LokomotifF10 adalah lokomotif uap yang didatangkan oleh Staatsspoorwegen (SS) dari pabrik Hanomag, Jerman dan Werkspoor, Belanda dengan jumlah keseluruhan 28 unit, dan diberi nomor seri awal SS 800. Lokomotif ini memiliki susunan roda 1F1 (2-12-2T).
Dengan tuntutan teknis yang disodorkan oleh Staatsspoorwegen, pabrik Hanomag, Jerman, di bawah pimpinan Dr.h.c. Ing. Erich Metzeltin, berhasil merancang lokomotif unik yang menarik perhatian kalangan perkeretaapian dunia. Oleh Hanomag, lokomotif hasil rancangannya ini mendapat julukan Javanic.[1]
Sejarah
Semakin meningkatnya volume angkutan kereta api barang membuat Staatsspoorwegen membutuhkan lokomotif uap yang lebih tangguh, lebih bertenaga, serta mampu menjelajahi jalur kereta api lintas pegunungan di Jawa Barat dengan radius belok 150 m.[2] Selain itu, orang semakin banyak membutuhkan kereta api dan mengakibatkan bertambahnya volume perjalanan. Pada akhirnya, SS kemudian membuat lokomotif yang melibatkan banyak roda dan semakin panjang.[3]
Lokomotif mallet BB10 sebenarnya sudah bisa menjawab sebagian tantangan. Akan tetapi, BB10 memiliki berbagai kelemahan, seperti pipa uap flexible-nya yang sering bocor. Hal ini disebabkan karena letak silindernya yang terpisah.[4] SS kemudian berkeinginan untuk membeli lokomotif dengan enam gandar seperti lokomotif kelas CC, tetapi tanpa pipa flexible serta mampu menjelajahi lintas pegunungan.
Pada akhirnya, pabrik Hanomag, Jerman, berhasil menjawab tantangan tersebut dengan merancang lokomotif uap baru. Lokomotif ini bergandar cukup unik, yakni enam gandar penggerak yang dikopel menjadi satu serta memiliki satu roda idle di depan dan belakang (1F1/2-12-2T). SS tertarik membeli lokomotif tersebut dan diberi nomor SS 800.[5]
Keenam roda penggerak SS 800 memiliki jarak gandar yang cukup panjang (6.250mm). Untuk memenuhi tuntutan bisa melahap radius minimal 150m, maka roda penggerak pertama dan ke-6 memiliki toleransi gerakan dalam arah lateral sebesar 30mm, sedangkan roda-roda penghantar sebesar 100mm. Roda-roda penghantar memiliki perlengkapan per tolak balik (terugstelinrichting) dengan tegangan awal sebesar 350 kg dan maksimum 1300 kg. Perlengkapan per itu untuk menjaga agar roda-roda secara otomatis kembali ke posisi semula setelah melahap tikungan tajam.
Dengan bahan bakar batu bara Ombilin yang memiliki nilai kalor 6800 kkal/kg maka lokomotif ini memperoleh tenaga sebesar 1000 pk pada silindernya. Total tenaga lokomotif SS 800 setara dengan 1,8 kali tenaga seri lokomotif mallet lain yang sudah ada.
Lokomotif SS 800 dibeli oleh SS dari pabrik Hanomag sebanyak 18 unit, sedangkan 10 unit sisanya diimpor dari pabrik Werkspoor, Belanda pada tahun 1912-1920.[2] 28 unit lokomotif ini siap dioperasikan di lintas Jawa Barat, dan dialokasikan di Depo LokomotifBandung.
Walaupun secara perhitungan teknis sudah cukup bagus, namun lokomotif Javanic in tidak cocok dengan jalur tersebut. Selama dua bulan dioperasikan, SS 800 memiliki kendala teknis roda penggerak depan yang sangat mudah aus.[2] Oleh karena itulah, SS kemudian memindahkannya ke jalur di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lokomotif ini dialokasikan di Depo Lokomotif Purwokerto, Blitar, Malang, dan Jember. Sejak saat itulah, mayoritas lokomotif seri ini beroperasi di daerah Jawa Timur. Khusus untuk jalur kereta api Prupuk-Kroya yang kecepatan keretanya dibatasi hingga 75 km/jam, Javanic disempurnakan lagi secara teknis sehingga bisa dipacu dengan kecepatan 85 km/jam tanpa masalah. Hal ini dilaksanakan apabila nanti Javanic akan digunakan untuk menghela kereta ekspres.
Lokomotif F10 memiliki panjang 13.980mm, daya mesin 910 hp, berat 78,7 ton dan dapat melaju hingga kecepatan 70 km/jam. Untuk memenuhi angkutan kereta di Sumatera Barat, maka lima buah lokomotif F10 diboyong ke Sumatera Barat untuk angkutan batu bara.[2] Lokomotif F10 juga beroperasi menghela kereta penumpang maupun barang seperti kereta api Rapih Dhoho.
F10 dikenal cukup unik karena lokomotif yang memiliki enam roda penggerak yang dihubungkan dengan satu poros. Hal semacam ini hanya dapat dijumpai di empat negara, yaitu, Indonesia, Jerman, Swiss, dan Prancis.[2]
^Bagus Prayogo, Yoga; Yohanes Sapto, Prabowo; Radityo, Diaz (2017). Kereta Api di Indonesia. Sejarah Lokomotif di Indonesia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. hlm. 108. ISBN978-602-0818-55-9.