Soejoedi Wirjoatmodjo (27 Desember 1928 – 17 Juni 1981) dulu adalah seorang arsitek di Indonesia yang aktif mulai akhir dekade 1960-an hingga pertengahan dekade 1970-an. Pada tahun 1964, ia diminta oleh Presiden Sukarno untuk menjadi kepala arsitek dari sejumlah proyek arsitektur nasional di Jakarta. Soejoedi dianggap sebagai arsitek asli Indonesia pertama pasca kolonial dan dianggap sebagai pendukung arsitek dan perancang modernis.[1]
Biografi
Soejoedi lahir di Surakarta pada tahun 1928. Sejak masih muda, ia mendukung ide nasionalis. Selama periode Revolusi Nasional, Soejodi bergabung ke Brigade Tentara Pelajar 17 di Surakarta untuk melawan serangan militer dari Belanda antara tahun 1945 dan 1949.[2] Setelah Belanda keluar dari Indonesia pada tahun 1949, setahun kemudian, Soejoedi melamar sebagai arsitek di Departemen Bangunan dari TH Bandung, yang saat itu masih mempekerjakan dosen berkebangsaan Belanda. Berkat kualitas kerjanya, Soejoedi lalu berhasil mendapat beasiswa dari pemerintah Prancis untuk berkuliah di L’Ecole des Beaux Arts di Paris pada tahun 1955. Ia pun pergi ke Paris, tetapi ia merasa tidak nyaman, karena selalu teringat kampung halamannya. Mentor Soejoedi di Bandung, Prof. Ir. Vincent Rogers van Romondt, lalu menyusun kuliah lebih lanjut untuk Soejoedi di TH Delft di Belanda, sehingga ia tidak harus mengulang dari awal. Selama kuliah, Soejoedi pun dapat melihat karya dari arsitek modern Belanda, seperti Jacob Bakema dan Aldo van Eyck. Namun, ia tidak mengerjakan skripsi. Ia malah bekerja paruh waktu sebagai juru gambar teknik di Kraaijvanger Architects [nl], yang saat itu masih berskala kecil. Di biro arsitek tersebut, ia mengerjakan proyek rekonstruksi kota Rotterdam.[3]
Situasi politik mengenai Irian Barat lalu meningkatkan ketegangan antara Indonesia dan Belanda. Sehingga memaksa sejumlah mahasiswa asal Indonesia untuk pergi dari Belanda pada tahun 1957, termasuk Soejoedi, yang harus pergi sebelum mendapat gelar di bidang arsitektur. Soejoedi pun harus mencari kampus lain untuk menyelesaikan kuliahnya di bidang teknik arsitektur. Pada tahun yang sama, Soejoedi pindah ke Berlin agar dapat memperoleh gelar di bidang arsitektur dari Universitas Teknologi Berlin. Ia akhirnya lulus pada tahun 1959 dengan skripsi mengenai pesantren, dengan nilai terbaik.[3]
Sementara itu, meningkatnya ketegangan antara Belanda dan Indonesia karena Presiden Sukarno memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, juga menyebabkan kampus di Indonesia kesulitan, terutama karena sebagian besar tenaga pengajarnya berkebangsaan Belanda. Sehingga Indonesia membutuhkan banyak orang asli yang berkompeten untuk mengajar di kampus. Pada tahun 1960, Soejoedi kembali dari Jerman ke Indonesia dan bekerja sebagai dosen di TH Bandung, yang kemudian namanya diubah menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah bekerja selama beberapa bulan, Soejoedi dipromosikan menjadi kepala departemen arsitektur.[3]
Selama menjabat sebagai kepala departemen, ia menekankan penggunaan dan eksplorasi teknologi modern dalam konstruksi dan bahan bangunan, terutama struktur baja dan beton. Antara tahun 1960 dan 1964, ia pun merancang dan membangun sejumlah bangunan dan rumah di Bandung. Sebagai dosen, ia memberi kuliah mengenai pendekatan artistik. Bentuk, fungsi, dan bahan harus diintegrasikan sebagai komposisi geometris dan pahatan yang sesuai dengan tujuan dan konteks tertentu, serta selaras dengan lokasinya.[3]
Pada tahun 1964, Soejoedi dipanggil oleh Presiden Sukarno untuk menjadi kepala arsitek dari sejumlah proyek arsitektur nasional di Jakarta. Ia lalu mengajak sejumlah koleganya dari ITB dan mendirikan PT Gubahlaras pada tahun 1969. Visinya untuk perusahaan tersebut adalah untuk menunjukkan modernitas Indonesia melalui arsitektur.[3]
Filosofi rancangan
Soejoedi percaya bahwa modernitas arsitektur dapat menjadi kendaraan untuk membebaskan diri dari jejak kolonialisme. Ia pun memperkenalkan lokalitas Indonesia bukan sebagai imitasi terhadap ikon, bentuk, dan gaya tradisional; tetapi sebagai inspirasi untuk prinsip tata ruang. Ia memakai konsep kategorisasi tata ruang Jawa ke dalam rancangannya, yakni keseimbangan luar (jaba) dan dalam (njero), serta gradasi nilai dari luar (purwa), tengah (madya), dan dalam (utama atau ndalem).[1]
Rancangan Soejoedi dapat dicirikan dari komposisi geometris murninya. Ia menekankan pada lokasi bangunan yang ia rancang, untuk memastikan bahwa bangunan yang ia rancang selaras dengan lokasi dan kondisinya. Tidak seperti rancangan besar Frederich Silaban, seperti Masjid Istiqlal, Soejoedi mencoba untuk tidak merancang bangunan agar terlihat besar. Soejoedi menyadari bahwa arsitektur bukan karya seni murni, tetapi juga upaya publik dan utilitarian yang berhubungan dengan estetika dan pengalaman manusia, seperti keamanan, kenyamanan, dan kesehatan. Untuk itu, Soejoedi selalu mencoba membuka dialog antara alasan dan intuisi. Untuknya, arsitektur adalah tempat bermain bagi manusia untuk mencari sesuatu yang berguna dan indah bagi manusia.[3]
Karya arsitektur pasca-kolonial
Karya Soejoedi antara lain gedung untuk Conefo (1964-1983). Untuk gedung tersebut, Soejoedi menginterpretasikan keinginan Presiden Sukarno untuk mencitrakan independensi dari blok komunis Timur dan blok kapitalis demokrat Barat dengan merancang kompleks modern yang tidak mirip dengan gedung-gedung yang telah ada sebelumnya.[4]
Karya lain Soejoedi adalah Hotel Duta Merlin. Hotel tersebut dirancang untuk menggantikan Hotel des Indes karya arsitek F.J.L. Ghijsels, yang dirancang dengan gaya Art Deco, tetapi menyesuaikan dengan iklim tropis Jawa, yang kemudian dikenal sebagai Gaya Hindia Baru. Untuk Soejoedi, mendirikan bangunan baru untuk kebanggaan nasional agaknya lebih penting daripada mempertahankan bangunan lama yang berbau kolonialisme.[5]