Agar memenuhi kebutuhan akan transportasi rel tersebut, NIS mengimpor tiga buah lokomotif, NIS 105, 106, dan 107 dari pabrik Hanomag. Lokomotif NIS 106-107 yang bertipe C2-Lt ini dioperasikan di jalur dengan lebar sepur 1.435 mm, sedangkan NIS 105 tetap di lebar sepur 1.067 mm dan hanya beroperasi di daerah Demak.
Lokomotif tipe C2-Lt ini memiliki susunan roda 0-6-0T, dimensi silinder 285 mm × 440 mm, diameter roda penggerak 931 mm, serta berat 16,5 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga 40 km/jam dan berbahan bakar kayu jati dan batu bara.
NIS 106 dan 107 kemudian dikonversi oleh J.C. Jonker (mantan kepala depo traksi NIS) menjadi lokomotif panser. Konversi ini dilakukan untuk memperkuat armada tentara Belanda yang menghadapi tentara Jepang pada Perang Dunia II. Keduanya dikonversi dengan menambah lapisan baja dan mengurangi tinggi cerobong asap hingga sejajar atap kabin masinis. Anehnya lagi, karena tentara Jepang sudah masuk Jawa pada Maret1942, NIS 107 baru rampung 50% sedangkan NIS 106 sama sekali tidak dikonversi.
Ketika militer Jepang ini masuk ke Jawa, lebar sepur 1435 dikonversi menjadi 1067. Terakhir NIS 106 beroperasi di jalur rel dengan lebar sepur 1.067 mm di pelabuhan Semarang pada Juli 1945 dan nasibnya tidak lagi diketahui karena dibongkar oleh tentara Jepang.
Saat ini NIS 107 tersisa sasisnya yang kini menjadi monumen statis di SMK Negeri 2 Yogyakarta. Ada pula boiler milik lokomotif NIS tipe C2-Lt di monumen tersebut Kemungkinan Lok B11, dan beberapa bagian dari lokomotif lain. Bukti lainnya bahwa jalur kereta Indonesia pernah 1.435 mm adalah bogie yang dipajang di Balai Yasa Manggarai.[1]