Kerajaan Pat Petulai adalah Kerajaan di Wilayah Bengkulu. Kerajaan ini dibangun oleh 4 anak keturunan Majapahit.
Sejarah
Pat Petulai berasal dari kata Pat Petu Loi yang artinya Empat Pintu Besar. Tanah Rejang dulunya bernama Renah Sekalawi dan telah diduduki oleh Bangsa Rejang. Saat itu rajanya bergelar Ajai yang dipercayai untuk memimpin sekelompok manusia. Lama kelamaan dari keempat Ajai dan tempat tersebut, rakyat masing-masing terus berkembang, maka keempat Ajai dari empat daerah ini bersepakat mengadakan rapat untuk menentukan batas kekuasaan masing-masing daerah, yang akhirnya disebutlah dengan nama Jang Pat Petuloi.[1]
Raja Terkenal
Diantara raja-raja tersebut nama dan tempatnya masih dikenali sampai saat ini adalah
1. Ajai Bitang di Dusun Pelabai (Pelabi) Lebong (Marga Suku IX sekarang),
2. Ajai Begeleng Mato di Kutai Belek Tebo Lebong (Marga Suku VIII sekarang),
3. Ajai Siang di Dusun Siang Lekat Lebong (Marga Jurukalang)
4. Ajai Tiak Keteko di Dusun Bandar Agung Lebong (Marga Suku IX sekarang).[1]
Berakhirlah zaman Ajai kemudian timbul zaman Biku/Bikau (Biksu). Sekitar abad ke 12 atau 13 atau sekitar 600 dan 700 tahun lalu datanglah keempat Biku ini ke Renah Sekalawi (Lebong) dari Kerajaan Majapahit. Konon, keempat orang ini merupakan putra-putra raja Majapahit. Keempat orang ini dikawal oleh para pengawal dan tujuan mereka datang ke Renah Sekalawi (Lebong) Pinang Belapis menurut riwayat adalah ingin mencari negeri dan akan dipimpin oleh masing-masing empat putra-putra Raja Majapahit.
Biku Terkenal
Hampir sama dengan zaman Ajai, empat orang Biku yang dipercaya untuk memimpin pada saat itu adalah
1. Biku Sepanjang Jiwo (Petulai Tubei),
2. Biku Bermano (Petulai Bermani atau Manai),
3. Biku jembo (Petulai Jekalang), dan
4. Bikau sangkalo (Petulai Selupuak Jang).[2]
Tuan Biku Sepanjang Jiwo
Tuan Biku Sepanjang Jiwo, karena arif dan bijaksana dan sangat pengasih penyayang serta sakti, maka diangkatlah dirinya sebagai raja oleh bangsa Rejang untuk menjadi raja menggantikan Ajai Bintang yang berkedudukan di Pelabai (Pelabi). Kemudian datang pula Tuan Biku Jembo dan menjadi raja di Ulu Sungai Ketahun menggantikan Ajai Siang yang berkedudukan di Sukanegeri dekat Tapus dan Biku Bermano yang juga datang dan kemudian menjadi ketua atau raja Bangmego Pitulai Bermani di Kota Rukam dekat Dusun Tes. Kemudian datang pula Tuan Biku Sangkalo yang memudiki biduk menyusuri Sungai Musi sampai ke Ulu Sungai Musi, akhirnya di sanalah dia diangkat menjadi raja Bangsa Rejang di Batu Lebar dekat Dusun Agung Rejang.
Ketika Tuan Biku Sepanjang Jiwo berpisah dengan saudara-saudaranya di Majapahit, dirinya sempat memberikan amanat, bila ingin mencari dirinya, hendaklah terlebih dahulu ditimbang Air Tujuh Kuala Sungai. Manakala kedapatan suatu sungai yang lebih berat dari yang lain, hendaklah sungai itu dimudiki niscaya akan bertemu dengan dirinya.[2]
Saat itu Tuan Biku Bermano bermaksud untuk mencari saudaranya Biku Sepanjang Jiwo. Setelah menimbang air kuala tujuh buah, maka didapatlah olehnya air kuala sungai Ketahun lebih berat dari air kuala sungai yang lainnya. Akhirnya Tuan Biku Bermano pun menyusuri Sungai Ketahun dengan menaiki sebuah biduk, akhirnya bertemulah Tuan Biku Bermano dengan saudaranya Biku Sepanjang Jiwo.
Saat bertemu dengan saudaranya, Tuan Biku Bermano mengatakan “Disini kiranya saudara-saudara telebong (Telebong artinya terkumpul). Akhirnya Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong. Sedangkan negeri tempat pertemuan itu di sebut Pelabai yang artinya tempat.
Pada suatu masa datanglah musim kedukaan dalam Kerajaan Rejang Empat Petulai yakni Tuan Biku Sepanjang Jiwo, Tuan Biku Bermano, Tuan Biku Bembo dan Tuan Biku Bejenggo, rakyat banyak yang sakit dan mati, padi ternak pun tiada yang jadi. Setelah melakukan berbagai upaya untuk menolak balak (bahaya dan musibah) yang juga tiada hasil, maka keempat raja ini mufakat untuk memanggil dan menyuruh ahli nujum melihat dalam ramalannya terhadap kejadian yang dialami oleh keempat kerajaan tersebut. Menurut perkataan ahli nujum, yang menyebabkan kedatangan marabahaya negeri semacam itu adalah seekor siamang (Beruk) putih yang tinggal di atas Pohon Benuang Sakti. Apabila siamang putih ini mengeluarkan suara ke arah yang ditujunya, maka negeri-negeri sebagian yang dihadapinya itu mendapat marabahaya seperti yang telah diderita oleh mereka pada masa itu.
Atas kesepakatan keempat raja tersebut, dicarilah batang Benuang Sakti tempat kediaman Siamang Putih untuk ditebang. Keempat raja ini akhirnya berpencar mencari batang Benuang Sakti yang dimaksud. Akhirnya batang Benuang Sakti yang dimaksud itu ditemukan oleh Tuan Biku Bermano. Ditebangnya batang Benuang Sakti, anehnya saat batang itu ditebang oleh Tuan Biku Bermano tidak juga kunjung roboh, bahkan lebih anehnya lagi segempal potongan kayu runtuh akibat ditebang dua gempal pula kayu itu kian membesar batangnya.[3]
setelah kayu sakti itu roboh dan siamang putih pun raib, keempat kelompok itu mendapatkan julukan masing-masing menurut kelakuan dan pekerjaan waktu menebang pohon yang dikenal Pat Petulai yang masing-masing diberi nama:
- Petulai Sepanjang Jiwo diberi nama Tubai (Tubei) asal katanya dari beubei-ubei artinya bertumpuk-tumpuk.
- Petulai Bembo diberi nama Juru Kalang yang artinya tukang galang.
- Petulai Bejenggo diberi nama Selupuei (Selupu) berasal dari kata berupuei-upuei artinya bergegas-gegas.
- Petulai Bermano diberi nama Manei artinya daya.[1]
Keempat Biku tersebut berhasil menebang Pohon Benuang Sakti mereka pun beristirahat untuk melepas lelah. Pada saat istirahat, cacahan kayu Benuang Sakti disusun oleh mereka untuk menyimbolkan kata-kata yang mereka ucapkan, menjadi bentuk-bentuk huruf yang mereka sebut Ka Ga Nga.
Masa Keruntuhannya
Kerajaan Pat Petulai runtuh pada abad ke-14. Dimana Kerajaan Pat Petulai Kalah dengan Kerajaan Inggris pada saat itu.[3]
Referensi