Lapau (bahasa Indonesia: lepau) adalah istilah Minangkabau untuk warung minuman yang dilengkapi meja dan kursi panjang. Pada masa lalu, lapau hanya berupa bangunan semipermanen tidak berdinding, tetapi kini sudah banyak lapau dibuat permanen atau menyatu dengan rumah pemiliknya.[1][2]
Sebelum adanya teknologi informasi seperti radio dan televisi, lapau merupakan wadah utama masyarakat Minangkabau bertukar informasi. Selain itu, lapau menjadi tempat orang-orang, khususnya laki-laki, berkumpul sekadar mengobrol, bersenda gurau, hingga beradu argumen.[3]
Tampilan dan menu
Istilah lapau identik dengan warung kopi. Menu utama di lapau umumnya minuman seperti kopi, teh manis, teh telur, dan minuman instan dalam kemasan. Sebagai menu pendukung, disediakan makanan ringan seperti roti, gorengan, keripik, dan penganan tradisional lainnya.[2] Sebagian lapau menyediakan sarapan pagi seperti lontong gulai dan bubur kacang padi.
Ciri khas lapau yakni memiliki meja berukuran panjang dan bangku dengan panjang yang sama.[2] Pada masa lalu, lapau hanya dibuat semipermanen terbuat dari kayu dan papan, tidak memiliki dinding, dan beratap rumbia. Di perkotaan, lapau umumnya sudah merupakan bangunan permanen atau menyatu dengan rumah pemiliknya.
Lapau buka dari pagi hingga malam, bahkan tak jarang hingga larut malam. Lapau ramai dikunjungi pada waktu pagi sebelum masyarakat bekerja, siang setelah istirahat bekerja, dan malam selepas Magrib. Lapau yang buka hingga larut malam biasanya menyediakan permainan domino dan koa.
Sejarah
Tidak diketahui pasti kapan sejarah lapau bermula. Sejarawan Gusti Asnan memperkirakan lapau muncul pada akhir abad ke-18 seiring maraknya aktivitas niaga di daerah tersebut. Lapau didirikan di tepi jalan yang kerap dilalui oleh para pedagang dan musafir, seperti di puncak sebuah pendakian atau pesimpangan jalan. Pemilik lapau biasanya punya pergaulan yang luas dan tidak jarang dari mereka adalah pendekar.[2]
Lapau awalnya dimanfaatkan sebagai tempat singgah melepas penat sekaligus berdiskusi. Pengunjung lapau saling berbagi informasi, mulai dari barang dagangan mereka, fluktuasi harga, kondisi pasar, hingga keadaan sosial dan politik di daerah-daerah yang mereka lalui.[2] Seiring waktu, lapau menjelma menjadi pusat interaksi sosial warga sekitar.
Diskusi di lapau dimulai dari persoalan sehari-hari yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan keluarga. Setelah itu, diskusi merembet ke berbagai persoalan seperti politik, hukum, dan ekonomi. Satu topik bisa beralih pada topik yang lain tanpa ada penyelesaian sehingga setiap topik yang dibahas tidak menemukan titik konklusi yang jelas. Pola diskusi di lapau ini sering disebut dengan ota lapau.[2]
Duduk di lapau pernah menjadi budaya yang identik dengan laki-laki di Minangkabau. Hal ini dilatarbelakangi sistem kekerabatan matrilineal. Laki-laki yang sudah menikah tidak bisa bebas di rumah istrinya, sementara laki-laki yang belum menikah tidur di surau atau merantau. Lapau akhirnya menjadi tempat laki-laki berkumpul apabila tidak bekerja atau menghabiskan waktu. Di lapau, mereka mengobrol, bersenda gurau, hingga beradu argumen.
Signifikansi
Jika tidak di halaman surau, saya tentu bermain-main di depan lepau kopi. Sekali saya lihat seorang membaca sehelai kertas lebar, yang lain-lainnya duduk di sekeliling meja mendengarkan dengan minatnya, sambil sekali-kali meneguk kopi, atau menggigit pisang goreng.
Lapau berperan sebagai wadah pertukaran informasi bagi masyarakat Minangkabau. Pada masa lampau, masyarakat yang tidak bisa membaca berkumpul di lapau untuk mendengarkan surat kabar dibacakan.[5] Kehadiran surat kabar yang mengandung beragam berita yang aktual akan menjadi bahan diskusi yang hangat dan ingin diketahui oleh pengunjung lapau.[6]
Sebagai tempat diskusi, lapau menjadi arena demokratis yang mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang, status sosial, dan sudut pandang.[7] Lapau juga menjadi tempat seseorang mengasah keterampilan berdialog, berdebat, hingga berdiplomasi.[8] Diskusi di lapau dapat mengarah ke sindir-menyindir hingga olok-olok.[3][9]
Kehebatan dan pencapaian seseorang di rantau tak luput dari pembahasan di lapau, begitu pula dengan persoalan di tanah rantau. Dengan demikian, mereka yang hendak merantau bisa mendapat gambaran tentang rantau yang ingin mereka tuju. Sebaliknya, ketika perantau Minang pulang kampung, biasanya mereka menyempatkan diri untuk pergi ke lapau mendengar informasi tentang perkembangan kampung halaman.
Budayawan A.A. Navis menyebut lapau sebagai balai rendah, berbeda dengan balai adat tempat ninik-mamak dan pemuka masyarakat bermusyawarah.[10] Namun, Buya Hamka dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau mengkritik orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan duduk di lapau.[11]
Banyak kaba atau cerita fiksi yang dibuat oleh penulis Minangkabau dan karya sejarah berkenaan dengan Minangkabau yang memberikan gambaran mengenai lapau.[2]
Lapau saat ini
Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis lapau sebagai lepau dan bersinonim dengan warung.[12] Di Sumatera Barat, kedua istilah ini berbeda, meskipun perbedaannya tidak mencolok. Secara umum, lapau menjual minuman dengan makanan ringan sebagai pendukung, sedangkan warung umumnya menjual sembako dan kebutuhan harian.[1]
Lapau masih dijumpai hingga sekarang. Fungsinya tidak banyak berubah, meskipun semakin sedikit laki-laki yang menghabiskan waktu duduk di lapau.[7][13] Lapau tetap menjadi tempat laki-laki berdiskusi, sambil minum kopi, merokok, dan bermain domino atau koa. Tak jarang ada yang menghabiskan waktu di lapau hingga larut malam.[2]
Lapau di perkotaan sudah mulai berdiri dengan bangunan permanen. Adapun kebanyakan lapau di perkampungan masih berupa bangunan semipermanen. Meski demikian, pengelolaan lapau hanya dijalankan secara tradisional. Anggota DPR RI periode 2014–2019 Refrizal pernah menjalankan kegiatan bedah lapau untuk membina pemilik lapau menjalankan usahanya ke arah modern.[14]