[2]Selagai Lingga merupakan salah satu dari 28 kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, Indonesia dengan penduduk sejumlah 33.977 jiwa. selagai lingga memiliki wilayah seluas 320 km² dengan kondisi geografi daerah yang berbukit bukit. kecamatan selgai lingga memiliki 14 kampung sebagai berikut:
kecamatan Selagai Lingga terbentuk pada tahun 2001 berdasarkan Perda Kabupaten Lampung Tengah No. 10 Tahun 2001, yang merupakan pemekaran dari kecamatan padang ratu. Nama Selagai Lingga di ambil dari nama sebuah mergo dilingkup adat Abung Siwo Migo, yakni mergo Selagai Linggo yang terdiri dari 4 kampung adat (aneg) yakni
Jauh sebelum kecamatan selagai lingga dibentuk, tepat nya pada masa kolonial belanda, selagai lingga merupakan bagian dari onder afdeling kota boemi yang mana dibawah dari afdeling sepoetih. pada masa itu (1900 - 1940) wilayah buay selagai dan buay kunang di lebur belanda menjadi satu dalam bentuk pemerintahan marga yakni "MARGA SELAGAI KOENANG", yang di pimpin oleh seorang pesirah. pada masa pasca kemerdekaan wilayah selagai lingga masih masuk dalam kabupaten lampung utara, kemudian pada tahun 1952 karna satu dan lain hal masyarakat selagai lingga lebih memilih masuk ke kabupaten lampung tengah dibawah kecamatan padang ratu.
pada dasarnya sejarah selagai lingga tidak dapat dilepaskan dari cerita tradisi lisan masyarakat pribumi selagai. berikut sepenggal kisah dari buay selagai.
Cerita Lisan Buay Selagai
perlu diketahui bahwa penjabaran dibawah merupakan cerita lisan yang saran akan kesalahan dan bias dalam sejarah, jadi tidak bisa di klaim bahwa pemaparan dibawah adalah 100% benar.
Pada sekitar abad ke-17 keturunan Datu Di Puncak ada yang bermukim di wilayah Gedong Ratu. Keturunan ini pada saat sekarang di antaranya bermukim di tiga kampung yaitu Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Negeri Katon, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah. Tokoh-tokoh yang membuka kampung tersebut adalah Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, Rangga Masang, Minak Makecil, dan Ngediko Datuk.
Pada kurun waktu antara abad ke-16 hingga ke-17, diceritakan bahwa setelah pindah dari Gilas salah satu keturunan Datu Di Puncak yang bernama Minak Rio Lagai pindah ke Gedong Harta. Minak Rio Lagai mempunyai dua istri, yang pertama bernama Putri Ogan berasal dari Sahur Naga, Kampung Semengeh (Ogan). Perkawinannya dengan Putri Ogan, menurunkan dua anak, yaitu Lingga dan Bussuk. Istri kedua Minak Rio Lagai tidak diketahui namanya, menurunkan satu anak bernama Dendeng.
Anak Minak Rio Lagai yang bernama Lingga mempunyai tiga anak. Anak tertua bernama Rio Sidang Mula Jadi, anak kedua bernama Rio Sidang Penatih, dan anak ketiga bernama Rio Sidang Penatu. Selanjutnya Rio Sidang Mula Jadi mempunyai empat anak yaitu Sutan Jumat Tuha, Makam Jebbi, Rangga Masang, dan Ngediko Datuk. Sekarang ini masyarakat marga Selagai yang bermukim di Kampung Tanjung Ratu dan Negeri Katon merupakan keturunan Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, dan Rangga Masang. Adapun Ngedika Datuk menurunkan sebagian masyarakat Negeri Agung.
Anak Minak Rio Lagai yang kedua, yaitu Rio Sidang Penatih mempunyai satu anak bernama Minak Makecil. Keturunan Minak Makecil merupakan sebagian masyarakat yang bermukim di Negeri Agung. Adapun Rio Sidang Penatu sebagai anak ketiga Minak Rio Lagai diceritakan juga mempunyai menurunkan anak tetapi tidak jelas namanya. Keturunannya yang sekarang merupakan masyarakat yang bermukim di Negeri Katon.
Keturunan para moyang yang sekarang termasuk dalam masyarakat marga Selagai terdiri dari delapan kebuayan. Buay Selagai Lingga merupakan masyarakat yang bermukim di Kampung Negeri Katon, Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Gedong Harta. Buay Selagai Bussuk bermukim di daerah Gedong Raja. Buay Selagai Dendeng bermukim di daerah Pekurun. Buay Selagai Runjung, Buay Selagai Liyah, Buay Selagai Tangguk, Buay Selagai Ghanda, dan Buay Selagai Pepen bermukim di Daerah Gedong Wani, Lampung Timur tepatnya di Kampung Nyampir, Kecamatan Marga Tiga.
Catatan penting yang diceritakan dalam tradisi lisan masyarakat Selagai adalah peristiwa siba ke Banten dan permainan bola. Tentang siba ke Banten diceritakan dilakukan oleh tiga orang moyang Selagai yaitu Sutan Jumat Tuha, Rangga Masang, dan Makam Jebi. Ketika pulang kembali ke Selagai, Sultan Banten memberi lawang kuri. Sutan Jumat Tuha tidak kembali ke Selagai tetapi menetap di Negeri Katon, Gedong Wani.
Masuknya masyarakat transmigrasi
setelah indonesi merdeka tahun 1945, pada akhir tahun1950 pertama kali dilaksanakan pemindahan penduduk dari Jawa Tengah ke Lampung dan Lubuk Linggau dengan nama transmigrasi. Konsep transmigrasi pada saat itu adalah memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa serta pembukaan daerah baru. dan salah satu tujuan dari transmigran jawa ini adalah wilayah selagai lingga.
salah satu rombongan transmigran jawa ini dipimpin oleh tokoh bernama daim zajuli, dengan dibantu oleh perwakilan dari masyarakat pribumi selagai kampung negeri katon yakni suttan paksi, melakukan pembabatan hutan di daerah umbulan tulung bulak, areal lahan tersebut merupakan hak milik dari masyarakat selagai lingga (negeri katon dan gedung harta), untuk mendapatkan areal tanah bukaan tersebut daim zajuli memperjuangkannya lewat kantor negeri seputih barat hingga kekementrian dalam negeri jakarta. dan pada akhirnya areal hutan seluas 10.000 hektar diserahkan kepada direktorat transmigrasi.
Bukit Batubara Linggapura merupakan salah satu destinasi pelancong di Selagai Lingga. Lokasi wisata ini berjarak sekitar 102 km dan ditempuh dalam 3-4 jam perjalanan dari Bandar Lampung.
Bendungan Way pengubuan yang terletak di kampung negeri katon merupakan bendungan yang membendung aliran sungai way pengubuan. Bendungan ini digunakan untuk mengaliri air ke sawah-sawah yang ada di hilir kabupaten Lampung tengah.M.H. HAKKI S.H adalah salah satu tokoh dari selagai lingga, beliau adalah mantan kepala kampung gedung harta yang menjabat selama dua periode berturut-turut dan juga merupakan anggota DPRD LAMPUNG TENGAH menjabat dari 2013 hingga saat ini (2023)[3]