-Melayik yang ia buat.[32] Adelaar serta beberapa linguis lain seperti seperti Walther Aichele dan René van den Berg telah menulis penjelasannya masing-masing mengenai perbedaan fonologi dan morfologi antara Melayu Kuno ke Melayu Modern.[33][34][35] Terdapat pula penulis-penulis lainnya yang menulis tentang morfologi Melayu Kuno sembari menyebutkan posisi bahasa tersebut terhadap rumpun bahasa Melayik. Sastrawan A. Teeuw beranggapan bahwa bahasa Melayu Kuno bukan merupakan versi terdahulu dari bahasa Melayu Modern berdasarkan perbedaan morfologi kedua bahasa tersebut meskipun ia juga menjelaskan hubungan antara kedua bahasa itu. Teeuw berpemikiran bahwa perbedaan tersebut tidak cukup dijelaskan hanya sebagai perkembangan fonologi maupun serapan seperti yang dijelaskan oleh Aichele.[36]
Imbuhan di- dan ni-
Adelaar, dalam rekonstruksi bahasa Proto-Melayik yang ia buat, tidak merekonstruksi imbuhan bahasa Melayu Modern di- salah satunya berdasarkan pertimbangan bahwa bahasa Melayu Kuno tidak memiliki di- namun menggunakan ni-. Ia mengatakan bahwa imbuhan tersebut dapat berasal dari kata depan di.[37][38] Pemikiran Adelaar ini berbeda dengan Berg yang mengungkapkan bahwa imbuhan di- dapat berkembang dari imbuhan Melayu Kuno ni-, sembari mengutip pemikiran serupa yang sebelumnya disebutkan oleh Teeuw dan Casparis.[39] Linguis Malcolm Ross, di lain pihak, menyebutkan bahwa bahasa Proto-Melayik dapat memiliki imbuhan *di-. Ia kemudian mengajukan bahwa bahasa Melayu Kuno bukan merupakan sebuah bahasa Melayik karena tidak merefleksikan imbuhan ini dan imbuhan +bAr- yang disebutkan berkembang dari imbuhan *mAr- dalam bahasa Proto-Melayik.[40] Adelaar, dalam sanggahannya, menyebutkan bahwa tidak ditemukannya di- dalam bahasa Melayu Kuno menjadikan imbuhan tersebut bukan sebuah penentu dasar dalam pengelompokan bahasa Melayik. Sementara itu, sebagian besar fonologi Melayu Kuno ditemukan berkorespondensi dengan perkembangan fonologi Melayik sementara yang tidak berkorespondensi menurutnya lebih terkait dengan sedikitnya korpus Melayu Kuno.[41]
Ciri-ciri
Dari berbagai sumber naskah dan prasasti tampak sekali pengaruh dari bahasa Sanskerta melalui banyak kata-kata yang dipinjam dari bahasa itu serta bunyi-bunyi konsonan aspiratif seperti bh, ch, th, ph, dh, kh, h (Contoh: sukhatchitta). Namun struktur kalimat jelas bersifat Malayik atau berkemelayuan, serta juga Austronesia, seperti adanya imbuhan (affix). Imbuhan-imbuhan ini dapat dilacak hubungannya dengan bentuk imbuhan bahasa Melayu Klasik atau bahasa Melayu,[42] seperti awalan mar- (ber- dalam bahasa Melayu Klasik dan Melayu), ni- (di-), nipar- (diper-), maN- (meN-), ka- (ter-, juga ke pada bahasa Betawi), dan maka- (ter-).
Pronomina (kata ganti) pribadi, seperti juga bahasa Melayu, juga terdiri dari pronomina independen dan pronomina ekliktik (genitif):[43] 1s = aku, -ku/-nku, 2p = kamu, mamu, 3s = iya, nya, 3p (hormat) = sida, -da,-nda, 2p (divinum) = kita, -ta/-nta.
Dua dialek telah diduga oleh Aichelle pada tahun 1942 dan A. Teeuw sejak 1959:[44] Dialek prasasti Sumatra: ni-/var- dan dialek luar Sumatra di-/bar-.
Bahasa Melayu Kuno banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskerta. Hal ini karena kebanyakan masyarakat Melayu ketika itu beragama Hindu dan Bahasa Sanskerta telah menjadi bahasa bangsawan dan mempunyai hierarki yang tinggi. Selain itu, sifat bahasa Melayu yang mudah lentur sesuai keadaan juga menjadi salah satu penyebab bahasa asing seperti Sanskerta diterima. Hal ini dapat dibuktikan dari pengaruh tulisan atau aksara Pallawa dan Dewanagari yang berasal dari India, kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, rangkai-rangkai kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dan fonem-fonem Sanskerta. Pengaruh bahasa Sanskerta ini menyebabkan penambahan kosakata bahasa Melayu Kuno. Contoh kata yang diambil dari bahasa Sanskerta seperti syukasyitta, athava, karana, tatakala, dan sebagainya. Bahasa Melayu Kuno tidak mempunyai pengaruh Parsi atau Arab.
Hubungan antara Melayu Kuno dan Melayu Modern dapat dilihat dari kata-kata yang bertahan dari dahulu sampai sekarang seperti curi, makan, tanam, air, dan sebagainya, serta kata-kata yang mempunyai bentuk atau format yang serupa seperti dalam tabel-tabel dibawah:
Bahasa Melayu Kuno
Bahasa Melayu Modern
wulan
bulan
nasyik
asyik
nayik
naik
mangalap
mengambil
mamava
membawa
saribu
seribu
dangan
dengan
vanakna
banyaknya
sukhacitta
sukacita
ko
ke
samvau
sampan
datam
datang
vari
bari = berisekarang
rajaputra
putra raja
vatu
batu
tawad
tabat (tebat, kolam)
vala
bala (tentara)
rumwiya
rumbia
haur
aur
wuluh
buluh
pattung
betung (bambu)
niyur
nyiur
Awalan ni- menjadi di-
Penggunaan awalan di- dalam Bahasa Melayu Modern sama dengan awalan ni- dalam Bahasa Melayu Kuno dan awalan diper- sama seperti nipar-.
Bahasa Melayu Kuno
Bahasa Melayu Modern
nimakan
dimakan
niminumna
diminumnya
niparvuat
diperbuat
nipaihumpa
dipersumpah
nivunuh
dibunuh
Awalan mar- menjadi ber-
Awalan ber- dalam Bahasa Melayu modern hampir sama dengan awalan mar- dalam Bahasa Melayu Kuno.
Bahasa Melayu Kuno
Bahasa Melayu Modern
marvanum
berbangun
marvuat
berbuat
marlapas
berlepas
marppadah
berpadah
marsila
bersila
marwuddhi
berbudi
marjahati
menjahati / berbuat jahat
Akhiran -na menjadi -nya
Akhiran -na yang digunakan dalam Bahasa Melayu Kuno sama dengan -nya pada masa kini.
Bahasa Melayu Kuno
Bahasa Melayu Modern
vinina
bininya
vuahna
buahnya
Akhiran -ku adalah singkatan aku yang masih digunakan sampai sekarang
Contohnya:
catrunku
hulutuhanku
niraksanku
Ringkasan
Secara singkat, berikut ciri-ciri bahasa Melayu Kuno
Mengandung banyak kata serapan dari bahasa Sanskerta seperti tatkala, atau, dan sebagainya
Bunyi b adalah w dalam bahasa Melayu Kuno. Contohnya, bulan adalah wulan
Bunyi e pepet tidak ada. Contoh: dengan - dngan atau dangan
Awalan ber- adalah mar- dalam Bahasa Melayu Kuno (contoh: berlepas-marlapas)
Awalan di- adalah ni- dalam bahasa Melayu Kuno (Contoh: diperbuat - niparvuat)
Ada bunyi konsonan yang diembuskan seperti bh, th, ph, dh, kh, h (Contoh: sukhatshitta)
Huruf h hilang dalam bahasa modern (Contoh: semua - samuha; saya - sahaya)
Catatan kaki
^"... an archaic form of speech allied to Malay." dalam Blagden (1913) dan "... les plus anciens textes malais ..." dalam Cœdès (1930).[12][13]
^Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Old Malay". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)
^Molen, Willem van der (2008). "The Syair of Minye Tujuh". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 163 (2/3): 356–375. doi:10.1163/22134379-90003689.
^Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
^Griffiths, Arlo (2018). "The Corpus of Inscriptions in the Old Malay Language". Dalam Perret, Daniel. Writing for Eternity: A Survey of Epigraphy in Southeast Asia. Paris: École française d'Extrême-Orient. hlm. 275–283.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Adelaar, A. (2008). "Review of Papers in Austronesian Subgrouping and Dialectology". Oceanic Linguistics. 47 (1): 240–246. JSTOR20172347.
Aichele, W. (1942–1943). "Die altmalaiische Literatursprache und ihr Einfluss auf das Altjavanische". Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen. XXXIII: 37–66.Pemeliharaan CS1: Format tanggal (link)
Blagden, C. O. (1913). "The Kota Kapur (Western Bangka) inscription". Journal of the Straits Branch. 65 (37): 69–71.
Casparis, J. G. de (1950). Prasasti Indonesia I: Inscripties uit de Çailendra-tijd. Djawatan Purbakala Republik Indonesia, A. C. NIX & Co.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Mahdi, W. (2005). "Old Malay". Dalam Adelaar, K. A.; Himmelmann, N. The Austronesian languages of Asia and Madagascar. Oxford: Routledge. hlm. 182–200.
Ross, M. D. (2004). "Notes on the prehistory and internal subgrouping of Malayic". Dalam Bowden, J.; Himmelman, N. Papers in Austronesian subgrouping and dialectology. Canberra: Pacific Linguistics. hlm. 97–109. doi:10.15144/PL-563.
Vikør, L. S. (1988). "The spelling and phonology of Old Malay". Perfecting Spelling: Spelling discussions in Indonesia and Malaysia 1900–1972. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 133. Dordrecht: Foris Publications. hlm. 67–88.
Abdul Rashid, Melebek; Amat Juhari, Moain (2006), Sejarah Bahasa Melayu, Utusan Publications & Distributors, ISBN967-61-1809-5
Mohamed Pitchay Gani, Mohamed Abdul Aziz (2004), E-Kultur dan evolusi bahasa Melayu di Singapura (Master Thesis), National Institute of Education, Nanyang Technological University
Morrison, George Ernest (1975), "The Early Cham Language and Its Relation to Malay", Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 48
Noriah, Mohamed (1999), Sejarah Sosiolinguistik Bahasa Melayu Lama, Penerbit Universiti Sains Malaysia, ISBN983-861-184-0
Ooi, Keat Gin (2008), Historical Dictionary of Malaysia, The Scarecrow Press, Inc., ISBN978-0-8108-5955-5