"Scio Cui Credidi" (Aku Tahu kepada Siapa Aku Percaya)[3]
Mgr. Petrus Johannes (Peerke) Willekens, S.J. (6 Desember 1881 – 27 Januari 1971) adalah Vikaris Apostolik Emeritus Djakarta (sebelumnya Vikaris Apostolik Batavia) sejak 23 Juli 1934 hingga 23 Mei1952.
Latar belakang
Willekens lahir dari wali kota Reusel, Adrianus Willekens dan Willekens-Borrenbergen.[2] Sejak masih kecil, Willekens telah berkeinginan untuk menjadi imam, seperti kebanyakan pemuda saat itu yang berkeinginan menjadi guru atau imam yang dianggap berpendidikan baik di kalangan mereka. Ia belajar di sebuah Kolese Yesuit di Turnhout, Belgia.[4]
Karya
Pada 26 September 1900, Willekens masuk novisiat Yesuit di Mariendaal, dekat Grave, Brabant Utara. Pada tahun 1904, ia belajar filsafat-teologi di Oudenbosch. Dalam masa studinya, Willekens sempat mengalami gangguan kesehatan dan selama masa penyembuhan, ia ditugaskan untuk menjadi surveillant di Kolese Kanisius, Nijmegen.[2] Ia ditahbiskan menjadi Imam pada 24 Agustus 1915 di Maastricht, Willeken oleh Laurentius Josephus Antonius Hubertus Schrijnen, Uskup Roermond. Ia kemudian berkarya dalam bidang pendidikan sejak 1917 hingga 1925. Ia kemudian melanjutkan karyanya di Provinsial Yesuit Belanda sejak tahun 1925 hingga 1928.
Sejak 1926 kemudian, Willekens diutus untuk mengajar di Universitas Beirut, Suriah (sekarang Lebanon). Saat tiba di Berlin, Jerman, ia tidak mendapatkan visa sehingga harus kembali ke Belanda. Dia pun menjalani tertiat di Exaeten. Pada 14 Oktober 1917, ia diangkat menjadi Rektor dan Pemimpin Novis di Mariendaal, dekat Grave, Brabant Utara. Pada tahun 1918, ia melepaskan jabatan Rektor dan tetap menjadi Pemimpin Novis karena Hukum Gereja 1917 menetapkan bahwa seorang pemimpin novis tidak boleh merangkap dua jabatan sekaligus.[1]
Tanggal 5 September 1925, dia diangkat sebagai Rektor Teologan Yesuit pada Collegium Maximum Canisianum, Maastricht. Tanggal 4 Oktober 1926 sampai 30 Juli 1930, dia menjabat Konsultor Provinsial Yesuit di Belanda.
Pada tahun 1928, Kongregasi Suci bagi Penyebaran Iman mengirimnya ke Hindia Belanda dengan mengangkat sebagai diangkat menjadi Visitator Regularis Yesuit untuk melaporkan pekerjaan misi di sana. Meski tidak tinggal terlalu lama, ia memperhatikan banyak hal sehingga mengenal wilayah misi dengan baik.[2] Antara tahun 1931 hingga 1934, ia ditugaskan untuk mengunjungi Provinsi Yesuit di Kemaharajaan Britania (1928–1931), Indochina Prancis, Hungaria (1931–1932), dan Pulau Britania Raya (1932–1934).
Ia banyak berkiprah dalam bibit-bibit panggilan rohani, dengan pendirian Seminari Tinggi Santo Paulus dan Tarekat Abdi Dalem Sang Kristus, pengesahan lembaga hidup bakti Kongregasi Bruder Apostolik (Bruder Rasul), serta membuka asrama seminari. Ia turut mengusahakan pembangunan tempat ibadah bagi jemaat dan juga dalam bidang pers.[2] Perhatiannya terhadap pers diwujudkan dengan diterbitkannya dwimingguan "Penabur" tahun 1946 dan mingguan "De Katholieke Week" (kini menjadi Majalah Hidup) tahun 1947.[1]
Willekens memainkan peran yang sangat penting selama Perang Dunia II di Indonesia. Sebagai wakil diplomatik Vatikan, ia tidak bisa diinternir, tidak seperti yang terjadi pada para misionaris dan imam lainnya.[5] Akibat kondisi ini, kepemimpinan Gereja hampir secara eksklusif jatuh pada dirinya. Dengan cara bertindak seperti ini, ia memerintahkan untuk tetap hormat.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Willekens memulai penyesuaian Gereja Katolik di Indonesia untuk mengubah keadaan. Dia mempertahankan hubungan baik dengan pemerintah Indonesia dan mengusahakan pengangkatan sebanyak mungkin klerus lokal Indonesia yang terlatih. Ia juga mendorong upaya fusi antara Federasi KSV dengan Perserikatan Mahasiwa Katolik Indonesia (PMKRI Yogyakarta) yang kemudian menjadi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Pada 7 Februari 1950, Vikariat Apostolik Batavia berubah nama menjadi Vikariat Apostolik Djakarta, sehingga jabatannya berubah menjadi Vikaris Apostolik Djakarta.
Pensiun dan meninggal dunia
Willekens mulai bertempat di Girisonta pada Juni 1952 karena alasan kesehatan, hingga kemudian pensiun. Dia terus bekerja sebagai guru dan pembimbing rohani bagi frater teologan sampai kematiannya di Indonesia pada 27 Januari 1971 dalam usia 89 tahun di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Di pelataran pendopo Seminari Tinggi Santo Paulus, terdapat sebuah patung dirinya, yang dibuat oleh Ismanto, seorang seniman pematung asal Salam Magelang. Pembuatan ini dalam rangka peringatan 70 tahun berdirinya seminari tersebut.[6]