Jalan Transyogi mulai dibangun sejak tahun 1987, nama jalan ini berasal dari nama penggagasnya yaitu Gubernur Jawa Barat, Yogie Suardi Memet. Kehadiran jalan yang awalnya bernama Jalan Raya Cibubur-Jonggol mempersingkat jarak antara DKI Jakarta dengan Jonggol di Kabupaten Bogor yang sebelumnya harus melalui Cimanggis (via Pekapuran - Gunung Putri), Bekasi (via Rawalumbu - Bantargebang) atau jalan sempit yang melewati Jembatan Ciangsana.
Pada tahun 1997 bergulir wacana pemindahan Ibu kota Indonesia ke Jonggol. Pemerintah Pusat berencana menaikan status jalan menjadi Jalan Nasional serta memperlebar jalan ini menjadi 10-12 lajur. Jika terealisasi, maka Jalan Transyogi diklaim akan menjadi jalan paling lebar di Asia Tenggara, namun wacana tersebut tidak terlaksana akibat lengsernya PresidenSoeharto. Hingga saat ini lebar ruas Jalan Transyogi masih 6 lajur untuk Segmen 1, serta 4 lajur untuk segmen 2 dan segmen 3. Sejak tahun 2010 jalan ini telah dikenal sebagai jalur neraka karena kemacetan yang hampir setiap hari terjadi, hal tersebut diakibatkan oleh kapasitas jalan yang tidak lagi layak menampung kendaraan yang melintasi jalan tersebut.[3]
Permasalahan
Sejak tahun 2010 kemacetan menjadi identik dengan Jalan Transyogi, karena hampir setiap hari kerja jalan ini selalu mengalami kemacetan. Kemacetan di jalan ini beriringan dengan pesatnya pembangunan perumahan di Koridor Cibubur-Jonggol yang tidak disertai dengan peningkatan daya dukung jaringan transportasi, seperti tidak tersedianya transportasi massal berbasis rel yaitu Kereta Api, KRL, maupun LRT di Koridor Cibubur-Jonggol yang terhubung langsung dengan Jakarta. Akibatnya, penduduk di koridor tersebut tidak ada pilihan selain menggunakan kendaraan pribadi dan Jalan Transyogi menjadi satu-satunya akses terbaik menuju Jakarta.[4]
Selain permasalahan kemacetan yang akut dan rendahnya daya dukung transportasi, Jalan Transyogi memiliki masalah lain yang tidak kalah pentingnya yaitu buruknya penataan kota/penggunaan lahan kawasan sekitar jalan hingga minimnya infrastruktur keamanan dan keselamatan bagi pengendara maupun pejalan kaki di jalan tersebut, seperti minimnya rambu lalu lintas, tidak adanya Jembatan Penyebrangan Orang (JPO), kurangnya penerangan, tidak tersedia trotoar yang layak, hingga kurangnya pengawasan terhadap jam operasional bagi kendaraan besar seperti truk.[5]
Pada tanggal 18 Juli 2022 pukul 16.00 di Lampu Merah Cibubur CBD yang terletak tepat di perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor. Terjadi insiden yang melibatkan truk tangki milik Pertamina, mobil, dan sejumlah sepeda motor. Akibat dari insiden tersebut belasan pengendara tewas dan belasan lainnya luka-luka.
Insiden tersebut disebabkan oleh truk tangki milik Pertamina yang mengalami rem blong. Selain itu, keberadaan Lampu Merah CBD Cibubur juga dianggap sebagai penyebab utama, karena posisinya yang berada di turunan dan tikungan yang cukup tajam. Keberadaan lampu merah tersebut merupakan usulan dari pihak pengembang Cibubur CBD yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi penghuni, pengguna, maupun pengunjung yang akan keluar masuk Cibubur CBD.[14]