Sang Buddha menjalani asketisisme berat sebelum kelak mencapai pencerahan dan menganjurkan suatu jalan tengah yang tidak bersifat asketis.[1] Dalam agama Kristen, Fransiskus dari Assisi beserta para pengikutnya mempraktikkan asketisisme yang ekstrem.[2]
Asketisisme (dari bahasa Yunani: ἄσκησιςáskesis, "olahraga" atau "latihan") atau pertarakan adalah gaya hidup yang bercirikan laku berpantang kenikmatan indrawi demi mencapai tujuan-tujuan spiritual. Para petarak (orang yang menjalani asketisisme) dapat saja menyepi dari keramaian dunia agar dapat bertapa brata. Mereka dapat pula hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi lazimnya mereka mengadopsi suatu gaya hidup yang sangat sederhana, yang bercirikan penolakan terhadap harta-benda dan kenikmatan-kenikmatan jasmani, serta melewatkan waktu dengan berpuasa sambil tekun beribadat atau sambil merenungkan perkara-perkara rohani.[3]
Asketisisme terbagi menjadi dua macam. "Asketisisme natural" (pertarakan yang wajar) adalah suatu gaya hidup yang membatasi aspek-aspek kebendaan dalam hidup sehari-hari sampai ke taraf yang sangat bersahaja dan pada batas minimum tertentu tetapi tanpa merusak tubuh atau hidup dalam keadaan sungguh-sungguh berkekurangan sehingga menyengsarakan tubuh, sementara "asketisisme tidak natural" (pertarakan yang tidak wajar) adalah suatu praktik yang melibatkan pula tindakan bermati-raga (mortifikasi badani) dan menyakiti diri sendiri, misalnya dengan tidur di atas ranjang paku.[4]
Sepanjang sejarah, asketisisme telah dipraktikkan dalam berbagai agama, antara lain agama Buddha, agama Kristen, agama Hindu, agama Jaina, dan agama Yahudi. Asketisisme tidak dipraktikkan dalam agama Islam mazhab utama, kecuali oleh sekte minoritas Sufi dengan tradisi lamanya yang juga meliputi pertarakan ketat.[5][6] Para praktisi asketisisme dalam agama-agama ini sengaja menampik kenikmatan-kenikmatan duniawi dan menjalani gaya hidup berpantang, demi mengejar penebusan dosa,[7]keselamatan, atau pencapaian rohani.[8] Dalam teologi-teologi kuno, asketisisme dipandang sebagai suatu perjalanan menuju transformasi rohani, yakni keadaan di mana bersahaja adalah berkecukupan, kebahagiaan sejati berada di dalam diri, dan berkekurangan adalah berkelimpahan[3]
Etimologi dan makna
Kata sifat "asketis" berasal dari istilah Yunani kuno, askēsis, yang berarti latihan atau olahraga. Istilah ini mula-mula bukan merujuk pada tindakan penyangkalan diri, melainkan pada latihan jasmani sebagai persiapan untuk mengikuti kejuaraan atletik. Istilah ini kelak digunakan pula sebagai sebutan bagi praktik-praktik berat dalam semua agama besar yang dilakukan dalam bobot yang berbeda-beda untuk mendapatkan penebusan dosa dan kemuliaan rohani.[9]
Asketisisme digolongkan menjadi bentuk asketisisme natural dan bentuk asketisisme tidak natural.[4] "asketisisme natural" didefinisikan sebagai suatu gaya hidup yang membatasi aspek-aspek kebendaan dalam hidup sehari-hari sampai ke taraf yang sangat bersahaja dan terbatas. Bentuk asketisisme ini mencakup tindakan-tindakan seperti berpakaian sederhana dan terbatas, tidur di lantai rumah atau di dalam gua, dan menyantap hidangan sederhana dalam jumlah terbatas.[4] asketisisme natural, menurut Wimbush dan Valantasis, tidak mencakup tindakan-tindakan yang merusak badan atau hidup sungguh-sungguh berkekurangan sehingga menyengsarakan tubuh.[4] Sebaliknya, "asketisisme tidak natural" didefinisikan sebagai suatu praktik yang jauh lebih berat lagi, serta mencakup pula tindakan bermati-raga, menyiksa badan sendiri, dan kebiasaan menyakiti diri sendiri seperti tidur di atas ranjang paku.[4]
Menurut Richard Finn, sebagian besar asketisisme Kristen perdana terlacak sumbernya sampai ke agama Yahudi, tetapi tidak terlacak pada mazhab-mazhab asketisisme Yunani.[3] Akan tetapi menurut Finn, beberapa gagasan asketis dalam agama Kristen berakar pada gagasan moral Yunani.[3] Kehidupan yang berkebajikan tidak mungkin terwujud bilamana orang masih mengejar kenikmatan-kenikmatan jasmani dengan penuh hasrat yang menggebu-gebu. Dalam teologi purba, moralitas bukan dipandang sebagai pengimbang antara benar dan salah, melainkan sebagai suatu bentuk transformasi rohani, di mana bersahaja adalah berkecukupan, kebahagiaan sejati berada di dalam diri, dan berkekurangan adalah berkelimpahan.[3]
Padang-padang gurun Timur Tengah pada suatu ketika pernah didiami oleh ribuan petapa Kristen,[15] di antaranya adalah Santo Antonius Agung (alias Santo Antonius dari Gurun), Santa Maria dari Mesir, dan Santo Simeon Stilitis. Pada 963 M, sebuah serikat biara-biara yang disebut Lavra dibentuk di Gunung Athos, dalam mazhab Kristen Ortodoks Timur.[16]Lavra Gunung Athos ini kelak menjadi pusat terpenting bagi paguyuban-paguyuban petarak Kristen Ortodoks pada abad-abad selanjutnya.[16] Pada zaman modern, Gunung Athos dan Meteora tetap merupakan pusat asketisisme yang penting.[17]
Pantangan sanggama seperti yang dilaksanakan oleh sekte Kristen Enkratit hanyalah salah satu aspek dari penolakan terhadap perkara duniawi dalam asketisisme, dan baik asketisisme natural maupun asketisisme tidak natural telah menjadi bagian dari asketisisme Kristen. Laku-tirakat asketisisme natural meliputi hidup bersahaja, minta-minta sedekah,[18] puasa, dan praktik-praktik etis seperti bersikap rendah hati, welas asih, bersabar, dan tekun beribadat.[19] Bukti-bukti keberadaan asketisisme tidak natural dalam agama Kristen terdapat dalam naskah-naskah abad ke-2 dan sesudahnya, baik dalam mazhab Kristen Ortodoks Timur maupun mazhab Kristen Barat, misalnya tindakan merantai badan pada cadas, hanya memakan rumput,[20] bersembahyang dalam keadaan duduk di atas pilar sisa reruntuhan oleh Rahib Simeon Stilitis,[21] mengurung diri di dalam sel, mengabaikan pemeliharaan kesehatan diri sendiri dan mengadopsi gaya hidup binatang liar, menyakiti diri sendiri dan menderita secara sukarela.[18][22] Laku-tirakat yang demikian dikaitkan dengan konsep dosa dan penebusan dalam agama Kristen.[23][24]
Evagrius Ponticus, yang juga disebut Evagrius Penyendiri (345-399 M), adalah seorang guru biara berpendidikan tinggi yang menghasilkan sekumpulan besar karya tulis teologi, sebagian besar bertema asketisisme, termasuk Gnostikos (dari bahasa Yunani kuno: γνωστικός gnostikos, "berpengetahuan", dari kata γνῶσις gnōsis, pengetahuan), yang dikenal pula dengan tajuk Gnostikos: Bagi Orang Yang Dilayakkan Untuk Menerima Gnosis. Gnostikos adalah jilid kedua dari sebuah trilogi berisi Praktikos, yang ditujukan bagi biarawan-biarawan muda untuk mencapai apatheia, yakni "keadaan teduh yang merupakan prasyarat untuk memiliki kasih dan pengetahuan",[25] guna memurnikan kecerdasan mereka dan menjadikannya tangguh menyingkap kebenaran yang tersembunyi di dalam segala makhluk. Kitab ketiga, Kefalaia Gnostika, ditujukan bagi semadi yang dilakukan oleh biarawan-biarawan yang lebih berpengalaman. Karya-karya tulis ini telah menempatkan Evagrius Ponticus pada jajaran guru asketis dan penafsir Alkitab yang paling menonjol pada zamannya, yang juga mencakup Klemens dari Aleksandria dan Origenes.
Sastra asketis Kristen perdana dipengaruhi oleh mazhab-mazhab filsafat Yunani pra-Kristen, khususnya filsafat Plato dan Aristoteles, yang berusaha mencari cara hidup rohani yang sempurna.[26] Menurut Klemens dari Aleksandria, filsafat dan Alkitab dapat dipandang sebagai "ekspresi ganda dari satu pola pengetahuan".[25] Menurut Evagrius, "raga dan jiwa ada untuk membantu kecerdasan dan bukan untuk menghambatnya".[27]
Istilah Islami untuk asketisisme adalah zuhud.[28] Agama Islam mazhab utama tidak memiliki tradisi asketisisme, akan tetapi sekte-sekte Sufi – yang merupakan golongan minoritas dalam agama Islam[29] – telah melestarikan suatu tradisi asketis selama berabad-abad.[5][30]Monastisisme dilarang dalam Islam.[31]
Sufisme
Para pakar yang mempelajari tentang Sufi berpendapat bahwa asketisisme (zuhud) merupakan pendahulu dari pelatihan doktrinal para Sufi yang mulai muncul pada abad ke-10 melalui karya-karya tulis dari tokoh-tokoh Sufisme seperti al-Junaid, al-Qushayrī, al-Sarrāj, al-Hujwīrī, dan lain-lain.[32][33]
Menurut Eric Hanson dan Karen Armstrong, sufisme tumbuh sebagai sebuah aliran mistik yang agak bersifat rahasia dalam mazhab utama Sunni dan Syi'ah, sebagai tanggapan terhadap "semakin duniawinya masyarakat khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbas".[34] Menurut Nile Green, penerimaan terhadap asketisisme di dalam Sufisme terjadi secara perlahan-lahan karena asketisisme bertentangan dengan sunnah, dan para Sufi perdana melaknat "laku-tirakat sebagai tindak-tanduk di muka umum yang tidak perlu dan setaraf dengan berpura-pura saleh".[35] Dari abad ke abad, para petarak Sufi diburu dan dianiaya oleh penguasa-penguasa Sunni dan Syi'ah.[36][37]
Sufisme sempat diadopsi dan tumbuh subur, terutama di wilayah perbatasan negara-negara Islam, tempat asketisisme para fakir (atau darwis) dihargai oleh masyarakat setempat yang sudah terbiasa dengan tradisi-tradisi kebiaraan agama Buddha, Hindu, atau Kristen.[34][38][39] Laku-tirakat para fakir Sufi meliputi selibat, puasa, dan mati-raga.[40][41] Para petarak Sufi juga ikut serta memobilisasi para pejuang Islam untuk berjuang dalam perang suci, membantu para pengelana, memberi berkat karena dianggap memiliki kekuatan gaib, dan membantu mendamaikan perselisihan.[42]
Laku-tirakat yang bersifat ritual, seperti mencambuk diri (tatbir) dipraktikkan oleh umat Muslim Syi'ah setiap tahun dalam peringatan Ihya Muharram.[43]
Sejarah asketisisme Yahudi bermula jauh sebelum awal tarikh Masehi dengan keberadaan para Nazir (Kitab Bilangan 6) dan tradisi-tradisi asketis padang gurun.[44] Bukti-bukti tertulis menyiratkan bahwa tradisi asketisisme sudah lama dipraktikkan secara berkesinambungan sampai ke tarikh Masehi, dan boleh dipraktikkan baik oleh laki-laki maupun perempuan Yahudi, dengan contoh-contoh seperti laku-tirakat selama empat belas tahun yang ditekuni oleh Ratu Helena dari Adiabene, dan oleh Miriam dari Tadmor.[44][45] Laku-tirakat ini mencakup berpantang potong rambut, berpantang makan daging atau buah anggur, berpantang minum khamar, atau berpuasa dan hidup selayaknya seorang petapa.[44] Sekembalinya orang-orang Yahudi dari pembuangan Babel dan dalam ketiadaan perlembagaan hukum Musa, muncul suatu bentuk baru asketisisme ketika Antiokhus IV Epifanes hendak menghancurkan agama Yahudi pada 167 SM. Mazhab Eseni-Hasidim dari periode Bait Allah ke-2 digambarkan sebagai salah satu pergerakan dalam sejarah asketisisme Yahudi antara abad ke-2 SM dan abad ke-1 M.[46]
asketisisme ditolak oleh agama Yahudi zaman modern; asketisisme dianggap bertentangan dengan kehendak Allah bagi dunia. Allah menghendaki agar dunia dinikmati, dan agar orang-orang berada dalam suasana hati yang baik ketika beribadat.[47]
Gaya hidup asketisisme dan pengikraran nazar dicermati secara kritis. Memang pernah ada sekte-sekte asketis Yahudi pada zaman kuno dan Abad Pertengahan,[48] yang paling menonjol adalah kaum Eseni dan Ebionit. Bentuk-bentuk yang lebih ekstrem dari tindakan bermati-raga yang dipraktikkan oleh sekte-sekte mistik Yahudi terdahulu menjadi kontroversial dalam gerakan Hasidim. Oleh karena praktik-praktik bermati-raga itu dapat menyebabkan patah semangat, maka Rabi Ba'al Syem Tow menilainya bukanlah kondisi yang benar bagi seseorang untuk menyembah Hasyem (Allah).
Askenazi Hasidim (bahasa Ibrani: חסידי אשכנז, Hasidei Askenaz) adalah gerakan asketis mistik Yahudi di Rheinland, Jerman. Laku-tirakat mereka diabadikan dalam naskah-naskah abad ke-12 dan ke-13.[49] Peter Meister berpendapat bahwa asketisisme Yahudi ini muncul pada abad ke-10 dan kelak menyebar luas, terutama di Eropa Selatan dan Timur Tengah, melalui gerakan kesalehan Yahudi.[50] Menurut Shimon Shokek, laku-tirakat ini adalah akibat dari pengaruh agama Kristen Abad Pertengahan terhadap ajaran-ajaran Askenazi Hasidim. Umat Yahudi dari mazhab Hasidim ini mempraktikkan tindakan menghukum badan, menyiksa diri sendiri dengan cara menahan lapar, duduk di alam terbuka sambil menggigil menahan dingin pada musim salju atau menahan terik matahari dan gigitan kutu pada musim panas, semuanya dengan tujuan untuk memurnikan jiwa dan mengalihkan perhatian dari raga ke jiwa.[49]
Agama Bahá'í
Menurut Shoghi Effendi, dalam agama Baha'i, mempertahankan standar yang tinggi dari budi-pekerti tidak boleh dikait-kaitkan atau dicampuradukkan dengan bentuk asketisisme apa pun, atau dengan puritanisme yang berlebihan dan picik. Standar budi-pekerti yang diajarkan oleh Bahá’u’lláh sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyangkali hak dan wewenang yang sah dari siapa pun untuk memetik manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya dari segala macam kegirangan, keindahan, dan kenikmatan yang telah diciptakan berlimpah-limpah di dalam dunia oleh Sang Pencipta Yang Maha Pengasih.[51]:44
Agama-agama India
asketisisme dijumpai dalam agama-agama India, baik dalam mazhab-mazhab non-teistis maupun mazhab-mazhab teistis. Laku-tirakat sudah ada sejak purbakala dan merupakan suatu warisan milik bersama bagi agama-agama besar India seperti agama Buddha, agama Hindui, dan agama Jaina. Laku tirakat ini sangat mungkin bertumbuh dari sinkretisme ajaran-ajaran Weda dan Sramana.[52]
asketisisme dalam agama-agama India meliputi suatu spektrum yang terdiri atas bermacam-macam laku-tirakat, mulai dari tindakan pendisiplinan diri yang lunak, memaksa diri untuk hidup miskin dan bersahaja yang lazim dalam agama Buddha dan agama Hindu,[53][54] sampai dengan laku-tirakat yang jauh lebih berat dan tindakan bermati-raga yang dipraktikkan oleh para biarawan agama Jaina dan Ajiwika yang kini sudah punah, demi mencapai keselamatan.[55] Beberapa petarak hidup sebagai petapa yang menyendiri dan menggantungkan hidup pada makanan apa saja yang dapat mereka temukan di dalam hutan, serta tidur dan bersemadi di gua-gua; petarak-petarak lain berkelana dari satu tempat suci ke tempat suci lain sambil meminta-minta sedekah makanan; tetapi ada pula yang tinggal di biara-biara sebagai biarawan atau biarawati.[56] Beberapa petarak menjalani hidup selaku pendeta dan juru khotbah, namun ada pula yang bersenjata dan militan,[56] untuk mempertahankan diri terhadap aniaya – suatu gejala yang muncul sesudah agama Islam masuk ke India.[57][58] Tindakan menyiksa diri sendiri adalah laku-tirakat yang relatif tidak lazim tetapi mampu menarik perhatian masyarakat. Dalam tradisi-tradisi India seperti agama Buddha dan agama Hindu, tindakan bermati-raga lazimnya dikecam.[56] Meskipun demikian, mitos-mitos India juga mengisahkan tentang sejumlah besar dewa maupun iblis yang menjalani tapa-brata berat selama berpuluh-puluh tahun atau selama berabad-abad demi mendapatkan kesaktian-kesaktian istimewa.[59]
Agama Buddha
Dalam sejarah, Sidharta Gautama pernah mengadopsi cara hidup asketis yang ekstrem demi mendapatkan pencerahan.[60] Akan tetapi, sesudah mencapai pencerahan, sebagai Sang Buddha, ia menolak asketisisme yang ekstrem.[61]
Menurut Hajime Nakamura dan pakar-pakar lain, beberapa naskah perdana agama Buddha menyiratkan bahwa asketisisme merupakan bagian dari praktik agama Buddha pada masa-masa awal keberadaannya, dan bermati-raga merupakan suatu pilihan yang tersedia bagi seorang biarawan agama Buddha dalam olah kerohaniannya.[61][62] Selain itu, dalam hal praktik, catatan-catatan dari sekitar permulaan tarikh Masehi sampai dengan abad ke-19 M menyiratkan bahwa asketisisme telah menjadi bagian dari agama Buddha, baik dalam mazhab Theravada maupun mazhab Mahayana.
Theravada
Bukti-bukti tertulis menyiratkan bahwa laku-tirakat telah menjadi bagian dari tradisi agama Buddha di Sri Lanka pada abad ke-3 SM, dan tradisi ini berkesinambungan selama Abad Pertengahan berdampingan dengan tradisi kebiaraan langgam sangha.[63]
Dalam mazhab Theravada di Thailand, naskah-naskah Abad Pertengahan memuat warta tentang biku-biku petarak yang berkelana dan tinggal seorang diri di dalam hutan atau krematorium, menjalankan tapa-brata yang berat, dan kelak dikenal dengan sebutan Thudong.[64][65] Para biku petarak sejak lama sampai sekarang masih dapat dijumpai di Myanmar, dan seperti di Thailand, mereka diketahui menekuni ajaran agama Buddha versi mereka sendiri, dan enggan menerapkan tatanan sangha yang berhirarki.[66]
Mahayana
Dalam mazhab Mahayana, asketisisme bernuansa esoteris dan mistis telah menjadi suatu praktik yang berterima, seperti dalam mazhab Tendai dan Shingon di Jepang.[63] Laku-tirakat Jepang ini meliputi silih, irit, bersuci di bawah air terjun, These Japanese practices included penancedan upacara-upacara pemurnian diri.[63] Catatan-catatan Jepang dari abad ke-12 memuat kisah-kisah tentang biku-biku yang menjalankan asketisisme berat, sementara catatan-catatan dari abad ke-19 menyiratkan bahwa para biku Nichiren bangun setiap hari pada tengah malam atau pada pukul 2:00 pagi, dan melaksanakan upacara-upacara memurnikan diri dengan air di bawah curahan air terjun yang dingin.[63] Praktik-praktik lain mencakup tindakan membatasi diri untuk hanya memakan daun, damar, dan biji Tusam dalam rangka memumifikasi diri sendiri hidup-hidup, atau Sokushinbutsu (miira) di Jepang.[67][68][69]
Dalam agama Buddha di Tiongkok, laku-tirakat mumifikasi diri sendiri jarang ditemui tetapi tercatat dalam kitab-kitab ajaran agama Buddha mazhab Ch'an (Zen) di sana.[70] asketisisme agama Buddha Tiongkok yang jauh lebih kuno juga mengenal laku-tirakat yang agak mirip dengan Sokushinbutsu, seperti tindakan pengorbanan diri di muka umum (kremasi diri sendiri, shaoshen 燒身 atau zifen 自焚)[71] dengan maksud untuk menanggalkan raga yang fana.[note 1] Riwayat biku petarak yang pertama kali didokumentasikan adalah riwayat hidup Biku Fayu (法羽) pada 396 M, diikuti lebih dari lima puluh dokumentasi lain, termasuk dokumentasi riwayat Biku Daodu (道度).[74][75] Tindakan pengorbanan diri dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan adalah seorang bodhisatwa, dan mungkin terinspirasi oleh riwayat-riwayat Jataka yang berkisah tentang Sang Buddha yang mengorbankan dirinya pada kehidupan-kehidupannya yang lampau demi menolong makhluk hidup lain,[76] atau oleh ajaran-ajaran Bhaiṣajyaguruvaiḍūryaprabhārāja di dalam Sutra Seroja.[77] Catatan-catatan sejarah menyiratkan bahwa praktik-praktik pengorbanan diri dilakukan pula oleh para bikuni Tiongkok.[78]
Laku-tirakat agama Buddha Tiongkok, menurut James Benn, bukanlah hasil adaptasi atau impor dari laku-tirakat India, melainkan berasal dari gagasan umat Buddha Tiongkok sendiri, didasarkan pada tafsir umat Buddha Tiongkok yang unik atas Saddharmapuṇḍarīka atau Sūtra Seroja.[79] Laku-tirakat Tiongkok ini mungkin diadopsi dari laku-tirakat masyarakat Tiongkok pra-Buddha,[80][81] atau dari agama Tao.[78] Tidak jelas apakah tindakan pengorbanan diri hanya terbatas pada tradisi asketisisme Tiongkok, dan tidak ada bukti kuat bahwa pengorbanan diri adalah bagian dari suatu program asketis komprehensif berskala besar di kalangan umat Buddha Tiongkok.[73]
Mengundurkan diri dari kehidupan duniawi dan menjalani kehidupan rohani dalam komunitas biara atau seorang diri, telah menjadi suatu tradisi dalam sejarah agama Hindu sejak purbakala. Tradisi mengundurkan diri dari kehidupan duniawi disebut Sangnyasa yang tidak sama dengan asketisisme – yang lazimnya mengandung makna penyangkalan diri dan mati-raga yang berat. Sangnyasa sering kali meliputi tindakan hidup bersahaja dengan sedikit atau tanpa harta-benda pribadi sama sekali, belajar, bersemadi, dan berbudi pekerti yang luhur. Orang-orang yang menjalani gaya hidup semacam ini disebut Sangnyasi, Sadhu, Yati,[82]Biksu, Prawrajitā,[83] dan Pariwrajaka dalam naskah-naskah Hindu.[84] Istilah dengan makna yang mendekati asketisisme dalam naskah-naskah Hindu adalah Tapa, akan tetapi istilah ini meliputi suatu spektrum makna mulai dari panas tubuh, bermati-raga dan laku-silih dengan kesungguhan yang tinggi, sampai semadi dan pendisiplinan diri.[54][85][86]
Asketisisme Perempuan
Sesungguhnya sastra Weda memang berisi bukti yang
tak terbantahkan, baik mengenai keberadaan
perempuan-perempuan pelajar yang hidup selibat
maupun mengenai keberadaan perempuan-perempuan
yang menyepi dari keramaian dunia di India kuno.
Praktik-praktik serupa asketisisme disebut-sebut dalam kidung-kidung Weda, akan tetapi kidung-kidung ini sudah sering kali ditafsirkan mengacu pada para Yogi dan orang-orang yang mengundurkan dari keramaian dunia untuk hidup menyendiri. Salah satu penyebutan semacam itu terdapat dalam kidung Keśin dari Rigveda, yang berisi penggambaran tentang para Keśin (petarak "berambut panjang") dan Muni ("penghening cipta").[88][89] Para Kesin yang hidup pada era Weda ini digambarkan oleh Karel Werner sebagai berikut:[90]
Keśin tidak menjalani hidup yang wajar seperti orang-orang lain. Rambut dan janggutnya dibiarkan tumbuh lebih panjang, ia lebih banyak bermenung, merenung dan bersemadi dalam waktu yang lama, dan oleh karena itu ia disebut "resi" (muni). Para Keśin mengenakan pakaian dari cabikan kain kuning yang berkibar-kibar tertiup angin, atau mungkin sekali bertelanjang bulat, hanya bertutupkan debu kuning tanah India. Akan tetapi kepribadian mereka tak terikat pada bumi, karena mereka menelusuri jalan angin yang misterius bilamana dewa-dewa merasuki mereka. Ia adalah orang yang sedang tenggelam dalam lamunan: ia berada nun jauh di sana.
— Karel Werner (1977), "Yoga and the Ṛg Veda: An Interpretation of the Keśin Hymn"[90]
Naskah-naskah Weda dan Upanisad dalam agama Hindu, menurut Mariasusai Dhavamony, tidak membahas tentang tindakan menyakiti diri sendiri, tetapi memang membahas tentang pengekangan dan pengendalian diri sendiri.[91] Tradisi kebiaraan agama Hindu terbukti sudah wujud pada milenium pertama SM, khususnya dalam mazhab Adwaita Wedanta, dibuktikan oleh kitab-kitab Upanisad Sangnyasa tertua yang semuanya berpandangan Adwaita Wedanta.[92] Sebagian besar kitab Upanisad Sangnyasa berisi Yoga dan filsafat nondualisme (Adwaita) Wedanta.[93][94]Satyayaniya Upanisad dari abad ke-12 adalah pengecualian yang penting, filsafat dualisme-tersendiri dan Waisnawa (Wisistadwaita Wedanta).[94][95] Naskah-naskah ini berisi pembabaran mengenai suatu gaya hidup yang bersahaja dan berbudi pekerti luhur, tetapi tidak menyinggung penyiksaan diri sendiri atau mati-raga. Misalnya,
Inilah ikrar-ikrar yang harus ditepati seorang Sangnyasi –
Pantang melukai makhluk hidup, jujur, pantang mengambil barang orang lain, pantang bersanggama, dan dermawan (murah hati, lemah lembut) adalah ikrar-ikrar yang utama. Ada pula lima ikrar tambahan: pantang marah, taat pada guru, menghindari perilaku gegabah, menjaga kebersihan, dan menjaga kemurnian makanan. Ia harus meminta-minta (makanan) tanpa mengesalkan hati orang lain, sebagian dari makanan yang ia peroleh harus dibagi dengan penuh welas asih dengan makhluk hidup lain, sisanya diperciki air dan harus ia santap laksana obat.
Menurut Patrick Olivelle, hal senada juga terdapat dalam Nirwana Upanisad yang menegaskan bahwa petarak Hindu harus berpendirian bahwa "angkasa adalah keyakinannya, kemutlakan adalah pengetahuannya, kemanunggalan adalah masuk perdananya, welas asih belaka adalah kegemarannya, kebahagiaan adalah kalung bunganya, gua sunyi adalah kawannya", dan seterusnya, sambil melanjutkan usahanya untuk mencapai pengenalan diri sendiri (atau pengenalan jiwa) dan hubungannya dengan konsep metafisika Hindu tentang Brahman.[97] Ciri-ciri perilaku Sangnyasi lainnya meliputi: ahimsa (antikekerasan), akroda (tidak marah sekalipun dijahati orang),[98] tidak bersenjata, tidak bersetubuh, tidak menikah, awyati (tidak berhasrat), amati (hidup miskin), mengekang diri, jujur, sarwabutahita (bersikap baik pada segala makhluk), asteya (tidak mencuri), aparigraha (tidak tamak), dan sauca (menjaga kemurnian badan, tutur kata, dan pikiran).[99][100]
Naskah abad ke-11, Yatidharmasamuccaya adalah sebuah naskah Waisnawa yang merangkum segala macam laku-tirakat mazhab Waisnawa dalam agama Hindu.[101] Dalam agama Hindu, seperti dalam agama-agama India lainnya, baik laki-laki maupun perempuan pernah melibatkan diri dalam bermacam-macam laku-tirakat sepanjang sejarah.[8]
asketisisme dalam salah satu bentuknya yang paling berat terdapat dalam salah satu agama tertua di dunia, agama Jaina. Laku-tirakat dalam agama Jaina juga mencakup ketelanjangan yang melambangkan ketiadaan harta-benda bahkan pakaian sekalipun, puasa, mati-raga, laku-silih, dan laku-tirakat berat lainnya, yang bertujuan menghapus karma lampau dan berhenti menciptakan karma baru. Baik menghapus karma lampau maupun berhenti menciptakan karma baru dianggap penting demi mencapai sidha dan moksa (lepas dari tumimbal lahir, keselamatan).[102][103][104] Dalam agama Jaina, tujuan hidup yang terutama adalah mencapai kelepasan jiwa dari lingkaran tumimbal lahir tanpa akhir (moksa dari sangsara), yang memerlukan budi pekerti luhur dan asketisisme. Sebagian besar laku-pantang dan laku-tirakat dapat dilacak kembali sumbernya pada Wardaman Mahawira, "Sang Penyeberang" atau Tirtangkara ke-24 yang menjalani laku-tirakat selama 12 tahun sebelum mencapai pencerahan.[105][106]
Naskah-naskah Jaina seperti Tatwarta Sutra dan Utaradyayana Sutra membahas secara panjang lebar dan terperinci mengenai kebersahajaan bertarak. Ada enam laku-tirakat eksternal dan enam laku-tirakat internal yang paling lazim dilakukan, dan sering kali diulang dalam naskah-naskah Jaina terkemudian.[107] Menurut John Cort, laku-tirakat eksternal mencakup puasa makan dan minum, makan dalam jumlah terbatas, hanya menyantap makanan tertentu, berpantang makanan lezat, bermati-raga, dan mengendalikan tubuh (menghindari segala sesuatu yang dapat menjadi sumber godaan).[108] Laku-tirakat internal meliputi menjalankan laku-silih, mengakui kesalahan, menghormati dan menolong para pengemis, belajar, bersemadi dan mengabaikan keinginan jasmani dengan tujuan menelantarkan badan.[108]
Naskah Jaina, Kalpasutra, secara rinci menggambarkan asketisisme Mahawira, tokoh yang riwayat hidupnya merupakan sumber tuntunan bagi sebagian besar laku-tirakat dalam agama Jaina:[109]
Sang Petapa Mulia Mahawira berpakaian selama satu tahun dan satu bulan; selepas itu ia berkelana dengan telanjang bulat, dan menerima sedekah setangkup tangannya. Selama dua belas tahun lebih Sang Petapa Mulia Mahawira mengabaikan tubuhnya dan membiarkannya tidak terurus; dengan tenang menanggung, melalui, dan menderita segala macam peristiwa senang maupun susah yang ditimbulkan oleh kuasa dewata, manusia, maupun binatang.
— Kalpa Sutra 117
Baik Mahawira dan para pengikutnya yang terdahulu digambarkan dalam naskah-naskah agama Jaina melakukan mati-raga dan diperlakukan buruk oleh binatang dan manusia, tetapi tidak pernah membalas dan tidak pernah pula membahayakan atau mencelakai (ahimsa) makhluk lain.[110] Dengan laku-tirakat yang sedemikian, ia membakar habis Karma lampaunya, mendapatkan pengetahuan rohani, dan menjadi seorang Jina.[110] Tapa-brata berat ini adalah bagian dari jalan hidup membiara dalam agama Jaina.[111] Tindakan bermati-raga disebut kaya klesa dalam agama Jaina, dan tercantum dalam ayat 9.19 dari Tatwarta Sutra karya Umaswati, naskah filsafat Jaina tertua yang tersisa dan sangat dimuliakan.[112][113]
Catatan
^Praktik lain meliputi pula tindakan memotong anggota tubuh.[72][73]
Rujukan
^Randall Collins (2000), The sociology of philosophies: a global theory of intellectual change, Harvard University Press, (ISBN 978-0-674-00187-9), halaman 204
^William Cook (2008), Francis of Assisi: The Way of Poverty and Humility, Wipf and Stock Publishers, (ISBN 978-1-55635-730-5), halaman 46-47
^ abcdeVincent L. Wimbush; Richard Valantasis (2002). Asceticism. Oxford University Press. hlm. 9–10. ISBN978-0-19-803451-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-16. Diakses tanggal 2017-06-08.
^Vincent L. Wimbush; Richard Valantasis (2002). Asceticism. Oxford University Press. hlm. 247, 351. ISBN978-0-19-803451-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-16. Diakses tanggal 2017-06-08.
^for a study of the continuation of this early tradition in the Middle Ages, see Marina Miladinov, Margins of Solitude: Eremitism in Central Europe between East and West (Zagreb: Leykam International, 2008)
^ abRobin Darling Young, Evagrius the Iconographer: Monastic Pedagogy in the Gnostikos, Journal of Early Christian Studies, Volume 9, Number 1, Spring 2001, pp. 53-71 (Article), (Johns Hopkins University Press)
^Samuel Rubenson,The Cambridge History of Christianity, (Edited by Augustine Casiday, Frederick W. Norris), Chapter 27 - Asceticism and monasticism, I: Eastern pp. 637-668, 2006
^Marcus Plested, The Macarian Legacy: The Place of Macarius-Symeon in the Eastern Christian Tradition, (Oxford Theology and Religion Monographs), 2004, p67
^Malise Ruthven (2006). Islam in the World. Oxford University Press. hlm. 153. ISBN978-0-19-530503-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-22. Diakses tanggal 2017-06-09. Quote: "the famous Hadith, "there is no monasticism in Islam, the monasticism (rahbaniyah) of my community is the Jihad."
^Knysh, Alexander. Islamic Mysticism, a Short History. Boston: Brill 2000, 1-30.
^Karamustafa, Ahmet. Sufism: The Formative Period. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2007
^Paul Dundas (2003). The Jains (edisi ke-2nd). Routledge. hlm. 27, 165–166, 180. ISBN978-0415266055. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-22. Diakses tanggal 2017-06-10.
^James A Benn (2012), Multiple Meanings of Buddhist Self-Immolation in China – A Historical Perspective, Revue des Études Tibétaines, no. 25, page 205
^Shufen, Liu (2000). "Death and the Degeneration of Life Exposure of the Corpse in Medieval Chinese Buddhism". Journal of Chinese Religions. 28 (1): 1–30. doi:10.1179/073776900805306720.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
^ abJames A Benn (2012), Multiple Meanings of Buddhist Self-Immolation in China – A Historical Perspective, Revue des Études Tibétaines, no. 25, page 211
^James A Benn (2012), Multiple Meanings of Buddhist Self-Immolation in China – A Historical Perspective, Revue des Études Tibétaines, no. 25, pages 203–212, Quote: "Of all the forms of self-immolation, auto-cremation in particular seems to have been primarily created by medieval Chinese Buddhists. Rather than being a continuation or adaptation of an Indian practice (although there were Indians who burned themselves), as far as we can tell, auto-cremation was constructed on Chinese soil and drew on range of influences such as a particular interpretation of an Indian Buddhist scripture (the Saddharmapuṇḍarīka or Lotus Sūtra) along with indigenous traditions, such as burning the body to bring rain, that long pre-dated the arrival of Buddhism in China."
^James A Benn (2012), Multiple Meanings of Buddhist Self-Immolation in China – A Historical Perspective, Revue des Études Tibétaines, no. 25, page 207
^Stephen H Phillips (1995), Classical Indian Metaphysics, Columbia University Press, (ISBN 978-0-8126-9298-3), page 332 with note 68
^Antonio Rigopoulos (1998), Dattatreya: The Immortal Guru, Yogin, and Avatara, State University of New York Press, (ISBN 978-0-7914-3696-7), pages 62-63
^ abOlivelle, Patrick (1992). The Samnyasa Upanisads. Oxford University Press. hlm. 17–18. ISBN978-0195070453.
^Antonio Rigopoulos (1998), Dattatreya: The Immortal Guru, Yogin, and Avatara, State University of New York Press, (ISBN 978-0-7914-3696-7), page 81 note 27