Skisma Timur–Barat, yang disebut pula Skisma Akbar, Skisma Besar, dan Skisma Tahun 1054, adalah retaknya persekutuan dua kubu Kristen yang kini bernama Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur. Keretakan ini berlanjut sampai abad ke-11.[1] Skisma Timur–Barat adalah muara dari ketidakrukunan teologi dan politik antara Gereja Timur dan Gereja Barat yang muncul dan membesar berabad-abad sebelumnya.
Meskipun biasanya dikatakan terjadi pada tahun 1054, Skisma Timur–Barat sebenarnya adalah akibat dari keterasingan antara dunia Kristen Latin dan Yunani yang berlangsung lama. Sebab-musabab skisma ini adalah permasalahan otoritas paus—Paus Leo IX mengklaim bahwa dia memegang otoritas atas empat patriark Timur—serta permasalahan klausa filioque yang disisipkan ke dalam Kredo Nicea oleh Gereja Barat. Umat Ortodoks Timur sekarang ini mengklaim bahwa primasi Patriark Roma bersifat kehormatan belaka, dan bahwa dia memiliki otoritas hanya atas keuskupannya serta tidak memiliki otoritas untuk mengubah keputusan-keputusan konsili-konsili ekumenis. Ada pula beberapa katalis lainnya yang kurang penting dari skisma tersebut, termasuk perbedaan dalam praktik-praktik liturgis dan klaim-klaim yurisdiksi yang tumpang-tindih.
Gereja terpecah dalam hal doktrin, teologi, linguistik, politik, serta geografi, dan perpecahan fundamental tersebut belumlah pulih. Dapat dikatakan bahwa kedua Gereja telah dipersatukan kembali pada tahun 1274 (oleh Konsili Lyons II) dan pada tahun 1439 (oleh Konsili Basel), tetapi dalam tiap kasus konsili-konsili tersebut dimentahkan kembali oleh pihak Ortodoks secara keseluruhan, dengan alasan bahwa para uskup Gereja Timur telah melampaui otoritas mereka dengan memberi kata setuju untuk bersatu kembali. Upaya-upaya selanjutnya untuk mempersatukan kembali kedua belah pihak telah gagal.
Asal-mula
Sedari awal, Gereja mengakui kedudukan istimewa dari tiga orang uskup, yang dikenal sebagai patriark: Uskup Roma, Uskup Aleksandria, dan Uskup Antiokhia. Kemudian turut bergabung Uskup Konstantinopel dan Uskup Yerusalem, keduanya dikonfirmasi sebagai patriarkat oleh Konsili Khalsedon tahun 451 (lihat Pentarki). Para patriark itu memiliki keutamaan di atas rekan-rekan uskup mereka dalam Gereja. Tatkala Tahta Keuskupan Konstantinopel berargumen bahwa dia mesti berada pada peringkat kedua karena dia adalah, "Roma Baru," Patriark Roma dengan gigih mempermasalahkan poin tersebut, dengan berargumen bahwa alasan dari Primasi Roma sejak semula adalah karena dia merupakan tempat kedudukan Penerus St. Petrus, orang nomor satu di antara para rasul.
Pemisah-misahan dalam Kekaisaran Romawi pada gilirannya turut berperan pada pemisah-misahan dalam Gereja. Theodosius Agung, yang mangkat tahun 395, adalah kaisar terakhir yang memerintah atas Kekaisaran Romawi bersatu; setelah mangkatnya, daerah kekuasaannya dibagi menjadi wilayah Barat dan wilayah Timur, masing-masing diperintah kaisarnya sendiri. Menjelang akhir abad ke-5, Kekaisaran Romawi Barat jatuh dalam taklukan suku-suku Jerman, sementara itu Kekaisaran Romawi Timur (dikenal pula sebagai Kekaisaran Byzantium) tetap bertahan. Dengan demikian, kesatuan politik Kekaisaran Romawilah yang pertama-tama runtuh.
Banyak faktor lain yang menyebabkan Timur dan Barat makin saling menjauh. Bahasa dominan di Barat adalah Bahasa Latin, sedangkan di Timur adalah Bahasa Yunani. Segera sesudah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, jumlah individu yang menguasai baik bahasa Latin maupun Yunani mulai berkurang, dan komunikasi antara Timur dan Barat menjadi makin sulit. Dengan lenyapnya kesatuan linguistik, kesatuan budaya pun ikut goyah. Dua bagian Gereja secara alami terbelah mengikuti alur-alur serupa; masing-masing mengembangkan ritus yang berbeda dan memiliki pendekatan yang berbeda terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Meskipun skisma besar terjadi berabad-abad kemudian, garis-garis pemisahnya sudah tertoreh.
Skisma Besar
Katalis
Ada banyak katalis yang menimbulkan ketegangan antara kedua belah pihak.
Leo III orang Isauria melarang penghormatan ikon-ikon pada abad ke-8. Kebijakan yang disebut Ikonoklasme ini, menjadi persoalan yang menimbulkan pro dan kontra dalam Kekaisaran Byzantium dan ditentang oleh para paus.
Permasalahan mengenai apakah Patriark Roma, Sri Paus, harus dipandang sebagai otoritas yang lebih tinggi daripada patriark-patriark yang lain.
Konsep Kaisaropapisme, penyatuan otoritas keagamaan dan politik tertinggi, yang lebih kuat di Konstantinopel, tempat kedudukan kaisar, daripada di Roma yang jauh secara geografis dan sampai taraf tertentu menghindar untuk tunduk pada kekuasaan kaisar.
Setelah bangkitnya Islam, melemahnya pengaruh para patriark Antiokhia, Yerusalem, dan Aleksandria, mengakibatkan politik internal Gereja semakin dipandang sebagai Roma versus Konstantinopel.
Praktik-praktik liturgis tertentu di Barat yang diyakini Timur merepresentasikan inovasi: penggunaan roti tidak beragi untuk Ekaristi, misalnya.
Keharusan Selibat bagi imam-imam Barat (baik imam biarawan maupun imam paroki), yang bertolak belakang dengan disiplin Timur di mana jabatan imam-imam paroki boleh diemban oleh kaum pria yang sudah menikah yang pernikahannya berlangsung pada saat mereka belum ditahbiskan, yaitu sebelum mereka ditahbiskan menjadi diakon.
Skisma-skisma permulaan
Permasalahan menyangkut soal-soal teologis dan soal-soal lainnya mengakibatkan skisma-skisma antara Gereja di Roma dan Gereja di Konstantinopel selama 37 tahun, dari tahun 482 sampai tahun 519 (Skisma Akasian), dan selama 13 tahun, dari tahun 866 sampai tahun 879 (lihat Patriark Photios I dari Konstantinopel).
Ekskomunikasi dan perpecahan akhir
Penyebab-penyebab langsung dari Skisma Besar tidaklah sehebat filioque yang terkenal itu. Hubungan antara kepausan dan pemerintah Byzantium terjalin baik pada tahun-tahun sebelum 1054. Kaisar Konstantinus IX dan Paus Leo IX menjalin persekutuan melalui mediasi Argyrus, Katepan Italia berkebangsaan Lombardia, yang pernah tinggal bertahun-tahun di Konstantinopel, awalnya sebagai tawanan politik. Leo dan Argyrus memimpin pasukan melawan gerombolan bangsa Normandia, tetapi bala tentara kepausan dikalahkan dalam Pertempuran Civitate pada tahun 1053, yang mengakibatkan paus ditawan di Benevento, di mana dia memanfaatkan waktu dengan mempelajari Bahasa Yunani. Argyrus tidak datang ke Civitate dan ketidakhadirannya menciptakan jurang dalam hubungan antara kepausan dan kekaisaran persis di saat patriark siap-siap membuka Kotak Pandora.
Sementara itu, Bangsa Normandia sibuk menggubah adat-kebiasaan Latin, termasuk roti tidak beragi—dengan persetujuan paus. Hal ini menjengkelkan Patriark Kerularius, yang memerintahkan gereja-gereja Latin di Konstantinopel untuk mengadopsi tata-cara Timur dan ketika mereka menolak, dia menutup gereja-gereja itu (meskipun potongan informasi ini dipertanyakan oleh banyak sejarawan sekarang ini; tampaknya beberapa gereja Latin tetap dibuka bahkan sampai bertahun-tahun kemudian). Dia kemudian memerintahkan Leo, Uskup Agung Ochrid, kepala Gereja Bulgaria, untuk menulis sepucuk surat kepada Uskup Trani, Yohanes, seorang Timur, dalam mana dia menyerang praktik-praktik "ke-Yahudi-Yahudian" orang-orang Barat. Surat itu dikirim Yohanes kepada seluruh uskup di Barat, termasuk paus. Sepucuk surat itu jatuh ke tangan Humbertus dari Mourmoutiers, Kardinal-Uskup Silva Candida, yang pada saat itu berada di keuskupan Yohanes. Humbertus menerjemahkan surat itu ke dalam Bahasa Latin dan menyampaikannya kepada paus, yang memerintahkan untuk menulis balasannya yang berisi jawaban untuk masing-masing tuduhan beserta pembelaan atas supremasi kepausan.
Sekalipun adalah seorang yang lekas naik darah, Kerularius berhasil diyakinkan, mungkin oleh kaisar dan Uskup Trani, untuk menghindari perdebatan dan mencegah perpecahan. Akan tetapi Humbertus dan paus tidak mendiamkannya, Humbertus diutus dengan kuasa sebagai legatus ke ibu kota kekaisaran guna mengakhiri permasalahan sekali dan untuk selamanya. Humbertus, Fredericus dari Lorraine, dan Petrus, uskup agung Amalfi berangkat di awal musim semi dan tiba pada bulan April 1054. Namun penyambutan yang mereka terima tidaklah seperti yang mereka harapkan, sehingga mereka dengan segera meninggalkan istana, meninggalkan surat jawaban dari paus pada Kerularius, yang justru lebih geram daripada mereka. Meterai-meterai pada surat itu telah dirusak dan para legatus tersebut telah mempublikasikan, dalam Bahasa Yunani, draft awal surat tersebut yang tidak sesopan suratnya, untuk dibaca seluruh masyarakat. Patriark menganggap para legatus itu lebih buruk daripada sekadar orang-orang Barat liar biasa, mereka adalah pembohong dan penipu. Dia menolak mengakui otoritas mereka atau, secara praktis, keberadaan mereka.[2]
Ketika Paus Leo mangkat pada 19 April1054, otoritas para legatus tersebut secara hukum berakhir, tetapi tampaknya hal tersebut tidak mereka sadari. Penolakan patriark untuk segera membicarakan isu-isu tersebut mendorong misi perutusan itu mengambil tindakan ekstrem: pada 16 Juli, ketiga legatus memasuki gedung gereja Hagia Sophia sewaktu liturgi suci pada hari Sabtu sore dan meletakkan selembar Bulla kepausan berisi pernyataan ekskomunikasi (1054) di atas altar. Para legatus berangkat ke Roma dua hari sesudahnya, meninggalkan kota yang terancam pecahnya huru-hara itu. Patriark didukung sepenuhnya oleh masyarakat melawan kaisar, yang telah mendukung para legatus, serta Argyrus, yang tetap dipandang sebagai seorang sekutu paus. Untuk meredakan kemarahan massa, keluarga Argyrus di Konstantinopel ditahan, bulla dibakar, dan para legatus dianathema—terjadilah Skisma Besar.
Uskup Ortodoks Kallistos Ware (sebelumnya bernama Timothy Ware) menulis, "dipilihnya Kardinal Humbertus sebagai legatus merupakan tindakan yang kurang menguntungkan, karena baik dia maupun Kerularius merupakan orang-orang yang kaku dan berpendirian teguh. . . . Seusai pertemuan pertama yang tak bersahabat itu, patriark menolak melanjutkan pembicaraan dengan para legatus. Humbertus serta-merta kehilangan kesabarannya dan meletakkan selembar bulla berisi pernyataan ekskomunikasi atas Kerularius pada altar gereja Hikmat Kudus. . . . Kerularius beserta sinodenya membalas dengan menganathema Humbertus (bukan Gereja Romawi)" (The Orthodox Church, 67).
Dalam New Catholic Encyclopedia dikatakan, "Skisma tersebut umumnya dianggap terjadi pada tahun 1054, yakni tahun terjadinya rentetan peristiwa yang kurang menguntungkan tersebut. Namun penyimpulan tersebut tidaklah tepat, karena yang tertera dalam bulla rancangan Humbertus, hanyalah ekskomunikasi atas Patriark Kerularius. Validitas bulla itu patut dipertanyakan karena Paus Leo IX telah mangkat saat itu. Di lain pihak, sinode Byzantium hanya mengekskomunikasikan para legatus dan sama sekali tidak menyerang Sri Paus ataupun Gereja Latin."
Upaya-upaya awal untuk rekonsiliasi
"Bahkan sesudah tahun 1054, hubungan baik antara Timur dan Barat terus berlanjut. Kedua belah kubu dunia Kristiani itu belumlah menyadari jurang lebar perpisahan yang terbentang di antara mereka. . . . Permasalahan yang terjadi masihlah sesuatu yang sangat tidak disadari oleh umat Kristiani awam di Timur dan Barat" (Ware, 67).
Tak ada satu peristiwa tunggal yang menandai perpecahan itu. Justru kedua Gereja terjerumus dan keluar dari skisma selama satu periode waktu dalam beberapa abad, ditandai dengan rekonsiliasi sementara. Akan tetapi dalam Perang Salib IV para serdadu Latin, dalam perjalanan mereka ke Timur, menjarah Konstantinopel dan mencemari Hagia Sophia. Periode kelam penguasaan atas Kekaisaran Byzantium yang habis dijarah itu masih dikenang umat Kristiani Timur sebagai Fragkokratia. Setelah itu, perpecahan menjadi permanen. Upaya-upaya rekonsiliasi yang kelak dilakukan, seperti Konsili Lyon II, hanya sedikit saja atau tidak menemui hasil.
Rekonsiliasi
Pada abad ke-12, Gereja Maronit di Libanon dan Syria berrekonsiliasi dengan Gereja Roma, dengan tetap mempertahankan sebagian besar liturgi Syrianya. Antara waktu itu dan abad ke-20, beberapa gereja Ortodoks Timur dan Oriental menjalin komuni penuh dengan Gereja Katolik Romawi, sehingga terbentuklah Gereja-Gereja Katolik Timur yang berada dalam persekutuan penuh dengan Tahta Suci, tetapi secara berbeda dengannya secara liturgis dan hierarkis.
7 Mei-9 Mei1999: atas undangan Teoctist, Patriark Gereja Ortodoks Romania, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Romania. Peristiwa ini merupakan kunjungan pertama yang dilakukan seorang paus ke sebuah negara Ortodoks Timur sejak Skisma Besar.[3] Seusai misa yang digelar di Izvor Park, Bucharest, kerumunan massa (baik Katolik Romawi maupun Ortodoks Timur) menyanyikan "Persatuan!" Meskipun kenyataannya Paus Yohanes Paulus II tidaklah turut serta sebagai seorang konselebran, tetapi hanya menghadiri liturgi Ortodoks yang dipimpin Patriark Romania, para rahib Yunani di Gunung Athos menolak menerima para imam dan hieromonakos Romania sebagai konselebran dalam liturgi mereka sampai beberapa tahun kemudian. Patriark Teoctist mengunjungi Kota Vatikan atas undangan Paus Yohanes Paulus II dari tanggal 7 Oktober–14 Oktober2002.
Patriark Ekumenis Bartolomeus I, bersama para patriark dan uskup agung Gereja-Gereja Ortodoks Timur, hadir dalam pemakaman Paus Yohanes Paulus II pada 8 April2005. Bartolomeus duduk di kursi kehormatan pertama. Peran yang istimewa dan makin meningkat dari para patriark Ortodoks Timur dalam pemakaman Paus Yohanes Paulus II serta kenyataan bahwa peristiwa tersebut merupakan saat pertama kalinya selama berabad-abad seorang Patriark Ekumenis menghadiri pemakaman seorang Paus, dipandang banyak pihak sebagai sebuah pertanda serius bahwa dialog menuju rekonsiliasi boleh jadi sudah dimulai.
Pada tanggal 29 Mei2005 di Bari, Italia, Paus Benediktus XVI menyebut rekonsiliasi sebagai sebuah komitmen masa kepausannya, demikian ungkapnya, "Saya ingin mengulangi kesediaan saya untuk menerima sebagai sebuah komitmen fundamental mengusahakan kembali kesatuan yang tampak dan yang sepenuhnya dari semua pengikut Kristus, dengan sekuat tenaga saya."[5] Paus Benediktus XVI telah diundang ke Turki pada bulan November 2006 oleh Patriark Ekumenis Bartholomeus I [2].