Keratuan Balaw didirikan oleh Radin Kunyayan dan istrinya yang bernama Putri Kuning pada tahun 1101. Radin Kunyayan merupakan keturunan Keratuan Pugung Sekala Bekhak dari daerah Ranau. Radin Kunyayan setelah mendirikan kerajaan, menyandang gelar Ratu Sai Ngaji Saka. Keratuan Balaw awalnya berlokasi di daerah Krui, di ujung muara Way Balaw Krui. Pada suatu waktu kemudian, pindah ke muara Way Balaw yang sekarang masuk dalam wilayah Tiyuh Kedamaian.[1].
Tradisi lisan mengenai Keratuan Balaw, seperti yang dicatat oleh Marwansyah Warganegara, berbeda dengan keterangan yang disampaikan oleh Khaldin Balaw. Menurut catatan Marwansyah Warganegara [2], bersamaan dengan masuknya Islam ke Lampung ada tiga orang dari Kerajaan Pajajaran Ratu Alangkara, Ratu Mungkuk, dan Ratu Jangkung datang ke Lampung. Kedatangan mereka bertujuan mengejar anak gadis yang diculik oleh orang Lampung. Kata "mengejar" dalam bahasa Lampung adalah bualaw. Sayangnya, anak gadis yang mereka cari tidak ditemukan. Karena Pajajaran sudah beralih ke Islam, mereka memutuskan untuk tidak kembali dan menetap di sekitar Way Awi, Telukbetung. Di sana, mereka mendirikan kerajaan yang tetap menganut Agama Hindu. Oleh orang Lampung keratuannya disebut Keratuan Balaw.[3]
Tradisi lisan dari masyarakat keturunan Kerajaan Pugung Sekala Berak juga mencatat keberadaan Keratuan Balaw. Dalam silsilah mengenai keturunan Bujang Ringkeh, disebutkan bahwa Bujang Ringkeh, yang bergelar Karai Handak, memiliki empat anak, yakni Raja Sucungkup Alam, Pangeran Raja Mas Unang Dalom, Sang Nata, dan Putri Bungsu Ratu Liba Haji. Pangeran Raja Mas Unang Dalom memiliki tiga anak, yaitu Penyabungan, Putri Dewi, dan Pangeran Nata Diraja. Putri Dewi juga dikenal dengan nama Sangun Kuning atau Putri Kuning. Radin Kunyayan kemudian menikah dengan Putri Kuning. Setelah pernikahan mereka, mereka mendirikan Keratuan Balaw [4]. Dalam tradisi lisan ini, yang dicatat sebagai keturunan Keratuan Pugung adalah Putri Kuning. Radin Kunyayan mungkin juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Keratuan Pugung, meskipun tidak berasal dari garis keturunan Bujang Ringkeh.
Radin Kunyayan[5] Juga dikenal beberapa pemimpin pengganti Radin Kunyayan, yakni Ratu Mungkuk, Ratu Jang Kuna, Ratu Pujaran, dan Ratu Lengkara. Ratu Lengkara berkuasa pada sekitar abad ke-16. Suatu ketika, Ratu Lengkara diajak Sultan Banten untuk berkunjung ke Temasik (Singapura). Pada saat itu, di Keratuan Balaw terjadi kekacauan yang disebabkan oleh beberapa putra ratu dari daerah lain yang berusaha merebut putri Ratu Lengkara. Akibat peristiwa tersebut, putri Ratu Lengkara dipinang oleh putra ratu dari Selagai, Lampung Tengah dan Minak Patih Pejurit dari Tulang Bawang. Setelah kekacauan tersebut, beberapa keturunan Ratu Balaw berpencar. Ratu Wira Saka (Rulung Balak/Gedung) mendirikan kampung di Way Sulan. Ratu Minangsi mendirikan kampung di Way Handak (Kalianda, Binting Penengahan), Rulung Ketibung menetap di Tanjungan (Lampung Selatan), dan Rulung Balaw menetap di Way Kunang.
Pada sekitar abad ke-18 terjadi perpindahan lagi. Keturunan Ratu Wira Saka di Way Sulan pindah ke Tanjung Iman, keturunan Rulung Ketibung mendirikan pemukiman di Tanjung Agung, dan keturunan Rulung Balaw menetap di Tanjung Hening. Pada tahun 1870 atas prakarsa Pangeran Raja Saka, salah satu keturunan Ratu Balaw, keturunan tersebut bersatu mendirikan perkampungan di Tiyuh Kedamaian.
Peristiwa Balaw tidak hanya diceritakan oleh masyarakat keturunan Keratuan Balaw. Tradisi lisan masyarakat Tulangbawang juga mengisahkan peristiwa Balaw. Pada masa Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abdulkadir (1596 – 1651), Minak Kemala Bumi dan Minak Paduka menghadap Sultan Banten untuk menyatakan kedaulatan di bawah Banten (siba). Oleh Sultan Banten, Minak Kemala Bumi diperintahkan untuk mengislamkan Balaw. Pada tahun 1645, Minak Kemala Bumi dibantu oleh klan Abung dan Sungkai menyerang Balaw. Ratu Pujajaran, Ratu Mungkuk, Ratu Jangkung, dan Sangguroh berhasil dikalahkan, dan selanjutnya Balaw dapat diislamkan. Puteri Kunang kemudian dinikahi oleh Minak Tumenggung Aji Kagungan, Puteri Balaw dinikahi oleh Minak Kemala Bumi, dan Puteri Kembang Dadar dinikahi oleh Dalom Paksi Buay Menyata Tanjungan. Minak Kemala Bumi kemudian bergelar Patih Pejurit.
Perkawinan antara Minak Patih Pejurit juga diceritakan oleh tradisi orang Abung. Ketika terjadi perselisihan antar kerajaan di Lampung, Minak Paduka, Minak Kemala Bumi, dan seorang kepala lainnya pergi ke Banten untuk menemui Maulana Hasanuddin. Mereka mempersembahkan pengakuan kekuasaan tertinggi dan pemerintahan atas Tulang Bawang. Hasanuddin tidak bersedia selama di Lampung masih ada Raja Balaw. Ketiga penguasa Lampung tersebut kembali ke Lampung dan mengatur siasat akhirnya menyepakati perjanjian bahwa salah seorang putri Balaw dikawinkan dengan Minak Kemala Bumi.
Ketika ada kesempatan baik mereka membunuh Raja Balaw dan mempersembahkan isteri, anak-anak, dan kekayaan Raja Balaw kepada Sultan di Banten. Oleh Sultan Maulana Hasanuddin atau yang juga disebut Sunan Sabakingking, Minak Paduka diberi gelar Patih Jarumbang dan Minak Kemala Bumi diberi gelar Patih Pejurit. Putri Balaw yang diperistri Minak Kemala Bumi atau Patih Pejurit diambil sebagai istri oleh Sunan Sabakingking. Tetapi tidak lama kemudian, dia dikembalikan lagi kepada Minak Patih Pejurit [6]. Peristiwa Balaw dalam tradisi Tulangbawang berbeda dengan tradisi Abung. Tradisi Tulangbawang menyebutkan peristiwa terjadi pada masa Sultan Abdulkadir (1596 – 1651) sedangkan tradisi Abung menyebut terjadinya peristiwa pada masa Maulana Hasanuddin (1552 – 1580). Proses pindahnya Ratu Balaw menjadi Islam juga terdapat sedikit perbedaan antara tradisi Lampung (Abung dan Tulangbawang) dengan Sajarah Banten. Menurut Sajarah Banten, Ratu Balaw adalah salah seorang penguasa di Lampung yang dengan sukarela masuk Islam. Setelah masuk Islam turut serta membantu Banten dalam rangka menyerang Pakuwan Pajajaran yang masih Hindu[7]. Islamisasi Ratu Balaw tidak melalui cara kekerasan tetapi secara sukarela.