Emma Goldman (27 Juni [15 Juni dalam Standar Lama] 1869 – 14 Mei 1940) adalah seorang aktivis politik anarkis dan penulis. Ia memainkan peranan penting dalam perkembangan filsafat politik anarkis di Amerika Utara dan Eropa pada belah awal abad ke-20.
Emma lahir di Kaunas, Imperium Rusia (kini Lituania), dalam sebuah keluarga Yahudi. Mereka beremigrasi ke Amerika Serikat di tahun 1885.[2] Ia tertarik mendalami anarkisme setelah Kerusuhan Haymarket di Chicago. Emma kemudian menjalani pekerjaan sebagai penulis dan dosen terkenal dalam bidang-bidang filsafat anarkis, hak perempuan, dan isu sosial; kuliah dan pidatonya didatangi ribuan orang.[2] Ia dan seorang penulis anarkis lainnya bernama Alexander Berkman, yang merupakan pasangan dan teman seumur hidupnya, pernah berencana membunuh wirausahawan industri dan pegiat keuangan Henry Clay Frick sebagai aksi propaganda dengan perbuatan. Henry selamat dari upaya ini pada tahun 1892 dan Alexander Berkman dijatuhi hukuman 22 tahun penjara. Emma pernah dipenjara beberapa kali setelah itu, dengan tuduhan "memprovokasi kerusuhan" dan mendistribusikan informasi tentang kontrasepsi secara ilegal. Pada tahun 1908, Emma mendirikan majalah anarkis berjudul Mother Earth.
Pada tahun 1917, Emma dan Alexander dituntut dua tahun penjara dengan tuduhan berkonspirasi "mengajak orang-orang agar tidak mau mendaftar" dalam wajib militer yang waktu itu baru dicanangkan. Setelah dilepas dari penjara, mereka dan 248 orang lainnya kembali ditangkap dalam Penangkapan Palmer, pada masa Ketakutan Merah Pertama, dan dideportasi ke Rusia. Emma pada awalnya mendukung Revolusi Oktober di Rusia, yang memberikan kekuasaan kepada kaum Bolshevik; namun, ia mengubah pendapatnya setelah menyaksikan Pemberontakan Kronstadt. Ia mencela Uni Soviet karena represi berkekerasan terhadap suara-suara independen. Emma meninggalkan Uni Soviet dan pada tahun 1923 ia menerbitkan sebuah buku berjudul My Disillusionment in Russia (Penyadaranku di Rusia). Ketika tinggal di Inggris, Kanada, dan Perancis, ia menulis sebuah otobiografi berjudul Living My Life (Menghidupi Hidupku). Otobiografi ini diterbitkan dalam dua jilid pada tahun 1931 dan 1935. Ia kemudian pergi ke Spanyol untuk mendukung revolusi anarkisyang terjadi setelah perang sipil di sana. Ia meninggal di Toronto, Kanada, pada 14 Mei 1940, berumur 70 tahun.
Sepanjang hidupnya, Emma diagungkan sebagai seorang "perempuan pemberontak" pembebas pikiran oleh para pengagumnya, dan dicela oleh para penghinanya sebagai seorang pendukung pembunuhan bermotif politis dan pendukung revolusi berkekerasan.[3] Tulisan-tulisan dan kuliah-kuliahnya menyelami berbagai isu, antara lain penjara, ateisme, kebebasan berbicara, militerisme, kapitalisme, perkawinan, cinta bebas, dan homoseksualitas. Meskipun ia menjauhkan diri dari feminisme gelombang pertama dan upaya mereka mendapatkan kesetaraan perempuan, ia mengembangkan berbagai cara baru untuk memasukkan politik gender ke dalam anarkisme. Setelah bertahun-tahun dilupakan, ia kembali mendapatkan ketenarannya di tahun 1970an akibat minat publik baru yang dipicu oleh para ilmuwan feminis dan anarkis.
Biografi
Keluarga
Emma Goldman lahir dalam sebuah keluarga Yahudi Ortodoks di Kovno, Imperium Rusia, yang kini dikenal sebagai Kaunas di Lituania.[4] Ibunya, Taube Bienowitch, sebelumnya pernah menikah dengan seorang lelaki yang memberikannya dua orang anak—Helena di tahun 1860 dan Lena di tahun 1862. Suami Taube pertama itu meninggal akibat tuberkulosis. Emma kemudian menulis: "Rasa cinta yang masih dimilikinya sudah mati dengan lelaki muda yang dinikahinya di umur lima belas."[5]
Pernikahan Taube yang kedua merupakan hasil perjodohan oleh keluarganya. Emma menulis bahwa mereka sudah "salah berpasangan sejak awal".[5] Suaminya yang kedua, Abraham Goldman, menginvestasikan warisan Taube dalam sebuah bisnis yang cepat gagal. Nelangsa yang kemudian terjadi dalam hidup mereka ditambah dengan jarak emosional suami-istri menyebabkan rumah tangga itu menjadi tempat yang tidak nyaman bagi para anak-anak. Saat Taube hamil, Abraham berharap ia memiliki anak lelaki. Ia percaya bahwa seorang anak perempuan kembali menandakan kegagalan.[6] Pada akhirnya, mereka memiliki tiga anak lelaki, tetapi anak pertama mereka adalah Emma.[7]
Emma Goldman lahir pada 27 Juni 1869.[8][9] Ayahnya menggunakan kekerasan untuk menghukum anak-anak. Ia memukul setiap kali anaknya tidak taat. Untuk Emma, yang paling pemberontak, ia menggunakan cambuk.[10] Ibu Emma tidak banyak memberikan pertolongan; ia jarang sekali meminta Abraham untuk berhenti memukuli anak-anaknya.[11] Emma kemudian berspekulasi bahwa setidaknya sebagian alasan bagi kemarahan ayahnya itu adalah frustrasi seksual.
Emma amat berbeda dengan kedua kakak perempuan tirinya, Helena dan Lena. Helena, yang tertua, memberikan rasa aman yang tidak dimiliki anak-anak dari ibu mereka dan mengisi masa kecil Emma dengan "rasa senang yang masih ada".[12] Sebaliknya, Lena bersikap jauh dan dingin.[13] Ketiga anak perempuan itu diberi adik laki-laki Louis (yang meninggal dalam usia enam tahun), Herman (lahir pada tahun 1872), dan Moishe (lahir 1879).[14]
Masa remaja
Ketika Emma Goldman masih menjadi seorang anak perempuan muda, keluarga mereka pindah ke desa Papilé. Di sana, ayahnya membuka sebuah kedai. Saat saudara-saudaranya bekerja, ia menjadi teman dengan seorang pelayan bernama Petrushka. Dengan Petrushka, ia merasa "sensasi-sensasi erotis pertamanya" dibangkitkan.[15] Di Papilé, ia juga melihat seorang rakyat jelata yang dicambuk dengan knout di jalanan. Peristiwa ini membuatnya trauma dan mengisi kebenciannya terhadap kekuasaan berkekerasan.[16]
Pada umur tujuh tahun, Emma pindah dengan keluarganya ke kota Konigsberg yang waktu itu masih bagian dari Kekaisaran Jerman. Ia belajar dalam sebuah Realschule. Salah satu gurunya menghukum murid yang tidak menurut—khususnya Emma—dengan memukuli tangan mereka menggunakan penggaris. Guru lain mencoba melecehkan murid perempuannya dan dipecat setelah Emma melawan. Di sisi lain, guru bahasa Jermannya baik hati dan sering meminjamkannya buku dan mengajaknya menonton opera. Emma adalah seorang murid yang bersemangat; ia lulus ujian masuk gimnasium, tetapi guru agamanya menolak memberikan sertifikat perilaku baik dan dengan demikian ia tidak bisa masuk.[17]
Keluarga Goldman kemudian pindah ke ibu kota Rusia, Sankt-Peterburg. Di sana, ayahnya membuka serentetan usaha toko, semuanya gagal. Akibat miskin, anak-anak itu lantas terpaksa bekerja. Emma sendiri mengambil banyak pekerjaan, termasuk bekerja di sebuah toko korset.[18] Saat remaja, Emma meminta ayahnya untuk membolehkannya kembali bersekolah, namun ayahnya malah membakar buku bahasa Perancisnya sambil membentak: "Anak perempuan kan tidak harus belajar banyak! Yang penting kamu sebagai anak perempuan Yahudi, tahu caranya memasak ikan gefilte, memotong mie, dan memberikan suamimu anak yang banyak."[19]
Dengan demikian, Emma menjalani pendidikannya sendiri. Ia mempelajari kerusuhan politis yang terjadi di sekelilingnya, terutama kaum nihilis yang bertanggung jawab dalam pembunuhan Aleksander II dari Rusia. Kerusuhan yang terjadi kemudian sangat menarik bagi Emma, meskipun ia tidak memahaminya dengan penuh pada saat itu.[20] Ketika ia membaca novel karya Nikolay Chernyshevsky berjudul Apa yang Akan Dilakukan? (1863), ia sangat bersimpati dan menjadikan Vera, protagonis novel tersebut, sebagai suri tauladannya. Ia kemudian mengadopsi filsafat nihilis dan melarikan diri dari keluarganya yang represif, untuk kemudian hidup bebas dan mendirikan sebuah koperasi penjahit. Buku itu sangat membuat Emma kagum dan terus menjadi sumber inspirasinya seumur hiduhlm.[21]
Sementara itu, sang ayah terus memaksakan kehendak masa depan domestik bagi Emma. Ia mencoba menjodohkan Emma di umur lima belas tahun. Mereka terus menerus berkelahi soal masalah ini. Ayahnya menganggap Emma sedang berkembang menjadi "wanita liar", sementara Emma bertahan dan mengatakan bahwa ia hanya akan menikah demi cinta.[22] Dalam toko korset tempatnya bekerja, ia terus-menerus terpaksa melawan terhadap percobaan pelecehan dari para petinggi Rusia dan lelaki lainnya. Satu orang lelaki membawanya ke sebuah kamar hotel dan melakukan sesuatu yang digambarkan Emma sebagai "hubungan kekerasan";[23] dua orang penulis biografi menggunakan kata "pemerkosaan".[22][24] Ia sangat terkejut dengan pengalaman ini, sangat kaget dengan penyadaran bahwa "hubungan antara lelaki dan perempuan bisa jadi begitu brutal dan menyakitkan".[25] Emma merasa bahwa peristiwa itu selamanya menjelekkan hubungan-hubungannya dengan lelaki.[25]
Rochester, New York
Pada tahun 1885, kakaknya Helena berencana pindah ke New York di Amerika Serikat untuk mengikuti Lena dan suaminya. Emma ingin ikut kakaknya, tetapi dilarang oleh ayahnya, bahkan setelah Helena menawarkan untuk membayarkan perjalanan. Emma kemudian mengancam bahwa ia akan terjun ke Sungai Neva kalau ia tetap tidak diperbolehkan jalan. Ayahnya akhirnya setuju. Pada 29 Desember 1885, Helena dan Emma tiba di Taman Castle, kota New York, tempat masuk para imigran.[26]
Mereka tinggal di luar kota, di rumah daerah Rochester yang dibangun oleh Lena dan suaminya, Samuel. Orang tua dan adik-adik lelakinya turut datang setahun kemudian untuk melarikan diri dari antisemitisme yang makin memanas di Sankt-Peterburg. Emma mulai bekerja sebagai seorang penjahit. Ia menjahit mantel selama lebih dari sepuluh jam sehari, dengan upah kerja hanya dua setengah dolar per minggu. Ia meminta kenaikan gaji, tetapi tidak dikasih; ia kemudian keluar dari pekerjaannya dan bekerja di toko yang lebih kecil di dekat toko lama.[27]
Dalam pekerjaannya yang baru, Emma bertemu sesama karyawan bernama Jacob Kershner, yang juga menyukai membaca, menari dan berjalan-jalan, dan membenci pula kebosanan kerja pabrik. Setelah empat bulan, mereka menikah pada bulan Februari 1887.[28] Hubungan mereka memburuk setelah Jacob pindah ke rumah keluarga Goldman. Pada malam pertama, Emma menemukan bahwa Jacob impoten. Mereka kemudian menjadi berjarak secara emosional dan fisik. Tidak lama kemudian, Jacob menjadi penuh curiga dan mengancam akan bunuh diri kecuali Emma meninggalkannya. Pada waktu yang sama, Emma juga semakin tertarik dengan kekacauan politik yang terjadi di sekelilingnya, terutama pasca-eksekusi yang berhubungan dengan kerusuhan Haymarket tahun 1886 di Chicago dan filsafat politik anti-otoriter bernama anarkisme.[29]
Kurang dari setahun setelah menikah, mereka bercerai. Jacob meminta Emma kembali dan mengancam akan meracuni dirinya sendiri. Mereka kembali bersatu, namun Emma meninggalkannya lagi setelah tiga bulan. Orang tuanya menganggap perilaku Emma "liar" dan mengusirnya dari rumah.[30] Ia akhirnya meninggalkan Rochester dengan membawa mesin jahit di satu tangan dan tas berisi lima dolar di tangan lainnya, menuju kota New York.[31]
Johann Most dan Alexander Berkman
Pada hari pertamanya di kota New York, Emma bertemu dengan dua lelaki yang akan mengubah hidupnya. Di Kafe Sachs, sebuah kafe tempat berkumpulnya para radikal, ia dikenalkan dengan Alexander Berkman, seorang anarkis yang mengajaknya datang ke sebuah pidato publik sore itu. Mereka kemudian pergi mendengarkan pidato Johann Most, seorang penyunting publikasi radikal berjudul Freiheit dan pendukung "propaganda dengan perbuatan" (penggunaan kekerasan untuk mencanangkan perubahan).[32] Ia amat terkesan dengan orasi Johann yang berapi-api; Johann sendiri kemudian menjadikan Emma sebagai muridnya dan mengajarinya cara berpidato di muka umum. Johann menyemangatinya terus menerus dan berkata bahwa Emma akan "mengambil tempatku ketika aku pergi."[33] Salah satu pidato pertama Emma di muka umum dilakukan di Rochester. Setelah meminta Helena untuk tidak memberitahu orang tua mereka tentang pidato ini, Emma terbengong di atas panggung. Ia kemudian tiba-tiba menulis bahwa:[34]
something strange happened. In a flash I saw it—every incident of my three years in Rochester: the Garson factory, its drudgery and humiliation, the failure of my marriage, the Chicago crime...I began to speak. Words I had never heard myself utter before came pouring forth, faster and faster. They came with passionate intensity...The audience had vanished, the hall itself had disappeared; I was conscious only of my own words, of my ecstatic song.
Emma terkesan sekali dengan pengalaman ini dan mulai memperbaiki persona umumnya. Tidak lama kemudian, ia mulai merasa berselisih dengan Johann tentang kebebasannya. Setelah sebuah pidato monumental di Cleveland, ia merasa seperti hanya "membeo pandangan-pandangan Johann Most"[35] dan berupaya kembali untuk mengekspresikan dirinya di atas panggung. Ketika Emma kembali ke New York, Johann marah dan berkata: "Yang tidak denganku adalah lawanku!"[36] Ia kemudian meninggalkan Freiheit dan mengikuti publikasi lain, Die Autonomie.[37]
Sementara itu, Emma mulai berteman dengan Alexander. Ia memanggilnya dengan panggilan sayang, Sasha. Tidak lama kemudian, mereka menjadi pasangan dan tinggal bersama dengan sepupu Alexander, Modest "Fedya" Stein dan teman Emma, Helen Minkin, di Jalan 42.[38] Hubungan mereka tidak tanpa perkelahian, tetapi Emma dan Alexander terus terikat selama berdekade-dekade, dekat akibat prinsip-prinsip anarkis dan komitmen kesetaraan personal yang sama-sama dijalankan.[39]
Alexander dan Emma kemudian turut berpartisipasi dalam mogok kerja Homestead. Pada bulan Juni 1892, sebuah pabrik baja di Homestead, Pennsylvania yang dimiliki oleh Andrew Carnegie menjadi pusat perhatian nasional akibat perseteruan antara Perusahaan Baja Carnegie dan Asosiasi Perkumpulan Buruh Besi dan Baja. Manager pabrik tersebut adalah Henry Clay Frick, seseorang yang sangat bermusuhan dengan serikat buruh. Setelah ronde negosiasi terakhir gagal di akhir bulan Juni, manajemen akhirnya menutup pabrik dan mengunci para buruh di luar. Buruh kemudian langsung mogok kerja. Orang-orang yang tidak mau ikut mogok kemudian diajak masuk dan perusahaan menyewa layanan keamanan Pinkerton untuk melindungi mereka. Pada 6 Juli, terjadi perkelahian antara 300 satuan pengamanan Pinkerton dan sejumlah massa serikat yang bersenjata. Setelah berkelahi selama dua belas jam, tujuh orang satpam dan sembilan orang buruh terbunuh.[42]
Setelah kebanyakan koran Amerika mendukung para pemogok, Alexander dan Emma memutuskan untuk membunuh Henry Clay Frick. Mereka memperkirakan bahwa aksi ini dapat menginspirasi para buruh untuk melakukan revolusi terhadap sistem kapitalis. Alexander memilih untuk melakukan pembunuhan dan menyuruh Emma untuk tetap di luar, agar ia dapat menjelaskan motif mereka setelah Alexander dipenjara. Ia akan melakukan "perbuatan", dan Emma akan melakukan propaganda.[44] Alexander kemudian berangkat ke Pittsburgh, menuju Homestead. Di sana, ia berencana membunuh Frick.[45]
Sementara itu, Emma memutuskan untuk membantu membiayai perencanaan ini melalui kerja seksual. Ia mengingat karakter Sonya dalam novel Fyodor Dostoyevsky berjudul Kejahatan dan Hukuman (1866), sambil merenung: "Dia menjadi pekerja seks untuk mendukung adik lelaki dan perempuannya ... Sonya yang sensitif bisa menjual badannya, kenapa saya tidak bisa?"[46] Di jalanan, seorang lelaki tertarik. Lelaki ini membawanya ke dalam sebuah kedai, membelikan bir, memberikannya sepuluh dolar, memberitahu Emma bahwa ia tidak punya "bakat", dan menyuruhnya berhenti bekerja seks. Ia "terlalu kaget sampai tidak bisa berkata apa-apa".[46] Ia menulis sebuah surat ke Helena, mengaku sakit, dan meminta lima belas dolar.[47]
Pada 23 Juli, Alexander akhirnya mendapat akses ke dalam kantor Frick sambil membawa sebuah pistol tertutuhlm. Ia menembak Frick tiga kali dan menusuknya sekali di kaki. Sekelompok pekerja, alih-alih terinspirasi dengan percobaan ini, malah memukuli Alexander hingga tidak sadar. Ia dibawa pergi oleh polisi.[48] Alexander kemudian menjadi tersangka percobaan pembunuhan[49] dan dihukum 22 tahun penjara.[50] Emma sangat menderita saat ia tiada.[51]
Polisi, yang percaya bahwa Emma masih berhubungan dengan perencanaan ini, memeriksa apartemennya. Mereka tidak menemukan barang bukti, tetapi berhasil memaksa pemilik apartemen untuk mengusir Emma. Percobaan pembunuhan tersebut gagal menginspirasi massa; baik pekerja maupun anarkis malah mencela aksi Alexander. Johann Most, mentor mereka sebelumnya, marah terhadap Alexander dan percobaan pembunuhan tersebut. Emma, yang balik marah terhadap serangan-serangan ini, membawa sebuah cambuk kuda mainan ke atas panggung dan meminta Johann untuk menjelaskan pengkhianatannya. Johann tidak menanggapi permintaan ini. Emma kemudian memukulnya dengan cambuk, merusak cambuk itu dengan lututnya, dan melemparkan bagian-bagian cambuk ke arah Johann.[52][53] Emma kemudian menyesali perbuatan ini dan berkata kepada seorang temannya: "Di umur 23, orang biasanya memang tidak punya akal."[54]
"Provokasi kerusuhan"
Dalam Kepanikan 1893 yang terjadi di tahun selanjutnya, Amerika Serikat mengalami salah satu krisis ekonomi yang terhebat dalam sejarahnya. Pada akhir tahun, negara tersebut mengalami tingkat pengangguran sebesar 20%.[55] "Demonstrasi akibat kelaparan" kadang berujung pada pergolakan massa. Emma mulai berpidato kepada kelompok-kelompok lelaki dan perempuan yang frustrasi di kota New York. Pada 21 Agustus, ia berpidato di depan hampir 3.000 orang di Union Square. Di dalam pidato tersebut, ia mengajak para buruh menganggur untuk melakukan aksi langsung. Kata-katanya tidak jelas: intel menyamar bersaksi bahwa Emma menyuruh orang-orang "mengambil semuanya ... dengan kekerasan".[56] Akan tetapi, Emma kemudian mengingat apa yang ia katakan: "Dengan demikian, berdemonstrasilah di depan istana-istana orang kaya; minta pekerjaan. Kalau mereka tidak memberikanmu pekerjaan, mintalah roti. Kalau mereka tidak memberikanmu keduanya, ambillah roti."[57] Dalam sebuah pengadilan, Detektif-Sersan Charles Jacobs memberikan versi lain pidato ini.[58]
Seminggu kemudian, Emma ditangkap di Philadelphia dan dikembalikan ke kota New York untuk diadili. Tuntutannya adalah "memprovokasi kerusuhan".[59] Di kereta, Charles Jacobs menawarkan untuk menggugurkan tuntutan ini apabila ia mau memberitahu identitas radikal lain di daerah itu. Emma menjawab dengan melempar segelas air dingin ke muka Charles.[60] Sambil menunggu pengadilan, Emma dikunjungi oleh Nellie Bly, reporter dari New York World. Ia menghabiskan dua jam berbicara dengan Emma dan menulis sebuah artikel positif tentang seorang perempuan yang ia gambarkan sebagai "Jeanne d'Arc modern".[61]
Meskipun mendapatkan ketenaran positif, juri yang ada dalam pengadilan Emma terkesan dengan kesaksian Charles Jacobs dan ketakutan dengan politik Emma. Asisten jaksa kemudian bertanya mengenai anarkisme dan ateisme Emma. Hakim berkata bahwa Emma adalah seorang "perempuan yang berbahaya".[62] Ia dipenjara satu tahun di penjara Pulau Blackwell. Di dalam penjara, ia mengalami rematisme dan dikirim ke unit pelayanan kesehatan. Di sana, ia berteman dengan seorang dokter berkunjung dan mulai mempelajari pengobatan. Ia juga membaca lusinan buku, termasuk karya-karya penulis aktivis Amerika seperti Ralph Waldo Emerson dan Henry David Thoreau; penulis novel Nathaniel Hawthorne; penyair Walter Whitman, dan penyair John Stuart Mill.[63] Emma dilepas dari penjara setelah sepuluh bulan. Sebuah kelompok besar berjumlah 3.000 orang sudah menunggunya di Teater Thalia di kota New York. Tidak lama kemudian, ia dibanjiri dengan permintaan wawancara dan kuliah.[64]
Untuk mendapatkan uang, Emma memutuskan untuk melanjutkan studi pengobatan yang telah ia mulai di penjara. Namun, spesialisasi yang ia inginkan, yaitu kebidanan dan pijat, tidak tersedia bagi para pelajar kesusteran di Amerika Serikat. Ia pergi ke Eropa, memberikan kuliah di London, Glasgow, dan Edinburgh. Ia bertemu dengan anarkis-anarkis terkenal seperti Errico Malatesta, Louise Michel, dan Pyotr Kropotkin. Di Wina, ia mendapatkan dua diploma kebidanan dan segera menggunakannya di Amerika Serikat.[65]
Sambil tetap melakukan profesi kebidanannya, Emma mulai menjalankan tur dalam negeri pertama oleh seorang orator anarkis. Pada November 1899, ia kembali ke Eropa untuk memberikan pidato. Di London, ia bertemu dengan anarkis Ceko bernama Hippolyte Havel. Mereka pergi bersama ke Perancis dan membantu menggelar Kongres Anarkis Internasional 1900 di luar kota Paris.[66] Setelah itu, Hippolyte pindah ke Amerika Serikat, pergi bersama dengan Emma ke Chicago. Mereka tinggal bersama dengan teman-teman Emma.[67]
Pada 6 September 1901, Leon Czolgosz, seorang buruh pabrik menganggur dan Republikan terdaftar dengan riwayat penyakit mental, menembak Presiden AS William McKinley dua kali pada sebuah acara pidato di Buffalo, New York. William McKinley tertembak di tulang dada dan perutnya hingga meninggal delapan hari kemudian.[68] Leon kemudian diatahan dan diinterogasi dua puluh empat jam. Pada saat interogasi, ia mengklaim menganut paham anarkisme dan terinspirasi bertindak setelah mendengar pidato Emma Goldman. Pihak penegak hukum menggunakan kesaksian ini untuk menuntut Emma dengan tuduhan perencanaan pembunuhan McKinley. Mereka menemukan apartemen Emma dan Havel di Chicago, yang ditinggali dengan Mary dan Abe Isaak, sepasang anarkis dan keluarga mereka.[67][69] Emma ditahan, bersamaan dengan Abe, Hippolyte, dan sepuluh anarkis lainnya.[70]
Leon Czolgosz pernah berupaya menjadi teman Emma dan kawan-kawan, namun gagal. Pada sebuah acara di Cleveland, Leon mencoba mendekati Emma dan meminta saran mengenai buku yang harus ia baca. Pada bulan Juli 1901, ia muncul di kediaman keluarga Isaak dan bertanya sejumlah pertanyaan aneh. Mereka kemudian menganggap bahwa Leon adalah seorang penyusup, seperti sejumlah agen polisi yang sering dikirim untuk memata-matai kelompok radikal. Mereka kemudian menjauhkan diri dan Abe Isaak mengirimkan pesan kepada rekan-rekannya bahwa ada "mata-mata baru".[71]
Meskipun Leon terus-menerus menyangkal partisipasi Emma, polisi tetap menahannya dan menginterogasi Emma hingga tahap yang ia namai sebagai "derajat ketiga".[72] Ia menjelaskan bahwa orang-orang serumah tidak ada yang percaya dengan Leon Czolgosz; polisi kemudian menyadari bahwa dia tidak memiliki kontak signifikan dengan Leon. Tidak ditemukan bukti yang dapat menghubungkan Emma dengan serangan tersebut. Dua minggu kemudian, Emma dilepas dari tahanan. Sebelum McKinley meninggal, Emma menawarkan perawatan dan pengobatan; ia mengatakan bahwa presiden itu "hanyalah manusia biasa".[73] Leon Czolgosz pada akhirnya menjadi tersangka pembunuhan dan dieksekusi, meskipun memiliki riwayat dan bukti penyakit mental.[74]
Selama penahanannya dan setelah pelepasannya, Emma terus menolak untuk mencela perbuatan Leon Czolgosz. Ia sendirian dalam penolakan itu. Rekan-rekan dan pendukungnya, termasuk Alexander Berkman, memintanya untuk berhenti menolak. Akan tetapi, Emma membela Leon, mengatakan bahwa ia adalah "makhluk supersensitif"[75] dan justru mencela anarkis lain karena telah meninggalkan Leon.[75] Dalam media massa, Emma dijelek-jelekkan sebagai "pendeta agung anarki"[76] dan banyak koran menetapkan bahwa gerakan anarkisme bertanggung jawab bagi insiden pembunuhan tersebut.[77] Setelah peristiwa-peristiwa ini, sosialisme mulai lebih mendapat dukungan dari radikal AS daripada anarkisme. Penerus William McKinley, Theodore Roosevelt, menetapkan niatnya untuk menghabisi "tidak hanya kaum anarkis, tetapi juga seluruh simpatisan aktif dan pasif kaum anarkis."[78]
Setelah Leon Czolgosz dieksekusi, Emma bersembunyi dari dunia. Selama tahun 1903 hingga 1913, ia tinggal di Jalan 13 Timur no 208–210, kota New York.[79] Ia dibenci oleh sesama anarkis, dijelek-jelekkan oleh media massa, dan terpisah dari kekasihnya, Alexander Berkman. Ia menyembunyikan diri dari dunia dan kembali menjadi suster. "Pahit dan sulit menghadapi hidup baru," tulisnya.[80]
Ia meninggalkan kehidupan umum, menggunakan nama barunya, E.G. Smith, dan mengambil beberapa pekerjaan kesusteran swasta. Sementara itu, ia mengalami depresi.[81] Kongres AS mengeluarkan Undang-undang Eksklusi Anarkis di tahun 1903. Muncullah gelombang baru aktivisme perlawanan dan Emma kembali tertarik ke dalam gerakan. Sekumpulan orang-orang dan organisasi di sayap kiri spektrum politik melawan undang-undang tersebut dengan menyebut bahwa undang-undang itu melanggar kebebasan berpendapat. Kini, ia kembali didengarkan oleh penduduk negeri.[82]
Setelah seorang anarkis Inggris bernama John Turner ditangkap dengan Undang-undang Eksklusi Anarkis dan diancam deportasi, Emma bersatu dengan Liga Kebebasan Bersuara untuk membela John.[83] Liga itu meminta bantuan dari beberapa pengacara terkenal, Clarence Darrow dan Edgar Lee Masters, yang berhasil membawa kasus John ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Meskipun John Turner dan Liga-nya kalah, Emma menganggap kekalahan tersebut tetap sebuah kemenangan bagi propaganda.[84] Ia kembali ke dalam gerakan anarkisme, tetapi aktivismenya sangat melelahkan baginya. "Aku tidak pernah merasa begitu terbebani," katanya kepada Alexander. "Aku takut, aku akan selamanya tetap menjadi barang publik dan hidupku akan lelah sekali membantu kehidupan orang lain."[85]
Di tahun 1906, Emma memutuskan untuk memulai publikasi baru, "tempat berekspresi para idealis muda dalam seni dan sastra".[86] Redaksi majalah tersebut, Mother Earth, diisi oleh sejumlah aktivis radikal seperti Hippolyte Havel, Max Baginski, dan Leonard Abbott. Selain menerbitkan sejumlah karya asli bikinan editornya dan anarkis di seluruh dunia, Mother Earth juga menerbitkan ulang sejumlah tulisan dari berbagai penulis. Karya-karya yang pernah dimuat di Mother Earth mencakup antara lain tulisan anarkis Perancis, Pierre-Joseph Proudhon; anarkis Rusia, Pyotr Kropotkin; filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche; dan penulis Britania, Mary Wollstonecraft. Emma sering menulis tetnang anarkisme, politik, isu buruh, ateisme, seksualitas, dan feminisme. Ia menjadi editor pertama di majalah tersebut.[87][88]
Pada 18 Mei di tahun yang sama, Alexander Berkman dibebaskan dari penjara. Emma membawa sebuket bunga mawar dan menemuinya di peron stasiun. Ia "terkejut dengan rasa takut dan kasihan"[89] melihat kondisi Alexander yang kurus dan pucat. Tidak ada yang berani berbicara, mereka berdua pulang ke rumah Emma dalam diam. Selama berminggu-minggu, Alexander mencoba untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar penjara. Ia gagal berbicara dalam sebuah tur pidato. Di Cleveland, ia membeli sepucuk pistol dengan niatan bunuh diri.[90][91] Setelah kembali ke New York, ia mengetahui bahwa Emma dan sejumlah aktivis ditangkap dalam sebuah pertemuan yang memperbincangkan Czolgosz. Alexander menjadi bersemangat akibat pelanggaran kebebasan berkumpul ini. Ia mengatakan, "Saya telah terlahir kembali!"[92] dan mencoba menegosiasikan pelepasan tahanan mereka.[93]
Alexander mengambil posisi pucuk redaksional di Mother Earth pada tahun 1907, sementara Emma terus berkeliling negeri untuk mendanai majalah itu. Penyuntingan majalah menjadi kegiatan yang menyemangati Alexander. Sayangnya, hubungannya dengan Emma melemah, dan ia berselingkuh dengan seorang anarkis berumur 15 tahun bernama Becky Edelsohn. Emma merasa sedih akibat penolakan ini, tetapi menganggapnya sebagai semacam konsekuensi akibat pemenjaraan.[94] Di akhir tahun yang sama, ia menjadi perwakilan AS untuk Kongres Anarkis Internasional Amsterdam. Kaum anarkis dan sindikalis dari seluruh dunia datang berkumpul untuk membicarakan tensi yang terjadi antara kedua ideologi mereka, tetapi tidak ada persetujuan yang diraih. Emma kembali ke AS dan terus berpidato di depan muka umum.[95]
Ben Reitman, esai, dan kontrasepsi
Selama sepuluh tahun setelah itu, Emma tidak berhenti berkeliling negeri. Ia menyampaikan kuliah dan menyebarkan agitasi anarkisme. Koalisi yang terbentuk untuk melawan Undang-undang Eksklusi Anarkisme menginspirasinya untuk juga merangkul orang-orang yang berada dalam posisi politik lain. Ketika Departemen Hukum Amerika Serikat mengirimkan mata-mata untuk observasi, mereka mencatat bahwa pidato-pidato Emma selalu "penuh".[96] Penulis, jurnalis, seniman, hakim, dan pekerja dari seluruh spektrum masyarakat mengakui "kemampuannya yang magnetis", "keberadaannya yang meyakinkan", serta "kekuatannya, kemampuannya berbicara, dan semangatnya."[97]
Pada musim semi 1908, Emma bertemu dan jatuh cinta dengan Ben Reitman, sang "dokter tanpa rumah". Ben pernah hidup di Distrik Tenderloin di Chicago dan dia menghabiskan beberapa tahun sebagai seorang gelandangan sebelum akhirnya mendapatkan gelar kedokteran dari Kolese Dokter Umum dan Bedah Chicago. Sebagai seorang dokter, ia mengobati orang-orang yang menderita akibat kemiskinan dan penyakit, terutama penyakit kelamin. Ben dan Emma mulai berhubungan dekat. Keduanya sama-sama memiliki komitmen terhadap cinta bebas, dan Reitman masih memiliki banyak pasangan lain, tetapi Emma tidak. Emma mulai mencoba untuk merekonsiliasi perasaan cemburunya dengan kepercayaan akan kebebasan, tetapi menurutnya berat.[98]
Dua tahun kemudian, Emma mulai merasa frustrasi dengan para audiens perkuliahan. Ia ingin "mencapai sedikit orang yang benar-benar mau belajar, bukan banyak orang yang hanya ingin terhibur."[99] Ia mengumpulkan sejumlah pidato dan beberapa tulisan yang awalnya ingin disampaikan ke Mother Earth, dan menerbitkannya menjadi sebuah buku berjudul Anarchism and Other Essays (Anarkisme dan Esai-esai Lain). Buku tersebut menyelami berbagai topik. Di dalamnya, ia mencoba untuk menggambarkan "perjuangan mental dan spiritual selama dua puluh satu tahun".[99]
Pada tahun 1914, Margaret Sanger, seorang pendukung akses kontrasepsi, menciptakan istilah birth control ("pengaturan kelahiran"). Ia juga menyebarluaskan informasi mengenai berbagai metode kontrasepsi dalam majalahnya, The Woman Rebel, edisi bulan Juni 1914. Margaret menerima dukungan besar dari Emma. Emma sendiri aktif dalam upayanya meningkatkan akses kontrasepsi selama beberapa tahun. Pada tahun 1916, Emma ditangkap akibat memberikan pelajaran di muka umum tentang penggunaan kontrasepsi.[100] Margaret juga ikut ditangkap dengan tuntutan melanggar Hukum Comstock, yang melarang penyebaran "artikel cabul, saru, dan menimbulkan gairah". Oleh para penegak hukum, pasal ini diartikan juga merujuk pada informasi terkait kontrasepsi.[101]
Meskipun kemudian mereka berpisah akibat dukungan yang kurang kuat dari Margaret, Emma dan Ben terus menyebarluaskan cetakan pamflet Margaret berjudul Family Limitation (Pembatasan Keluarga), ditambah dengan esai dari Ben. Pada tahun 1915, Emma melakukan tur pidato keliling negeri, termasuk juga untuk meningkatkan kesadaran tentang pilihan kontrasepsi. Walau pada saat itu sikap masyarakat terhadap kontrasepsi sepertinya mulai melunak, Emma tetap ditangkap pada 11 Februari 1916, ketika ia akan naik panggung untuk memberikan kuliah.[102] Ia dituntut dengan pelanggaran Hukum Comstock. Setelah tidak mau membayar denda $100, ia menghabiskan dua minggu dalam ruang kerja penjara, yang ia anggap sebagai "kesempatan" untuk kembali terhubung dengan mereka yang ditolak masyarakat.[103]
Perang Dunia I
Meskipun slogan Presiden Woodrow Wilson yang terpilih pada tahun 1916 adalah "Ia menjauhkan kita dari perang", pada awal masa jabatan keduanya, ia mengumumkan bahwa keterlibatan Jerman yang terus mengerahkan kapal selam sudah menjadi alasan yang cukup bagi AS untuk jadi terlibat dalam Perang Dunia I. Tidak lama kemudian, Kongres mencanangkan Undang-undang Jasa Selektif 1917, yang mewajibkan seluruh lelaki berumur 21–30 untuk mengikuti pelatihan militer. Emma berpendapat bahwa keputusan ini adalah agresi militeris yang disetir oleh kapitalisme. Dalam Mother Earth, ia mendeklarasikan niatannya untuk melawan wajib militer dan melawan keterlibatan AS di dalam perang.[104]
Ia dan Alexander kemudian mendirikan Liga Tanpa Wamil di New York. Liga ini memproklamirkan: "Kami menolak wajib militer karena kami internasionalis, antimiliteris, dan melawan segala perang yang dicetuskan pemerintahan kapitalistik."[105] Kelompok ini kemudian menjadi lini depan aktivisme anti-wamil dan mulai mendapat banyak markas di kota-kota lain. Setelah polisi mulai menggerebek acara-acara umum liga ini untuk menemukan lelaki muda yang belum mendaftar wamil, Emma dan rekan-rekannya terus berfokus menyebarkan pamflet dan tulisan lainnya.[106] Semangat juang patriotis Amerika Serikat pada masa itu membuat bahkan banyak elemen politis kiri menolak upaya-upaya liga ini. Partai Damai Perempuan, misalnya, tidak jadi melawan perang setelah AS terlibat. Partai Sosialis Amerika mengambil posisi resmi terhadap keterlibatan AS, tetapi banyak mendukung Presiden Wilson dalam aktivitasnya.[107]
Pada 15 Juni 1917, Emma dan Alexander ditangkap pada saat penggerebekan kantor. Saat penggerebekan itu, polisi menemukan "segerobak penuh rekam-jejak dan propaganda anarkis".[108]The New York Times melaporkan bahwa Emma diminta untuk mengganti pakaian agar lebih cocok dan ia keluar dari ruangan dengan gaun "ungu royal".[108][109] Pasangan ini kemudian dituntut dengan konspirasi untuk "mengajak orang-orang agar tidak mendaftar wamil"[110] dengan Undang-undang Spionase.[111] Keduanya dipasangkan jaminan sebesar $250.000 per kepala. Saat membela diri dan Alexander di pengadilan, Emma menyebut Amendemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat. Ia bertanya bagaimana pemerintah dapat mengklaim memperjuangkan demokrasi di luar negeri, sementara kebebasan berpendapat di negeri sendiri dipersulit:[112]
Kami katakan: apabila Amerika kini terlibat perang agar dunia aman untuk melaksanakan demokrasi, tentunya negara ini harus terlebih dahulu membuat demokrasi aman dalam dirinya sendiri. Bagaimana orang-orang akan menganggap Amerika serius kalau demokrasi dalam negeri juga setiap hari dilawan, kebebasan berbicara dilanggar, persekutuan yang damai digerebek oleh gangster berseragam yang jahat dan brutal; kalau media massa yang bebas dipersulit dan setiap opini merdeka, dipaksa diam? Kita benar-benar miskin demokrasi; bagaimana kita bisa memberikannya kepada dunia?
Juri kemudian menilai bahwa Emma dan Alexander bersalah. Hakim Julius Marshuetz Meier menghukum mereka dengan hukuman maksimum: pemenjaraan dua tahun, denda $10.000 untuk masing-masing kepala, dan kemungkinan deportasi setelah pembebasan dari penjara. Ketika ia dipindahkan ke Penjara Negeri Missouri, Emma menulis kepada seorang teman: "Pemenjaraan dua tahun untuk pembelaan ideal satu orang. Itu harga yang kecil."[113]
Di penjara, ia ditentukan bekerja sebagai seorang penjahit, di bawah pengawasan "seorang anak lelaki kecil bodoh berumur 21 tahun yang dibayar untuk membuat laporan."[114] Ia bertemu dengan sosialis Kate Richards O'Hare, yang juga dipidana dengan Undang-undang Spionase. Walaupun strategi politis mereka berbeda—dalam hal ini, O'Hare lebih percaya pada penggunaan voting untuk mendapatkan kekuasaan negara—kedua perempuan itu berjuang bersama demi kondisi yang lebih baik bagi para narapidana.[115] Emma juga bertemu dan berteman dengan Gabriella Segata Antolini, seorang anarkis dan pengikut Luigi Galleani. Gabriella dipenjara saat memindahkan sebuah tas berisi dinamit dalam sebuah kereta yang mengarah ke Chicago. Ia menolak kooperatif dengan otoritas dan dikirim ke penjara selama 14 bulan. Ketiga perempuan ini kemudian bekerja bersama untuk mendapatkan kondisi hidup yang lebih layak bagi para narapidana, dan mereka diberi julukan "Trinitas". Emma kemudian dibebaskan pada 27 September 1919.[116]
Deportasi
Emma dan Alexander dibebaskan dari penjara pada masa Ketakutan Merah Pertama di Amerika Serikat. Waktu itu, kegelisahan masyarakat tentang aktivitas perang pro-Jerman meluap menjadi ketakutan akut terhadap Bolshevisme dan kemungkinan revolusi radikal. Banyak terjadi pergolakan sosial akibat serikat buruh yang mengadakan mogok kerja dan aksi-aksi yang dilakukan imigran aktivis. Jaksa AgungAlexander Mitchell Palmer dan J. Edgar Hoover, ketua Divisi Intelijen Umum Departemen Hukum Amerika Serikat (kini Biro Investigasi Federal), sering menggunakan Undang-undang Eksklusi Anarkis dan perluasannya dalam Undang-undang Imigrasi di tahun 1918 untuk mendeportasi non-warga negara yang mereka temukan mendukung anarki atau revolusi. Hoover menulis, ketika mereka sedang dalam penjara: "Emma Goldman dan Alexander Berkman tanpa ragu lagi adalah dua orang anarkis paling berbahaya di negeri ini dan pengembalian mereka ke masyarakat akan menimbulkan bahaya."[117]
Dalam pengadilan deportasinya pada 27 Oktober, Emma menolak menjawab pertanyaan tentang kepercayaannya, dengan dasar bahwa kewarganegaraan Amerikanya membatasi setiap percobaan untuk mendeportasi dengan Undang-undang Eksklusi Anarkis, yang hanya bisa digunakan bagi non-warga negara Amerika Serikat. Ia justru memberikan pernyataan tertulis: "Kini alien dideportasi. Besok orang Amerika asli akan diusir. Sudah ada orang patriotis yang menganggap anak-anak lelaki asli Amerika, yang menganggap demokrasi adalah ideal suci mereka, harus diusir."[118]Louis Post dari Departemen Buruh Amerika Serikat yang memegang kuasa atas keputusan deportasi menganggap bahwa pencabutan kewarganegaraan Amerika Serikat suaminya, Kershner, pada tahun 1908, juga telah mencabut kewarganegaraannya. Setelah pada awalnya memutuskan akan membawa ke pengadilan,[119] Emma akhirnya memutuskan tidak naik banding.[120]
Departemen Buruh mendeportasi Emma, Alexander, dan 247 orang asing lainnya secara besar-besaran. Kebanyakan dari mereka hanyalah orang-orang yang memiliki sedikit asosiasi dengan kelompok radikal dan terpaksa masuk setelah terkena gerebekan pemerintah di bulan November.[121]Buford, sebuah kapal yang dijuluki "Kapal Soviet" oleh media massa, berangkat dari Pelabuhan Embarkasi New York milik Tentara AS pada 21 Desember.[122][123] Kapal itu dilindungi sekitar 58 tentara dan empat staf, dan kru kapal diberikan senjata api.[122][124] Kebanyakan media massa menanggapi dengan senang peristiwa ini. Plain Dealer, yang berbasis di Cleveland, menulis: "Harapan dan ekspektasi kami adalah akan ada banyak kapal lain, yang lebih besar dan lebih kuat, membawa kargo-kargo yang serupa, di masa depan."[125] Kapal itu kemudian berhenti di Hanko, Finlandia, pada hari Sabtu, 17 Januari 1920.[126] Setelah tiba di Finlandia, penegak hukum di sana mengantar para deportase tersebut ke perbatasan Rusia dengan bendera damai.[127][128]
Rusia
Pada awalnya, Emma Goldman memandang positif revolusi Bolshevik. Dalam Mother Earth, ia menulis bahwa meskipun masih bergantung pada pemerintahan Komunis, revolusi tersebut mewakili "prinsip-prinsip paling fundamental, paling jauh dampaknya, dan paling penting, yaitu kebebasan manusia dan kesejahteraan ekonomis."[129] Ketika ia mendekati Eropa, ia menyampaikan ketakutannya tentang berbagai hal yang akan ia hadapi. Ia khawatir tentang Perang Sipil Rusia dan kemungkinan ditangkap oleh kelompok Bolshevik. Meskipun negara Rusia pada saat itu antikapitalis, menurutnya tetap ada ancaman. "Tidak bisa dalam hidupku, aku hidup di bawah kungkungan Negara," tulisnya kepada seorang keponakan. "Bolshevis, atau yang lain."[130]
Dengan cepat, ia menemukan bahwa kekhawatirannya berdasar. Hanya beberapa hari setelah kembali ke Petrograd (Sankt-Peterburg), ia kaget mendengar seorang anggota partai yang mengatakan bahwa kebebasan berpendapat hanyalah "takhayul borjuis".[131] Saat berkeliling Rusia, ia dan Alexander menemukan represi, mismanajemen, dan korupsi,[132] bukannya kesetaraan dan pemberdayaan buruh yang mereka harapkan. Pihak-pihak yang mempertanyakan pemerintah dijelek-jelekkan sebagai kontra revolusioner[132] dan para buruh bekerja dalam kondisi yang menyedihkan.[132] Mereka bertemu dengan Vladimir Lenin yang mengatakan bahwa supresi pemerintah terhadap kebebasan media dapat dijustifikasi. Lenin mengatakan kepada mereka, "Tidak bisa ada kebebasan media dalam sebuah periode revolusi."[133] Alexander Berkman masih mau memaafkan tindakan-tindakan pemerintah tersebut atas nama "kebutuhan sejarah", akan tetapi ia pada akhirnya tetap mengikuti Emma, menolak otoritas negara Soviet.[134]
Pada bulan Maret 1921, terjadi mogok kerja di Petrograd. Para buruh turun ke jalan meminta rasion makanan yang lebih baik dan lebih banyak otonomi serikat. Emma dan Alexander merasa bertanggung jawab dan harus mendukung para pemogok. Mereka berkata: "Diam sekarang itu mustahil, bahkan kriminil."[135] Pemogokan itu menyebar hingga kota pelabuhan Kronstadt; di sana, pemerintah menggunakan respons militer untuk menekan para pekerja dan pelaut yang mogok. Dalam pemberontakan Kronstadt, sekitar 1.000 pelaut dan tentara meninggal dan dua ribu lagi ditangkap; banyak yang kemudian dieksekusi. Setelah peristiwa-peristiwa ini, Emma dan Alexander menyatakan bahwa tidak ada masa depan di negara itu bagi mereka. "Kami semakin tiba pada kesimpulan bahwa tidak ada yang bisa kami lakukan di sini. Juga, karena kami tidak mampu hidup tanpa aktivisme, maka kami telah memutuskan untuk pergi."[136]
Pada bulan Desember 1921, mereka meninggalkan Rusia dan pergi ke Riga, ibu kota Latvia. Komisioner AS di kota itu mengirimkan telegram kepada pejabat di Washington DC, yang mulai meminta informasi dari pemerintah lain tentang kegiatan pasangan itu. Setelah perjalanan singkat ke Stockholm, mereka pindah ke Berlin dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Pada masa ini, Emma memutuskan menulis beberapa artikel tentang kehidupannya di Rusia bagi koran Joseph Pulitzer, New York World. Tulisan-tulisan ini kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul My Disillusionment in Russia (Penyadaranku di Rusia, 1923) dan My Further Disillusionment in Russia (Penyadaranku Lebih Jauh di Rusia, 1924). Para penerbit menambahkan judul itu untuk menarik perhatian. Emma protes, tetapi tidak dilayani.[137]
Inggris, Kanada, dan Perancis
Emma merasa kesulitan membiasakan diri dengan masyarakat kiri Jerman di Berlin. Kaum komunis tidak menyukai kritiknya terhadap represi Soviet, sementara kaum liberal membenci radikalismenya. Sementara Alexander tetap tinggal di Berlin untuk membantu orang buangan Rusia di Jerman, Emma pindah ke London pada bulan September 1924. Setibanya di sana, novelis Rebecca West menerimanya dengan sebuah jamuan makan malam, yang dihadiri filsuf Bertrand Russell, novelis H.G. Wells, dan lebih dari 200 orang tamu lainnya. Saat ia angkat suara tentang ketidakpuasannya terhadap pemerintah Soviet, audiens yang ada di situ merasa kaget. Ada yang meninggalkan acara itu, sementara yang lain mencelanya karena telah mengkritik eksperimen Komunis secara prematur.[138] Dalam sebuah surat yang dikirim kemudian, Bertrand Russell menolak mendukung upaya perubahan sistemisnya di Uni Soviet dan menghina idealisme anarkisnya.[139]
Pada tahun 1925, Emma terancam dideportasi lagi, akan tetapi seorang anarkis Skotlandia bernama James Colton menawarkan pernikahan dan memberikan kewarganegaraan Inggris. Meskipun mereka hanya kenalan, Emma menerima tawaran ini dan mereka menikah pada tanggal 27 Juni 1925. Status warga negara barunya ini membuatnya merasa tenang dan ia dapat pergi ke Perancis dan Kanada.[140] Hidup di London amat sulit bagi Emma. Ia menulis kepada Alexander: "Aku begitu amat lelah, sangat kesepian dan sedih. Rasanya sebal sekali pulang ke sini setelah kuliah dan tidak menemukan siapa pun yang baik, siapa pun yang peduli apakah orang mati atau hiduhlm."[141] Ia meneruskan kerja dalam studi analitis drama, melanjutkan pekerjaan yang ia tinggalkan di tahun 1914. Sayangnya, audiensnya "jelek", dan ia tidak pernah menyelesaikan buku keduanya dalam topik itu.[142]
Emma pergi ke Kanada di tahun 1927 dan sesampainya di sana ia menerima berita mengenai eksekusi anarkis Italia Nicola Sacco dan Bartolomeo Vanzetti di Boston. Emma merasa marah dengan berbagai inkonsistensi yang ia temukan dalam kasus mereka. Ia menganggapnya sebagai sebuah ketidakadilan lagi dalam Amerika Serikat. Ia ingin sekali mengikuti demonstrasi massal di Boston, teringat dengan peristiwa Haymarket, dan merasa sedih karena sendirian. "Waktu itu," tulisnya, "aku punya waktu seumur hidup untuk membela yang terbunuh. Kini aku tidak punya apa-apa."[143][144]
Di tahun 1928, Emma mulai menulis otobiografinya, dengan dukungan sejumlah pengagum dari Amerika, termasuk jurnalis H.L. Mencken, penyair Edna St. Vincent Millay, novelis Theodore Dreiser dan pengumpul seni Peggy Guggenheim, yang mengumpulkan $4.000 untuk pendanaannya.[145] Ia berhasil mengamankan sebuah rumah kecil di kota pinggir laut Perancis, Saint-Tropez, dan menghabiskan dua tahun untuk menulis biografi itu. Alexander memberikan timbal balik keras yang pada akhirnya ia masukkan ke dalam buku, meskipun hubungan mereka kemudian menjadi suram.[146] Emma meniatkan buku Living My Life itu dipublikasikan dalam satu jilid dengan harga yang mampu dibeli kelas buruh (tidak lebih dari $5,00, menurutnya). Sayangnya, penerbit Alfred A. Knopf menerbitkannya dalam dua jilid seharga $7,50. Ia marah, tetapi tidak mampu memaksa. Akibat Depresi Besar, penjualan buku sedang menurun drastis meskipun banyak perpustakaan AS yang tertarik.[147] Pada umumnya, buku itu mendapatkan ulasan kritik yang positif. The New York Times, The New Yorker, dan Saturday Review of Literature menempatkan buku itu sebagai salah satu buku nonfiksi terpopuler pada tahun itu.[148]
Pada tahun 1933, Emma mendapat izin untuk mengajar kuliah di Amerika Serikat, dengan syarat ia hanya berbicara tentang drama dan otobiografinya, tidak mendiskusikan kegiatan politik. Ia datang ke New York pada 2 Februari 1934 dan mendapat sambutan hangat dari pers, kecuali media Komunis. Emma segera disambut oleh pengagum dan teman-temannya, plus dibanjiri undangan wawancara. Visanya kedaluwarsa pada bulan Mei. Ia kembali ke Toronto untuk meminta perpanjangan visa, tetapi ditolak. Ia tinggal di Kanada dan lanjut menulis artikel untuk publikasi AS.[149]
Pada bulan Februari dan Maret 1936, Alexander menjalani dua kali operasi kelenjar prostat. Sementara menyembuhkan diri di Nice, ditemani oleh temannya, Emmy Eckstein, ia gagal menghadiri ulang tahun Emma ke-67. Ulang tahun ini dirayakan di Saint-Tropez pada bulan Juni. Emma menuliskan surat sedih, tetapi Alexander tidak pernah sempat membacanya. Ia menerima telepon di tengah malam yang mengatakan bahwa Alexander sedang dalam kondisi kritis. Emma segera berangkat ke Nice, tetapi ketika sampai, ia menemukan bahwa Alexander telah menembak dirinya sendiri dan kini dalam kondisi paralisis hampir koma. Alexander meninggal sore hari itu.[150][151]
Perang Sipil Spanyol
Pada bulan Juli 1936, Perang Sipil Spanyol meletus setelah percobaan kudeta oleh sebagian oknum dalam Tentara Spanyol, melawan pemerintahan Republik Kedua Spanyol. Pada waktu yang sama, kaum anarkis di Spanyol mendirikan revolusi anarkis sambil melawan kekuatan Nasionalis. Emma diundang ke Barcelona dan ia segera merasa, sebagaimana ia tuliskan kepada keponakannya, "beban berat yang jatuh pada hatiku sejak kematian Sasha, terangkat begitu saja, seolah-olah dibantu sihir."[152] Ia diterima oleh Confederación Nacional del Trabajo (CNT) dan Federación Anarquista Ibérica (FAI). Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia hidup dalam sebuah komunitas yang dijalankan oleh dan untuk kaum anarkis, yang mengikuti prinsip-prinsip anarkis yang sesungguhnya. "Sepanjang hidupku, belum pernah aku menemukan keramahan, persaudaraan, dan solidaritas yang begitu hangat," begitu tulisnya kemudian.[153] Setelah keliling mengunjungi sejumlah kolektif di provinsi Huesca, ia berkata kepada sekelompok buruh: "Revolusi Anda akan selamanya menghancurkan [pandangan] bahwa anarkisme bersinonimi dengan kehancuran."[154] Ia mulai menyunting Buletin Informasi CNT-FAI dan menjawab surat berbahasa Inggris yang masuk.[155]
Emma mulai mengkhawatirkan masa depan anarkisme Spanyol ketika CNT-FAI bergabung dalam pemerintahan koalisi di tahun 1937. Penggabungan ini melanggar prinsip anarkis yang mewajibkan absensi dari struktur negara. Lebih mengkhawatirkan lagi, CNT-FAI mulai membuat konsesi kepada kaum Komunis, atas nama bergabung melawan fasisme. Pada bulan November 1936, ia menulis bahwa kooperasi dengan kaum Komunis Spanyol ini berarti "menyangkal nasib kamerad kita dalam kamp konsentrasi Stalin".[156] Sementara itu, Uni Soviet tidak mau mengirimkan senjata kepada tentara anarkis dan mulai meluncurkan kampanye disinformasi terhadap kaum anarkis di Eropa dan AS. Kepercayaan terhadap gerakan itu tetap tidak goyah dan Emma kembali ke London sebagai perwakilan resmi CNT-FAI.[157]
Emma terus menyampaikan kuliah dan wawancara yang bersifat suportif terhadap kaum anarkosindikalis di Spanyol. Ia terus menulis bagi Spain and the World (Spanyol dan Dunia), sebuah koran dwimingguan yang berfokus pada pergolakan perang sipil. Pada bulan Mei 1937, tentara Komunis menyerang benteng-benteng anarkis dan memecah kolektif agrarian. Koran-koran di Inggris dan tempat lain menerima begitu saja runtutan peristiwa yang diumumkan oleh Republik Kedua Spanyol. Jurnalis Britania, George Orwell, yang hadir pada saat penyerangan itu, menulis bahwa: "Runtutan kejadian dalam kerusuhan Barcelona di bulan Mei ... aku tidak pernah melihat kebohongan lain yang lebih besar."[158]
Emma kembali ke Spanyol di bulan September. Akan tetapi, CNT-FAI baginya tampak seperti orang-orang "di dalam rumah kebakaran". Lebih parah lagi, kaum anarkis dan radikal lain di seluruh dunia tidak ada yang mau mendukung gerakan mereka.[159] Tentara Nasionalis menyatakan kemenangan di Spanyol beberapa waktu sebelum ia kembali ke London. Emma sebal dengan atmosfer represif Inggris, yang menurutnya "lebih fasis daripada kaum fasis".[160] Ia pun kembali ke Kanada pada tahun 1939. Jasanya kepada kaum anarkis di Spanyol tidak dilupakan. Pada ulang tahunnya yang ke-70, mantan Sekretaris Jendral CNT-FAI, Mariano Vázquez, mengirimkan pesan dari Paris, yang isinya memuji kontribusinya dan menyebutnya sebagai "ibu spiritual kami". Emma menganggap surat tersebut sebagai "penghargaan paling indah yang pernah saya terima."[161]
Tahun-tahun terakhir
Sementara peristiwa-peristiwa menjelang Perang Dunia II mulai muncul di Eropa, Emma mengulangi kembali perlawanannya terhadap perang yang dicetuskan oleh pemerintah. "Saya memang sebal dengan Hitler, Mussolini, Stalin, dan Franco," sebutnya dalam sebuah surat kepada teman. "Tetapi saya tidak mau mendukung perang melawan mereka, apalagi perang yang diadakan oleh pemerintah demokratis yang kalau ditilik hanya Fasis ganti nama."[162] Ia merasa bahwa Britania dan Perancis sudah menghabiskan kesempatan terakhirnya melawan fasisme, dan perang yang akan datang hanya akan berujung pada "sebentuk kegilaan baru di dunia".[162]
Wafat
Pada hari Sabtu, 17 Februari 1940, Emma terkena stroke. Tubuh bagian kanannya menjadi kaku. Pendengarannya masih utuh, tetapi ia tidak mampu berbicara. Sebagaimana digambarkan oleh seorang teman: "Lihat, di sini, ada Emma, orator paling hebat di Amerika. Tidak bisa berbicara."[163] Selama tiga bulan, kondisinya sedikit membaik. Ia mampu menerima tamu dan satu kali ia menunjuk ke sebuah buku alamat, untuk bilang kepada seorang teman bahwa ia mungkin akan mendapatkan kenalan dalam perjalanannya ke Meksiko. Ia kembali terkena stroke pada 8 Mei dan meninggal enam hari kemudian di Toronto dalam umur 70 tahun.[164][165]
Emma banyak berbicara dan menulis tentang berbagai isu. Ia menolak ortodoksi dan pemikiran fundamentalis. Ia juga merupakan seorang kontributor penting bagi beberapa bidang filsafat politik modern.
Anarkisme berada pada pusat pemikiran Goldman tentang dunia. Kini, ia dipandang sebagai salah satu figur terpenting dalam sejarah anarkisme. Ia pertama kali tertarik pada filsafat politik ini setelah melihat persekusi terhadap kaum anarkis dalam Kerusuhan Haymarket tahun 1886; setelah itu, ia banyak menulis dan berbicara atas nama anarkisme. Dalam esai pertamanya di buku Anarchism and Other Essays (Anarkisme dan Esai Lainnya), ia menulis:[169]
Dengan demikian, anarkisme sesungguhnya mewakili pembebasan pikiran manusia dari dominasi agama; pembebasan tubuh manusia dari dominasi properti; serta pembebasan dari rantai dan kekangan pemerintah. Anarkisme sesungguhnya adalah suatu orde sosial yang berdasar pada pengelompokan bebas individu demi meraih kekayaan sosial yang sesungguhnya; suatu orde yang akan menjamin, bagi setiap orang, akses bebas kepada bumi dan seluruh kenikmatannya, serta pemenuhan setiap kebutuhan hidup, yang ditentukan oleh keinginan sendiri, selera sendiri, dan kecenderungan sendiri seseorang.
Anarkisme Emma amat personal. Ia percaya bahwa pemikir anarkis harus menghidupi kepercayaan mereka dan menyampaikan kepercayaan itu dengan setiap tindakan dan kata. "Aku tidak peduli apakah teori orang mengenai hari esok itu benar," katanya. "Aku peduli apakah jiwanya hari ini benar."[170] Baginya, anarkisme dan asosiasi bebas adalah respons logis terhadap pengekangan pemerintah dan kapitalisme. "Bagiku, hal-hal ini merupakan bentuk hidup yang baru," tulisnya. "Bentuk hidup yang akan menggantikan yang lama, dan caranya bukan melalui khotbah atau pemilihan umum, tetapi dengan menghidupinya secara langsung."[170]
Pada waktu yang bersamaan, ia percaya bahwa setiap gerakan yang mengatasnamakan kebebasan manusia harus diisi oleh manusia yang terbebaskan. Suatu malam, sambil menari dalam kawanan anarkis, ia diomeli oleh seorang rekan karena sikapnya yang dianggap terlalu bebas. Dalam otobiografinya, ia menulis:
Aku bilang padanya, urus urusanmu sendiri, aku lelah diingatkan terus tentang Pergerakan. Aku tidak percaya kalau Pergerakan ini, yang sesungguhnya indah, anarkisme ini, pelepasan dan pembebasan dari konvensi dan penilaian ini, membuat kita tidak hidup dan bersenang-senang. Aku bersikeras bahwa Pergerakan kita tidak bisa meminta bahwa aku berubah menjadi seorang suster dan Pergerakan kita tidak bisa pula diubah menjadi sebuah biara. Kalau itu artinya gerakan ini, maka aku tidak mau. "Aku ingin kebebasan, hak berekspresi bebas, hak setiap orang bagi hal-hal yang indah dan menawan."
Penggunaan kekerasan secara taktis
Emma, dalam masa mudanya yang politis, banyak menggunakan kekerasan bertarget sebagai cara yang sah untuk melakukan perjuangan revolusioner. Pada waktu itu, ia percaya bahwa kekerasan tetap tidak diinginkan, namun dapat dijustifikasi dengan keuntungan sosial yang mungkin didapat. Ia mendukung propaganda dengan perbuatan (attentat), atau kekerasan yang dilakukan untuk mengajak massa melakukan revolusi. Ia mendukung percobaan partnernya, Alexander Berkman, untuk membunuh sang industrialis Henry Clay Frick; bahkan memohon kepada Alexander untuk memperbolehkannya ikut.[171] Ia percaya bahwa tindakan-tindakan Frick sewaktu mogok kerja Homestead amat tidak terpuji, dan merasa bahwa pembunuhannya akan membawakan hasil yang positif bagi kelas pekerja. Dalam otobiografinya ia menulis: "Ya, dalam kasus ini, metode yang digunakan memang pantas demi meraih hasilnya."[171] Meskipun ia tidak pernah memberikan persetujuan langsung terhadap pembunuhan Presiden AS William McKinley oleh Leon Czolgosz, ia membela berbagai ideal Leon dan percaya bahwa tindakan seperti yang dilakukan Leon adalah konsekuensi alamiah yang dihasilkan institusi-institusi represif. Sebagaimana ia tulis dalam Psikologi Kekerasan Politik: "kekuasaan-kekuasaan yang terakumulasi dalam kehidupan sosial dan ekonomik kita, yang berakhir pada aksi-aksi kekerasan, mirip sekali dengan teror di atmosfer, yang berakhir pada badai dan gemuruh."[172]
Pengalaman yang ia rasakan di Rusia berdampak besar bagi kepercayaan terdahulunya bahwa metode-metode berkekerasan boleh digunakan untuk hasil revolusioner. Dalam epilog Penyadaranku di Rusia, ia menulis: "Tidak ada pendapat yang lebih keliru daripada pendapat bahwa sasaran dan tujuan ada di satu tangan, sementara metode dan taktik ada di tangan lain ... Dengan kebiasaan individual dan praktik sosial, metode menjadi terikat dengan tujuan akhir ..." Dalam bab yang sama, Emma menulis bahwa "Revolusi memang sebuah proses yang berkekerasan," dan mencatat bahwa kekerasan adalah "kepastian tragis dari proses revolusi ..."[173] Ada yang salah menerka komentarnya tentang teror Bolshevik; mereka menganggap bahwa komentar tersebut berarti Emma menolak seluruh penggunaan kekuatan militan. Dalam prakata edisi AS Penyadaranku di Rusia, Emma membetulkan kekeliruan ini:[174]
Aku tidak menyangkal bahwa kehancuran dan teror adalah bagian dari revolusi. Aku tahu, di masa lampau, setiap perubahan politik dan sosial besar pasti memerlukan kekerasan. [...] Perbudakan kulit hitam mungkin akan masih legal di Amerika Serikat kalau tidak ada semangat militan John Browns. Aku tidak pernah menyangkal bahwa kekerasan pasti terjadi, dan aku tidak akan menyangkalnya sekarang. Aku tetap beranggapan bahwa kekerasan untuk pembelaan diri itu berbeda, berbeda dengan penahbisan terorisme sebagai suatu prinsip, suatu institusi, yang diletakkan di tempat paling penting dalam perjuangan sosial. Terorisme semacam itu justru akan melahirkan kontrarevolusi, dan pada akhirnya menjadi kontrarevolusioner.
Emma memandang militerisasi masyarakat Soviet bukan hasil perjuangan bersenjata, tetapi sebagai hasil dari pandangan kenegaraan kaum Bolshevik. Ia menulis bahwa "minoritas kecil yang berjuang menciptakan Negara absolut tentunya akan menggunakan opresi dan terorisme."[175]
Kapitalisme dan buruh
Emma percaya bahwa sistem ekonomi kapitalisme tidak cocok dengan kebebasan manusiawi. "Satu-satunya tuntutan properti," menurutnya dalam Anarkisme dan Esai-esai Lain, "adalah kehausannya sendiri akan kekayaan yang lebih besar, karena kekayaan berarti kekuasaan; kekuasaan untuk menghancurkan, mengeksploitasi, memperbudak, membuat kesal dan malu."[176] Ia juga berargumen bahwa kapitalisme tidak memanusiakan manusia, "mengubah seorang pekerja produksi menjadi semata-mata partikel kecil dalam sebuah mesin, yang tidak memiliki keinginan dan kemampuan memilih, dibandingkan dengan tuannya, yang dibuat dari baja dan besi."[176]
Pada awalnya ia melawan apa pun yang kurang dari revolusi total. Dalam sebuah kelas, ia ditantang oleh seorang buruh tua yang duduk di bangku depan. Di autobiografinya, ia menulis:
Ia bilang, ia paham ketidaksabaranku dengan permintaan-permintaan kecil seperti mengurangi jam kerja per hari, atau menambah upah per minggu ... Tetapi apa yang bisa dilakukan orang-orang seumurannya? Mereka kemungkinan besar tidak akan hidup sampai akhir kapitalisme. Apakah mereka juga harus melupakan permintaan pengurangan mungkin dua jam dari kerja yang mereka tidak sukai? Hanya itu yang bisa mereka harapkan terjadi dalam waktu hidup mereka.
Negara
Emma memandang negara, secara esensial dan pasti, sebagai suatu alat untuk meraih kendali dan dominasi.[177] Sebagai hasil pandangannya yang antinegara, ia merasa bahwa pengambilan suara adalah suatu metode yang tidak berguna, bahkan bisa jadi berbahaya. Ia menulis bahwa pengambilan suara memberikan ilusi partisipasi dan pada waktu yang sama menutupi struktur nyata pembuatan keputusan. Emma lebih mendukung resistensi bertarget dalam bentuk mogok kerja, protes, dan "aksi langsung melawan otoritas kode moral kita yang invasif dan menganggu."[177] Ia tetap ajeg dalam posisi anti-pemilihan suara, bahkan ketika banyak anarkosindikalis di Spanyol tahun 1930an menggunakan pemilihan suara untuk membentuk sebuah republik liberal. Emma menulis bahwa kekuasaan yang dipegang anarkis dalam sebuah blok pemilihan suara harusnya digunakan untuk mogok kerja di seluruh negeri.[178] Ia tidak setuju dengan gerakan hak suara perempuan, yang meminta hak perempuan untuk ikut turut dalam pemilihan umum. Dalam esainya, "Hak Suara Perempuan", ia mencela pandangan bahwa keterlibatan perempuan akan menciptakan negara demokratis yang lebih adil: "Seakan-akan perempuan tidak pernah menjual hak suaranya, seakan-akan politisi perempuan tidak bisa dibeli!"[179] Ia setuju dengan pendapat para pendukung hak suara perempuan bahwa perempuan setara dengan lelaki, tetapi tidak setuju dengan pandangan bahwa partisipasi perempuan akan menciptakan negara yang lebih adil. "Kalau kita mengasumsikan bahwa perempuan akan mampu memurnikan sesuatu yang tidak mungkin dimurnikan, maka kita harus percaya bahwa ia mampu melakukan sihir."[180] Emma juga bersikap kritis terhadap Zionisme, yang menurutnya adalah eksperimen kendali negara yang gagal.[181]
Emma juga sangat kritis dengan sistem penjara. Ia mengkritik perlakuan terhadap narapidana dan asal-usul sosial kejahatan pada waktu yang sama. Emma memandang kriminalitas sebagai suatu pertumbuhan alami dari sebuah sistem ekonomi yang tidak adil. Dalam esainya, Penjara: Sebuah Kejahatan dan Kegagalan Sosial, ia banyak mengutip dari para penulis abad ke-19, Fyodor Dostoyevsky dan Oscar Wilde yang menulis tentang penjara. Tulisnya:[182]
Dari tahun ke tahun, dari gerbang neraka penjara, muncul manusia-manusia yang kurus, tidak berbentuk, tidak bersemangat, dan sudah tidak ada arahan hiduhlm. Harapan mereka sudah mati dan seluruh kecenderungan alamiah mereka sudah hilang. Mereka disambut dengan kelaparan dan ketidakmanusiawian. Korban-korban itu langsung tenggelam kembali ke dalam kriminalitas karena hanya itu yang mampu mereka lakukan.
Emma juga merupakan seorang penolak perang yang berkomitmen dan ia amat menolak wajib militer yang menurutnya adalah salah satu bentuk pemaksaan terburuk oleh negara. Ia merupakan salah satu pendiri Liga Tanpa Wamil dan karenanya ditangkap pada tahun 1917 dan dideportasi pada tahun 1919.[183]
Emma berkali-kali dimata-matai, ditangkap, dan dipenjara untuk pidato-pidato dan aktivitas organisasinya yang mendukung buruh dan mogok kerja, akses kontrasepsi, dan perlawanan Perang Dunia I. Sebagai hasilnya, ia menjadi aktif dalam gerakan kebebasan berpendapat di awal abad ke-20. Ia memandang kebebasan berekspresi sebagai suatu kebutuhan fundamental untuk perubahan sosial.[184][185][186][187] Aktivismenya yang eksplisit, di muka penangkapan bertubi-tubi, menginspirasi Roger Baldwin, salah seorang pendiri American Civil Liberties Union (Persatuan Kebebasan Sipil Amerika).[188] Pengalaman Emma dan Ben Reitman di perjuangan kebebasan berpendapat San Diego pada tahun 1912 adalah contoh keajegan mereka memperjuangkan kebebasan berpendapat, sementara keamanan mereka terancam.[189]
Feminisme dan seksualitas
Meskipun ia tidak menyukai sasaran kesetaraan pemilihan suara dalam feminisme gelombang pertama, Emma amat mendukung hak perempuan. Kini, ia dikedepankan sebagai pelopor anarko-feminisme, sebuah gerakan yang menentang hierarki patriarki bersama dengan kekuasaan negara dan pemisahan kelas.[190] Pada tahun 1897, ia menulis: "Aku menuntut kemerdekaan perempuan, haknya untuk mendukung dirinya sendiri; untuk hidup bagi dirinya sendiri; untuk mencintai siapa pun yang ia inginkan, sebanyak yang ia inginkan. Aku menuntut kebebasan untuk kedua jenis kelamin, kebebasan bertindak, kebebasan bercinta, dan kebebasan menjadi ibu."[191]
Secara formal, ia dididik menjadi suster. Emma adalah pendukung awal edukasi perempuan tentang kontrasepsi. Seperti banyak feminis lain pada masanya, ia memandang aborsi sebagai sebuah konsekuensi tragis kondisi sosial, dan kontrasepsi dianggap sebagai alternatif positif. Emma juga seorang pendukung cinta bebas dan kritik bersemangat terhadap institusi pernikahan. Ia menganggap feminis awal terlalu terbatas dalam sasaran mereka dan masih terkungkung dalam kuasa sosial Puritanisme dan kapitalisme. Ia menulis: "Kita kini perlu pertumbuhan tidak terbatas dari tradisi dan kebiasaan lama. Gerakan emansipasi perempuan sejauh ini baru membuat langkah pertama."[192][193]
Emma juga merupakan seorang kritik bersemangat terhadap perlakuan tidak adil terhadap kaum homoseksual. Pendapatnya bahwa kebebasan sosial harus juga merangkul kaum gay dan lesbian pada waktu itu tidak umum, bahkan di kalangan anarkis.[194] Sebagaimana ditulis oleh seksolog Jerman, Magnus Hirschfeld: "Ia adalah perempuan pertama dan satu-satunya, benar-benar orang Amerika pertama dan satu-satunya, yang membela cinta homoseksual di muka umum."[195] Dalam banyak pidato dan surat, ia membela hak kaum gay dan lesbian untuk mencintai siapa pun yang mereka inginkan, dan mencela ketakutan dan stigma yang ditancapkan pada homoseksualitas. Sebagaimana Emma tuliskan kepada Hirschfeld: "Saya rasa adalah tragedi besar bahwa orang-orang yang berorientasi seksual lain harus terperangkap dalam dunia yang begitu tidak memahami mereka, dan begitu tidak peduli terhadap berbagai gradasi dan variasi gender dan kepentingan gender dalam hiduhlm."[195]
Ateisme
Emma adalah seorang ateis berkomitmen yang memandang agama sebagai instrumen lain untuk kendali dan dominasi. Dalam esainya, The Philosophy of Atheism (Filsafat Ateisme) ia mengutip Mikhail Bakunin yang membahas hal ini dan menambahkan:[196]
Disadari maupun tidak, kebanyakan teis melihat tuhan dan setan, surga dan neraka, penghargaan dan hukuman, sebagai suatu cambuk untuk mencambuk orang-orang hingga menjadi taat, lemah dan puas ... Filsafat Ateisme mengekspresikan perluasan dan perkembangan pikiran manusia. Filsafat teisme, kalau kita bisa menyebutnya filsafat, bersifat statis dan tidak berubah.
Akibat esai-esai seperti The Hypocrisy of Puritanism (Kemunafikan Puritanisme) dan sebuah pidato berjudul The Failure of Christianity (Kegagalan Kristenitas), Emma banyak mendapatkan perlawanan dari masyarakat beragama. Ia menyerang sikap moralistik mereka dan upaya mereka mengendalikan perilaku manusia. Ia menyalahkan Kristenitas karena terus "menjalankan masyarakat yang memperbudak" dan mengatakan bahwa Kristenitas mendiktekan tindakan manusia di Bumi dan menawarkan janji palsu masa depan yang makmur di surga kepada orang miskin.[197]
Peninggalan
Emma terkenal semasa hidupnya. Ia dikenal, antara lain, sebagai "perempuan paling berbahaya di Amerika."[198] Setelah wafat dan pada pertengahan abad ke-20, ketenarannya mulai menghilang. Para ilmuwan dan sejarawan anarkisme memandangnya sebagai seorang orator dan aktivis hebat, tetapi tidak menganggapnya sebagai seorang pemikir filosofis atau teoris yang setara dengan misalnya Pyotr Kropotkin.[199]
Pada tahun 1970, Dover Press merilis kembali biografi Emma yang berjudul Living My Life. Di tahun 1972, penulis feminis, Alix Kates Shulman merilis sejumlah kumpulan tulisan dan pidato Emma, berjudul Red Emma Speaks. Kedua karya ini membawakan kehidupan dan tulisan Emma ke khalayak luas. Secara khusus, ia sangat dihormati oleh gelombang feminisme kedua pada akhir abad ke-20. Pada tahun 1973, seorang teman Alix yang memiliki percetakan meminta kutipan yang bagus dari karya Emma, untuk dipajang di sebuah t-shirt. Ia mengirimkan sejumlah pilihan kutipan dari Living My Life tentang "hak ekspresi sendiri, hak setiap orang bagi hal-hal yang indah dan menawan", dan juga mengingatkan bahwa Emma pernah diomeli temannya karena "seorang agitator tidak pantas menari."[200] Si pencetak itu kemudian menciptakan sebuah parafrase berdasarkan sentimen-sentimen tersebut, yang kini telah menjadi kutipannya yang paling termahsyur, meskipun mungkin dia tidak pernah menulis atau berkata demikian: "Kalau aku tidak bisa menari, aku tidak ingin ada dalam revolusimu."[201] Variasi perkataan ini telah dipajang di ribuan t-shirt, pin, poster, stiker mobil, gelas kopi, topi, dan benda-benda lainnya.[200]
Gerakan perempuan tahun 1970an yang "menemukan kembali" karya Emma didampingi dengan gerakan anarkis yang kembali muncul, bermula pada akhir dekade 1960an. Kemunculan kembali ini menggalakkan lagi perhatian ilmuwan terhadap anarkis-anarkis terdahulu. Perkembangan feminisme juga mencetuskan beberapa evaluasi ulang atas karya filosofis Emma; beberapa ilmuwan menunjukkan betapa pentingnya kontribusi Emma bagi pemikiran anarkis pada zamannya. Kepercayaan Emma terkait nilai estetika, misalnya, dapat dilihat dalam perguliran anarkisme dan seni yang terjadi belakangan. Sama halnya, Emma kini dianggap sebagai pelopor yang sangat memengaruhi dan memperluas aktivisme dalam hal-hal kebebasan seksual, hak reproduktif, dan kebebasan berekspresi.[202]
Emma banyak ditampilkan dalam berbagai karya fiksi. Antara lain, film 1981 karya Warren Beatty berjudul Reds, yang di dalamnya ia diperankan oleh Maureen Stapleton, memenangi Academy Award. Ia juga menjadi karakter dalam dua musikal Broadway, Ragtime dan Assassins. Drama teater yang menggambarkan kehidupan Emma adalah Emma karya Howard Zinn;[203]Mother Earth karya Martin Duberman;[204]Emma Goldman: Love, Anarchy, and Other Affairs oleh Jessica Litwak (membahas hubungan Emma dengan Alexander Berkman dan penangkapannya terkait dengan penembakan William McKinley); Love Ben, Love Emma karya Lynn Rogoff (membahas hubungan Emma dengan Ben Reitman);[205]Red Emma karya Carol Bolt;[206] dan Red Emma and the Mad Monk karya Alexis Roblan.[207] Novel Ethel Mannin tahun 1941, Red Rose, juga didasarkan pada kehidupan Emma.[208]
Emma banyak diberi penghormatan oleh sejumlah organisasi yang menghormati memorinya. Klinik Emma Goldman, sebuah klinik kesehatan perempuan di Kota Iowa, memilih Emma sebagai namanya "untuk menghormati jiwanya yang menantang."[209] Toko Buku dan Kopi Red Emma di Baltimore, Maryland juga menggunakan nama Emma karena mereka percaya "tentang ide-ide dan ideal yang diperjuangkan Emma sepanjang hidupnya: kebebasan berekspresi, kesetaraan dan kemerdekaan seksual dan rasial, hak berkumpul dalam pekerjaan dan dalam kehidupan pribadi, ide dan ideal yang terus kita perjuangkan sampai hari ini."[210]
Karya
Emma adalah seorang penulis yang prolifik, ia banyak menulis pamflet dan artikel dalam berbagai topik yang beragam.[211] Ia menulis enam buku, termasuk sebuah otobiografi, Living My Life, plus sebuah biografi anarkis lain, Voltairine de Cleyre.[212]
Voltairine de Cleyre. Berkeley Heights, New Jersey: Oriole Press, 1932.
Koleksi yang diedit
Red Emma Speaks: Selected Writings and Speeches. New York: Random House, 1972. ISBN0-394-47095-8.
Emma Goldman: A Documentary History of the American Years, Volume 1 – Made for America, 1890–1901. Berkeley: University of California Press, 2003. ISBN0-520-08670-8ISBN0-520-08670-8.
Emma Goldman: A Documentary History of the American Years, Volume 2 – Making Speech Free, 1902–1909. Berkeley: University of California Press, 2004. ISBN0-520-22569-4ISBN0-520-22569-4.
Emma Goldman: A Documentary History of the American Years, Volume 3 – Light and Shadows, 1910–1916. Stanford: Stanford University Press, 2012. ISBN0-8047-7854-XISBN0-8047-7854-X.
^Urutan lahirannya tidak jelas. Wexler (dalam Intimate, hlm. 13) mencatat bahwa meskipun Emma menuliskan bahwa ia adalah anak ke-empat ibunya, saudara lelakinya Louis (yang meninggal pada umur 6 tahun) kemungkinan besar lahir setelah Emma.
^Trial and Speeches of Alexander Berkman and Emma Goldman in the United States District Court, in the City of New York, Juli 1917 (New York: Mother Earth Publishing Association, 1917)
^Clay, Steven E. (2011). U. S. Army Order Of Battle 1919–1941(PDF). Volume 4. The Services: Quartermaster, Medical, Military Police, Signal Corps, Chemical Warfare, And Miscellaneous Organizations, 1919–41. 4. Fort Leavenworth, KS: Combat Studies Institute Press. ISBN9780984190140. LCCN2010022326. Diakses tanggal Oktober 23, 2014.
^Lihat Geoffrey R. Stone, Perilous Times: Free Speech in Wartime, From the Sedition Act of 1798 to the War on Terrorism (2004), hlm. 139–152 (yang membahas tentang persekusi Emma dan aktivis antiperang lainnya, serta pencanangan Undang-undang Spionase 1917).
^Lihat secara umum, Haaland; Goldman, "The Traffic in Women"; Goldman, "On Love".
^Katz, Jonathan Ned (1992). Gay American History: Lesbians and Gay Men in the U.S.A. New York City: Penguin Books. hlm. 376–380.
^ abGoldman, Emma (1923). "Offener Brief an den Herausgeber der Jahrbücher über Louise Michel" with a preface by Magnus Hirschfeld. Jahrbuch für sexuelle Zwischenstufen. 23: 70. Diterjemahkan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris oleh James Steakley. Surat asli Emma dalam bahasa Inggris tidak diketahui keberadaannya.
^Goldman, Emma (1932). Voltairine de Cleyre. Berkeley Heights, New Jersey: Oriole Press. OCLC12414567. Diarsipkan dari versi asli tanggal Maret 28, 2015. Diakses tanggal Februari 11, 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Goldman, Emma. My Disillusionment in Russia. 1923. New York: Thomas Y. Crowell Company, 1970. OCLC76645OCLC76645.
Goldman, Emma. The Traffic in Women, and Other Essays on Feminism. Albion, CA: Times Change Press, 1970. ISBN0-87810-001-6ISBN0-87810-001-6.
Haaland, Bonnie. Emma Goldman: Sexuality and the Impurity of the State. Montréal, New York, London: Black Rose Books, 1993. ISBN1-895431-64-6ISBN1-895431-64-6.
McCormick, Charles H. Seeing Reds: Federal Surveillance of Radicals in the Pittsburgh Mill District, 1917–1921. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1997.
Moritz, Theresa. The World's Most Dangerous Woman: A New Biography of Emma Goldman. Vancouver: Subway Books, 2001. ISBN0-9681660-7-5ISBN0-9681660-7-5.
Murray, Robert K. Red Scare: A Study in National Hysteria, 1919–1920. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1955. ISBN0-313-22673-3ISBN0-313-22673-3.
Post, Louis F. The Deportations Delirium of Nineteen-twenty: A Personal Narrative of an Historic Official Experience. NY, 1923.
Pribanic-Smith, Erika J; Schroeder, Jared. (2019). Emma Goldman's No-Conscription League and the First Amendment. Jared Schroeder. New York. ISBN1351027964ISBN1351027964.
Weiss, Penny A.; Kensinger, Loretta, ed. (2007). Feminist Interpretations of Emma Goldman (dalam bahasa English). University Park, PA: Pennsylvania State University Press. ISBN978-0-271-03480-5. OCLC247557673.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)