Jupiter
Jupiter adalah planet kelima terdekat dari Matahari setelah Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars.[11] Planet ini juga merupakan planet terbesar di Tata Surya.[12] Jupiter merupakan raksasa gas dengan massa seperseribu massa Matahari dan dua setengah kali jumlah massa semua planet lain di Tata Surya. Planet ini dan raksasa gas lain di Tata Surya (yaitu Saturnus, Uranus, dan Neptunus) kadang-kadang disebut planet Jovian atau planet luar. Jupiter telah dikenal oleh para astronom sejak zaman kuno,[13] dan dikaitkan dengan mitologi dan kepercayaan religius banyak peradaban. Bangsa Romawi menamai planet ini dari dewa Jupiter dalam mitologi Romawi.[14] Saat diamati dari Bumi, magnitudo tampak Jupiter dapat mencapai −2,94, yang cukup terang untuk menghasilkan bayangan,[15] dan juga menjadikannya objek tercerah ketiga di langit malam setelah Bulan dan Venus, walaupun Mars dapat menyaingi kecerahan Jupiter pada saat tertentu. Jupiter sebagian besar terdiri dari hidrogen dan helium. Seperempat massa Jupiter merupakan helium, walaupun jumlahnya hanya sepersepuluh komposisi Jupiter. Planet ini mungkin memiliki inti berbatu yang terdiri dari unsur-unsur berat,[16] namun tidak memiliki permukaan yang padat layaknya raksasa gas lainnya. Akibat rotasinya yang cepat, planet ini berbentuk bulat pepat (terdapat tonjolan di sekitar khatulistiwa Jupiter). Atmosfer luar terbagi menjadi beberapa lapisan di lintang yang berbeda, dan interaksi antara batas-batas lapisan tersebut menghasilkan badai. Salah satu dampaknya adalah Bintik Merah Raksasa, yaitu badai besar yang telah diketahui keberadaannya semenjak abad ke-17 dengan menggunakan teleskop. Di sekeliling Jupiter terdapat cincin yang tipis dan magnetosfer yang kuat. Selain itu terdapat paling tidak 67 satelit alami, termasuk empat satelit besar yang disebut satelit-satelit Galileo yang pertama kali ditemukan oleh Galileo Galilei pada tahun 1610. Satelit terbesar Jupiter, yaitu Ganimede, memiliki diameter yang lebih besar daripada planet Merkurius. Jupiter telah dijelajahi beberapa kali oleh wahana robotik, seperti misi terbang lintas Pioneer, Voyager, dan Galileo. Wahana terakhir yang mengunjungi Jupiter adalah wahana New Horizons pada akhir Februari 2007 saat sedang menuju Pluto. Wahana tersebut menggunakan bantuan gravitasi dari Jupiter untuk membantu meningkatkan kecepatannya. Ke depannya, beberapa satelit yang mengelilingi Jupiter mungkin akan dijelajahi, seperti satelit Europa yang mungkin memiliki samudra cair di bawah lapisan esnya. StrukturJupiter sebagian besar terdiri dari materi gas dan cair. Planet ini merupakan planet terbesar di antara empat raksasa gas dan terbesar di Tata Surya dengan diameter sebesar 142.984 km (88.846 mi) di khatulistiwanya. Kepadatan Jupiter, yaitu 1,326 g/cm3, merupakan yang terbesar kedua di antara raksasa gas, namun lebih rendah dari empat planet kebumian lainnya. KomposisiAtmosfer atas Jupiter terdiri dari 88–92% hidrogen dan 8–12% helium berdasarkan persen volume atau fraksi molekul. Karena massa atom helium empat kali lebih besar dari massa atom hidrogen, komposisi berubah bila dideskripsikan berdasarkan proporsi massa. Maka, atmosfer Jupiter terdiri dari 75% hidrogen dan 24% helium berdasarkan massa, dengan satu persen sisanya merupakan massa unsur-unsur lainnya. Bagian dalam Jupiter mengandung materi yang lebih padat sehingga persebarannya berdasarkan massa kurang lebih 1% hidrogen, 24% helium, dan 5% unsur lain. Atmosfer Jupiter mengandung metana, uap air, amonia, dan senyawa berbasis silikon. Terdapat pula karbon, etana, hidrogen sulfida, neon, oksigen, fosfin, dan sulfur. Lapisan atmosfer terluar mengandung kristal amonia beku.[17][18] Melalui pengukuran inframerah dan ultraviolet, keberadaan benzena dan hidrokarbon lain juga ditemukan.[19] Proporsi hidrogen dan helium di atmosfer hampir sama dengan komposisi nebula matahari primordial secara teoretis. Kandungan neon di atmosfer atas hanya 20 bagian per juta, kurang lebih sepersepuluh dari Matahari.[20] Kandungan helium juga terkuras hingga hanya 80% dari komposisi helium Matahari. Hal ini mungkin disebabkan oleh presipitasi unsur tersebut di bagian dalam planet.[21] Keberlimpahan gas lembam berat di atmosfer Jupiter kurang lebih dua hingga tiga kali kandungan di Matahari. Spektroskopi menunjukkan bahwa komposisi Saturnus mirip dengan Jupiter, namun raksasa-raksasa gas lain, yaitu Uranus dan Neptunus, relatif memiliki lebih sedikit hidrogen dan helium.[22] MassaMassa Jupiter 2,5 kali lebih besar dari massa seluruh planet lain di Tata Surya—planet ini begitu besar sehingga barisenter Jupiter dengan Matahari berada di luar permukaan Matahari pada jarak 1,068 radius matahari dari pusat Matahari. Walaupun diameter Jupiter sepuluh kali lebih besar dari Bumi, kepadatannya lebih rendah. Volume Jupiter kurang lebih 1.321 kali Bumi, tetapi massanya hanya 318 kali Bumi.[3][23] Jari-jari planet ini tercatat sebesar 1/10 radius matahari,[24] dan massanya 0,001 kali massa matahari, sehingga kepadatan dua objek tersebut serupa.[25] "Massa Jupiter" (MJ or MJup) sering kali digunakan sebagai satuan untuk mendeskripsikan massa objek lain, terutama eksoplanet dan katai coklat. Misalnya, eksoplanet HD 209458 b memiliki massa sebesar 0,69 MJ, sementara massa Kappa Andromedae b tercatat sebesar 12,8 MJ.[26] Berdasarkan permodelan teoretis, jika Jupiter memiliki massa yang lebih rendah, planet ini akan menciut.[27] Bila massa sedikit berubah, jari-jari tidak akan banyak berubah, dan bila massa lebih besar dari 500 M🜨 (1,6 massa Jupiter), bagian dalam Jupiter akan terkompresi akibat peningkatan gaya gravitasi sehingga volume planet akan berkurang. Akibatnya, Jupiter diduga memiliki diameter terbesar yang dapat dicapai oleh planet dengan komposisi dan sejarah evolusioner semacam itu. Proses penciutan yang diiringi dengan peningkatan massa akan berlanjut hingga berlangsung ignisi bintang seperti yang terjadi pada katai coklat dengan massa sekitar 50 massa Jupiter. Walaupun massa Jupiter harus 75 kali lebih besar untuk memfusikan hidrogen dan menjadi bintang, jari-jari bintang katai merah terkecil hanya 30 persen lebih besar daripada Jupiter.[28][29] Walaupun begitu, Jupiter menghasilkan lebih banyak panas daripada yang diterima dari Matahari; panas yang dihasilkan dalam suatu planet biasanya tidak berbeda dari jumlah radiasi matahari yang diterima.[30] Panas tambahan ini dihasilkan oleh mekanisme Kelvin–Helmholtz melalui kontraksi adiabatik. Proses ini membuat Jupiter mengecil dengan laju 2 cm per tahun.[31] Saat pertama kali terbentuk, Jupiter jauh lebih panas dan diameternya dua kali lebih besar dari diameter saat ini.[32] Struktur dalamJupiter diduga terdiri dari inti yang padat, lapisan hidrogen metalik dengan sedikit helium, dan lapisan luar yang sebagian besar terdiri dari hidrogen molekuler.[31] Hal lain di luar garis besar ini masih dianggap belum pasti. Inti Jupiter biasanya dikatakan berbatu, namun komposisi detailnya masih belum diketahui, dan begitu pula properti material-material pada suhu dan tekanan di kedalaman semacam itu (lihat di bawah). Pada tahun 1997, keberadaan inti pada planet Jupiter telah ditunjukkan melalui pengukuran gravitasi,[31] yang diperkirakan memiliki massa 12 hingga 45 kali lebih besar dari Bumi atau kurang lebih 3%–15% jumlah massa Jupiter.[30][33] Keberadaan inti dalam sejarah Jupiter ditunjukkan oleh model pembentukan planet yang melibatkan pembentukan inti berbatu atau ber-es yang cukup besar untuk mengumpulkan hidrogen dari helium dari nebula protomatahari. Jika inti dianggap tidak ada, Jupiter akan mengecil karena aliran konveksi hidrogen metalik cair yang panas bercampur dengan inti cair dan membawa isinya ke atas bagian dalam planet. Mungkin saat ini tidak terdapat inti di Jupiter karena pengukuran gravitasional saat ini masih belum dapat membuktikan secara pasti bahwa hal tersebut tidak benar.[31][34] Ketidakpastian permodelan bagian dalam Jupiter disebabkan oleh batas kesalahan dalam parameter yang diukur, yaitu salah satu koefisien rotasi (J6) yang digunakan untuk mendeskripsikan momen gravitasi planet, jari-jari khatulistiwa Jupiter, dan suhunya pada tekanan 1 bar. Wahana Juno, yang diluncurkan pada Agustus 2011, diperkirakan dapat memperbaiki parameter tersebut dan membantu menyelesaikan misteri inti Jupiter.[35] Wilayah inti dikelilingi oleh hidrogen metalik padat yang membentang hingga 78% jari-jari planet.[30] Helium dan neon berpresipitasi di lapisan ini, sehingga mengurangi keberlimpahan unsur-unsur tersebut di atmosfer atas.[21][36] Di atas lapisan hidrogen metalik terdapat atmosfer dalam yang transparan dan terdiri dari hidrogen. Pada kedalaman ini, suhu berada di atas suhu kritis, yaitu sebesar 33 K untuk hidrogen.[37] Dalam keadaan ini, hidrogen berada pada fase cair superkritis. Untuk mempermudah pengkategorian, hidrogen di lapisan atas yang membentang dari lapisan awan hingga kedalaman sekitar 1.000 km ada dalam bentuk gas,[30] sementara hidrogen di lapisan dalam ada dalam bentuk cair. Namun, secara fisik tidak terdapat batas yang jelas—dari atas ke bawah gas secara perlahan menjadi lebih panas dan padat.[38][39] Semakin dekat ke inti, semakin tinggi suhu dan tekanan. Di wilayah transisi fase, yaitu tempat hidrogen menjadi metalik karena suhunya melebihi suhu kritis, suhunya diperkirakan sebesar 10.000 K dan tekanannya sebesar 200 GPa. Suhu di batas inti diperkirakan sebesar 36.000 K dan tekanannya kurang lebih 3.000–4.500 GPa.[30] AtmosferJupiter memiliki atmosfer planet terbesar di Tata Surya dengan ketinggian yang membentang hingga 5.000 km (3.107 mi).[40][41] Karena Jupiter tidak memiliki permukaan, dasar atmosfer ditentukan terletak di bagian dengan tekanan atmosfer sebesar 10 bar, atau sepuluh kali tekanan permukaan di Bumi.[40] Lapisan awanJupiter dilapisi oleh awan yang terdiri dari kristal amonia dan kemungkinan amonium hidrosulfida. Awan-awan tersebut terletak di tropopause dan tersusun menjadi lapisan-lapisan yang terletak di lintang yang berbeda. Lapisan-lapisan tersebut terbagi lagi menjadi “zona” dengan warna yang lebih cerah dan “sabuk” yang lebih gelap. Interaksi antara pola sirkulasi yang saling berlawanan mengakibatkan terjadinya badai dan turbulensi. Kecepatan angin sebesar 100 m/s (360 km/j) umum ditemui di zonal jet Jupiter.[42] Zona-zona tersebut memiliki lebar, warna, dan intensitas yang berbeda setiap tahunnya, namun cukup stabil sehingga dapat diberi penandaan.[23] Kedalaman lapisan awal Jupiter tercatat sebesar 50 km (31 mi), dan terdiri dari paling tidak dua dek awan: dek bawah yang tebal dan wilayah yang tipis dan lebih jelas. Mungkin terdapat lapisan awan air yang tipis di bawah lapisan amonia, yang dibuktikan dengan ditemukannya kilatan di atmosfer Jupiter. Hal ini disebabkan oleh polaritas air yang memungkinkan terjadinya pemisahan muatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan petir.[30] Kekuatan pelepasan elektrik ini dapat mencapai seribu kali kekuatan petir di Bumi.[43] Di awan-awan air dapat berlangsung badai petir yang didorong oleh panas dari bagian dalam.[44] Warna jingga dan coklat di awan Jupiter dihasilkan oleh senyawa yang berubah warna ketika terpapar dengan sinar ultraviolet dari Matahari. Susunannya masih belum pasti, namun substansi yang diduga terkait adalah fosfor, sulfur, atau kemungkinan hidrokarbon.[30][45] Senyawa-senyawa berwarna yang disebut kromofor ini bercampur dengan dek awan yang hangat di bagian bawah. Zona-zona terbentuk ketika sel konveksi membentuk amonia terkristalisasi yang menutupi awan di bagian bawah.[46] Akibat kemiringan sumbu Jupiter yang rendah, kutub-kutub Jupiter menerima lebih sedikit radiasi matahari bila dibandingkan dengan wilayah khatulistiwa. Konveksi di bagian dalam planet mengalirkan lebih banyak energi ke wilayah kutub, sehingga menyeimbangkan suhu di lapisan awan.[23] Bintik Merah Raksasa dan badai besar lainnyaKetampakan Jupiter yang paling dikenal adalah Bintik Merah Raksasa, yaitu badai antisiklon yang lebih besar dari Bumi dan terletak di 22° sebelah selatan khatulistiwa. Badai ini sudah ada paling tidak semenjak tahun 1831,[47] dan kemungkinan dari tahun 1665.[48][49] Model matematis menunjukkan bahwa badai ini stabil dan mungkin merupakan ketampakan permanen.[50] Badai ini cukup besar sehingga dapat dilihat dengan menggunakan telesko dari Bumi dengan bukaan 12 cm atau lebih besar.[51] Objek yang berbentuk oval ini berotasi melawan arah jarum jam dengan periode rotasi selama enam hari.[52] Dimensi Bintik Merah Raksasa tercatat sebesar 24–40.000 km × 12–14.000 km. Diameternya cukup besar untuk menampung dua atau tiga diameter Bumi.[53] Ketinggian maksimal badai ini adalah 8 km (5 mi).[54] Badai semacam ini banyak ditemui pada raksasa gas dengan atmosfer yang bergolak. Jupiter juga memiliki oval putih dan coklat yang biasanya lebih kecil dan tidak dinamai. Oval putih biasanya terdiri dari awan yang relatif dingin di atmosfer atas. Oval coklat merupakan awal yang lebih hangat dan terletak di “lapisan awan normal”. Badai semacam ini dapat berlangsung selama beberapa jam hingga berabad-abad. Bahkan sebelum wahana Voyager membuktikan bahwa Bintik Merah Raksasa merupakan badai, terdapat bukti kuat bahwa bintik tersebut tidak terkait dengan ketampakan di permukaan karena pergerakannya berbeda dengan pergerakan atmosfer Jupiter: kadang-kadang lebih cepat dan kadang-kadang lebih lambat. Dalam sejarah bintik ini telah bergerak beberapa kali di Jupiter relatif terhadap patokan rotasi tetap manapun. Pada tahun 2000, muncul ketampakan di belahan selatan yang mirip dengan Bintik Merah Raksasa, namun lebih kecil. Ketampakan ini merupakan gabungan dari beberapa badai oval yang lebih kecil dan berwarna putih. Ketampakan gabungan ini dinamai Oval BA, dan kadang-kadang dijuluki Bintik Merah Kecil. Intensitas badai tersebut semenjak itu meningkat dan warnanya berubah dari putih menjadi merah.[55][56][57] CincinJupiter memiliki cincin yang tipis yang terdiri dari tiga bagian: cincin halo, cincin utama yang relatif terang, dan cincin gossamer.[58] Cincin tersebut tampaknya terbuat dari debu, sementara cincin Saturnus terdiri dari es.[30] Cincin utama Jupiter kemungkinan terdiri dari materi yang terlempar dari satelit Adrastea dan Metis. Materi yang biasanya akan jatuh kembali ke satelit-satelit tersebut tertarik ke arah Jupiter akibat gravitasinya yang kuat. Materi-materi tersebut pun mengorbit Jupiter dan terus dipertebal oleh materi hasil tubrukan lainnya.[59] Dua bagian cincin lainnya kemungkinan terbentuk dari satelit Thebe dan Amalthea dengan cara yang sama.[59] Telah ditemukan pula cincin berbatu di sepanjang orbit Amalthea yang mungkin terdiri dari materi yang berasal dari satelit tersebut.[60] MagnetosferMedan magnet Jupiter 14 kali lebih kuat dari medan magnet Bumi, dengan intensitas 4,2 gauss (0.42 mT) di khatulistiwa dan 10–14 gauss (1,0–1,4 mT) kedua kutub, sehingga menjadikannya yang terkuat di Tata Surya (setelah bintik matahari).[46] Medan ini diyakini dihasilkan oleh arus eddy di inti hidrogen metalik cair. Gunung berapi di Io menghasilkan sulfur dioksida yang membentuk torus gas di sekeliling orbit satelit tersebut. Gas ini terionisasi di magnetosfer sehingga menghasilkan ion sulfur dan oksigen. Ion-ion ini bersama dengan ion hidrogen dari atmosfer Jupiter membentuk helai plasma di bidang khatulistiwa Jupiter. Plasma di helai tersebut turut berotasi dengan Jupiter sehingga menyebabkan deformasi medan magnet dipol menjadi magnetodisk. Elektron di helai plasma menghasilkan semburan radio dengan kekuatan 0,6–30 MHz.[61] Di jarak sejauh 75 radius Jupiter, interaksi magnetosfer dengan angin matahari menghasilkan kejutan busur. Magnetosfer Jupiter dikelilingi oleh magnetopause, yang terletak di dalam magnetosheath—wilayah di antara magnetopause dan kejutan busur. Angin matahari berinteraksi dengan wilayah ini dan memanjangkan magnetosfer di sisi yang membelakangi angin and merentangkannya hingga mencapai orbit Saturnus. Empat satelit terbesar Jupiter mengorbit di dalam magnetosfer Jupiter, yang melindungi satelit-satelit tersebut dari angin matahari.[30] Magnetosfer Jupiter menyebabkan pemancaran radio yang intens dari wilayah kutub planet. Gunung berapi di Io mengeluarkan gas ke magnetosfer Jupiter, sehingga menghasilkan torus partikel di sekeliling planet. Saat Io bergerak melalui torus ini, interaksi ini menghasilkan gelombang Alfvén yang mengangkut materi yang terionisasi ke wilayah kutub Jupiter. Akibatnya, gelombang radio dihasilkan melalui mekanisme maser siklotron, dan pancaran radio tersebut berbentuk kerucut. Ketika Bumi melewati kerucut ini, pancaran radio dari Jupiter dapat melebihi pancaran radio Matahari.[62] Orbit dan rotasiPusat massa Jupiter dengan Matahari terletak di luar Matahari, walaupun hanya pada jarak 1,068 radius Matahari dari pusat Matahari.[63] Rata-rata jarak antara Jupiter dengan Matahari adalah 778 juta km (sekitar 5,2 rata-rata jarak Bumi dari Matahari, atau 5,2 SA) dan planet ini menyelesaikan orbitnya setiap 11,86 tahun. Periode orbit Jupiter merupakan dua per lima periode orbit Saturnus, sehingga menghasilkan resonansi orbit 5:2 antara dua planet terbesar di Tata Surya.[64] Orbit Jupiter yang elips terinklinasi 1,31° bila dibandingkan dengan Bumi. Karena eksentrisitas orbit Jupiter tercatat sebesar 0,048, selisih antara perihelion dan aphelion Jupiter adalah 75 juta km. Kemiringan sumbu Jupiter relatif kecil: hanya 3,13°. Akibatnya planet ini tidak mengalami perubahan musim yang signifikan, terutama bila dibandingkan dengan Bumi dan Mars.[65] Rotasi Jupiter merupakan yang tercepat di antara planet-planet di Tata Surya; Jupiter hanya memerlukan waktu selama sepuluh jam untuk menyelesaikan rotasinya. Akibatnya terdapat tonjolan khatulistiwa yang dapat dilihat dengan menggunakan teleskop amatir di Bumi. Planet ini berbentuk bulat pepat, atau dalam kata lain diameter di garis khatulistiwa lebih panjang daripada diameter di antara kutub-kutub Jupiter. Diameter khatulistiwa planet ini adalah 9.275 km (5.763 mi) yang lebih panjang daripada diameter antar kutub.[39] Jupiter bukan planet yang padat, sehingga atmosfer atasnya mengalami rotasi diferensial. Rotasi atmosfer di kutub Jupiter 5 menit lebih lama daripada atmosfer di khatulistiwa. Terdapat tiga sistem yang digunakan sebagai kerangka acuan untuk mencatat pergerakan ketampakan atmosferik. Sistem I berlaku dari lintang 10° U hingga 10° S; periode di sini merupakan yang tercepat di Jupiter, yaitu 9 jam 50 menit 30,0 detik. Sistem II berlaku di sebelah utara dan selatan lintang pada sistem I; periodenya tercatat sebesar 9 jam 55 menit 40,6 detik. Sistem III pertama kali didefinisikan oleh astronom radio dan terkait dengan rotasi magnetosfer Jupiter; periodenya merupakan periode rotasi Jupiter yang resmi.[66] PengamatanJupiter biasanya menjadi objek tercerah keempat di langit setelah Matahari, Bulan, dan Venus.[46] Namun, kadang-kadang Mars tampak lebih cerah dari Jupiter. Magnitudo visual Jupiter yang paling cerah adalah −2,9 saat sedang beroposisi, sementara yang paling rendah adalah −1,6 saat sedang berkonjungsi dengan Matahari. Diameter sudut Jupiter juga bervariasi antara 50,1 hingga 29,8 detik busur.[3] Oposisi yang memudahkan pengamatan berlangsung saat Jupiter melewati perihelion dan hal ini terjadi satu kali per orbit. Saat Jupiter mendekati perihelion pada Maret 2011, berlangsung oposisi yang memudahkan pengamatan pada September 2010.[67] Bumi mendahului Jupiter setiap 398,9 hari, dan durasi ini disebut periode sinodis. Saat hal tersebut sedang terjadi, Jupiter tampak melakukan gerak maju mundur tampak, atau dalam kata lain, Jupiter tampak bergerak ke belakang di langit malam, dan kemudian bergerak ke depan lagi. Karena orbit Jupiter terletak di luar Bumi, sudut fase Jupiter dari Bumi tidak pernah melebihi 11,5°. Dalam kata lain, planet ini selalu tampak hampir sepenuhnya disinari saat dilihat dengan menggunakan teleskop di Bumi. Hanya selama misi wahana-wahana ke Jupiter citra Jupiter dalam bentuk sabit diperoleh.[68] Teleskop kecil biasanya akan menunjukkan empat satelit-satelit Galileo dan sabuk awan di atmosfer Jupiter.[69] Teleskop besar akan menunjukkan Bintik Merah Raksasa bila sedang menghadap ke Bumi. Penelitian dan penjelajahanPenelitian pra-teleskopPengamatan terhadap Jupiter telah dilakukan oleh astronom-astronom Babilonia dari abad ke-7 atau ke-8 SM.[70] Sejarawan astronomi Tiongkok Xi Zezong telah mengklaim bahwa astronom Tiongkok Gan De telah menemukan satu satelit Jupiter pada tahun 362 SM dengan mata telanjang. Jika benar, penemuan ini mendahului Galileo selama dua milenium.[71][72] Dalam karyanya pada abad ke-2 yang berjudul Almagest, astronom Yunani Claudius Ptolemaeus membuat model planet geosentrik berdasarkan deferen dan episiklus untuk menjelaskan pergerakan Jupiter relatif terhadap Bumi, dan memberinya periode orbit selama 4332,38 hari atau 11,86 tahun.[73] Pada tahun 499, matematikawan dan astronom India Aryabhata juga menggunakan model geosentrik untuk memperkirakan periode orbit Jupiter sebesar 4332,2722 hari atau 11,86 tahun.[74] Penelitian menggunakan teleskop di permukaanPada tahun 1610, Galileo Galilei menemukan empat satelit terbesar Jupiter, yaitu Io, Europa, Ganimede, dan Kalisto, yang diduga merupakan pengamatan satelit di luar Bumi pertama dengan menggunakan teleskop. Galileo juga menemukan bahwa Bumi tidak dikelilingi oleh planet-planet dan Matahari. Pendapatnya yang mendukung teori heliosentrisme Copernicus membuatnya terancam diinkuisisi oleh gereja.[75] Selama tahun 1660-an, Cassini menggunakan teleskop baru untuk menemukan bintik-bintik dan pita-pita berwarna di Jupiter dan menemukan bahwa planet ini berbentuk pepat. Ia juga dapat memperkirakan periode rotasi planet Jupiter.[76] Lebih lagi, pada tahun 1690, Cassini menyadari bahwa atmosfer Jupiter mengalami rotasi diferensial.[30] Bintik Merah Raksasa, yaitu ketampakan berbentuk oval di belahan selatan Jupiter, telah diamati pada tahun 1664 oleh Robert Hooke dan pada tahun 1665 oleh Giovanni Cassini, walaupun hal ini masih diperdebatkan. Heinrich Schwabe sendiri memproduksi gambar yang menunjukkan detail Bintik Merah Raksasa pada tahun 1831.[77] Bintik Merah Raksasa dilaporkan tidak terlihat lagi beberapa kali antara tahun 1665 hingga 1708 sebelum tampak cukup jelas pada tahun 1878. Ketampakan bintik ini memudar lagi pada tahun 1883 dan pad permulaan abad ke-20.[78] Baik Giovanni Borelli dan Cassini membuat tabel yang mencatat pegerakan satelit-satelit Jupiter, sehingga dapat memprediksi kapan satelit-satelit tersebut akan tampak melewati Jupiter. Pada tahun 1670-an, telah diamati bahwa ketika Jupiter berada di sisi Matahari yang berlawanan dari Bumi, peristiwa-peristiwa tersebut akan berlangsung 17 menit lebih lama dari yang diperkirakan. Ole Rømer menarik kesimpulan bahwa ketampakan tidak terjadi seketika itu juga (simpulan yang sebelumnya ditolak Cassini),[18] dan rentang waktu ini dapat digunakan untuk memperkirakan kecepatan cahaya.[79] Pada tahun 1892, E. E. Barnard mengamati satelit kelima Jupiter dengan menggunakan refraktor 36-inci (910 mm) di Observatorium Lick, California. Penemuan objek yang relatif kecil ini membuatnya terkenal. Satelit ini kemudian dinamai Amalthea.[80] Satelit ini merupakan satelit planet terakhir yang ditemukan dengan menggunakan pengamatan langsung.[81] Delapan satelit tambahan akan ditemukan sebelum terbang lintas wahana Voyager 1 pada tahun 1979. Pada tahun 1932, Rupert Wildt mengidentifikasi pita absorpsi amonia dan metana di spektra Jupiter.[82] Tiga ketampakan antisiklonik yang disebut oval putih diamati pada tahun 1938. Selama beberapa dasawarsa, ketampakan-ketampakan tersebut tetap menjadi ketampakan yang terpisah di atmosfer; kadang-kadang mereka saling mendekati, namun tidak pernah bersatu. Namun, pada tahun 1998, kedua oval bergabung, dan kemudian yang ketiga juga turut bersatu pada tahun 2000, sehingga menjadi Oval BA.[83] Penelitian radioteleskopPada tahun 1955, Bernard Burke dan Kenneth Franklin melacak semburan sinyal radio dari Jupiter sebesar 22,2 MHz.[30] Periode semburan-semburan tersebut sesuai dengan rotasi planet, dan mereka juga dapat menggunakan informasi ini untuk menentukan periode rotasi. Semburan radio dari Jupiter memiliki dua bentuk: semburan panjang yang berlangsung beberapa detik dan semburan pendek dengan durasi kurang dari seperseratus detik.[84] Ilmuwan menemukan tiga jenis semburan radio yang dikeluarkan dari Jupiter:
Penjelajahan wahana angkasaSemenjak tahun 1973, sejumlah wahana telah mengunjungi Jupiter, seperti wahana Pioneer 10 yang merupakan wahana pertama yang mendekati Jupiter dan mengirimkan informasi mengenai properti dan fenomena planet terbesar di Tata Surya ini.[87][88] Penerbangan ke planet-planet lain lain dicapai dengan biaya energi yang ditentukan berdasarkan perubahan tingkat percepatan wahana atau delta-v. Memasuki orbit transfer Hohmann antara Bumi ke Jupiter dari orbit Bumi rendah membutuhkan delta-v sebesar 6,3 km/s[89] yang dapat dibandingkan dengan 9,7 km/s delta-v yang dibutuhkan untuk mencapai orbit Bumi rendah.[90] Untungnya, bantuan gravitasi dapat digunakan untuk mengurangi biaya energi yang dihabiskan untuk mencapai Jupiter, walaupun lama penerbangan menjadi lebih panjang.[91] Misi terbang lintas
Dimulai dari tahun 1973, beberapa wahana telah melakukan manuver terbang lintas yang memungkinkan pengamatan Jupiter secara dekat. Misi-misi Pioneer memperoleh citra-citra dekat atmosfer Jupiter dan beberapa satelitnya. Wahana-wahana Pioneer menemukan bahwa medan radiasi di sekitar Jupiter jauh lebih kuat dari yang diperkirakan, namun wahana-wahana tersebut mampu bertahan. Jalur wahana tersebut digunakan untuk memperkirakan massa sistem Jupiter. Okultasi radio oleh planet ini juga memungkinkan pengukuran diameter Jupiter dan kepepatan di kutub.[23][93] Enam tahun kemudian, misi-misi Voyager menambah pengetahuan manusia akan satelit-satelit Galileo dan menemukan cincin Jupiter. Voyager juga memastikan bahwa Bintik Merah Raksasa bersifat antisiklonik. Perbandingan gambar yang diambil oleh Voyager dan Pioneer juga menunjukkan bahwa warna yang direfleksikan bintik ini berubah dari jingga menjadi coklat tua. Torus atom-atom terionisasi ditemukan di sepanjang jalur orbit Io, dan gunung berapi juga ditemukan di permukaan satelit tersebut, dan beberapa sedang meletus. Saat melewati bagian belakang Jupiter, wahana ini menemukan petir di atmosfer.[23][94] Misi berikutnya yang mendekati Jupiter, yaitu wahana matahari Ulysses, melakukan terbang lintas untuk menjaga orbit kutub di sekeliling matahari. Pada saat itu wahana ini meneliti magnetosfer Jupiter. Karena Ulysses tidak dilengkapi dengan kamera, tidak ada gambar yang diabadikan. Terbang lintas kedua enam tahun kemudian dilakukan dari jarak yang lebih jauh.[92] Pada tahun 2000, wahana Cassini yang sedang menuju Saturnus melintasi Jupiter dan mengirim kembali beberapa citra Jupiter yang beresolusi tinggi. Pada 19 Desember 2000, wahana ini mengabadikan citra satelit Himalia, namun resolusinya terlalu rendah untuk menunjukkan detail di permukaan.[95] Wahana New Horizons yang sedang menuju Pluto melintasi Jupiter untuk mendapat bantuan gravitasi. Wahana ini mencapai jarak terdekatnya pada 28 Februari 2007.[96] Kamera wahana ini mengukur keluaran plasma dari gunung berapi di Io dan mempelajari keempat satelit Galileo secara resmi. Selain itu, wahana ini juga melakukan pengamatan jarak jauh terhadap satelit-satelit luar seperti Himalia dan Elara.[97] Pencitraan sistem Jupiter dimulai pada 4 September 2006.[98][99] Misi GalileoSejauh ini satu-satunya wahana yang pernah mengorbit Jupiter adalah wahana pengorbit Galileo yang mulai mengorbit pada 7 Desember 1995. Wahana ini mengorbit planet ini selama tujuh tahun dan juga melakukan terbang lintas di semua satelit Galileo dan Amalthea. Wahana Galileo juga menyaksikan tubrukan komet Shoemaker-Levy 9 di Jupiter pada tahun 1994. Walaupun banyak informasi yang diperoleh oleh wahana Galileo, kapasitas wahana ini sebenarnya dibatasi oleh kegagalan antena transmisi radio high gain.[100] Sebuah wahana atmosferik dilepaskan dari wahana Galileo pada Juli 1995 dan memasuki atmosfer Jupiter pada tanggal 7 Desember. Wahana ini mengumpulkan data selama 57,6 menit sebelum hancur akibat tekanan saat itu (yang kurang lebih 22 kali tekanan Bumi pada suhu 153 °C).[101] Wahana ini kemudian meleleh dan mungkin menguap. Wahana pengorbit Galileo sendiri juga mengalami nasib yang serupa ketika wahana ini dengan sengaja diarahkan ke Jupiter pada 21 September 2003 dengan kecepatan lebih dari 50 km/s agar tidak menabrak dan mencemari Europa, satelit yang diduga memiliki kehidupan.[100] Misi ke depanSaat ini terdapat misi NASA yang sedang menuju ke Jupiter untuk mempelajarinya secara rinci dari orbit kutubnya. Wahana yang dinamai Juno ini diluncurkan pada Agustus 2011 dan akan tiba pada akhir tahun 2016.[102] Misi ke sistem Jupiter lainnya adalah misi Jupiter Icy Moon Explorer (JUICE) oleh European Space Agency yang direncanakan akan diluncurkan pada tahun 2022.[103] Terdapat beberapa misi lain untuk ke planet Jupiter. SMARA (SMAll Reconnaissance of Atmospheres) adalah misi konsep yang diusulkan ke planet Jupiter. Misi tersebut akan melibatkan segerombolan probe kecil dengan berat kurang dari 1 kilogram yang akan menembus awan Jupiter pada tahun 2030, sehubungan dengan misi Jupiter Icy Moons Explorer milik ESA, yang memancarkan data tentang atmosfer gas padat raksasa itu. Menurut perkiraan, ia dapat bertahan hingga 15 menit di atmosfer Jupiter dan mengirimkan informasi yang cukup untuk memberi para ilmuwan pemahaman yang lebih baik tentang atmosfer Jupiter. Mereka masing-masing akan mengirimkan 20 megabit data.[104][105] Misi ini dinamai berdasarkan buah yang terbawa angin yang dilepaskan oleh pohon maple. Misi yang dibatalkanKarena mungkin terdapat samudra cair di bawah permukaan Europa, Ganimede, dan Kalisto, satelit-satelit ber-es ini menjadi target penelitian. Namun, kesulitan pendanaan telah menghambat peluncuran misi. Misi JIMO (Jupiter Icy Moons Orbiter) oleh NASA dibatalkan pada tahun 2005.[106] Usulan misi gabungan NASA/ESA yang disebut EJSM/Laplace dikembangkan dan direncanakan akan diluncurkan sekitar tahun 2020, yang akan terdiri dari Jupiter Europa Orbiter milik NASA dan Jupiter Ganymede Orbiter milik Jupiter.[107] Namun, pada April 2011, ESA mengumumkan telah mengakhiri kerjasama ini akibat kesulitan dana NASA dan dampaknya terhadap jadwal misi. ESA malah berencana untuk meneruskan penyelesaian seleksi Cosmic Vision L1.[108] Satelit-satelitJupiter memiliki 67 satelit alami.[109] Dari satelit-satelit tersebut, diameter 51 satelit tercatat kurang dari 10 kilometer dan baru ditemukan setelah tahun 1975. Empat satelit terbesar Jupiter, yang dijuluki satelit-satelit Galileo, adalah Io, Europa, Ganimede, dan Kalisto. Satelit-satelit GalileoOrbit-orbit Io, Europa, dan Ganimede membentuk pola yang disebut resonansi Laplace; setiap kali Io menyelesaikan empat orbit Jupiter, Europa menyelesaikan dua orbit dan Ganimede menyelesaikan satu orbit. Resonansi ini membuat efek gravitasi satelit-satelit tersebut mengubah orbitnya menjadi berbentuk elips karena masing-masing satelit menerima tarikan tambahan dari tetangganya setiap kali menyelesaikan satu orbit. Di sisi lain, gaya pasang surut dari Jupiter membulatkan orbit satelit-satelit ini.[110] Eksentrisitas orbit satelit-satelit ini merenggangkan bentuk ketiga satelit tersebut, sementara gravitasi Jupiter merenggangkannya saat sedang mendekati Jupiter dan bentuknya kembali lebih bulat saat menjauh. Perenggangan pasang surut ini memanaskan bagian dalam satelit-satelit akibat friksi. Hal inilah yang menyebabkan Io memiliki aktivitas vulkanik, walaupun efeknya juga dapat dilihat di permukaan Europa yang secara geologis muda (sehingga menunjukkan terjadinya pelapisan kembali).
Klasifikasi satelitSebelum misi Voyager diluncurkan, satelit-satelit Jupiter disusun berdasarkan empat kategori yang didasarkan pada kesamaan elemen orbit. Namun, penemuan satelit-satelit kecil telah memperumit klasifikasi. Saat ini diduga terdapat enam kelompok utama, walaupun beberapa lebih berbeda dari yang lain. Pembagian dasar adalah pengelompokan delapan satelit dalam yang memiliki orbit yang hampir bulat di dekat bidang khatulistiwa Jupiter dan diduga terbentuk bersama Jupiter. Satelit-satelit lainnya terdiri dari satelit-satelit ireguler kecil dengan orbit yang elips dan terinklinasi, yang diduga merupakan asteroid yang tertangkap oleh gravitasi Jupiter atau pecahan asteroid yang tertangkap. Satelit-satelit ireguler dalam suatu kelompok memiliki elemen orbit yang serupa dan mungkin asal usulnya sama (mungkin satelit besar atau objek yang tertangkap dan kemudian pecah).[111][112]
Interaksi dengan Tata SuryaBersamaan dengan Matahari, pengaruh gravitasi Jupiter telah membantu membentuk Tata Surya. Orbit sebagian besar planet di Tata Surya lebih dekat dari bidang orbit Jupiter daripada bidang khatulistiwa Matahari (Merkurius adalah satu-satunya planet yang lebih dekat dengan khatulistiwa Matahari). Celah Kirkwood di sabuk asteroid disebabkan oleh Jupiter, dan planet ini juga mungkin mengakibatkan terjadinya Pengeboman Berat Akhir dalam sejarah Tata Surya dalam.[114] Bersamaan dengan satelit-satelitnya, medan gravitasi Jupiter mengontrol beberapa asteroid yang telah menetap di titik Lagrangian sehingga asteroid-asteroid ini mengikuti dan mendahului Jupiter di orbitnya. Asteroid ini disebut asteroid Troya dan terbagi menjadi kelompok Yunani dan Troya. Asteroid Troya pertama 588 Achilles ditemukan oleh Max Wolf pada tahun 1906; semenjak itu lebih dari dua ribu asteroid Troya telah ditemukan.[115] The largest is 624 Hektor. Sebagian besar komet berperiode pendek tergolong dalam kelompok Jupiter, yang didefinisikan sebagai komet dengan sumbu semimayor yang lebih kecil dari Jupiter. Komet kelompok Jupiter diyakini terbentuk di sabuk Kuiper di luar orbit Neptunus. Saat sedang mendekati Jupiter, orbit-orbitnya mengalami perturbasi sehingga periode orbitnya menjadi lebih kecil dan kemudian orbitnya tersirkulerisasi oleh interaksi gravitasi reguler dengan Matahari dan Jupiter.[116] TubrukanJupiter telah dijuluki sebagai pembersih Tata Surya[118] karena gravitasinya yang besar dan letaknya di dekat Tata Surya dalam. Planet ini merupakan planet yang paling sering ditubruk oleh komet.[119] Sebelumnya diduga planet ini melindungi sistem Tata Surya dalam dari komet. Namun, simulasi komputer menunjukkan bahwa keberadaan Jupiter tidak mengurangi jumlah komet yang memasuki Tata Surya dalam.[120] Topik ini masih kontroversial karena beberapa astronom meyakini bahwa Jupiter menarik komet ke arah Bumi dari sabuk Kuiper, sementara astronom yang lain memercayai bahwa Jupiter melindungi Bumi dari awan Oort.[121] Survey gambar-gambar astronomis dalam sejarah pada tahun 1997 menunjukkan bahwa astronom Cassini mungkin telah mengabadikan bekas tubrukan pada tahun 1690..[122] Bola api diabadikan oleh Voyager 1 saat mendekati Jupiter pada Maret 1979.[123] Antara 16 Juli 1994 hingga 22 Juli 1994, lebih dari 20 pecahan dari komet Shoemaker–Levy 9 (SL9, sebelumnya disebut D/1993 F2) bertubrukan dengan belahan selatan Jupiter. Tubrukan ini membantu memberi informasi mengenai komposisi atmosfer Jupiter.[124][125] Pada 19 Juli 2009, bekas tubrukan ditemukan di bujur 216 derajat di Sistem 2.[126][127] Tubrukan ini menyisakan bintik hitam di atmosfer Jupiter dengan ukuran yang kurang lebih sebesar Oval BA. Pengamatan inframerah menunjukkan keberadaan titik cerah di tempat terjadinya tubrukan, sehingga menunjukkan bahwa tubrukan ini memanasi atmosfer bawah Jupiter di dekat kutub selatan Jupiter.[128] Sebuah bola api yang lebih kecil dari tubrukan yang diamati sebelumnya ditemukan pada 3 Juni 2010 oleh Anthony Wesley, seorang astronom amatir di Australia, dan nantinya ternyata juga direkam oleh seorang astronom amatir lain di Filipina.[129] Bola api lain dilihat pada 20 Agustus 2010.[130] Pada 10 September 2012, bola api lain ditemukan.[123][131] Kemungkinan keberadaan kehidupanPada tahun 1953, percobaan Miller–Urey menunjukkan bahwa kombinasi petir dan senyawa kimia dalam keadaan yang menyerupai atmosfer Bumi purba dapat membentuk senyawa organik (termasuk asam amino) yang menjadi dasar kehidupan. Atmosfer yang disimulasikan terdiri dari air, metana, amonia, dan hidrogen molekuler; molekul-molekul ini masih dapat ditemui di atmosfer Jupiter. Atmosfer Jupiter memiliki sirkulasi udara yang kuat, yang akan mengangkut senyawa-senyawa tersebut ke wilayah yang lebih rendah. Suhu yang lebih tinggi di bagian dalam atmosfer mengurai senyawa-senyawa ini, sehingga menghambat pembentukan kehidupan seperti di Bumi.[132] Kehidupan seperti di Bumi dianggap tidak mungkin ada di Jupiter karena kandungan air di atmosfer yang rendah. Selain itu, bila memang ada permukaan yang padat, permukaan tersebut akan memiliki tekanan yang sangat besar. Pada tahun 1976, sebelum peluncuran wahana-wahana Voyager, diduga kehidupan berbasis air atau amonia dapat berkembang di atmosfer atas Jupiter. Hipotesis ini didasarkan pada ekologi laut yang memiliki plankton sederhana yang melakukan fotosintesis di bagian atas, ikan di bagian bawah yang memakan plankton, dan predator laut yang memburu ikan.[133][134] Kemungkinan keberadaan samudra di bawah permukaan satelit-satelit Jupiter, terutama Europa, telah memicu spekulasi bahwa kehidupan lebih mungkin ada di sana. MitologiPlanet Jupiter telah dikenal semenjak zaman kuno. Planet ini dapat dilihat dengan menggunakan mata telanjang di langit malam dan kadang-kadang dapat terlihat pada siang hari saat posisi matahari rendah.[135] Bagi bangsa Babilonia, objek ini mewakili dewa Marduk. Mereka menggunakan orbit planet ini di ekliptika (yang kasarnya selama 12 tahun) untuk menentukan konstelasi zodiak mereka.[23][136] Bangsa Romawi menamainya Jupiter (bahasa Latin: Iuppiter, Iūpiter), yang merupakan dewa utama dalam mitologi Romawi dan namanya berasal dari kata majemuk vokatif dalam bahasa Proto-Indo-Eropa, yaitu Dyēu-pəter (nominatif: *Dyēus-pətēr, berarti "O Bapa Dewa Langit ", atau "O Bapa Dewa Hari").[137] Sementara itu, kedudukan Jupiter serupa dengan Zeus (Ζεύς), yang juga disebut Dias (Δίας), dan Dias kemudian menjadi nama planet ini dalam bahasa Yunani modern.[138] Simbol astronomis untuk planet ini, yaitu , merupakan representasi petir dewa ini. Nama dewa Yunani Zeus menjadi akar kata zeno- yang digunakan untuk membentuk beberapa istilah yang terkait dengan Jupiter, seperti zenografik.[139] Dalam bahasa Inggris, Jovian adalah bentuk adjektif Jupiter. Adjektif jovial yang digunakan oleh astrolog pada Abad Pertengahan berarti “bahagia”, yang merupakan suasana hati yang dikaitkan dengan pengaruh astrologis Jupiter.[140] Bangsa Tiongkok, Korea, dan Jepang menyebut planet ini "bintang kayu" (Hanzi: 木星; Pinyin: mùxīng), berdasarkan salah satu dari lima unsur dalam filsafat Tiongkok.[141] Taoisme Tiongkok memersonifikasi planet ini menjadi bintang Fu. Bangsa Yunani kuno menyebutnya Φαέθων, Phaethon, yang berarti "Terbakar". Dalam astrologi Weda para astrolog Hindu menamai planet ini Brihaspati, yang merupakan guru keagamaan para dewa.[142] Dalam bahasa Inggris, kata Thursday (Kamis) berasal dari Thor's day (hari Thor), karena dalam mitologi Jermanik dewa Thor dikaitkan dengan planet Jupiter.[143] Dalam mitologi orang-orang Turk dan Asia Tengah, Jupiter disebut Erendiz/Erentüz, yang berarti "bintang eren". Ada banyak teori mengenai makna dari kata "eren". Orang-orang ini juga memperhitungkan periode orbit Jupiter sebesar 11 tahun dan 300 hari. Mereka meyakini bahwa beberapa peristiwa alami dan sosial terkait dengan pergerakan Erentüz di langit.[144] CatatanReferensi
Bacaan lanjut
Pranala luar
|