Lufthansa Penerbangan 181 adalah sebuah penerbangan Lufthansa yang dioperasikan oleh pesawat Boeing 737-230CLandshut, registrasi D-ABCE, di mana pada tanggal 13 Oktober 1977 sore hari, pesawat dibajak oleh empat anggota Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang menyebut diri mereka sebagai "Komando Martir Halima". Tujuan dari pembajakan tersebut adalah untuk mengamankan proses pembebasan para pemimpin Faksi Pasukan Merah (RAF) yang dipenjara di Jerman. Pada tanggal 18 Oktober dini hari, pasukan unit taktis operasi khusus anti-terorisme elit Jerman BaratGSG-9, yang didukung oleh Angkatan Bersenjata Somalia, menyerbu pesawat di Mogadishu, Somalia dan berhasil menyelematkan seluruh 86 penumpang dan empat dari lima awak pesawat.[1] Operasi penyelamatan tersebut diberi nama sandi Feuerzauber ("Sihir Api" dalam bahasa Jerman). Peristiwa pembajakan Landshut dianggap sebagai bagian dari serangkaian peristiwa penculikan dan pembunuhan di Jerman pada saat itu yang disebut sebagai Musim Gugur Jerman.
Awak pesawat
Dua awak pilot dan tiga awak kabin mengoperasikan penerbangan pergi-pulang dari Frankfurt menuju Palma de Mallorca:[2]
Kapten penerbangan. Lahir di Colditz pada tahun 1940, ia adalah mantan penerbang F-104 Starfighter di Luftwaffe. Pada tanggal 16 Oktober 1977 di Bandar Udara Aden, setelah diizinkan keluar untuk memeriksa kondisi kelayakan terbang pesawat, ia pergi berbicara dengan otoritas bandara di Yaman. Schumann kemudian masuk kembali ke dalam pesawat dan kemudian ditembak mati oleh Akache, kepala pembajak pesawat. Schumann dianugerahi penghargaan Salib Jasa Federal kelas utama. Semasa hidupnya, ia tinggal bersama dengan istri dan kedua putranya. Gedung yang menaungi sekolah pilot Lufthansa di Bremen diberi nama dari dirinya, begitu pula dengan sebuah jalan di kota Landshut, Bayern. Schumann dimakamkan di Babenhausen, Hessen.
Jürgen Vietor (35)
Kopilot. Lahir di Kassel pada tahun 1942, ia adalah mantan penerbang di Angkatan Laut Jerman. Vietor menerbangkan Landshut dari Aden menuju Mogadishu sendirian setelah Schumann ditembak mati di Aden. Vietor kembali bertugas sebagai pilot enam minggu pasca peristiwa pembajakan, dan pesawat pertama yang diterbangkannya pasca peristiwa tersebut adalah Landshut, pesawat yang sama, tetapi telah diperbaiki dan bisa kembali beroperasi. Vietor pensiun pada tahun 1999. Seperti halnya Schumann, Vietor juga dianugerahi penghargaan Salib Jasa Federal kelas utama, tetapi ia mengembalikan penghargaan tersebut pada bulan Desember 2008 sebagai bentuk protes atas pembebasan dalam masa percobaan Christian Klar, seorang teroris dari Faksi Pasukan Merah (RAF) yang ikut terlibat dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan Hanns-Martin Schleyer pada tahun 1977.
Hannelore Piegler (33)
Kepala awak kabin. Piegler bertanggung jawab dalam urusan pelayanan awak kabin kepada para penumpang dan bertugas melayani penumpang di kelas utama. Piegler kemudian merilis sebuah buku yang berjudul 'A Hundred Hours Between Fear and Hope'.[3]
Anna-Maria Staringer (28)
Awak kabin. Staringer merayakan hari ulang tahunnya yang ke-28 di salah satu hari ketika peristiwa pembajakan berlangsung. Ketika pesawat berada di Dubai, Akache memesan kue ulang tahun dan sampanye kepada petugas darat Bandar Udara Dubai melalui radio. Petugas katering Bandar Udara Dubai kemudian memberikan sebuah kue ulang tahun yang dihiasi dengan 28 lilin yang menggambarkan tulisan "Happy Birthday Anna-Maria". Para sandera juga diminta untuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun.[4]
Awak kabin. Dillmann disebut sebagai "Malaikat Mogadishu" (Engel von Mogadischu) oleh kalangan pers di Jerman. Seperti halnya Schumann dan Vietor, ia juga dianugerahi penghargaan Salib Jasa Federal. Dillmann kemudian menikah dengan Rüdeger von Lutzau, pilot Lufthansa yang menerbangkan pesawat Boeing 707 yang membawa pasukan komando GSG-9 ke Mogadishu. Setelah menikah dan menggunakan nama Gabriele von Lutzau, ia mendapatkan perhatian dari dunia internasional atas karya-karyanya sebagai pematung (terutama dengan bahan kayu beech), dan ia telah mengadakan sejumlah pameran di Jerman dan di penjuru Eropa.
Petugas Penjaga Perbatasan Federal (Bundesgrenzschutz) yang pernah bertugas sebagai naradamping dengan Menteri Dalam Negeri Jerman Barat ketika terjadi peristiwa Pembantaian München oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) selama Olimpiade Musim Panas 1972. Wegener kemudian ditunjuk oleh Pemerintah Jerman Barat untuk mendirikan dan memimpin sebuah unit taktis operasi khusus anti-terorisme elit. Unit tersebut secara resmi didirikan pada tanggal 17 April 1973 sebagai bagian dari layanan penjaga perbatasan federal dan diberi nama GSG-9, yang merupakan singkatan dari Grenzschutzgruppe 9 (Penjaga Perbatasan, Grup 9), karena Bundesgrenzschutz sendiri telah memiliki delapan kelompok penjaga perbatasan reguler. Wegener pernah dilatih oleh pasukan SAS dan Sayeret Matkal, di mana keduanya saat itu merupakan unit anti-terorisme yang berdiri secara resmi di dunia. Wegener juga terlibat dalam operasi penyelamatan sandera asal Israel dalam Operasi Entebbe pada tahun 1976.[6] Wegener merencanakan dan memimpin operasi pembebasan para sandera yang ditahan di dalam pesawat 737 Landshut di Mogadishu. Setelah pensiun dari GSG-9, ia bekerja sebagai konsultan untuk membantu mendirikan unit anti-terorisme di sejumlah negara di dunia. Wegener juga merupakan anggota komite keamanan KÖTTER GmbH & Co. KG Verwaltungsdienstleistungen. Wegener meninggal dunia pada tanggal 28 Desember 2017.
Deputi komandan GSG-9 pada tahun 1977 dan salah satu dari empat pemimpin pasukan penyerangan yang menyerbu pesawat 737 Landshut di Mogadishu. Blatte kemudian ditunjuk sebagai komandan GSG-9 setelah Wegener pensiun.
Menteri Luar Negeri di Jawatan Kanselir Jerman yang ditugaskan oleh Kanselir Helmut Schmidt sebagai utusan khususnya untuk mengoordinasikan negosiasi politiknya dengan pemerintah-pemerintah di negara lain untuk memfasilitasi pembebasan dan penyelamatan sandera di pesawat 737 Landshut. Berkat kontak yang baik dan hubungan pribadinya dengan sejumlah pemimpin negara-negara Arab, ia diberi julukan "Ben Wisch" oleh kalangan pers di Jerman. Wischnewski kehilangan jabatannya setelah CDU mengambilalih kekuasaan pemerintahan Jerman Barat pada tahun 1982. Wischnewski kemudian menjadi konsultan negara-negara dunia Arab, Afrika, dan Amerika Selatan, dengan memberikan nasihat-nasihat dalam teknik bernegosiasi dan kebijakan-kebijakan pengamanan dalam menghadapi kelompok-kelompok teroris dan pemberontak. Wischnewski meninggal dunia pada tahun 2005.
Kanselir Republik Federal Jerman (Bundeskanzler) dari tahun 1974 hingga 1982 yang mengadopsi pendirian yang keras dan tanpa kompromi dalam peristiwa penculikan Hanns-Martin Schleyer dan pembajakan Landshut pada tahun 1977. Schmidt mengesahkan penugasan pasukan komando GSG-9 untuk menyelamatkan para sandera di dalam pesawat 737 Landshut, dan kebijakan-kebijakan anti-terorisme yang dibuatnya berhasil mengatasi berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh Faksi Pasukan Merah (RAF) sejak lama. Setelah pensiun dari Bundestag pada tahun 1986, ia membantu mendirikan sebuah komite yang mendukung Persatuan Ekonomi dan Moneter Uni Eropa dan pendirian Bank Sentral Eropa. Schmidt meninggal dunia pada tahun 2015.
Pembajakan
Pada hari Kamis tanggal 13 Oktober 1977 pukul 11.00 siang, Lufthansa Penerbangan 181 yang dioperasikan oleh pesawat Boeing 737 Landshut lepas landas dari Palma de Mallorca dengan tujuan Frankfurt. Penerbangan tersebut membawa 86 penumpang dan lima awak, dengan Kapten Jürgen Schumann dan Kopilot Jürgen Vietor sebagai pilot.[7] Sekitar 30 menit kemudian, ketika pesawat terbang di atas kota Marseille, pesawat dibajak di udara oleh empat militan yang menyebut diri mereka sebagai "Komando Martir Halima", nama yang diambil sebagai penghormatan kepada Brigitte Kuhlmann, sesama anggota militan yang terbunuh dalam Operasi Entebbe satu tahun sebelumnya.[7] Pemimpin dari kelompok pembajakan tersebut adalah Zohair Youssif Akache, laki-laki 23 tahun asal Palestina yang menggunakan nama samaran "Captain Martyr Mahmud". Tiga orang lainnya adalah Suhaila Sayeh (perempuan 24 tahun asal Palestina) dan dua orang asal Lebanon yaitu Wabil Harb (laki-laki 23 tahun) dan Hind Alameh (perempuan 22 tahun).[7] Akache ("Mahmud") dengan marah masuk ke dalam kokpit dan menodongkan senjata beramunisi penuh peluru. Ia menarik keluar Vietor secara paksa dari kokpit dan membawanya ke kabin kelas ekonomi untuk bersama dengan para penumpang dan awak kabin, sehingga hanya menyisakan Schumann untuk menerbangkan pesawat.[7] Selagi tiga pembajak lainnya menjatuhkan nampan makanan penumpang dan menyuruh para sandera untuk mengangkat kedua tangannya, Mahmud memaksa Schumann untuk menerbangkan pesawat ke Larnaca, Siprus. Namun karena pesawat tidak membawa cukup bahan bakar, maka pesawat harus mendarat di Roma terlebih dahulu.[7]
Roma
Pesawat yang telah dibajak tersebut mengubah arah terbangnya sekitar pukul 14.30 sore, seperti yang diperhatikan oleh para petugas pemandu lalu lintas udara di Aix-en-Provence. Pesawat terbang ke arah timur dan mendarat di Bandar Udara Fiumicino, Roma pada pukul 15.45 untuk mengisi bahan bakar. Para pembajak mengumumkan tuntutan pertama mereka, yaitu tuntutan yang sama seperti Komando Siegfried Hausner, kelompok Faksi Pasukan Merah (RAF) yang menculik Hanns-Martin Schelyer: pembebasan sepuluh teroris anggota RAF yang ditahan di Penjara JVA Stuttgart-Stammheim, ditambah dengan dua orang Palestina yang ditahan di Turki, dan uang sebesar US$ 15 juta.[7] Menteri Dalam Negeri Jerman Barat Werner Maihofer menghubungi Menteri Dalam Negeri Italia Francesco Cossiga dan menyarankan agar roda-roda pesawat ditembak untuk mencegah pesawat lepas landas. Setelah berkonsultasi dengan rekan-rekannya, Cossiga memutuskan bahwa Pemerintah Italia tidak akan ikut campur tangan dengan peristiwa pembajakan yang terjadi. Pesawat mengisi ulang bahan bakar hingga penuh sebanyak 11 ton, sehingga Mahmud dapat memerintahkan Vietor (yang telah diperbolehkan masuk kembali ke dalam kokpit atas permintaan Schumann) untuk menerbangkan pesawat ke Larnaca pada pukul 17.45, meskipun pesawat tidak mendapatkan izin dari pemandu lalu lintas udara Roma.[7]
Larnaca
Landshut mendarat di Bandar Udara Larnaca di Larnaca, Siprus pada pukul 20.28 malam. Setelah sekitar satu jam, seorang perwakilan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) setempat tiba di Bandar Udara Larnaca dan, melalui komunikasi radio, berupaya untuk membujuk Mahmud agar membebaskan para sandera. Hal tersebut memancing kemarahan Mahmud, yang kemudian marah dan mulai meneriakinya dalam bahasa Arab, hingga akhirnya perwakilan PLO tersebut menyerah dan pergi. Pesawat kemudian mengisi bahan bakar dan Schumann meminta agar dibuatkan rute penerbangan menuju Beirut. Schumann diberitahu bahwa Bandar Udara Beirut telah diblokade dan ditutup untuk pesawatnya, dan Mahmud memberikan sugesti bahwa pesawat akan terbang ke Damaskus sebagai gantinya. Landshut lepas landas dari Larnaca pada pukul 22.50 menuju Beirut, tetapi ditolak untuk mendarat di sana pada pukul 23.01. Setelah pesawat juga ditolak untuk mendarat di Damaskus pada pukul 23.14, Bagdad pada pukul 00.13, dan Kuwait pada pukul 00.58, pesawat terbang menuju Bahrain.[7]
Bahrain
Schumann diberitahu oleh pesawat Qantas yang melintas bahwa Bandar Udara Bahrain juga ditutup bagi pesawatnya. Schumann kemudian menghubungi petugas pemandu lalu lintas udara setempat dan memberitahu mereka bahwa pesawatnya tidak memiliki cukup bahan bakar untuk terbang lebih jauh, dan meskipun ia diberitahu lagi bahwa bandara telah ditutup, ia mendadak diberi frekuensi pendaratan otomatis oleh petugas pemandu lalu lintas udara. Pesawat akhirnya mendarat di Bahrain pada pukul 01.52 dini hari tanggal 14 Oktober. Begitu pesawat tiba di Bahrain, pesawat segera dikepung oleh pasukan tentara bersenjata, dan Mahmud menghubungi petugas menara pemandu bahwa ia akan menembak kopilot pesawat jika pasukan tersebut tidak segera ditarik mundur. Setelah berseteru dengan petugas pemandu, dengan Mahmud mengatur batas waktu lima menit dan mengarahkan senjata berpeluru ke kepala Vietor, pasukan tentara tersebut akhirnya ditarik mundur. Pesawat kemudian mengisi ulang bahan bakar dan lepas landas menuju Dubai pada pukul 03.24.[7]
Dubai
Begitu mendekati Dubai, Landshut lagi-lagi ditolak mendarat. Ketika pesawat terbang melintasi Bandar Udara Dubai awal pagi hari itu, kedua pilot dan para pembajak melihat bahwa landasan pacu bandara tersebut telah diblokade oleh kendaraan militer dan pemadam kebakaran. Dengan bahan bakar pesawat yang semakin menipis, Schumann menghubungi petugas pemandu lalu lintas udara Dubai bahwa pesawat akan tetap mendarat di sana. Selagi pesawat melakukan terbang rendah di atas bandara tersebut, kendaraan-kendaraan yang memblokade landasan pacu akhirnya ditarik mundur. Pada pukul 05.40 pagi tanggal 14 Oktober, pesawat mendarat di Dubai. Pesawat diparkir di sebuah anjungan parkir pesawat pada pukul 05.51.[7]
Di Dubai, para pembajak memerintahkan petugas pemandu lalu lintas udara untuk mengirimkan petugas darat bandara untuk mengosongkan tangki toilet pesawat, membawa pasokan makanan, minuman, obat-obatan, surat kabar, dan membersihkan sampah. Kapten Schumann dapat memberitahu banyaknya pembajak yang berada di dalam pesawat, yaitu merinci bahwa terdapat dua pembajak laki-laki dan dua pembajak perempuan, dengan melemparkan dua jenis bungkus rokok yang berbeda dari jendela kokpit pesawatnya ke aspal anjungan parkir pesawat.[8] Dalam sebuah wawancara dengan para wartawan, informasi tersebut diungkap oleh Sheikh Mohammed, Menteri Pertahanan Uni Emirat Arab saat itu.[9] Para pembajak mengetahui hal tersebut, kemungkinan melalui radio, yang menyebabkan Mahmud dengan marah mengancam nyawa Schumann karena membagikan informasi tersebut secara diam-diam. Pesawat tetap diparkir di Bandar Udara Dubai sepanjang hari itu karena pesawat mengalami masalah teknis dengan generator elektrik, sistem pendingin udara, dan auxiliary power unit, dan para pembajak menuntut agar pesawat diperbaiki.[7]
Pada pagi hari Minggu tanggal 16 Oktober, Mahmud mengancam untuk mulai menembak para sandera jika pesawat tidak mengisi bahan bakar, dan petugas darat di Bandar Udara Dubai akhirnya setuju untuk mengisi bahan bakar pesawat. Pada saat yang bersamaan, Hans-Jürgen Wischnewski, menteri Jerman Barat yang bertanggung jawab untuk menangani masalah pembajakan, bersama dengan Kolonel Ulrich Wegener, komandan pasukan komando Jerman Barat GSG-9, tiba di Dubai untuk berupaya membujuk Pemerintah Uni Emirat Arab agar memperbolehkan pasukan komando GSG-9 datang ke Dubai untuk menyerbu pesawat. Namun, setelah pasukan komando GSG-9 mendapatkan izin untuk menyerbu pesawat, anggota senior pasukan SAS dan GSG-9 bersikeras untuk melakukan latihan tempur tambahan dan latihan menembak di lapangan terbang terdekat. Sebuah laporan menyebutkan bahwa latihan tersebut berlangsung di Dubai hingga 45 jam (dalam rentang waktu 80 jam). Ketika Wegener sedang merenungkan opsinya, Landshut kembali bergerak setelah pihak Bandar Udara Dubai mengisi ulang bahan bakar pesawat hingga penuh dan pilot mulai menyalakan mesinnya. Pada pukul 12.19 siang hari itu, pesawat lepas landas menuju Shalalah dan Masirah di Oman, di mana Landshut lagi-lagi ditolak mendarat dan kedua bandara di kota tersebut diblokade. Setelah otoritas di Riyadh juga menutup dan memblokade bandara dari pesawat pada pukul 14.50 sore, pesawat terbang menuju Aden di Yaman Selatan, di ambang batas jangkauan terbang pesawat dengan bahan bakar yang tersedia.[7]
Aden
Terbang mendekati dan melintasi Aden, Landshut lagi-lagi ditolak untuk mendarat, kali ini di Bandar Udara Aden, dan kedua landasan pacu berikut anjungan parkir bandara diblokade oleh sejumlah kendaraan dari militer dan bandara tersebut. Bahan bakar pesawat terus menipis, tetapi otoritas Bandar Udara Aden berulang kali menolak untuk mengosongkan landasan pacu, sehingga Vietor tidak punya pilihan lain kecuali melakukan pendaratan darurat di landasan berpasir yang terletak di antara kedua landasan pacu yang sebenarnya. Pesawat tetap utuh setelah mendarat, tetapi ketika otoritas Bandar Udara Aden berkata kepada para pilot dan pembajak bahwa pesawat harus lepas landas lagi, kedua pilot khawatir dengan kondisi pesawat setelah pendaratan yang kasar dan keras yang di landasan yang berpasir dan berbatu, sehingga pesawat dinyatakan tidak aman untuk lepas landas dan terbang sampai pemeriksaan teknis yang menyeluruh dilakukan terhadap pesawat. Setelah teknisi pesawat menyatakan bahwa struktur pesawat masih baik-baik saja, Mahmud kemudian mempersilakan Schumann untuk memeriksa kondisi mesin dan roda pendaratan pesawat. Kedua mesin pesawat menghisap banyak pasir dan tanah ketika pembalik daya dorongnya aktif dan tersumbat. Roda pendaratan pesawat tidak patah, tetapi strukturnya melemah dan sistem mekanik penggeraknya rusak. Schumann tidak segera kembali ke dalam pesawat setelah memeriksa kondisi pesawat, meskipun ia telah berulang kali dipanggil oleh para pembajak, yang kemudian mengancam untuk meledakkan pesawat jika Schumann tidak kembali. Alasan dari begitu lamanya Schumann untuk kembali ke dalam pesawat masih menjadi tanda tanya hingga saat ini. Beberapa laporan berita, termasuk wawancara dengan otoritas bandara di Yaman, menyiratkan bahwa Schumann meminta petugas darat bandara untuk mencegah pesawat lepas landas dan menolak untuk memenuhi tuntutan para pembajak.[10][11]
Schumann akhirnya masuk kembali ke dalam pesawat dan langsung menghadapi kemurkaan Mahmud, yang memaksanya untuk berlutut di lantai kabin penumpang sebelum akhirnya ia ditembak mati di kepalanya, tanpa memberikan Schumann kesempatan untuk menjelaskan alasannya terlalu lama keluar dari pesawat.[10][11] Pesawat yang masih dibajak tersebut mengisi ulang bahan bakar pada pukul 01.00 dini hari tanggal 17 Oktober, dan pada pukul 02.02, atas bujukan Vietor, pesawat lepas landas dengan lamban dan berbahaya dari Aden menuju Mogadishu.[7]
Mogadishu
Pada pagi hari tanggal 17 Oktober, sekitar pukul 06.34 waktu setempat, Landshut mendarat di landasan pacu utama Bandar Udara Aden Adde di Mogadishu. Pemerintah Somalia pada awalnya menolak untuk memberikan izin bagi pesawat untuk mendarat, tetapi kemudian diizinkan ketika pesawat muncul di teritori udara Somalia, karena khawatir penolakan izin mendarat bagi pesawat akan membahayakan para penumpang dan awak. Mahmud (Akache) berkata kepada Vietor bahwa ia sangat terkesan dengan kepiawaian Vietor dalam menerbangkan pesawat, sehingga Vietor diperbolehkan untuk keluar dari pesawat dan melarikan diri, karena pesawat tersebut sudah tidak bisa terbang lagi ke mana pun. Namun, Vietor memilih untuk tetap bersama dengan seluruh 86 penumpang dan tiga awak lainnya. Begitu pesawat diparkir di depan terminal utama bandara, pasukan tentara bersenjata Somalia mengepung pesawat. Jasad Schumann, yang disimpan di dalam sebuah lemari jas di dalam pesawat selama penerbangan dari Aden ke Mogadishu, dikeluarkan melalui seluncur evakuasi pintu darurat belakang sebelah kanan pesawat dan dibawa menjauh dari pesawat oleh ambulans.
Sepanjang hari itu, para pembajak meminta pasokan makanan dan obat-obatan, yang kemudian dikirimkan setelah Pemerintah Somalia memberikan izin; permintaan dari Pemerintah Somalia kepada para pembajak untuk menukar pasokan tersebut dengan para sandera perempuan dan anak-anak ditolak.[12] Para pembajak mengatur batas waktu hingga pukul 16.00 sore untuk membebaskan anggota Faksi Pasukan Merah (RAF) yang ditahan, dengan ancaman untuk meledakkan pesawat jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Para pembajak menyiramkan spirits yang diambil dari kereta dorong toko bebas bea pesawat sebagai persiapan untuk menghancurkan pesawat, yang kemudian tidak terjadi setelah Pemerintah Jerman Barat setuju untuk membebaskan anggota RAF yang ditahan, tetapi pemindahan para tahanan tersebut ke Mogadishu akan memakan waktu beberapa jam. Para pembajak sepakat untuk memperpanjang batas waktu hingga pukul 02.30 dini hari keesokan harinya (18 Oktober).[7]
Pada saat yang bersamaan, ketika Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt berupaya untuk menegosiasikan sebuah kesepakatan dengan Presiden SomaliaSiad Barre, menteri Hans-Jürgen Wischnewski dan komandan GSG-9 Kolonel Ulrich Wegener tiba di Mogadishu dari Jeddah dengan pesawat Boeing 707 Lufthansa yang dikopiloti oleh Rüdiger von Lutzau (tunangan Gabriele Dillmann, salah seorang awak kabin). Di Jerman Barat, sebuah tim yang terdiri dari 30 anggota komando GSG-9 di bawah pimpinan deputi komandan Mayor Klaus Blattte telah berkumpul di lapangan terbang Hangelar di dekat Bonn, menunggu instruksi. Tim komando tersebut berangkat dari Bandar Udara Köln Bonn dengan pesawat Boeing 707 pada hari Senin pagi tanggal 17 Oktober menuju Jibuti, yang dilanjutkan dengan penerbangan singkat dari Jibuti ke Somalia, sedangkan Kanselir Schmidt terus mengupayakan negosiasi dengan Pemerintah Somalia. Ketika pesawat yang membawa tim komando tersebut terbang di atas Etiopia, sebuah kesepakatan antara Pemerintah Jerman Barat dan Somalia tercapai, dan pesawat diizinkan untuk mendarat di Mogadishu. Pesawat tersebut mendarat di Mogadishu pada pukul 20.00 malam waktu setempat dengan semua lampu pesawat dimatikan agar tidak terlihat oleh para pembajak.[7]
Setelah empat jam menurunkan semua peralatan dan melakukan pengintaian, Kolonel Wegener dan Mayor Blatte menyelesaikan rencana penyerbuan pesawat, yang rencananya akan dimulai pada pukul 02.00 dini hari waktu setempat. Mereka memutuskan untuk mendekati pesawat dari bagian belakang, yaitu di bagian titik buta pesawat, dalam enam kelompok menggunakan tangga aluminium yang dicat hitam, untuk mendapatkan akses masuk ke dalam pesawat melalui pintu darurat di bagian bawah badan pesawat dan melalui jendela darurat. Pada saat yang bersamaan, sebuah laporan palsu mengenai perjalanan para anggota RAF yang dibebaskan diberikan kepada Mahmud melalui seorang perwakilan Jerman Barat dari menara pemandu bandara. Tepat setelah pukul 02.00, Mahmud diberitahu bahwa pesawat yang membawa para anggota RAF yang dibebaskan telah berangkat dari Kairo setelah pesawatnya mengisi ulang bahan bakar, dan Mahmud diminta untuk memberitahukan persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menukar para penumpang dan awak yang disandera dengan anggota RAF yang dibebaskan melalui radio.[7]
Sebagai tim operasi kecil, pasukan komando GSG-9 mengandalkan tentara Somalia untuk menjaga pertahanan darat di sekitar pesawat dan juga melakukan operasi tipuan.[13][14] Beberapa menit sebelum operasi penyelamatan dimulai, tentara Somalia menyalakan sebuah api dengan jarak 60 meter (200 ft) dari bagian depan pesawat sebagai taktik pengalih perhatian, sehingga memancing Akache dan dua dari tiga pembajak lainnya masuk ke dalam kokpit untuk memantau situasi yang sedang terjadi, dan mengisolir ketiganya dari para sandera di kabin penumpang.[15] Pada pukul 02.07 waktu setempat, pasukan komando GSG-9 secara diam-diam menaiki tangga-tangga yang telah disiapkan dan membuka pintu darurat pesawat. Kolonel Wegener sebagai ketua salah satu kelompok membuka pintu depan, sedangkan dua kelompok lainnya, masing-masing dipimpin oleh Sersan Mayor Dieter Fox dan Sersan Joachim Huemmer, mulai menyerbu pesawat dengan menaiki tangga untuk naik ke bagian atas sayap dan membuka kedua jendela darurat pesawat. Berteriak dalam bahasa Jerman kepada seluruh penumpang dan awak pesawat yang disandera untuk menunduk ke lantai kabin, tim komando tersebut menembak keempat pembajak. Wabil Harb dan Hind Alameh tewas dalam kontak senjata tersebut, sedangkan Zohair Akache dan Suhaila Sayeh terluka. Akache kemudian dinyatakan meninggal akibat luka yang dideritanya beberapa jam kemudian. Salah seorang anggota pasukan komando GSG-9 terluka karena terkena tembakan dari para pembajak. Tiga penumpang dan salah seorang awak kabin terluka ringan dalam baku tembak tersebut. Salah seorang penumpang asal Amerika Serikat menjelaskan detik-detik operasi tersebut: "Saya melihat pintu depan terbuka dan seorang pria muncul. Wajahnya dicat hitam dan ia mulai berteriak dalam bahasa Jerman 'Kami di sini untuk menyelamatkan Anda, menunduklah!' [Wir sind hier, um euch zu retten, runter!] dan mereka mulai menembak."[16]
Alat seluncur evakuasi darurat pesawat kemudian dibuka dan seluruh penumpang dan awak pesawat diperintahkan untuk segera keluar dari pesawat. Pada pukul 02.12 waktu setempat, lima menit setelah penyerbuan dimulai, pasukan komando GSG-9 berbicara melalui radio: "Frühlingszeit! Frühlingszeit!", yang merupakan kata sandi untuk operasi yang diselesaikan dengan sukses. Beberapa saat kemudian, sebuah sinyal radio dikirimkan kepada Kanselir Schmidt di Bonn: "Empat musuh dilumpuhkan – para sandera bebas – empat sandera terluka ringan – satu anggota komando terluka ringan".[7]
Tim penyelamat mengawal seluruh 86 penumpang ke tempat yang aman,[17] dan beberapa jam kemudian mereka semua diterbangkan ke Bandar Udara Köln Bonn. Pesawat yang membawa para penumpang Landshut mendarat di Köln Bonn pada sore hari Selasa tanggal 18 Oktober dan disambut dengan sambutan pahlawan.[18]
Pasca peristiwa
Berita penyelamatan para sandera dalam pembajakan Landshut diikuti oleh kabar tewasnya (dan diduga bunuh diri) anggota RAF bernama Andreas Baader, Gudrun Ensslin and Jan-Carl Raspe di Penjara JVA Stuttgart-Stammheim. Anggota RAF lain yang juga berupaya untuk bunuh diri, yaitu Irmgard Möller, berhasil selamat dari luka yang dideritanya. Pada hari Rabu tanggal 19 Oktober, jasad Hanns-Martin Schleyer, seorang industrialis asal Jerman Barat yang diculik oleh anggota RAF sekitar lima minggu sebelum pembajakan Landshut, ditemukan di dalam bagasi sebuah mobil di pinggiran jalan di Mulhouse; para anggota RAF telah menembaknya hingga tewas begitu mereka mendengar berita kematian rekan-rekannya yang dipenjara. Mereka menghubungi kantor surat kabar Prancis Libération untuk mengumumkan 'pengeksekusian' Schleyer; pemeriksaan post-mortem yang dilakukan terhadap jasad Schleyer mengindikasikan bahwa ia telah dibunuh pada hari sebelum jasadnya ditemukan.[7]
Pasca peristiwa pembajakan Landshut, Pemerintah Jerman Barat mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan lagi bernegosiasi dengan pihak teroris (seperti yang pernah terjadi sebelumnya dengan para pembajak pesawat Lufthansa Penerbangan 649 dan 615). Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt dipuji secara luas oleh negara-negara Barat atas keputusannya untuk memerintahkan operasi penyerbuan pesawat dan menyelamatkan para sandera, meskipun sejumlah pihak mengkritik tindakan berisiko tersebut.[7]
Hubungan diplomatik antara Jerman Barat dan Somalia meningkat secara signifikan pasca peristiwa pembajakan Landshut. Lufthansa melayani seluruh pesawat Somali Airlines yang singgah di Jerman Barat, sedangkan Frankfurt menjadi pintu masuk utama Somali Airlines di Eropa. Pemerintah Jerman Barat memberikan dua pinjaman senilai jutaan dolar kepada Pemerintah Somalia untuk membantu pengembangan sektor perikanan, agrikultur, dan sektor-sektor lainnya di negara tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih.[19]
Pesawat
Ketika berada di bawah kendali para pembajak, pesawat telah terbang sejauh 10.000 kilometer (6.200 mi).[17] Pesawat yang ditenagai oleh sepasang mesin Pratt & Whitney JT8D-9A tersebut adalah sebuah Boeing 737-230C yang diproduksi pada bulan Januari 1970, dengan nomor seri manufaktur 20254, nomor lini produksi 230, dan diberi registrasi D-ABCE. Asal nama Landshut di pesawat tersebut adalah kota Landshut di Bayern. Pesawat yang mengalami kerusakan setelah berada di bawah kendali pembajak tersebut kemudian diterbangkan pulang ke Jerman untuk diperbaiki dan kemudian kembali beroperasi pada akhir bulan November 1977. Pesawat terus beroperasi di bawah operasional Lufthansa hingga bulan September 1985, dan pesawat dijual ke maskapai Presidential Airways asal Amerika Serikat tiga bulan kemudian. Pesawat kemudian berpindah-pindah kepemilikan sejak saat itu.[20]
Pembelian
Pesawat terakhir kali beroperasi sebagai bagian dari armada maskapai TAF Linhas Aéreas asal Brasil, yang membeli pesawat tersebut dari Transmile Air Services asal Malaysia. Maskapai asal Brasil tersebut kemudian menyatakan kebangkrutan dan tidak mampu untuk terus membayar tunggakan utang-utangnya.[21] TAF Linhas Aéreas menghentikan operasional pesawat beregistrasi PT-MTB tersebut pada bulan Januari 2008, karena pesawat memiliki sejumlah kerusakan parah yang membuatnya tidak dapat beroperasi, dan pesawat kemudian disimpan di Bandar Udara Fortaleza selama beberapa tahun.[21] Pada tanggal 14 Agustus 2017, setelah Mr. Kurpjuweit membuat keluhan kepada pihak Fraport atas pembongkaran tujuh atau lebih pesawat yang ditinggalkan oleh pemiliknya di Bandar Udara Frankfurt, sebuah kelompok mantan pilot menyarankan agar membawa Landshut kembali ke Jerman. David Dornier, mantan direktur Museum Dornier, bersama dengan Kementerian Luar Negeri Jerman, menyetujui proyek tersebut. Mengetahui rencana tersebut, Mr. Kurpjuweit kemudian membantu mantan direktur museum tersebut dengan sebuah proyek kelayakan yang akan melibatkan pemindahan pesawat dari Brasil ke Jerman dengan pesawat Antonov An-124 milik Volga-Dnepr Airlines. Pesawat dibeli dari TAF Linhas Aéreas seharga R$75.936 (€20.519) dalam sebuah kesepakatan dengan pihak administrasi Bandar Udara Fortaleza untuk pembayaran pajak.[22]
Pada tanggal 15 Agustus 2017, sebuah pesawat McDonnell Douglas MD-11F milik Lufthansa Cargo diterbangkan ke Fortaleza dengan membawa peralatan-peralatan seberat 8,5 ton dan 15 personel mekanik Lufthansa Technik untuk membongkar pesawat.[23][24] Pada tanggal 21 dan 22 September 2017, sebuah pesawat Antonov An-124 dan Ilyushin Il-76 milik Volga-Dnepr Airlines tiba di Fortaleza untuk membawa bagian-bagian pesawat yang telah dibongkar ke Jerman. Pesawat An-124 membawa kedua sayap dan badan pesawat, sedangkan pesawat Il-76 membawa kedua mesin dan kursi-kursi pesawat. Setelah melakukan perhentian untuk mengisi ulang bahan bakar di Tanjung Verde, kedua pesawat tersebut tiba di Friedrichshafen pada tanggal 23 September 2017; proyek pemulangan Landshut menelan total biaya sebesar €10 juta yang dibayarkan oleh Kementerian Luar Negeri Jerman. Bagian-bagian dan peralatan pesawat yang lebih kecil dibawa ke Jerman dalam dua kontainer kapal barang.[25] Begitu tiba di Jerman, bagian-bagian dari pesawat dipamerkan di hadapan sekitar 4.000 orang yang berkunjung dalam sebuah acara khusus. Pesawat direncanakan akan direstorasi dan kemudian dipamerkan pada bulan Oktober 2019.
Penyimpanan
Sejak ketibaannya di Jerman, pesawat Landshut yang telah dibongkar disimpan di sebuah hanggar di Airplus maintenance GmbH di Friedrichshafen. Rencana untuk merestorasi dan memamerkan pesawat dengan livery 1977 Lufthansa yang aslinya tidak pernah dilakukan.[26][27] Masalah pendanaan dan pertanyaan terkait pihak kementerian yang akan bertanggung jawab atas pesawat tersebut menyebabkan proyek restorasi tertunda, begitu pula dengan pembiayaan tahunan sebesar €300 ribu. Pada Februari 2020, sebuah proposal untuk memindahkan bagian-bagian pesawat ke Berlin Tempelhof ditolak oleh Kementerian.[28][29][30][31] Setelah disimpan di hanggar selama tiga tahun dan kejelasan status pesawat yang tidak pasti, David Dornier mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala Museum Dornier pada bulan September 2020 dan digantikan oleh pengacara bernama Hans-Peter Rien. Rien dan Menteri Kebudayaan Jerman Monika Grütters tidak pernah mencapai kesepakatan dalam pembiayaan pesawat, dan proyek restorasinya pun ditunda.
Kajian
Pemerintah Jerman mencari kemungkinan apakah pesawat dapat dipamerkan di Museum Sejarah Militer Bundeswehr. Rencana tersebut tidak mendapat persetujuan dari sejarawan dan pakar karena lokasinya yang terpencil dan minimnya hubungan antara militer Jerman dengan pesawat 737 Landshut.[32] Anggota CSU dari kota München mengajukan tawaran untuk membawa pesawat ke München, dan sebuah rancangan dibuat untuk mengkaji kemungkinan apakah pesawat dapat dipamerkan di bekas Bandara München-Riem, tempat di mana pesawat ini diresmikan dan diberi nama pada 7 Agustus 1970, di sebuah acara yang diselenggarakan di hanggar bandara dan dihadiri oleh perwakilan dari kota Landshut.[33] Tepat setelah tiga tahun, rencana untuk memamerkan pesawat ini di Museum Dornier berakhir.[34]
Museum
Dana sebesar €15 juta diberikan oleh Pemerintah Jerman dengan alokasi sebagai berikut:
€7,5 juta:
€2,5 juta: perawatan dan restorasi pesawat
€2,5 juta: pembangunan hanggar
€1,5 juta: penyediaan peralatan teknis
€1 juta: implementasi konsep pembelajaran
€7,5 juta: subsidi operasional selama 10 tahun, berkaitan dengan pembatasan harga tiket masuk museum sebesar €5 per orang.[35]
Lokasi
Dana tersebut tidak berhubungan dengan tempat mana pun selain di Friedrichshafen. Namun Kementerian Kebudayaan Jerman mengajukan keberatan dan menunda keputusan akhir lokasi dimana pesawat akan dipamerkan, ke markas besar Direktorat Kepolisian Federal Jerman di Sankt Augustin-Hangelar, North-Rhine Westphalia yang juga merupakan markas besar pasukan komando GSG-9.[36][37] Sebuah situs tentang rencana restorasi pesawat di museum tersebut tersedia di laman https://www.landshutmuseum.com/.
Keputusan
Setelah melalui berbagai pertimbangan, diputuskan bahwa pesawat tidak akan jadi direstorasi.[38] Selain itu, tidak akan ada museum yang dibangun hanya untuk menempatkan pesawat tersebut, tetapi bagian-bagian dari pesawat dapat dipamerkan di sejumlah tempat lain, dan sisa-sisa dari pesawat kemungkinan besar akan didaur ulang.
Penggunaan nama Landshut di pesawat lain
Lufthansa terus menggunakan nama Landshut pada beberapa pesawatnya. Selain D-ABCE, Lufthansa memberikan nama Landshut pada sebuah Boeing 737-200 dengan registrasi D-ABHM, lalu pada sebuah Airbus A319 dengan registrasi D-AILK, dan sejak tahun 2007 pada sebuah Airbus A330-300 dengan registrasi D-AIKE.[39]
Peristiwa pembajakan Landshut direka ulang dalam dua film televisi Jerman, yaitu Todesspiel [de] yang dirilis pada tahun 1997,[41] dan Mogadischu yang dirilis pada tahun 2008, disutradarai oleh Roland Suso Richter.[42] Serial televisi Black Ops musim ke-2 episode ke-76 yang berjudul "Operation Fire Magic" juga menampilkan reka ulang adegan peristiwa pembajakan Landshut.[43]
Permainan video Tom Clancy's Rainbow Six Siege yang dirilis pada tahun 2015 menggunakan peristiwa pembajakan Landshut beserta cerita operasi pembebasan sandera bersejarah lainnya sebagai inspirasi cerita permainan dan bahan penelitian agar membuat permainan tersebut lebih akurat.[44]
^"Lufthansa Technik returns 'Landshut' to Germany". Press Releases. Lufthansa Technik. 22 September 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-13. Diakses tanggal 24 September 2017. The project team was frequently accompanied by the media and also welcomed high-ranking visitors from the diplomatic and consular corps.
McNab, Chris. Storming Flight 181 – GSG 9 and the Mogadishu Hijack 1977 Osprey Raid Series No. 19; Osprey Publishing, 2011. ISBN978-1-84908-376-8.
Davies, Barry. Fire Magic – Hijack at Mogadishu Bloomsbury Publishing, 1994. ISBN978-0-7475-1921-8.
Blumenau, Bernhard. The United Nations and Terrorism. Germany, Multilateralism, and Antiterrorism Efforts in the 1970s Palgrave Macmillan, 2014, ch. 2. ISBN978-1-137-39196-4.