Lokomotif C16 adalah lokomotif uap buatan pabrik Hartmann, Jerman. Lokomotif ini memiliki susunan gandar 0-6-0T dan berat 25,5 ton. Lokomotif ini dapat menggunakan bahan bakar: kayu jati.
Sejarah
Untuk memperkuat kekuatan militer dan ekonomi, pemerintah Hindia Belanda menjadikan kota Magelang sebagai pusat kekuatan militer. Selain itu, kota ini juga dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Pemilihan kota Magelang karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah. Pemerintah Hindia Belanda terus melengkapi kota Magelang dengan berbagai sarana dan prasarana perkotaan seperti menara air, listrik, jalan arteri dan transportasi kereta api. Jalur kereta api yang menghubungkan kota Yogyakarta dengan kota Magelang dengan panjang 47 km, selesai dibangun pada tahun 1898. Jalur kereta api ini dibangun oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS).[1]
Pada tahun 1899–1908, NIS mendatangkan 7 lokomotif uap C16 dari pabrik Hartman (Jerman) untuk melayani rute tersebut. Pada tahun 1903–1907, pembangunan jalur kereta api dilanjutkan dari Magelang menuju ke Secang–Ambarawa dan Secang–Temanggung–Parakan. Jalur ini dianggap penting karena di Parakan dan Temanggung terdapat beberapa perkebunan tembakau.
Masyarakat sangat terbantu dengan adanya sarana transportasi kereta api ini karena tarifnya yang murah, aman dan dapat menikmati pemandangan indah. Para penumpang terdiri dari berbagai macam profesi dan belum ada pembagian kelas kereta penumpang. 1 rangkaian kereta campuran terdiri dari kereta penumpang dan gerbong barang. Karena kereta harus berhenti di setiap stasiun maka waktu tempuh dari Magelang sampai Temanggung berkisar dua jam. Kereta harus berjalan sangat pelan dan kadang roda slip mulai dari Madureso sampai Banyurip karena jalan rel yang agak menanjak.
Tangki lokomotif C16 berada di sisi roda dan memiliki kapasitas air sebanyak 3 m3. Lokomotif uap C16 memiliki susunan roda 0-6-0T. 0-6-0T berarti mempunyai 3 roda penggerak. Lokomotif C16 memiliki ciri khas yaitu menggunakan roda yang bersistem ’Golsdorf’. Dengan sistem ini, seluruh roda (roda pertama, roda kedua dan ketiga) hanya akan bergeser ke kiri/kanan mengikuti jalur rel. Roda dengan sistem ’Golsdoft’ cocok digunakan untuk jalan rel dengan radius tikungan yang besar. Sistem ’Golsdoft’ dikembangkan oleh insinyur dari Austria yaitu Karl Golsdoft. Pada tahun 1924–1931, semua lokomotif C16 dikonservasi dan dilengkapi dengan teknologi superheater.
Lokomotif C16 memiliki panjang 7940 mm dan berat 25,5 ton. Lokomotif ini memiliki daya 250 HP (horse power) dan dapat melaju hingga kecepatan 55 km/jam. Lokomotif ini menggunakan bahan bakar batubara atau kayu jati.
Dari 7 lokomotif C16, saat ini hanya tersisa 1 lokomotif C16, yaitu C16 03. C16 03 (mulai operasional tahun 1901) dipajang di museum Ambarawa (Jawa Tengah).
Referensi
^Bagus Prayogo, Yoga; Yohanes Sapto, Prabowo; Radityo, Diaz (2017). Kereta Api di Indonesia. Sejarah Lokomotif di Indonesia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. hlm. 65. ISBN978-602-0818-55-9.