Lokomotif E10 adalah lokomotif uap yang diproduksi oleh Maschinenfabrik Esslingen, Jerman, Swiss Locomotive and Machine Works (SLM), Swiss, serta Nippon Sharyo, Jepang. Lokomotif ini dahulu merupakan ikon perkeretaapian Sumatera Barat. Sebagai lokomotif uap bergigi, karier lokomotif ini dihabiskan untuk menarik kereta api batu bara dan penumpang di jalur rel gerigi yang menghubungkan Sawahlunto dengan Padang. Lokomotif ini dijuluki "Mak Itam", berasal dari frasa bahasa Minangkabau yang berarti "paman hitam".[1]
Lokomotif ini menggunakan susunan roda 0-10-0RT, yang artinya memiliki sepuluh roda penggerak yang digerakkan bersama-sama oleh sebuah batang penggerak. Lokomotif ini mampu menarik kereta api batu bara dengan berat muatan hingga 130 ton. Lokomotif ini memiliki empat silinder dengan dua di antaranya merupakan silinder untuk menggerakkan gigi-giginya.[2]
Sejarah
Pembelian lokomotif
Untuk meningkatkan kebutuhan akan pengangkutan batu bara dari Ombilin, Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust (SSS) memutuskan mengganti lokomotif-lokomotif uap tua yang dianggap tidak mampu lagi menarik KA batu bara dengan jumlah gerbong yang banyak. Lokomotif-lokomotif besar dipilih karena kuat menanjak, berdaya besar, serta mampu menarik lebih banyak kereta penumpang maupun gerbong. Lokomotif yang dahulunya diberi nomor seri SSS 104–125 ini diproduksi oleh Esslingen di Jerman serta SLM di Swiss. Ada 22 unit lokomotif beroperasi, dengan perincian SSS 104–112 dan 119–121 diproduksi oleh SLM, Swiss serta sisanya Esslingen, Jerman. Pengadaan lokomotif ini dilakukan pada tahun 1921, 1926, dan 1928.[2][3] Lokomotif lainnya yang juga dimasukkan dalam kelas SSS 1xx adalah D18 dengan jumlah 3 unit.
Pasca-kemerdekaan 17 lokomotif baru ditambahkan juga dengan nomor seri E10, sehingga total unit lokomotif ini adalah 39 unit. Sepuluh unit pertama diproduksi oleh Esslingen; 7 sisanya diproduksi pada tahun 1967 oleh Nippon Sharyo, dan dianggap sebagai lokomotif uap terakhir yang diproduksi oleh Nippon Sharyo. Lokomotif ini beroperasi untuk angkutan penumpang dan batu bara hingga pertengahan dekade 1980-an.[4]
Karena spesifikasi teknisnya berbeda, tidak ada lokomotif dengan nomor E1026–50 (langsung ke E1051–67).[3]
Preservasi
Pada tahun 1984, SLM memproduksi lokomotif diesel bergigi untuk PJKA, BB204, untuk menggantikan lokomotif E10 yang sudah dianggap tidak layak beroperasi, dan dibantai satu persatu. Pada tahun 1988, satu unit lokomotif, E1060, diboyong ke Museum Kereta Api Ambarawa untuk dipreservasi. "Saudara tuanya", E1016, diboyong ke Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah, dan dijadikan pajangan di museum itu sampai saat ini.
Pada saat lokomotif E1060 beroperasi di Ambarawa, lokomotif ini memiliki ukuran roda gigi yang tidak sesuai dengan rel gerigi Jambu–Bedono (hanya kompatibel dengan spesies asli Ambarawa, B25). Jika dipaksakan, lokomotif ini mudah rusak.[2]
Dalam rangka mempromosikan Museum Kereta Api Sawahlunto yang sebelumnya dibuka pada tanggal 17 Desember 2005,[5] Pemerintah Kota Sawahlunto meminta PT Kereta Api mengembalikan lokomotif E1060 ke Sumatera Barat. Pemindahan tersebut sepenuhnya terwujud pada tanggal 3 Desember 2007[6] dan sejak saat itu, Sumatera Barat sudah kembali memiliki lokomotif uap.
Pada tanggal 21 Februari 2009, kereta api Mak Itam mulai dioperasikan bersama dengan kereta api wisata Danau Singkarak. Relasi kereta api Mak Itam adalah Sawahlunto–Muarakalaban, sedangkan kereta api wisata Danau Singkarak adalah Sawahlunto–Padangpanjang.[7]
Dalam catatan preservasinya, loko ini pernah dicarter untuk menyambut ajang bersepeda tahunan Tour de Singkarak 2012. Terbukti, lokomotif ini pada saat itu masih kuat menarik enam unit kereta penumpang, dengan satu kereta asli Mak Itam (warna krem-hijau) serta lima unit kereta penumpang yang biasanya dipakai untuk KA wisata Danau Singkarak.[8][9][10]
Sayangnya, lokomotif ini dalam kondisi tidak siap beroperasi di Museum Kereta Api Sawahlunto karena kerusakan pada pipa pemanas air.[11] Penyelamatan atas aset lokomotif ini—meski sebenarnya merupakan lokomotif uap yang relatif muda—masih terus diupayakan, dengan membuat sendiri suku cadangnya tahun 2016 mengingat pabrik Esslingen sudah lama tutup.[12]
Agar dapat berjalan reguler, Mak Itam ini dibuatkan replikanya pada September 2018.[13] Replika E1060 ini memiliki panjang 4 m, lebar 1,5 m, dan menggunakan mesin empat roda yang dicomot dari truk Toyota Dyna.[14]
Kemudian pada tahun 2022, setelah diperbaiki ±2 tahun. Lokomotif E1060 kembali Beroperasi dan menarik KA wisata Mak Itam dengan didukung oleh BB303 yang diturunkan di Sawahlunto guna membantu KA Mak Itam bila terjadi mogok. Tarif kereta wisatanya Kurang lebih Rp54.000 Perorang
Salah satu unit lokomotif SSS 100 (E10) di Padang, 1947.
Lokomotif E10 yang menghela rangkaian kereta api campuran sedang berhenti di area Bukittinggi-Singkarak, 1971.
Lokomotif E1016 di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 2002.
Referensi
^Bagus Prayogo, Yoga; Yohanes Sapto, Prabowo; Radityo, Diaz (2017). Kereta Api di Indonesia. Sejarah Lokomotif di Indonesia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. hlm. 105. ISBN978-602-0818-55-9.
^ abc"Lokomotif E10". Heritage Kereta Api Indonesia. Diakses tanggal 2019-08-02.