Arsitektur Bali

Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.[1]

Konsep Dasar

Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:

Orientasi Kosmologi / Sanga Mandala

Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, di mana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:

  1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
  2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
  3. Sumbu natural: Gunung dan Laut

Hierarki Ruang / Tri Angga

Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.

  1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
  2. Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
  3. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.

Dimensi Tradisional Bali

Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah: Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.

Referensi

Catatan kaki

Pranala luar