Kerajaan Kuantan
Kerajaan Kuantan adalah kerajaan Islam yang berada di Rantau Kuantan, sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Kerajaan ini didirikan setelah Perang Padri pada abad ke-19 oleh bangsawan Pagaruyung dan berakhir setelah masuknya pasukan Hindia Belanda pada 1905. Raja-rajanya menyandang gelar Yang Dipertuan di Baserah. SejarahMasa PagaruyungRantau Kuantan dahulu adalah salah satu taklukan Pagaruyung. Untuk mengatur wilayah ini, Yang Dipertuan Pagaruyung mengangkat lima urang godang (pembesar), kemudian dikenal sebagai Datuak Nan Balimo. Lima pembesar ini menjadi penghubung antara rakyat Kuantan dengan pihak pusat di Pagaruyung.[1] Tiap tiga tahun, Yang Dipertuan Pagaruyung berkunjung ke Rantau Kuantan untuk menarik pajak.[2] Lima urang godang tersebut antara lain:[3]
Kekuasaan Pagaruyung di Batang Kuantan terhenti di Cerenti. Terbatasnya kekuasaan ini karena ninik mamak di Tigo Lorong lebih memilih tunduk kepada raja Indragiri daripada raja Minangkabau.[4] Pasca-Perang PadriSelama Perang Padri melanda darek, Kuantan tak tersentuh perang tersebut. Hal ini menjadikan Kuantan sebagai tempat pengungsian bagi banyak bangsawan Pagaruyung, salah satunya adalah Yang Dipertuan Sembahyang yang sebelumnya menjadi Raja Adat di Buo. Melalui persetujuan Datuak Nan Balimo, Yang Dipertuan Sembahyang didaulat menjadi raja Kuantan dengan gelar Yang Dipertuan di Baserah.[5] Pada 1876, Yang Dipertuan di Baserah dijabat oleh Raja Abdullah gelar Yamtuan Putih. Penobatan Raja Abdullah mendapat pertentangan dari ninik mamak di Kuantan bagian barat. Raja Abdullah wafat pada 1901 dan digantikan oleh adiknya, Raja Hasan. Masa Raja Hasan ditandai dengan perselisihan dengan kerabat lainnya, Raja Begap gelar Ungku Sutan, yang menguasai Cerenti dan Inuman. Peristiwa ini semakin melemahkan pengaruh Yang Dipertuan di Baserah atas seluruh Rantau Kuantan.[6] Pendudukan Kuantan oleh BelandaPada 1904 ketika Hindia Belanda sedang menumpas pergerakan Sultan Thaha di Jambi, mereka menemukan adanya aliran senjata dan buruh yang masuk dari Kuantan. Oleh sebab itu pada tahun berikutnya, Pemerintah Hindia Belanda melakukan serangan ke Kuantan dari arah Indragiri dan Pantai Barat Sumatra.[5] Dari arah Indragiri, tentara Belanda tak menghadapi perlawanan berarti. Raja Hasan dan Ungku Sutan langsung menyerahkan diri setelah Belanda berhasil masuk ke kediaman mereka. Perlawanan terkeras terjadi dari arah Sumatra Barat.[5] Para pejuang dari Lubuk Jambi, Kari, Jake, dan Taluk melawan pasukan Belanda di Manggis dan Tanjung Bonai. Perang ini dikenal sebagai Perang Manggis dan berakhir dengan jatuhnya Taluk Kuantan pada 11 Oktober 1905.[7][8] Setelah berhasil menduduki seluruh Kuantan, Pemerintah mengumpulkan Yang Dipertuan Baserah dan para urang godang untuk menandatangani korte verklaring (plakat pendek) pada 21 Oktober 1905.[5] Dalam plakat tersebut, Kuantan dibagi menjadi lima zelfbestuur (enam setelah ditambah Hulu Teso pecahan Kampar Kiri) dan Raja Hasan bersama Ungku Sutan hanya berkuasa di IV Koto di Hilir.[7] Perjanjian ini menandai berakhirnya Kerajaan Kuantan secara de jure dan terbentuknya Distrik Kuantan di bawah Keresidenan Riau.[9] Daftar rajaBerikut adalah daftar Yang Dipertuan di Baserah menurut catatan Kementerian Urusan Tanah Jajahan Belanda pada 1910.[2]
Catatan kakiRujukan
Daftar pustaka
|