Tri AnggaTri Angga atau Tri Loka adalah sebuah kearifan lokal mengenai konsep ruang yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Sejatinya, konsep Tri Angga merupakan turunan dari konsep falsafah hidup masyarakat Bali yakni Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan),[1] yakni falsafah hidup masyarakat Bali agar selalu berusaha menjaga hubungan harmonis dan seimbang dengan lingkungan.[2] Tri Angga merujuk kepada konsep arsitektur tradisional masyarakat Bali yang terkait dengan sistem kosmologi, yakni cara masyarakat Bali memandang alam semesta yang diimplementasikan ke dalam struktur bentuk bangunan agar terjalinnya harmonisasi yang indah antara manusia dengan alam hingga mencapai keseimbangan.[3] EtimologiStruktur bangunan atau arsitektur di Bali memiliki konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Pada prinsipnya, terdapat 2 konsep ruang yang merefleksikan bagaimana masyarakat Bali memandang lingkungan. Pertama yaitu konsep nilai yang terbentang antara dimensi superior dan inferior; bahwa gunung adalah tempat para dewa, dan laut adalah tempat “buta” sementara dunia manusia ada di tengahnya. Yang kedua yaitu perempatan jalan yang dipandang sebagai tempat sakral.[4] Secara harfiah, Tri Angga diartikan dengan tri yakni tiga dan angga yakni badan.[1] FilosofiTerdapat beberapa macam konsep terkait dengan konsep ruang— termasuk Tri Angga yang mana dimiliki oleh kehidupan masyarakat Bali. Filosofi maupun konsep tersebut saling mengikat satu sama lain serta memiliki sifat turunan, sehingga menjadikan sebuah landasan dalam melihat ruang/spasial bagi masyarakat Bali. Konsep-konsep tersebut sebagaimana berikut:[5]
Secara sifat, baik Tri Hita Karana, Tri Angga dan Tri Loka bersifat secara vertikal, yang mana nilai "utama" terletak pada posisi teratas, "madya" pada posisi tengan dan "nista" terletak pada posisi terendah.[7] Untuk itu, konsep ruang Tri Angga saling terkait dengan konsep-konsep ruang lainnya tersebut. Hal tersebut merujuk kepada sebuah konsep hierarki ruang yang terdiri dari 3 zona yaitu utama, madya dan nista. Konsep Tri Angga pada kehidupan sehari-hari masyarakat Bali diimplementasikan dalam setiap wujud fisik arsitektur, kompleks tipikal kompleks hunian, teritorial desa hingga teritorial kawasan.[8] Seperti pada tipikal kompleks hunian tradisional masyarakat Bali, arah utara-timur adalah tempat yang suci dan masyarakat menggunakannya sebagai tempat pemujaan— pamerajan (tempat pura keluarga). Sebaliknya, sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata nilai rumah yang mana menjadi arah masuk hunian.[4] Sakral dan ProfanKearifan lokal masyarakat Bali mengenai ruang/spasial dipengaruhi oleh kepercayaan Agama Hindu,. Pada konsep Tri Angga, menjadi rujukan pembagian wilayah zona atau ruang/spasial pada masyarakat Bali dalam upaya menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam dan manusia. Pembagian wilayah zona "utama" merujuk kepada sesuatu yang berkuasa (superiror), berbanding terbalik pada zona madya dan nista. Zona "utama" tampak terpisah dengan zona madya dan nista, yang mana mengacu terhadap konsep kosmologi masyarakat Bali terkait arah dan ruang yang saling terikat satu sama lain. Melihat pemisahan tersebut, menurut Emile Durkheim memaparkan sebuah teori dalam sudut pandang religi bahwa hal tersebut memperlihatkan antara "yang sakral" (sacred) dan "yang profan" (profane). Hal-hal yang bersifat sakral diartikan sebagai sesuatu yang berkuasa, yang pada kondisi normal hal-hal tersebut tidak dapat tersentuh dan selalu dihormati. Sedangkan prihal profan yaitu bagian keseharian hidup dan bersifat biasa-biasa saja.[9] Durkheim mengingatkan bahwa sakral dan profan tidak diartikan sebagai suatu konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai "kebaikan" dan yang profan sebagai "keburukan. Menurutnya, kebaikan dan keburukan sama-sama terdapat dalam "yang sakral" ataupun juga "yang profan". Namun, yang sakral tersebut tidak dapat berubah menjadi profan begitu pula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral.[9] Struktural BudayaAdanya pemisahan pewilayahan antara baik dan buruk terkait konsep Tri Angga menunjukkan bentuk pengorganisasi bersifat terstruktur dalam upaya mengatur kehidupan masyarakat Bali. Hal tersebut tidak terlepas dari hukum dasar daripada konsep-konsep ruang oleh masyarakat Bali. Secara terstruktur, dalam arsitektur tradisional masyarakat Bali memberi perhatian terkait pewilayahan yang mana terbagi tiga ranah hierarki hingga mengacu kepada sumbu arah seperti istilah gunung-laut (kaja kelod). Istilah-istilah tersebut menjadikan sebuah sudut pandang memahami struktural budaya masyarakat Bali[butuh rujukan].
|