Keratuan Di Puncak diduga didirikan pada abad ke-14. Menurut cerita para sesepuh, masyarakat Lampung pertama kali menetap di daerah Sekhala Bekhak yang terletak di sekitar Gunung Pesagi hingga tepian Danau Ranau. Pada sekitar abad ke-14, terjadi migrasi besar-besaran dari Sekala Bekhak ke berbagai wilayah Lampung. Dikisahkan bahwa Empu Cangih adalah pemimpin Keratuan Di Puncak, yang wilayah kekuasaannya berada di Puncak Gunung Pesagi, melakukan perjalanan untuk mencari daerah baru guna mendirikan perkampungan. Perjalanan Empu Cangih, yang juga dikenal sebagai Datu Di Puncak dari Sekala Bekhak, singgah di sebuah daerah yang dinamakan Selabung, kemudian pindah lagi ke Canguk Gaccak.[1]
Tidak lama setelah rombongan Datu Di Puncak menetap, diketahui bahwa di sebelah hulu telah ada pemukiman Rio Kunang. Beliau adalah salah satu keturunan Datu Di Pemanggilan dari Puyang Semedekaw. Dalam rombongan Datu Di Puncak, juga ada Beliyuk yang merupakan keturunan Puyang Semedekaw. Kelompok ini kemudian bergabung untuk membangun sebuah perkampungan.[2]
Ketentraman, keamanan, dan kesejahteraan yang telah terbentuk terganggu oleh tindakan pengkhianatan Raja Di Lawuk dari Laut Lebu yang menyamar sebagai tamu Datu Di Puncak. Keluarga Datu Di Puncak, yang terdiri dari Nunyai, Unyi, Subing, Nuban, Bulan, Beliyuk, Kunang, Selagai, dan Anak Tuha, berkumpul untuk merencanakan strategi balas dendam terhadap Raja Di Lawuk. Diceritakan bahwa Subing akhirnya berhasil membalaskan dendam tersebut. Kemenangan ini kemudian dirayakan di daerah Gilas tepi Way Besay. Dari perayaan ini, masyarakat Abung Siwa Mega kemudian terbentuk. Saat ini, kepemimpinan Keratuan Di Puncak dipegang oleh Sultan Akram Labib Muhammad Subing.