Rumah Bolon Pamatang Purba merupakan salah satu rumah bolon (rumah tradisional) Batak Simalungun yang pernah menjadi kediaman keluarga penguasa Partuanan Purba di daerah Simalungun, Sumatera Utara.
Ciri khas
Rumah Adat Batak Simalungun memiliki arsitektur yang unik, berbentuk rumah panggung dan dibangun menggunakan bahan-bahan bangunan yang terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dindingnya dari papan atau tepas.Lantainya juga dari papan, sedangkan atapnya terbuat dari ijuk atau daun rumbia. Rumah adat ini juga tidak menggunakan paku, tapi diikat kuat dengan menggunakan tali.Rumah Adat Batak Simalungun memiliki kolong yang tingginya sekitar dua meter. Kolong tersebut biasanya dipergunakan untuk memelihara hewan, seperti babi, ayam, dan sebagainya. Oleh karena itu disediakan tangga untuk masuk ke dalam rumah.Pintu rumah ini memiliki kemiripan dengan rumah adat batak lainnya, yaitu pintu yang pendek sehingga tamu harus menunduk untuk masuk ke dalam rumah. Hal ini menandakan bahwa tamu harus menghormati pemilik rumah. Ciri khas utama dari rumah adat ini terdapat pada bagian bawah atau kaki bangunan. Kaki bangunannya selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan. Kayu-kayu tersebut menyilang dari sudut ke sudut. Ciri khas lainnya adalah bentuk atap pada anjungan yang diberi limasan berbentuk kepala kerbau lengkap dengan tanduknya.Salah satu tempat untuk melihat Rumah Adat Batak Simalungun adalah di Kota Pematang Siantar. Tepatnya di di Jalan Sudirman, Pematang Siantar. Di sini terdapat bangunan Museum Simalungun yang berbentuk Rumah Adat Simalungun.[1]
Rancangan
Bangunan rumah adat ini dibangun pada tanggal 10 April 1939 oleh Raja-Raja Simalungun, dan sampai saat ini masih berdiri kokoh. Rumah ini berlokasi di Desa Pematang Purba, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, menempati areal seluas ± 20.000 m² di dataran tinggi yang dikelilingi oleh jurang dan lembah pada ketinggian 1200 m dpl. Secara astronomis berada pada koordinat 02º 54’ 50” LU – 98º 40’ 50” BT. Rumah bolon adalah bangunan induk yang merupakan istana. Di dalam rumah adat Simalungun bangunan ini digolongkan ke dalam jenis pinar horbou yang proporsinya adalah panjang bangunan 2,5 – 3 kali lebar bangunan, dan tingginya 1,5 – 2 kali lebar bangunan. Pinar horbou selalu dibuat menghadap ke arah terbitnya matahari. Bangunan ini dilengkapi 2 pintu, depan (timur) dan belakang (barat). Pada umumnya rumah tradisional tidak memiliki jendela. Sebagai pengganti dibuat lubang-lubang berbentuk belah ketupat, salib, oval, segitiga, dan lain-lain. (Sipayung, 1994/1995 : 8) [2]
Secara umum bentuk atap memiliki gaya khas Sumatera Utara, atapnya runcing di kedua ujungnya. Bahan atap tidak menggunakan tanah liat atau logam sebagian besar rumah Jawa, tetapi menggunakan daun atau pelepah daun. Pada bubungan atap terdapat pinar uluni horbou, yaitu hiasan menyerupai kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk dengan tanduk kerbau asli. Hiasan ini melambangkan kebesaran, keberanian, serta penangkal roh jahat. Rumah bolon adat berukuran panjang 29,44 m, lebar 7 m, dan tinggi 5 m, didominasi oleh warna coklat muda yang divariasikan dengan warna putih, merah, dan hitam. Bangunan ini tidak memiliki jendela, namun dilengkapi dengan jeruji-jeruji kayu pada bagian dinding yang berfungsi sebagai sirkulasi udara maupun untuk melihat ke arah luar.[3]
Secara umum, bagian dalam rumah bolon terbagi menjadi 2 buah ruangan, yaitu ruang depan (ruang raja) yang disebut lopo dan ruang belakang (ruang permaisuri). Ruang depan berukuran lebih kecil dibandingkan ruang belakang. Pada ruangan ini terdapat sebuah bilik sempit di sudut kanan belakang dekat dengan pintu penghubung antara kedua ruangan, berfungsi sebagai tempat peristirahatan (tempat tidur) raja. Di bagian tengah ruangan ini terdapat tiang utama bergorga berwarna putih, merah, dan hitam, serta diikatkan tanduk-tanduk kerbau. Ruangan depan berfungsi sebagai tempat tinggal raja serta tempat menerima tamu-tamu khusus raja. Ruangan ini ditopang oleh balok-balok horisontal di bagian kolong bangunan. Tiang-tiang tersebut berdiri di atas umpak-umpak batu berbentuk trapesium. Ruang raja dilengkapi dengan tungku (dapur) serta alat- alat memasak dan bambu yang digantung, yang merupakan tempat menyimpan air minum.[2]