Kesultanan Langkat merupakan kerajaan yang dulu memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara sekarang. Kesultanan Langkat menjadi makmur karena dibukanya perkebunan karet dan ditemukannya cadangan minyak di Pangkalan Brandan.
Sejarah
Pendirian
Kesultanan Langkat merupakan monarki yang berusia paling tua di antara monarki-monarki Melayu di Sumatra Timur.
Pada tahun 1568, di wilayah yang kini disebut Hamparan Perak, salah seorang petinggi Kerajaan Aru yang bernama Dewa Shahdan berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh dan mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan inilah yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat modern.
Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya saja, pohon itu kini sudah punah.
Pengganti Dewa Shahdan, Dewa Sakti, tewas dalam penyerangan yang kembali dilakukan oleh Kesultanan Aceh pada tahun 1612. Pada masa kepemimpinan Raja Kejuruan Hitam (1750-1818), serangan terhadap Langkat berasal dari Kerajaan Belanda. Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19.[butuh rujukan] Pada saat itu raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak. Tahun 1850 Aceh mendekati Raja Langkat agar kembali ke bawah pengaruhnya, namun pada 1869 Langkat menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877.
Masa Kolonial
Pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Konsesi pertama eksploitasi minyak bumi diberikan oleh Sultan pada tahun 1883. Dua tahun kemudian, dilakukan pengeboran pertama minyak bumi dari perut bumi. Pada tahun 1892 kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal.
Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar. Secara umum bila di bandingkan dengan kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatra Timur saat itu, Langkat jauh lebih makmur melebihi harapan. Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Salah satu sisa kejayaan Langkat yang dapat disaksikan sekarang adalah Masjid Azizi di Tanjung Pura.
Pada tahun 1907 Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah menandatangani kontrak politik dengan Belanda yang diwakili oleh Jacob Ballot selaku Residen van Sumatra Oostkust. Dalam perjanjian ini batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan. Daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Sultan terdiri dari Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.
Wilayah Langkat secara administratif dibagi menjadi tiga bagian:
Langkat Hulu
Langkat Hilir
Teluk Haru
Terjadi perhelatan besar pada bulan November1926, di mana Sultan Ahmad Sulaimanuddin dari Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara meminang putri Sultan Abdul Aziz yaitu Putri Lailan Syafinah. Oleh rakyat Langkat, Sultan Bulungan dikenal dengan nama Sultan Maulana Ahmad. Jarak antara Bulungan dan Langkat jika ditarik garis lurus mencapai sekitar 2.200 kilometer. Arsip Belanda juga mencatat sejumlah foto pernikahan keduanya di Tanjung Pura, yang juga dirayakan dengan tarian Suku Karo.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, tepatnya saat tentara Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur, sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang. Disini tak ditemukan bagaimana relasi, kontestasi, dan peta politik Langkat dengan kerajaan-kerajaan tetangga.
Kekuasaan Kesultanan Langkat atas politik dan pemerintahan runtuh bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada tahun 1946. Pada saat itu banyak keluarga Kesultanan Langkat yang terbunuh, termasuk Tengku Amir Hamzah, penyair Angkatan Pujangga Baru dan pangeran Kesultanan Langkat.
Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar yang tergabung dalam Volksfront. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah pada malam jatuhnya Istana Darul Aman, 9 Maret1946.
Setelah menangkap Tengku Amir Hamzah, Peradilan Rimba, demikian istilah bagi laskar-laskar itu, menjatuhkan hukuman pancung bagi Amir Hamzah. Jasadnya kemudian ditumpuk dengan jenazah ke 26 Tengku lainnya. Keesokan harinya jasad Amir Hamzah dikebumikan di Masjid Azizi, Tanjung Pura. Istana Darul Aman memang diserbu dan dibakar, akan tetapi Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan ke Batang Serangan hingga kemudian Belanda membebaskannya pada bulan Juli1947.
Setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah wafat pada tahun 1948, para Sultan Langkat praktis kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya bertakhta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga Kerajaan.
Daftar Penguasa
Berikut adalah raja-raja Kesultanan Langkat:[1][2][3][4]
1568-1580: Panglima Dewa Shahdan
1580-1612: Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
1612-1673: Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja sebelumnya
1673-1750: Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya
1750-1818: Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya
1818-1840: Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya
1840-1893: Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya
1893-1927: Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Haji Musa, anak raja sebelumnya
1927-1948: Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Abdul Aziz, anak raja sebelumnya
1948-1990: Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, anak raja sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga kerajaan
1990-1999: Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, saudara raja sebelumnya
1999-2001: Tengku Dr. Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
2001-2003: Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, gelar Sultan dipakai kembali
2003-Sekarang: Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku Maimun, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
Galeri
Jalan di sekitar Istana Darul Aman dan Istana Darussalam, Tanjung Pura, sekitar tahun 1921.