Umat permulaan yang membentuk komunitas ini adalah para penghuni kawasan Pejompongan Baru, yang disediakan bagi pegawai negeri dari beberapa departemen yang ada. Mereka mengadakan perkumpulan, peribadatan, dan sejumlah kegiatan pastoral. Wilayah Pejompongan kemudian masuk sebagai wilayah dari Gereja Santa Theresia. Ibadat sempat diselenggarakan di Jalan Danau Poso, di rumah seorang pegawai pada Departemen Agama. Ibadat juga sempat dilaksanakan di Jalan Danau Maninjau. Mereka juga sempat menggunakan aula pada Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo sebagai lokasi ibadat dengan durasi sekitar lima tahun.
Pada tahun 1964, tiga tahun setelah terbentuknya Ikatan Keluarga Katolik Pejompongan (IKKP), Departemen Pekerjaan Umum mendapatkan sebidang tanah berdasarkan surat tertanggal 13 Februari 1964. Pekerjaan pembangunan gereja dimulai, dengan arsitek saat itu adalah Ir. Bian Poen bersama Ir. F.X. Marsudi. Pada perayaan Paskah tahun 1967, gedung gereja dapat mulai dipergunakan umat. Salah satu kegiatan umat yang diselenggarakan pada pendidikan anak usia dini, yakni TK Bina Sejahtera.[1]
Pada tahun 1968, kawasan Pejompongan menjadi paroki tersendiri berdasarkan keputusan Uskup Agung Jakarta, Adrianus Djajasepoetra, S.J. Saat itu paroki ini dikelola oleh para imam Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda (CICM). Bertindak sebagai pastor pertama adalah R.P. Clemens Scherus, C.I.C.M. Pada waktu itu terdapat dua pusat peribadatan, yakni di Pejompongan dan di Slipi. Pastor Schreus bersama Pastor Jan Gerrits, C.I.C.M. tinggal di Jalan Bendungan Asahan.
Pada tahun 1970, renovasi gereja selesai. Saat itu, hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu.[2] Pada tahun 1972, Paroki Kristus Raja berdiri berdasarkan ketetapan Uskup Agung Leo Soekoto, S.J. Saat itu pastor paroki dijabat oleh R.P. Piet van der Krabben, C.I.C.M.[3] Sejak tahun 2004, para imam diosesanKeuskupan Agung Jakarta mulai bertugas di paroki ini.
Pembangunan gedung baru
Gedung gereja yang saat itu dibangun sering mengalami banjir akibat berdekatan dengan saluran air yang menuju ke Kali Krukut. Pada tahun 2008, mulai direncanakan renovasi dan pembangunan gedung gereja yang baru. Pembangunan dimulai pada akhir Desember 2010, dengan arsitek Sindhu Hadiprana.[4] Gedung gereja yang lama saat itu telah berusia sekitar 37 tahun.[5] Pembangunan gereja menelan biaya sekitar 18 hingga 25 miliar rupiah.[4][6] Selama renovasi, umat beribadat di sebuah gedung gereja Protestan, yakni GPIB Anugerah.[5]
Gedung gereja yang baru digunakan pertama kali pada misa malam Hari Raya Natal, yakni pada 24 Desember 2012. Pada tahun 2013, gereja ini menjadi lokasi penutupan sidang tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).[7] Pada tahun 2017, Gereja ini menyelenggarakan pameran liturgi.[8]
Arsitektur
Gereja Kristus Raja disebut juga sebagai gereja daun. Hal ini merujuk pada bentuk atap gereja yang meliuk seperti bentuk daun. Bentuk atap yang seperti daun ini dirancang oleh Ir. Josef W. Arga Setya.[9] Lantai keramik pada gedung gereja juga tampak pada lantai keramik. Lantai keramik tersebut dirancang oleh F. X. Widayanto.[6] Widayanto juga melakukan pembuatan elemen jalan salib yang ada di dalam gereja.
Salib utama yang ada di belakang altar merupakan sebuah pohon jati utuh setinggi delapan meter. Seniman I Wayan Winten, seorang penganut Hindu, mengukir salib Yesus langsung pada pohon itu. Pendekatan yang sama digunakan pada pembuatan patung Bunda Maria dan Hati Yesus Mahakudus yang terletak di sekitar panti imam.[6]
Bangku yang digunakan oleh umat dikerjakan oleh Gunawan, seorang seniman beragama Budha. Ia juga melakukan pekerjaan pada kaki-kaki altar.[9]Tabernakel yang ada dirancang oleh Yani Mariani Sastranegara. Ia mengaplikasikan kisah tabut perjanjian dalam cerita pengembaraan di padang gurun yang dilakukan oleh bangsa Israel. Tabernakel itu digambarkan sebagai lidah-lidah api yang merepresentasikan penampakan Tuhan kepada Musa. Penampakan itu berlangsung dalam semak belukar.[6]
Pada bagian luar gedung utama gereja terdapat patung Bunda Maria yang terbuat dari bahan perunggu yang dibuat oleh Teguh Ostenrik.[9] Lonceng gereja yang ada dibuat dari bahan tembaga dengan berat lebih dari 200 kilogram.[9] Pada lonceng tersebut terdapat tulisan palindrom, "Sator Arepo Tenet Opera Rotas" yang berarti "Bapa tempat perlindunganku, yang memelihara hidupku dengan segenap hati-Nya".