Teori mitos Yesus
Teori mitos Yesus (juga dikenal sebagai teori mitos Kristus atau hipotesis ketidakberadaan Yesus) sebenarnya terdiri dari dua pendapat:[1]
Beberapa pendukung teori ini berargumen bahwa peristiwa atau perkataan yang berhubungan dengan figur Yesus dalam Perjanjian Baru mungkin berasal dari gabungan atribut atau cerita dari satu atau lebih tokoh-tokoh lain, baik yang benar ada maupun yang diambil dari mitos lain, untuk membentuk satu rangkaian riwayat hidup Yesus.[2] Keraguan mengenai cerita hidup Yesus Kristus pernah diutarakan oleh seorang pengarang non-Kristen (pagan) pada awal abad ke-2, Celsus. Sebagai seorang filsuf Yunani, Celcus membandingkan riwayat Yesus dengan riwayat Zalmoxis dan Orpheus. Dengan bangkitnya kekuasaan Gereja Katolik di Kerajaan Romawi dan penghancuran kuil-kuil pagan pada abad ke-4, pemikiran dan keraguan keberadaan Yesus tidak dibicarakan secara terbuka. Malahan banyak cerita karangan ditambahkan, sehingga mengaburkan kenyataan dan khayalan atau mitos. Sejarah modern mengenai teori mitos Yesus muncul kembali pada abad pencerahan. Pemikir-pemikir pencerahan Prancis seperti Constantin-François Volney dan Charles François Dupuis menyatakan keraguan mereka pada tahun 1790-an. Selanjutnya, muncul tokoh-tokoh yang mendukung teori ini, seperti Bruno Bauer pada abad ke-19, atau Arthur Drews pada abad ke-20. Teori ini menjadi perhatian melalui tulisan tokoh-tokoh Ateis Baru seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan filsuf Prancis Michel Onfray.[3] Argumen yang digunakan untuk mendukung teori ini adalah:
Namun, dalam bidang keilmuan modern, teori mitos Yesus adalah teori yang dikesampingkan dan pada umumnya tidak didukung oleh para ahli.[4][5][6][7] Para ahli sejarah Kristen yang mempelajari sejarah awal Kekristenan meyakini bahwa Yesus ada, meskipun banyak perdebatan mengenai keabsahan bagian Perjanjian Baru dan sumber-sumber Kristen awal lainnya, sehingga perlu ditinjau secara kritis. Beberapa argumen pendukung keberadaan Kristus antara lain adalah:
MitosDalam artian akademik, "mitos" adalah cerita rakyat yang mungkin atau tidak berdasarkan fakta. Definisi yang dipilih oleh para ahli cerita rakyat (bahasa Inggris: Folklorists) adalah "cerita yang dipercayai sebagai kisah nyata, biasanya dianggap suci, yang terjadi jauh pada masa lampau atau di dalam alam lain atau di bagian dunia tertentu, dengan sifat-sifat yang melebihi kemampuan manusia biasa atau kepahlawanan yang luar biasa."[8] Namun, bidang-bidang penelitian lain mempunyai definisi sendiri yang tidak sesuai dengan tersebut di atas.[9] Misalnya, cerita Oedipus sering dianggap "mitos" padahal menurut standar para "folklorist" itu dianggap "dongeng rakyat".[9] Seringkali istilah "mitos" dan "legenda" dipakai bersama-sama, misalnya dalam cerita raja Arthur dan Robin Hood. Juga istilah "mitos" juga dipakai dalam cerita-cerita Inkuisisi Spanyol yang memakai alat-alat siksaan semacam Iron maiden dan Choke pear pada abad pertengahan. Arti "Mitos" dalam "Mitos Yesus/Kristus"John Remsburg, mengutip David Strauss dan John Fiske (seorang filsuf), mengatakan dalam bukunya, The Christ (tahun 1909), bahwa ada 3 jenis mitos:
Mitos historis adalah "kejadian nyata yang diwarnai oleh pandangan kuno yang mencampuradukkan manusia dengan dewa, alamiah dengan supra-alamiah. Peristiwanya bisa saja sedikit diwarnai tapi penuturannya benar, atau dibumbui dan diubah dengan begitu banyak legenda sehingga hanya sedikit bagian yang benar dan penuturannya menjadi keliru. Banyak cerita sejarah kuno, termasuk kisah-kisah di Alkitab, dapat digolongkan sebagai mitos historis. Catatan mula-mula dari semua bangsa dan agama kurang lebih adalah mitos." "Mitos filosofis adalah gagasan yang dibungkus dengan cerita sejarah. Bila gagasan itu ditampilkan dalam bentuk manusia atau dewa, itu disebut mitos murni. Banyak cerita mengenai dewa atau pahlawan kuno adalah mitos murni." "Mitos puitis adalah campuran historis dan filosofis, dikacaukan dengan daya cipta khayalan. Puisi karya Homer dan Hesiod, yang merupakan kitab suci agama kuno Yunani, dan tulisan puitis di Alkitab yang membantu pembentukan ajaran agama-agama Semitik, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam (bahasa Inggris: Mohammedanism), tergolong di sini." Remsburg menyatakan "Sangatlah sulit, kalau tidak mustahil, untuk membedakan mitos historis dan filosofis. Karena itu terjadi ketidakcocokan di antara pemikir-pemikir bebas (bahasa Inggris: Freethinkers) mengenai bentuk mitos Kristus itu. Apakah Kristus merupakan mitos historis atau filosofis? Apakah analisis anggapan riwayat sejarahnya menunjukkan seseorang yang didewakan atau suatu gagasan yang dipersonifikasikan?" Remsburg menunjuk tulisan Strauss "Leben Jesu" sebagai contoh historis, sedangkan gagasan Thaddeus B. Wakeman sebagai contoh filosofis tentang Yesus. Archibald Robertson menerbitkan Jesus: Myth or History? (tahun 1946) sebagai buku ke-110 dalam serial Thinker's Library. Di sana Archibald Robertson mendefinisikan "mythicist" hanya sebagai "pendukung teori bahwa Yesus adalah mitos" dan mengakui bahwa dalam buku "Christianity and mythology" (tahun 1900) mythicist "(John M.) Robertson bersedia mengakui kemungkinan historis Yesus memberi sejumlah kontribusi dalam cerita Injil."[10] Tahun 1989, senior editor majalah Free Inquiry waktu itu, Gorden Stein, menulis "Tidak setiap mythicist saling sepakat tentang pandangan mengenai asal mula Kekristenan dan mitos Yesus. (...) Seorang mythicist menolak aspek supra-alamiah Yesus. Ia mungkin juga menolak aspek "guru moral agung" Yesus. Beberapa mythicist juga mencoba menolak bahwa seorang biasa (mungkin tukang sulap keliling) pernah ada dan menjadi dasar mitos yang mendahuluinya dan kemudian dikembangkan di sekitar Yesus. Para mythicist lain mungkin berpendapat bahwa apakah seorang manusia bernama Yesus pernah ada di zaman mulainya Kekristenan itu mustahil untuk dibuktikan maupun disangkal pada masa ini"[11] KonteksYesusAhli kitab suci L. Michael White menulis bahwa mereka yang berargumen bahwa Yesus pernah ada, menyatakan bahwa ia lahir sebagai seorang Yahudi antara tahun 7 hingga 4 SM (menurut injil Matius dan Lukas, pada masa kekuasaan Herodes Agung, yang meninggal pada bulan Maret tahun 4 SM), dan menduga Yesus meninggal sekitar tahun 30 M, pada masa pemerintahan Pontius Pilatus, gubernur provinsi Iudaea Romawi.[12] White berpendapat bahwa sejauh ini Yesus tidak menulis apapun, dan [di luar tulisan Injil] tidak ada orang yang memiliki pengetahuan personal mengenainya, tidak ada bukti arkeologis mengenai keberadaannya, tiada catatan kontemporer mengenai kehidupan atau kematiannya selain dari Injil, catatan saksi mata di luar Injil tidak ditemui, dan begitu pula catatan dari tangan pertama. Semua catatan mengenai Yesus muncul beberapa dasawarsa atau abad berikutnya (lihat Injil dan sejarah di bawah). Sumber dari Injil sendiri datang setelah beberapa waktu, meskipun terdapat kemungkinan bahwa injil berisi sumber-sumber awal atau lisan. Ia menduga tulisan pertama mengenai Yesus yang ditemukan dibuat oleh Paulus dari Tarsus, dan ditulis 20-30 tahun sesudah kematian Yesus. Ia berpandangan bahwa Paulus bukan pengiring Yesus, bahkan melihat saja belum pernah.[12] Beberapa pendapat White sekarang sudah tidak diterima sepenuhnya, karena adanya bukti-bukti sejarah yang dulunya tidak banyak diketahui orang.[13][14][15][16] Definisi teoriGagasan bahwa Yesus tidak pernah ada telah dinyatakan melalui berbagai cara dan dengan nama yang berbeda. Filsuf George Walsh berargumen bahwa Kekristenan berasal dari mitos yang dibungkus sebagai sejarah, atau tokoh sejarah yang dimitologisasi: ia sebelumnya menyebutnya sebagai teori mitos Kristus, dan selanjutnya dengan nama teori historis Yesus.[1] I. Howard Marshall, seorang sarjana Alkitab, mendeskripsikan dua pandangan yang bertentangan: satunya menyatakan bahwa kitab suci mendeskripsikan tokoh fiksi, sementara pandangan yang lain menyatakan bahwa setiap peristiwa pada Perjanjian Baru merupakan kebenaran literal.[17] John Dominic Crossan, ahli religius dan bekas pendeta Katolik, lebih senang menyebut teori mitos Yesus sebagai "Jesus-parable" (perumpamaan tentang Yesus), karena kita memiliki Yesus yang sepenuhnya parabolik (suatu perumpamaan), bukan historis.[18] Paul Eddy, seorang ahli kitab suci, dan Gregory Boyd, seorang teolog dan pastur, memecahkan spektrum opini menjadi empat posisi yang menurut mereka memberikan heuristik yang berguna jika sederhana. Mereka mengelompokan tiga opini pertama menjadi "tesis legenda Yesus", terutama yang menyatakan bahwa penggambaran Yesus pada injil Matius, Markus, dan Lukas, secara historis tidak akurat.[19]
Tiga pilar teoriAhli Perjanjian Baru Robert Price menulis bahwa teori mitos Yesus berdasarkan pada tiga pilar:[20]
Pengembangan teoriAbad ke-18 dan 19Penolakan keberadaan Yesus dalam sejarah (Volney dan Dupuis)Keraguan mengenai Yesus muncul ketika pembelajaran kitab suci secara kritis berkembang pada abad pencerahan (Renaissance). Baron d'Holbach (1723-1789) - "Ecce Homo -The History of Jesus of Nazareth, a Critical Inquiry" (1769), pertama menggambarkan kehidupan Yesus sebagai tokoh sejarah belaka, diterbitkan secara anonim di Amsterdam, kemudian oleh George Houston diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Edinburgh, 1799, London, 1813, serta New York in 1827— untuk "blasphemy" ("penghujatan") itu Houston dipenjarakan dua tahun. Konsep ini diteruskan oleh para pelopor teori mitos Yesus yaitu filsuf Prancis Charles François Dupuis (1742–1809) dan Constantin-François Chassebœuf (1757–1820).[21] Dupuis menolak keberadaan Yesus dalam sejarah, dan mendasarkannya pada tulisan sejarawan Romawi Tacitus (56–117) mengenai Kristus. Pada tahun 116, Tacitus menyebut Kristus yang telah dihukum oleh Pontius Pilatus tidak lebih dari gema kepercayaan Kristen yang tidak benar pada masa itu. Inilah kutipan surat Tacitus yang mencatat mengenai kebakaran di sebagian besar kota Roma selama 6 hari dalam bulan Juli 64 M, yang diduga oleh banyak orang Roma disulut oleh Kaisar Nero sendiri.[22]
Dalam Origine de tous les cultes (1795), Dupuis mengidentifikasi ritus pra-Kristen di Siria Raya, Mesir Kuno, dan Persia, sebagai perwakilan kelahiran dewa dari seorang perawan pada titik balik musim dingin, dan berargumen bahwa ritus-ritus tersebut berdasarkan pada kenaikan musim dingin rasi bintang Virgo. Ia meyakini bahwa peristiwa tahunan tersebut dialegorikan sebagai dewa-dewa matahari, seperti Sol Invictus, yang menghabiskan masa kecil mereka dalam ketidakjelasan (ketinggian rendah matahari setelah titik balik), lalu wafat (musim dingin), dan bangkit kembali (musim semi). Dupuis juga menyatakan bahwa injil Yahudi dan Kristen dapat diinterpretasikan sebagai pola matahari: jatuhnya manusia dalam dosa pada Kitab Kejadian merupakan alegori dari kesulitan akibat musim dingin, dan kebangkitan Yesus mewakili meningkatnya kekuatan matahari dalam Aries pada ekuinoks musim semi.[24] Volney, yang menulis sebelum Dupuis tetapi menggunakan beberapa naskah Dupuis, banyak mengikuti argumen Charles François Dupuis. Pada Les Ruines, ia memiliki pemikiran yang berbeda, bahwa kisah kitab suci bukan sengaja dibuat sebagai alegori yang berlandaskan mitologi matahari, tetapi disusun secara organis ketika pernyataan alegoris sederhana seperti "perawan telah melahirkan" disalahartikan sebagai sejarah. Volney lebih lanjut berpisah dari Dupuis dengan memungkinkan bahwa ingatan tokoh historis mungkin telah berkontribusi terhadap ajaran Kristen ketika mereka terintegrasi dengan mitologi matahari.[24] Napoleon, yang mengenai Volney, kemungkinan mendasarkan opininya dari karya Volney, ketika ia menyatakan secara pribadi pada Oktober 1808 bahwa keberadaan Yesus merupakan pertanyaan terbuka.[21] Kritikus berargumen bahwa Volney dan Dupuis mendasarkan pandangan mereka pada data sejarah yang terbatas.[25] David Strauss: Mitos Yesus sebagai hasil khayalanTeolog Jerman David Strauss (1808–1874) mengakibatkan kehebohan di Eropa karena tulisannya yang berjudul Das Leben Jesu (1835). Ia berargumen bahwa beberapa kisah mengenai Yesus merupakan mitos. David Strauss juga menyimpulkan bahwa masyarakat Kristen awal membuat materi berdasarkan kisah dan konsep Perjanjian Lama. Teolog Thomas L. Thompson menulis bahwa Strauss memandang pengembangan mitos bukan sebagai penipuan, tetapi merupakan hasil dari khayalan.[27] Thompson menulis bahwa pengaruh Strauss terhadap pembelajaran kitab suci berjangkauan luas.[27] James Beilby dan Paul Eddy menyatakan Strauss tidak berargumen bahwa Yesus merupakan tokoh buatan, tetapi secara historis mungkin hanya ada sedikit fakta yang menerangkan mengenai dirinya. Mereka mencatat bahwa pandangan Strauss sangat kontroversial, dan keyakinan anti-dogmanya sangat jelas.[26] Bruno Bauer: Yesus sebagai tokoh buatanSejarawan Jerman Bruno Bauer (1809–1882) mengambil argumen Strauss dan membawanya ke titik yang lebih jauh. Ia berargumen bahwa Yesus merupakan tokoh buatan. Maka Bruno Bauer menjadi salah satu pendukung utama teori mitos Yesus.[26] Bauer menyatakan bahwa Injil Yohanes bukan catatan sejarah, tetapi merupakan adaptasi gagasan politik dan religius tradisional Yahudi mengenai Mesias dari konsep filosofis Filo mengenai logos. Sedangkan mengenai Injil Matius dan Injil Lukas, Bauer mengikuti pandangan sebelumnya bahwa injil-injil tersebut bergantung pada narasi Markus, sementara menolak pandangan bahwa injil-injil tersebut berasal dari tradisi umum di luar Markus yang dinyatakan hilang oleh para ahli, yaitu sumber Q. Bauer mengesampingkan kemungkinan ini karena kisah mengenai kelahiran Yesus yang "bertentangan" pada Matius dan Lukas, dan juga karena sifat pada materi non-Markus kemungkinan masih berkembang dari gagasan Markus. Bauer menyimpulkan bahwa Matius bergantung pada Lukas untuk isi yang hanya ditemukan pada dua injil tersebut. Maka, karena dalam pandangannya tradisi kitab suci berasal dari satu pengarang (Markus), Bauer merasa bahwa hipotesis karakter buatan sangat mungkin. Ia lebih lanjut meyakini bahwa tidak ada harapan akan datangnya Mesias di antara orang Yahudi pada masa Tiberius, dan penggambaran Markus mengenai Yesus sebagai Mesias merupakan retrojeksi kepercayaan dan praktik Kristen selanjutnya - interpretasi yang dikembangkan Bauer sampai ke beberapa kisah khusus yang diceritakan dalam injil. Meskipun Bauer tetap terbuka pada pertanyaan apakah Yesus ada atau tidak, pandangannya dianggap tidak lazim sehingga pada tahun 1842 ia kehilangan kariernya sebagai pengajar di Bonn.[28] Dalam A Critique of the Gospels and a History of their Origin yang diterbitkan tahun 1850–1851, Bauer berargumen bahwa Yesus tidak pernah ada. Penjelasan komprehensif Bauer mengenai asal usul Kristen muncul pada tahun 1877 dalam Christ and the Caesars. Ia mengusulkan bahwa agama tersebut adalah perpaduan stoisisme dengan teologi Yahudi Philo yang dikembangkan oleh Yahudi pro-Romawi seperti Flavius Yosefus.[29] Bauer menyimpulkan bahwa asal usul Kekristenan bukan dari Yahudi,[30] dan pergerakan Kristen berasal dari Roma dan Alexandria, bukan Palestina.[28] Mazhab Belanda radikal: Penolakan pernyataan mengenai Yesus dari surat-surat PaulusPada tahun 1870-an dan 1880-an, sekelompok ahli dari Universitas Amsterdam, mengikuti Bauer dengan menolak keabsahan surat-surat Paulus, dan mengambil pandangan negatif terhadap nilai historis kitab suci. Pada kelompok yang dijuluki "mazhab Belanda radikal" ini, keberadaan Yesus ditolak oleh Allard Pierson, pemimpin pergerakan, S. Hoekstra, dan Samuel Adrian Naber. Pada tahun 1881 A. D. Loman berargumen bahwa semua tulisan pada Perjanjian Baru berasal dari abad ke-2, dan meragukan bahwa Yesus adalah tokoh historis, tetapi selanjutnya mengatakan bahwa inti kitab suci memang asli.[31] Pada tahun 1907, G. J. P. J. Bolland menyatakan bahwa Kristen telah berevolusi dari gnostisisme, dan Yesus adalah tokoh yang mewakili gagasan Gnostik mengenai Tuhan.[32] Abad ke-20Pada awal abad ke-20, beberapa penulis menulis argumen mereka mengenai keberadaan Yesus, dari segi ilmiah sampai fantasi. Pendukung teori ini mendasarkan pada karya teolog liberal, yang mencoba menampik nilai sumber Yesus di luar Perjanjian Baru, dan membatasi perhatian mereka terhadap Markus dan hipotesis dokumen Q.[31] Mereka juga menggunakan berkembangnya Religionsgeschichte-sejarah agama-yang menemukan sumber gagasan Kristen pada kultus misteri Yunani dan Oriental, daripada di Palestina.[33] Joseph Klausner menulis bahwa ahli kitab suci "mencoba sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu yang bukan Yahudi pada Yesus sebagai tokoh sejarah; tetapi dalam sejarah sesungguhnya, mereka tidak menemukan apa-apa, karena sejarah ini telah dikurangi hingga nol. Maka tidak heran jika pada awal abad ini, bangkit pandangan abad ke-18 dan 19 bahwa Yesus tidak pernah ada."[34] J.M. Robertson: Yesus menurut kelompok Ebionit atau NazareneJ. M. Robertson (1856–1933), seorang jurnalis Skotlandia, berargumen pada tahun 1900 bahwa kepercayaan Mesias yang wafat muncul sebelum periode Perjanjian Baru pada sekte yang dikenal sebagai Ebionite atau Nazarene, dan kelompok tersebut telah mengharapkan Mesias bernama Yesus. Dalam pandangannya, dasar tambahan tetapi kurang signifikan bagi kepercayaan Kristen awal mungkin merupakan tokoh Yesus ben Pandera yang dihukum mati. Tokoh ini dicatat pada Talmud sekitar abad ke-3 dan ke-4 M sebagai penyihir dan murid-muridnya memakai namanya untuk menyembuhkan orang.[35] Robertson menulis bahwa, meskipun surat-surat Paulus dari Tarsus merupakan tulisan Kristen paling awal yang masih ada, surat-surat tersebut lebih banyak berbicara tentang teologi dan moralitas, sementara perihal kehidupan Yesus cenderung diabaikan. Robertson menuduh acuan mengenai dua belas rasul dan Perjamuan Kudus Yesus sebagai interpolasi, dan menyatakan bahwa figur Yesus dalam surat-surat Paulus hanya disebutkan sebagai penyelamat yang disalibkan dan "bukan sebagai guru atau pembawa mukjizat".[36] Maka Robertson menyimpulkan bahwa elemen-elemen injil yang terkait dengan ciri Yesus tersebut berkembang pada masa berikutnya, kemungkinan di antara orang-orang non-Yahudi yang dikristenkan oleh pengabar injil Yahudi seperti Paulus.[37] Kelompok non-Yahudi yang dikristenkan ini menggambarkan penyaliban dan kebangkitan Yesus dalam drama misteri. Dalam drama tersebut, untuk memisahkan pemujaan dari Yudaisme, penghukuman mati Yesus dikaitkan dengan penguasa-penguasa Yahudi, dan pengkhianatan terhadap Yesus oleh seorang Yahudi (Ioudaios, disalahpahami sebagai Yudas). Menurut Robertson, drama semacam itu akan berkembang menjadi injil. Kekristenan akan mencoba memperbesar daya tariknya terhadap orang-orang non-Yahudi dengan menggunakan mitos dalam kultus pagan dengan tambahan Yudaik - contohnya, mukjizat penyembuhan Yesus berasal dari Asclepius, pemberian makan kepada ribuan orang dari Dionysus, ekaristi dari penyembahan Dionysus dan Mithra, dan berjalan di atas air dari Poseidon. Status Yesus sebagai keturunan Daud, dan mukjizatnya yang membangkitkan anak seorang janda dari kematian, adalah untuk menghormati harapan orang Yahudi akan juru selamat. Meskipun penggambaran Yesus sebagai logos dalam injil Yohanes tampak keyahudian, Robertson menyatakan bahwa konsep tersebut berasal dari fungsi Mithra, Thoth, dan Hermes sebagai perwakilan Tuhan tertinggi.[38] William Benjamin Smith: Penolakan penekanan Yesus sebagai TuhanPada saat yang sama, William Benjamin Smith (1850–1934), seorang professor matematika di Universitas Tulane, New Orleans, menulis dalam buku-bukunya, bahwa sumber-sumber Kristen awal, terutama surat-surat Paulus, menekankan ketuhanan Kristus, dan sama sekali tidak menjabarkan pribadi manusianya, sehingga keberadaan manusia bernama Yesus menjadi tidak masuk akal.[39] Smith meyakini bahwa Kekristenan berasal dari kultus Yesus pra-Kristen, yaitu dalam sekte Yahudi yang telah menyembah tokoh ilahi bernama Yesus ratusan tahun sebelum kelahiran Yesus.[40] Ia berargumen bahwa bukti untuk kultus ini dapat ditemui pada penyebutan Hippolitus mengenai Naassenes dan laporan Epiphanius perihal sekte Nazaret yang mungkin telah ada sebelum Yesus. Maka, detail sejarah dalam Perjanjian Baru dibentuk oleh masyarakat Kristen awal dari cerita-cerita Yesus pra-Kristen.[41] Smith juga membantah nilai historis tulisan penulis non-Kristen mengenai Yesus, terutama Yosefus dan Tacitus.[42] Arthur Drews: Yesus dari kultus Gnostik YahudiArthur Drews (1865–1935), seorang profesor filsafat di Technische Hochschule, Karlsruhe, Jerman, dalam bukunya Mitos Kristus (Die Christusmythe) yang diterbitkan pada tahun 1909, mempertahankan gagasan bahwa Kekristenan merupakan kultus Gnostik Yahudi yang menyebar dengan mengambil aspek-aspek dalam filsafat Yunani dan kisah hidup-mati-bangkit dewa-dewa lain. Drews menulis bahwa tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah tokoh mitos, dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa tokoh tersebut pernah ada.[43] Karyanya cukup populer hingga teolog dan sejarawan penting menyebut argumennya dalam beberapa jurnal agama.[44] Sebagai tanggapan, Drews ikut serta dalam debat-debat umum. Debat yang paling terkenal berlangsung pada tahun 1910 pada tanggal 31 Januari dan 1 Februari di Taman Zoologi Berlin. Drews berhadapan dengan Hermann von Soden dari Universitas Berlin. Debat tersebut disaksikan oleh 2.000 orang, termasuk teolog-teolog penting.[45] The New York Times menyebutnya sebagai salah satu diskusi teologi paling luar biasa semenjak masa Martin Luther. Koran-koran melaporkan bahwa argumennya sangat grafis hingga beberapa perempuan harus dibawa keluar dari balai karena berteriak histeris, sementara seorang perempuan duduk di kursi dan meminta Tuhan untuk membunuh Drews.[45] Di Uni Soviet, karya Drews lebih didukung. Beberapa edisi Mitos Kristus diterbitkan di Uni Soviet dari awal tahun 1920-an hingga seterusnya, dan argumennya dimasukkan dalam buku pelajaran sekolah dan universitas.[46] Pemimpin Soviet Vladimir Lenin (1870–1924) mendukung argumen Drews, dan menyatakan bahwa dalam perjuangan melawan obskurantis religius, sangat penting untuk bersatu dengan orang-orang seperti Drews.[47] Paul-Louis Couchoud: Yesus sebagai imajinasi PaulusPaul-Louis Couchoud (1879–1959) adalah seorang dokter Prancis yang juga berprofesi sebagai penulis.[48] Ia mengembangkan gagasan mitos Yesus dalam esai-esai dan buku-bukunya, contohnya Enigma of Jesus (1924), The Mystery of Jesus (1925), Jesus the God Made Man (1937), The Creation of Christ (1939), Story of Jesus (1944), dan The God Jesus (1951).[49] Teolog Walter P. Weaver menulis bahwa Couchoud menolak Talmud dan catatan Josephus, Suetonius, dan Tacitus sebagai bukti. Mengenai Perjanjian Baru, ia berargumen bahwa Paulus tidak ada hubungannya dengan Yesus, dan bahwa injil Markus merupakan sumber untuk injil Lukas dan Yohanes. Couchoud menyatakan bahwa injil Markus bukan tulisan sejarah, tetapi merupakan tafsiran terhadap kisah dan ingatan Kristen awal. Ia juga berargumen bahwa afirmasi Paulus akan ketuhanan Yesus bersama dengan Yahweh (Tuhan) merupakan bukti bahwa Yesus tak sungguh ada, karena tidak ada orang Yahudi yang akan melakukannya. Bagi Couchoud, Yesus hanyalah salah satu bagian dari imajinasi Paulus.[48] Penulis abad ke-20 lainG. J. P. J. Bolland (1854–1922) menyatakan pada tahun 1907 bahwa Kekristenan berkembang dari Gnostisisme, dan bahwa Yesus hanyalah tokoh simbolik yang melambangkan gagasan-gagasan Gnostik mengenai Tuhan.[32] G. R. S. Mead (1863–1933), anggota Theosophical Society, menulis dalam karyanya Did Jesus Live 100 B.C.? (1903), bahwa Yesus adalah tokoh sejarah, tetapi Talmud menekankan bahwa Ia disalibkan sekitar tahun 100 SM, yang berarti bahwa Yesus versi Injil hanyalah gagasan mitos.[50] Filsuf Britania Bertrand Russell (1872–1970) menyatakan dalam ceramahnya pada tahun 1927, "Why I Am Not a Christian", yang disampaikan kepada National Secular Society di Balai Kota Battersea, London, bahwa secara historis keberadaan Yesus cukup meragukan, dan jika Ia memang ada, kita tidak tahu apa-apa mengenai-Nya. Kendati berkata seperti itu, Russell tidak mengembangkan gagasan ini lebih lanjut.[51] Abad ke-21G.A.Wells: Yesus menurut motivasi KristenGraham Stanton menulis pada tahun 2002 bahwa argumen-argumen yang paling sempurna dan rumit dari para tokoh dikemukakan oleh G. A. Wells, pensiunan professor Jerman di Birkbeck College, London, dan penulis buku Did Jesus Exist? (1975), The Jesus Legend(1996), The Jesus Myth (1999), Can We Trust the New Testament? (2004), dan Cutting Jesus Down to Size (2009).[52] Teolog berkebangsaan Inggris Kenneth Grayston menyarankan para penganut Kristen untuk mengenali berbagai permasalahan yang diangkat oleh Wells, namun Alvar Ellegård mencatat bahwa masih ada sebagian besar pandangan-pandangan Wells yang tidak didiskusikan oleh para teolog.[53] Wells mendasarkan argumennya pada pandangan sejumlah ahli Perjanjian Baru yang mengatakan bahwa kitab-kitab yang ada merupakan sumber yang ditulis jauh setelah kematian Yesus oleh orang-orang yang tidak mengenalnya secara personal. Sebagai tambahan, Wells menulis, bahwa kalimat-kalimat yang termuat semata-mata termotivasi secara Kekristen dan teologi, juga mengenai orang tua Yesus, tempat lahirnya, pengajarannya, percobaannya, atau penyalibannya.[54] Bagi Wells, sosok Yesus dari Kekristenan paling awal adalah murni sebuah mitos, yang berasal dari spekulasi-spekulasi mistis dimana tradisi Kebijaksanaan Yahudi menjadi sumbernya. Menurut pandangan ini, strata paling awal dari literatur Perjanjian Baru menghadirkan Yesus sebagai "tokoh berbasis supernatural yang samar-samar keberadaannya di bumi sebagai manusia pada suatu periode tidak pasti pada masa lalu".[55] Dalam The Jesus Myth, Wells mengemukakan bahwa dua narasi Yesus berfusi menjadi satu: Yesus mistis yang diceritakan Paul, dan sedikitnya keberadaan Yesus yang ajaran-ajarannya dipertahankan dalam sumber Q, sumber umum bersifat hipotesis dari injil Matius dan Lukas.[56] Ahli alkitab Robert Van Voorst mengatakan bahwa dengan argumen ini Wells telah melakukan sesuatu yang kontroversial.[57] Wells menulis bahwa dirinya termasuk dalam kategori kelompok yang menyangkal keberadaan Yesus, namun berita-berita tersebut sangat tidak dapat dipercaya sehingga kita hanya dapat mengetahui sedikit ataupun tidak sama sekali mengenai pribadinya.[58] Ia menyangkal, contohnya, bahwa cerita mengenai eksekusi Yesus yang dilakukan Pilatus bukanlah sebuah peristiwa yang ada dalam sejarah.[59] Ia menulis pada tahun 2000: "[J.D.G. Dunn] berkeberatan [pada tahun 1985] bahwa, dalam karya saya yang kemudian diterjemahkan, secara logis saya telah mengasumsikan bahwa selama 30 tahun dalam kitab Paulus telah terjadi evolusi "seperti sebuah kumpulan tradisi mengenai sebuah figur tidak-nyata seperti yang ada dalam sumber kitab-kitab Injil (The Evidence for Jesus, hal.29). Pandangan saya saat ini adalah: kumpulan ini tidak seluruhnya setelah-masa-rasul-Paulus (Q dalam bentuk paling awalnya mungkin dari sekitar abad ke-40 Masehi), dan tidak seluruhnya sersifat mistis. Poin yang penting, dalam pandangan saya, yakni apa yang asli dalam materi ini mengacu pada sebuah tokoh yang tidak diidentifikasikan dengan Kristus yang mati dan bangkit pada kerasulan awal."[55] Alvar Ellegård: Yesus sebagai fiksi dari InjilAlvar Ellegård (1919-2008), seorang professor Bahasa Inggris di Universitas Gothenburg, mengembangkan gagasan Wells dan Couchound dalam bukunya Myten om Jesus (1992), mengargumenkan bahwa Yesus pada intinya adalah sebuah mitos dan fiksi dari injil, yang diciptakan untuk memberikan substansi pada cerita-cerita berlebihan dari Paulus dan para rasulnya, dimana Yesus hadir sebagai mesiah. Ia menentang bahwa poin dari surat-surat Paulus kepada Penyebaran Yahudi adalah untuk menunjukkan bahwa Hari Kiamat sudah dekat, cerita ke-mesias-an yang sangat umum dalam komunitas Yahudi pada masa itu. Lama kemudian setelah jelas bahwa Hari Kiamat tidak mendatangi mereka, para pengikut Paulus ingin mengetahui lebih jauh mengenai Yesus, dan karena hanya ada sedikit cerita yang dapat diberikan, injil-injil disatukan untuk melengkapi sbeuah gambaran, menggunakan bagian-bagian dari Perjanjian Lama yang telah lama diinterpretasikan oleh Yahudi sebagai petunjuk akan mesiah.[53] Ellegård menuliskan bahwa posisinya berbeda dengan Drews dan Couchound. Seperti G.A. Wells, Ia percaya surat-surat Paulus menunjukkan bahwa Paulus dan para pengikutnya mempercayai cerita mengenai seseorang yang pernah ada. Ellegård mengembangkan argumen yang diajukan oleh André Dupont-Sommer dan John Allegro, dan mengidentifikasikan Yesus dalam cerita Paulus sebagai "Guru Kebajikan Essene" yang diungkapkan dalam Naskah Laut Mati, namun ia berargumen bahwa ini bukan sosok Yesus dalam Injil. Bagi Ellegård, sosok yang dibayangkan Paulus adalah pendiri Essene, atau para-Essene, jemaat yang dituju Paulus, seseorang yang kemungkinan hidup pada abad ke-2 atau awal abad ke-1 SM, meskipun Ellegård mengakui tidak ada bukti tentang sesosok Yesus yang cocok dengan deskripsi ini, atau bukti bahwa Guru Kebajikan disalibkan. Ia menuduh para teolog modern telah gagal mengemban tanggungjawab mereka sebagai ahli. Ia berargumen bahwa posisi mereka dogmatis, sering kali disembunyikan "di bawah sampul bahasa yang mebingungkan,"[60] bahwa mereka sering kali terkait dengan gereja-gereja Kristen, dan bahwa telah terjadi kegagalan komunikasi antara mereka dengan para ahli di bidang-bidang lain, yang mana membawa pada pengisoliran penelitian teologi dari debat ilmiah di lain tempat.[53] Robert M. Price: Yesus sebagai karangan orang KristenAhli Perjanjian Baru dari Amerika Robert M. Price mempertanyakan historisitas Yesus dalam serangkai buku, termasuk Deconstructing Jesus (2000), The Incredible Shrinking Son of Man (2003), dan Jesus is Dead (2007), serta The Historical Jesus: Five Views (2009). Price merupakan anggota Jesus Seminar, sebuah kelompok penulis dan ahli yang mempelajari historisitas Yesus, yang berargumen bahwa image Kristus dari Kristen merupakan bentuk teologikal yang kedalamnya jejak-jejak Yesus dari Nazaret telah dikarang.[62] Mantan Pastor Gereja Baptis, Price menulis bahwa ia awalnya adalah seorang pembela pada pertanyaan historis-Yesus tetapi menjadi tersadarkan dengan berbagai argumen. Tahun demi tahun, Ia menyadari semakin sulitnya menyingkapkan posisi yang mempertanyakan keberadaan Yesus sepenuhnya. Di luar ini, ia tetap mengambil bagian dalam Ekaristi setiap minggu, menganggap keyakinan Kristus sebagai yang lebih penting karena, menurutnya, mungkin tidak ada yang lainnya.[63] Price percaya bahwa Kekristenan merupakan sebuah penggabungan mitologi yang disejarahkan terutama dari mitologi Mesir, Yahudi, dan Yunani.[64] Ia menuliskan bahwa semua orang yang menyertai teori mitos Yesus mendasarkan argumen mereka pada tiga point kunci. Pertama, mereka bertanya mengapa tidak pernah disebutkan seorang Yesus pembuat-keajaiban dalam sumber-sumber sekuler. Kedua, mereka berargumen bahwa surat-surat, yang ditulis sebelum injil, tidak memberi bukti nyata sejarah - apa yag dapat ditarik dari surat-surat tersebut, menurutnya, adalah bahwa Yesus Kristus, putra Tuhan, datang ke dunia untuk mati sebagai pengorbanan demi dosa manusia dan diangkat oleh Tuhan serta ditahtakan di surga. Rukun ketiga adalah bahwa naratif Yesus diparalelkan dalam mitos-mitos Timur Tengah tentang dewa-dewa yang matiu dan bangkit. Ia menyebutkan Baal, Osiris, Attis, Adonis, dan Dumuzi/ Tammuz sebagai contoh, yang kesemuanya, Ia menuliskan, berhasil masuk ke dalam periode Helenistik dan Romawi sehingga mempengaruhi Kekristenan awal. Ia menuliskan bahwa pendukung Kristen telah berusaha untuk meminimalisir ke-paralel-an ini.[20] Ia berpendapat bahwa jika metodologi yang tepat diaplikasikan dengan konsistensi yang kejam, maka manusia akan berada dalam pemikiran agnostik sehubungan dengan historisitas Yesus.[61] Para penulis abad ke-21 lainnyaThomas L. Thompson, pensiunan professor teologi di University of Copenhagen, berargumen dalam The Messiah Myth (2005) bahwa Yesus dalam injil tidak pernah ada, dan bahwa cerita-cerita yang ada merupakan kombinasi dari mitos wilayah Near East dan cerita mengenai raja dan ketuhanan. Ia berpendapat bahwa para pendengar yang hidup sezaman dengan injil pastilah mengerti, bahwa cerita-cerita tersebut bukan dimaksudkan sebagai sejarah.[65] Penulis Kanada Earl Doherty dalam The Jesus Puzzle (2005) dan Jesus: Neither God Nor Man—The Case for a Mythical Jesus (2009) berpendapat bahwa Yesus sebenarnya dimaksudkan sebagai sebuah mitos yang berasal dari paham Platonisme Pertengahan dengan sebagian pengaruh mistis Yahudi, dan keyakinan akan keberadaan Yesus muncul hanya di antara komunitas Kristen pada abad ke-2. Ia menuliskan bahwa tidak satupun pengikut sebelum tahun 180, kecuali Justin dan Aristides dari Athena, yang memperhitungkan keberadaan Yesus dalam perjuangan Kekristenan mereka. Malahan para penulis Kristen awal menggambarkan sebuah gerakan Kekristenan yang didasarkan pada filosofi Plato dan Judaisme Helenistik, menyarankan pemujaan akan monoteistik dewa Yahudi dan apa yang disebutnya "Putera bertipe-logos". Doherty berpendapat bahwa Theophilus dari Antiokhia (c. 163–182), Athenagoras dari Athena (c. 133–190), Tatian orang Asiria (c. 120–180), dan Marcus Minucius Felix (penulisan sekitar tahun 150–270) tidak memberikan indikasi bahwa mereka meyakini sesosok figur historis disalibkan dan hidup kembali, dan nama Yesus tidak muncul dalam tulisan manapun.[67] Acharya S mempertahankan posisi dimana injil kanonik menampilkan kreasi akhir abad ke-2 menggunakan naskah-naskah Perjanjian Lama yang bersifat "ramalan" sebagai cetakbirunya, dikombinasikan dengan penambalan lain yang lebih tua, yakni konsep Pagan dan Yahudi, dan oleh karena itu Kekristenan diciptakan untuk bersaing dengan agama-agama lain yang populer pada masa itu. Pada tahun 2000-an, sejumlah buku dan film berasosiasi dengan gerakan Ateisme Baru yang mempertanyakan eksistensi Yesus. Di antaranya termasuk buku The God Delusion (2006) karya Richard Dawkins, professor Universitas Oxford di bidang pemahaman umum sains; God: The Failed Hypothesis (2007) karya fisikawan Amerika Victor Stenger; dan God Is Not Great (2007) karya penulis Inggris Christopher Hitchens. Dawkins, mengacu kepada G.A. Wells, menganggap injil sebagai versi pengulangan dari Kitab Ibrani, dan menuliskan bahwa kemungkinan Yesus pernah ada, namun terdapat argumen kuat untuk menyangkal hal tersebut, walaupun bukan yang didukung secara luas.[66] Pendapat Strenger adalah bahwa penulisan injil dipinjam dari beberapa sekte Timur Tengah.[68] Hitchens berpendapat bahwa hanya ada sedikit atau tidak sama sekali bukti kehidupan Yesus, berbeda dengan nabi Muhammad.[69] Beberapa film yang mengacu pada hal ini adalah The God Who Wasn't There (2005), Zeitgeist (2007), dan Religulous (2008).[70] Argumen-argumen sanggahanTeori mitos Yesus tidak pernah diterima di kalangan ahli atau sejarawan Alkitab.[13][14][15][16][71][72][73][74][75][76][77][78] Beberapa argumen awal yang menentang teori ini meliputi pendekatan satir oleh Richard Whately dan Jean-Baptiste Pérès — berjudul "Keraguan Historis terhadap Napoleon Bonaparte" (1819) dan "Grand Erratum" (1827) — yang mempertanyakan keberadaan Napoleon, bahkan selama masa hidup sang kaisar.[79] Pada 1914, Fred C. Conybeare menerbitkan The Historical Christ. Pada karya tersebut ia menentang J.M. Robertson, Arthur Drews, dan William Benjamin Smith.[80] Jejaknya diikuti oleh ahli kitab suci Prancis Maurice Goguel, yang menulis Yesus dari Nazaret: Mitos atau Sejarah? pada tahun 1926. Goguel berpendapat bahwa bukti prima facie untuk Yesus historis berasal dari kesepakatan pada keberadaannya di antara orang-orang Kristen Ortodoks kuno, para Dosetis, dan para penentang Kekristenan. Goguel melanjutkan untuk menguji teologi surat-surat Paulus, surat-surat Perjanjian Baru lainnya, injil-injil, dan Kitab Wahyu, serta kepercayaan pada kebangkitan dan keilahian Yesus, berpendapat bahwa dalam setiap kasus, pandangan Kristen awal adalah paling baik dijelaskan dengan tradisi yang berasal dari sebuah Yesus historis belakangan ini.[81] Edisi selanjutnya dari The Quest of the Historical Jesus karya Albert Schweitzer berisi bagian panjang tentang teori mitos Yesus, menyimpulkan "bahwa keberadaan Yesus adalah sangat mungkin, sedangkan kebalikannya adalah sangat tidak mungkin."[82] Sanggahan-sanggahan lebih lanjut dihasilkan sepanjang abad ke-20, termasuk Evidence for Jesus (1986) oleh R.T. France, Jesus Outside the New Testament (2000) oleh Robert Van Voorst, dan The Jesus Legend: A Case for the Historical Reliability of the Synoptic Jesus Tradition (2007), oleh Robert Van Voorst dengan dibantu Paul Eddy dan Greg Boyd. Para pengarang apologetika seperti Josh McDowell, yang menulis buku-buku terkenal "Evidence That Demands A Verdict"[83] dan "More Than A Carpenter",[84] dan Lee Strobel yang menulis "The Case for Christ"[85] dan "The Case for the Real Jesus",[86] tadinya adalah orang-orang yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk membuktikan bahwa Yesus hanya mitos, tetapi data yang mereka peroleh malah membuat mereka sangat yakin bahwa Yesus benar-benar ada seperti yang digambarkan dalam Alkitab. Beberapa pembuktianBerbeda dengan pandangan Bruno Bauer, ahli modern percaya bahwa Markus bukan satu-satunya sumber di balik injil sinoptik. Pandangan utama saat ini, yaitu hipotesis dua sumber, mendalilkan bahwa injil Sinoptik didasarkan paling tidak pada dua sumber independen (Markus dan "Q"), dan berpotensi sebagai sebanyak empat sumber (Markus, "Q", "M", dan "L").[87] Surat-surat PaulusPenyusunan surat-surat Paulus umumnya di antara tanggal 50 dan 64 M, Sekitar dua sampai tiga dekade setelah tanggal konvensional yang diberikan untuk kematian Yesus. Paulus tidak mengenal langsung historis-Yesus. Dia hanya mengaku telah mengenalnya, "sama seperti anak yang lahir sebelum waktunya"[88] yakni ketika Yesus sudah 'bangkit', tapi berhubungan langsung dengan saksi-saksi mata dan murid-murid terdekat Yesus yang masih hidup.[89][90] Banyak ahli Alkitab mengacu kepada surat-surat Paulus untuk mendukung argumen mereka terhadap Yesus berdasar sejarah.[91] Teolog James D. G. Dunn berpendapat bahwa Robert Price mengabaikan apa yang dianggap data primer oleh orang lain di bidangnya.[92] Ahli Alkitab F. F. Bruce (1910-1990) menulis bahwa, menurut surat-surat Paulus, Yesus adalah
Surat-surat Paulus mengatakan bahwa Paulus mengenal dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting dalam pelayanan Yesus, termasuk rasul Petrus dan Yohanes, serta Yakobus saudara Yesus, yang juga disebutkan namanya dalam catatan Flavius Yosefus. Dalam surat-suratnya, Paulus pada kesempatan menyinggung dan mengutip ajaran Yesus, dan dalam 1 Korintus 11 mengisahkan tentang Perjamuan Malam.[93]
Louis Feldman berpendapat bahwa tulisan-tulisan dari abad pertama sejarawan Yahudi Flavius Yosefus (37 - sekitar 100 M) mengandung dua referensi karakter Yesus. Salah satunya, kiasan Yosefus dalam The Antiquities of the Jews (sekitar 94 M) dengan kematian Yakobus, menggambarkan Yakobus sebagai "saudara Yesus, yang disebut Kristus", memberikan bukti independen dari komunitas Kristen awal.[94] Referensi Yosefus yang lebih lengkap tentang Yesus, yang dikenal sebagai Testimonium Flavianum, dianggap oleh sejumlah pakar mengandung interpolasi, namun diyakini oleh para pakar berisi komentar asli tentang Yesus.[95] Prinsip permaluanFilsuf Amerika Will Durant menerapkan kriteria permaluan pada pertanyaan mengenai keberadaan Yesus. Dia berpendapat bahwa jika injil adalah sepenuhnya imajiner, isu-isu tertentu tidak mungkin dimasukkan, seperti persaingan para rasul untuk tempat paling tinggi di dalam Kerajaan Allah, pelarian mereka setelah penangkapan Yesus, penyangkalan Petrus, kegagalan Yesus dalam melakukan mujizat di Nazaret, acuan terhadap kemungkinan ketidakwarasannya, ketidakpastian awal untuk misinya, pengakuan tentang ketidaktahuan akan masa depan, saat-saat yang pahit, dan tangisan putus asa di atas kayu salib. Durant berpendapat bahwa sebuah narasi yang diciptakan secara saksama akan menyajikan Yesus lebih sesuai dengan harapan akan Mesias.[96] Penolakan terhadap perbandingan mitologisBeberapa ahli Alkitab menentang gagasan bahwa materi awal yang berhubungan dengan Yesus dapat dijelaskan sesuai referensi kesamaannya dengan mitologi pagan.[97] Paula Fredriksen, misalnya, menulis bahwa tidak ada tempat-tempat yang berarti dari pekerjaan Yesus yang berada di luar dari latar belakang Yudaisme Palestina abad pertama.[98] Pengajaran Alkitab juga umumnya menolak konsep dari kemiripan dengan dewa yang mati dan bangkit kembali, keabsahan yang sering diandaikan oleh pembela teori mitos Yesus, seperti ahli Perjanjian Baru Robert Price. Tryggve Mettinger, mantan profesor Alkitab Ibrani di Universitas Lund, adalah salah satu akademisi yang mendukung konstruksi "dewa yang mati dan bangkit kembali", tetapi ia berpendapat bahwa Yesus tidak cocok dengan pola yang lebih luas.[99] Edwin Yamauchi berpendapat bahwa upaya yang lalu untuk menyamakan unsur biografi Yesus dengan tokoh-tokoh mitologis tidak cocok dengan perhitungan tanggal serta narasumber mereka.[100] Edwyn R. Bevan dan Chris Forbes berpendapat bahwa para pendukung teori bahkan menciptakan unsur-unsur mitos pagan untuk mendukung pernyataan mereka terhadap paralelisme antara kehidupan Yesus dan kehidupan karakter mitologi pagan.[101] Sebagai contoh, David Ulansey menunjukkan bahwa kesetaraan yang diklaim antara kelahiran Yesus dari perawan dengan asal-muasal Mithras gagal karena Mithras dilahirkan dalam keadaan dewasa, sudah berpakaian sebagian, dan bersenjatakan sebuah batu,[102] yang kemungkinan terjadi segera setelah pembuahannya.[103] S. G. F. Brandon dan lainnya berpendapat bahwa ide mengenai orang-orang Kristen mula-mula akan secara sadar menggabungkan mitos pagan ke dalam agama mereka adalah "secara intrinsik mustahil,"[104] yang dibuktikan dengan pertentangan keras yang dihadapi Paulus dari Kristen lainnya bahkan untuk mendapatkan konsensus kecil bagi orang-orang percaya non-Yahudi.[105] Injil dan sejarahPara kritikus Alkitab mengindikasikan bahwa catatan tentang Yesus telah ditambah-tambahi melalui tradisi lisan turun-temurun dan tidak dituliskan hingga sepeninggal para rasul. Maka dari itu para kritikus tersebut mempertanyakan keakuratan penggambaran sosok Yesus yang sesungguhnya. Di pihak lain, para sejarawan Kristen memberikan bukti-bukti sejarah bahwa Yesus yang digambarkan di dalam Injil dan Alkitab yang ada sekarang ini layak untuk dipercayai. Ada dua pertanyaan yang dijawab, yaitu: Kapan dokumen asli Injil ditulis? Dan siapa yang menulisnya? Bagian terbesar dalam Perjanjian Baru adalah 13 surat Paulus untuk gereja-gereja muda dan beberapa individu. Surat-surat Paulus, yang ditulis sekitar pertengahan tahun 40 hingga pertengahan tahun 60 (12-33 tahun setelah Kristus) merupakan tulisan-tulisan pertama tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Will Durant menulis tentang pentingnya tulisan-tulisan Paulus dari segi sejarah, "Bukti Kristen tentang Kristus dimulai dari surat-surat yang ditulis oleh Santo Paulus. ... Tidak ada yang pernah mempertanyakan eksistensi Paulus, atau perjumpaannya beberapa kali dengan Petrus, Yakobus, dan Yohanes; dan Paulus mengaku dengan iri bahwa orang-orang tersebut telah mengenal Yesus secara langsung."[106] Surat-surat Paulus dan keempat Injil penuh dengan detail nama orang, nama tempat, dan kejadian dan banyak di antaranya telah dibuktikan oleh sejarawan dan arkeologis. Nama-nama yang dikarang oleh penulis Injil akan dengan mudah ditemukan oleh orang-orang yang menentang mereka, para imam Yahudi dan tentara Romawi. Kelompok Jesus Seminar, yaitu sekelompok ahli yang mempertanyakan dan memperdebatkan perkataan-perkataan dan tindakan tercatat Yesus dan melakukan pemungutan suara untuk menentukan sejauh apa mereka dapat mempercayai pernyataan-pernyataan di dalam Injil,[107] berpendapat bahwa Injil ditulis paling awal tahun 130 hingga 150 oleh penulis yang tidak diketahui, jika hal tersebut benar, maka ada kira-kira 100 tahun setelah kematian Yesus (oleh sejarawan diperkirakan antara tahun 30-33). Namun hampir semua sejarawan Kristen lainnya telah mencapai konsensus bahwa Injil ditulis oleh para rasul pada abad pertama. Tiga bukti kuat mengenai hal tersebut adalah:
Arkeologis Alkitab William Albright menyimpulkan bahwa keseluruhan Perjanjian Baru ditulis "sangat mungkin antara tahun 50 M dan 75 M",[108] sementara tokoh skeptik John A. T. Robinson bahkan memberikan tanggal yang lebih awal daripada kaum konservatif, yaitu sekitar tahun 40 dan 65.[109] Jika benar bahwa Perjanjian Baru ditulis pada pertengahan hingga akhir abad pertama, maka para rasul yang pada saat itu masih hidup dapat membuktikan kebenarannya dan segala kesalahan sejarah akan segera tampak baik oleh para saksi mata maupun penentang orang Kristen. Tulisan asli para rasul disimpan secara saksama oleh para pemimpin gereja, namun penyimpanan yang paling saksama pun tidak dapat bertahan terhadap pendudukan Romawi, perjalanan waktu selama 2000 tahun, dan proses disintegrasi. Saat ini tidak ada yang tersisa dari tulisan-tulisan asli tersebut. Sama halnya dengan dokumen asli lainnya dari masa itu dan sebelumnya, manuskrip asli Injil semuanya hilang, meskipun para ahli masih berharap suatu ketika kejadian Gulungan Laut Mati terulang kembali. Namun tidak hanya Alkitab yang bernasib demikian; tidak ada dokumen asli lainnya dari zaman kuno yang selamat hingga saat ini. Para sejarawan tidak terganggu dengan hal tersebut asalkan mereka memiliki salinan yang dapat dipercayai. Lebih dari 5000 manuskrip salinan dalam bahasa Yunani telah ditemukan, dan jika dihitung dalam bahasa-bahasa lain, jumlah tersebut menjadi 24000, semuanya berasal dari abad kedua hingga abad keempat. Selain itu selisih waktu tulisan asli dan salinan paling awal juga tidak begitu jauh. Codex Vaticanus dan Codex Sinaiticus merupakan dua salinan Alkitab yang hampir lengkap dari abad ketiga hingga abad keempat. Lihat pula
ReferensiSitasi
Bibliografi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|