Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 682 M, adalah prasasti tertua yang ditemukan di Palembang. Prasasti ini menceritakan seorang raja yang memperoleh kekuatan magis dan memimpin pasukan militer besar di atas air dan tanah, berangkat dari delta Tamvan, tiba di suatu tempat bernama "Matajap", dan (dalam interpretasi beberapa sarjana) mendirikan pemerintahan Sriwijaya. "Matajap" dai prasasti diyakini sebagai Mukha Upang, sebuah kabupaten di Palembang.[8]
Menurut George Coedes, "pada paruh kedua abad ke-9, Jawa dan Sumatra disatukan di bawah kekuasaan Sailendra yang memerintah di Jawa ... pusatnya di Palembang."[9]:92
Sebagai ibu kota kerajaan Sriwijaya, kota tertua kedua di Asia Tenggara ini telah menjadi pusat perdagangan penting di Asia Tenggara maritim selama lebih dari satu milenium. Kerajaan ini berkembang dengan mengendalikan perdagangan internasional melalui Selat Malaka dari abad ke-7 hingga abad ke-13, mengukuhkan hegemoni atas negara-negara di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Prasasti Sanskerta dan catatan perjalanan Tiongkok melaporkan bahwa kerajaan ini menjadi makmur karena merupakan perantara dalam perdagangan internasional antara Tiongkok dan India. Dikarenakan Muson, atau angin musiman yang terjadi dua kali setahun, setelah sampai di Sriwijaya, para pedagang dari Tiongkok atau India harus tinggal di sana selama beberapa bulan menunggu perubahan arah angin, atau harus kembali ke Tiongkok atau India. Oleh karena itu, Sriwijaya tumbuh menjadi pusat perdagangan internasional terbesar, dan tidak hanya pasarnya, tetapi juga infrastruktur untuk para pedagang seperti penginapan dan hiburan juga dikembangkan. Sriwijaya berfungsi sebagai sebuah pusat budaya juga.[10]Yijing, seorang pengelana Buddhis Tiongkok yang tinggal di Palembang dan Jambi pada tahun 671, mencatat bahwa terdapat lebih dari seribu biksu dan sarjana terpelajar, yang didukung oleh kerajaan untuk belajar agama di Palembang. Dia juga mencatat bahwa terdapat banyak "negara" di bawah kerajaan yang disebut Sriwijaya (Shili Foshi).[11][12]
Pada tahun 990, pasukan tentara dari Kerajaan Medang di Jawa menyerang Sriwijaya. Palembang porak-poranda dan istananya dijarah. Namun, Cudamani Warmadewa meminta perlindungan dari Tiongkok. Pada tahun 1006, invasi itu akhirnya dipukul mundur. Sebagai pembalasan, raja Sriwijaya mengirim pasukannya untuk membantu Raja Wurawari dari Luaram dalam pemberontakannya terhadap Medang. Dalam pertempuran selanjutnya, Istana Medang dihancurkan dan keluarga kerajaan Medang dieksekusi.[13]
Pada tahun 1068, Raja Virarajendra Chola dari Dinasti Chola di India menaklukkan wilayah yang sekarang disebut Kedah dari Sriwijaya.[14] Setelah kehilangan banyak tentara dalam perang dan dengan pundi-pundinya hampir kosong karena gangguan perdagangan selama dua puluh tahun, jangkauan Sriwijaya berkurang. Wilayahnya mulai memerdekakan diri dari kedaulatan Palembang dan mendirikan banyak kerajaan kecil di seluruh bekas imperium.[15] Sriwijaya akhirnya mengalami kemerosotan karena ekspedisi militer oleh kerajaan-kerajaan Jawa pada abad ke-13.[12]
Pasca-zaman Sriwijaya
Pangeran Parameswara melarikan diri dari Palembang setelah dihancurkan oleh pasukan tentara Jawa,[16] kota ini kemudian diganggu oleh bajak laut, terutama Chen Zuyi dan Liang Daoming. Pada 1407, Chen diadang di Palembang oleh armada harta karun Kekaisaran yang kembali di bawah Laksamana Cheng Ho. Cheng Ho membuat langkah pertama, menuntut Chen menyerah dan bajak laut tersebut dengan cepat mengisyaratkan kesepakatan sambil mempersiapkan serangan mendadak yang mengejutkan. Namun rincian rencananya telah diberikan kepada Cheng Ho oleh seorang informan Tionghoa setempat, dan dalam pertempuran sengit yang terjadi, para prajurit Ming dan armada superior Ming akhirnya menghancurkan armada bajak laut dan menewaskan 5.000 orangnya. Chen ditangkap dan dilangsungkan eksekusi publik di Nanjing pada tahun 1407. Perdamaian akhirnya pulih di Selat Malaka ketika Shi Jinqing dilantik sebagai penguasa baru Palembang dan digabungkan ke dalam apa yang akan menjadi sistem sekutu yang sangat jauh yang mengakui supremasi Ming sebagai imbalan atas pengakuan diplomatik, perlindungan militer, dan hak perdagangan.[17][18]
Periode Kesultanan Palembang
Setelah Kesultanan Demak jatuh di bawah Kerajaan Pajang, seorang bangsawan Demak, Geding Suro beserta para pengikutnya melarikan diri ke Palembang dan mendirikan sebuah dinasti baru. Islam menjadi dominan di Palembang sejak periode ini.[16]Masjid Agung Palembang dibangun pada tahun 1738 di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama,[19] selesai pada tahun 1748.[20] Permukiman berkembang di sepanjang tepi Sungai Musi, beberapa rumah yang dibangun di atas rakit.[16] Kesultanan mengesahkan undang-undang yang membagi hilir Seberang Ilir di mana istana terletak, diperuntukkan bagi penduduk Palembang, sedangkan orang asing yang bukan warga Palembang di tepi sungai seberang dari istana yang disebut Seberang Ulu.[21]
Beberapa rival lokal, seperti Banten, Jambi, dan Aceh mengancam keberadaan Kesultanan, sementara itu Perusahaan Hindia Timur Belanda (kompeni) mendirikan sebuah pos perdagangan di Palembang pada tahun 1619. Pada tahun 1642, kompeni memperoleh hak monopoli atas perdagangan lada di pelabuhan ini. Ketegangan meningkat antara Belanda dan penduduk setempat, memuncak pada tahun 1657 ketika sebuah kapal Belanda diserang di Palembang, memberikan sinyal kepada kompeni untuk meluncurkan ekspedisi hukuman pada tahun 1659 yang membakar habis kota ini.[16]
Semasa Peperangan era Napoleon pada tahun 1812, sultan pada waktu itu, Mahmud Badaruddin II menolak tuntutan Britania atas kekuasaannya, yang ditanggapi oleh Britania dengan menyerang Palembang, menjarah istana, dan melantik adik lelaki sultan yang lebih kooperatif, Najamuddin naik takhta. Belanda berusaha untuk memulihkan pengaruh mereka di istana pada 1816, tetapi Sultan Najamuddin tidak kooperatif dengan mereka. Sebuah ekspedisi militer dilancarkan oleh Belanda pada tahun 1818, menawan Sultan Najamudin, dan mengasingkannya ke Batavia. Sebuah garnisun Belanda didirikan pada tahun 1821, dan sultan mencoba melakukan serangan dan meracuni secara massal garnisun tersebut, yang dihalangi oleh Belanda. Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate, dan istananya dibakar habis. Kesultanan ini kemudian dihapuskan oleh pemerintahan Belanda dan pemerintahan kolonial langsung didirikan.[16]
Periode kolonial
Sejak dihapuskannya Kesultanan Palembang pada tahun 1825 oleh Belanda, Palembang menjadi ibu kota Keresidenan Palembang, meliputi seluruh wilayah yang kelak menjadi Provinsi Sumatera Selatan setelah kemerdekaan, yang dipimpin oleh Jan Izaäk van Sevenhoven sebagai residen pertamanya.[3]
Dari akhir abad kesembilan belas, dengan diperkenalkannya tanaman ekspor baru oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Palembang bangkit kembali sebagai pusat ekonomi. Pada tahun 1900-an, perkembangan industri minyak dan karet menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang membawa masuknya para migran, meningkatnya urbanisasi, dan perkembangan infrastruktur sosial ekonomi.[22]
Munculnya penanaman karet di Sumatera Selatan dimulai pada akhir abad ke-19. Pada awal abad ke-20, beberapa perusahaan besar Barat memasuki daerah tersebut dan mengoperasikan perkebunan karet. Dari pertengahan 1920-an, karet menjadi tanaman ekspor terbesar di daerah tersebut, melampaui kopi robusta. Meskipun ada perkebunan karet besar yang dimiliki oleh perusahaan Barat, karet di Palembang terutama diproduksi oleh petani kecil. Pada 1920-an, Keresidenan Palembang (Provinsi Sumatera Selatan saat ini) menduduki peringkat keenam di kawasan untuk produksi karet rakyat, dan kemudian menjadi daerah produksi karet rakyat yang terbesar di kawasan pada tahun 1940-an, menghasilkan 58.000 ton karet.[22]
Terdapat tiga perusahaan perminyakan pada tahun 1900: Perusahaan Minyak Sumatra-Palembang (Sumpal); Perusahaan Minyak Muara Enim milik Prancis; dan Perusahaan Minyak Musi Ilir. Sumpal segera melebur ke dalam Royal Dutch, dan Muara Enim Co dan Musi Ilir Co juga melebur ke dalam Royal Dutch, masing-masing pada tahun 1904 dan 1906. Berdasarkan peleburan ini, Royal Dutch dan Shell mendirikan BPM, perusahaan yang mengoperasikan Royal Dutch Shell, dan membuka sebuah kilang minyak di Plaju, di tepi Sungai Musi di Palembang, pada tahun 1907. Sementara BPM adalah satu-satunya perusahaan yang beroperasi di daerah ini sampai 1910-an, perusahaan-perusahaan minyak Amerika meluncurkan bisnis mereka di wilayah Palembang dari tahun 1920-an. Standard Oil of New Jersey mendirikan anak perusahaan, American Petroleum Company, dan, untuk mencegah undang-undang Belanda yang membatasi kegiatan perusahaan asing, American Petroleum Company mendirikan anak perusahaannya sendiri, Netherlands Colonial Oil Company (Nederlandche Koloniale Petroleum Maatschapij, NKPM). NKPM mulai membangun sendiri di daerah Sungai Gerong pada awal tahun 1920, dan menyelesaikan pembangunan jaringan pipa untuk mengirim 3.500 barel per hari dari ladang minyak mereka ke kilang di Sungai Gerong.
Kedua kompleks kilang itu seperti daerah kantong, pusat kota yang terpisah dengan rumah, rumah sakit, dan fasilitas budaya lainnya yang dibangun oleh Belanda dan Amerika. Pada tahun 1933, Standard Oil menggabungkan holding NKPM ke dalam Standar Vacuum Company, sebuah perusahaan patungan baru, yang diganti namanya menjadi Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM). Caltex (anak perusahaan dari Standard Oil California and Texas Company) memperoleh konsesi eksplorasi ekstensif di Sumatra Tengah (Jambi) pada tahun 1931. Pada tahun 1938, produksi minyak mentah di Hindia Belanda mencapai 7.398.000 metrik ton, dan pangsa BPM mencapai tujuh puluh dua persen, sedangkan pangsa NKPM (StandardVacuum) adalah dua puluh delapan persen. Daerah yang paling produktif dalam produksi minyak mentah adalah Kalimantan Timur hingga akhir 1930-an, tetapi sejak itu Palembang dan Jambi mengambil alih posisi tersebut. Semua produksi minyak mentah di Hindia Belanda diproses di tujuh kilang saat itu, terutama di tiga kilang ekspor besar: pengilangan NKPM di Sungai Gerong, kilang BPM di Plaju, dan satu lagi di Balikpapan. Dengan demikian Palembang menguasai dua dari tiga kilang minyak terbesar di nusantara.[22]
Pada tahun 1920-an, dengan bimbingan Thomas Karsten, salah satu pelopor proyek arsitektur di kota-kota di Hindia Belanda, Komisi Lalu Lintas Palembang bertujuan untuk meningkatkan kondisi transportasi pedalaman di Palembang. Komisi ini mereklamasi tanah dari sungai dan jalan beraspal. Rancangan lalu lintas di kota Palembang didasarkan pada rencana kota Karsten, di mana Ilir berada dalam bentuk jalan lingkar, dimulai dari tepi Sungai Musi. Sejak saat itu mereka membangun banyak jembatan kecil di kedua sisi Sungai Musi, termasuk Jembatan Wilhelmina di atas Sungai Ogan yang secara vertikal membagi daerah Ulu. Jembatan ini dibangun pada tahun 1939 dengan tujuan menghubungkan kilang minyak di sisi sungai timur dengan sisi sungai barat, di mana stasiun kereta api Kertapati berada. Pada akhir tahun 1920-an, kapal uap laut mengarungi Sungai Musi secara teratur.[22]
Pada tahun 1930-an, Keresidenan Palembang merupakan salah satu dari "tiga raksasa" dalam ekonomi ekspor Hindia Belanda, bersama dengan Sabuk Perkebunan Sumatra Timur dan Kalimantan Tenggara, dan kota Palembang merupakan pusat perkotaan yang paling padat penduduknya di luar Jawa. Populasinya adalah 50.703 pada tahun 1905; dan mencapai 109.069, sementara populasi Makassar dan Medanadalah masing-masing 86.662 dan 74.976. Populasinya hanya dilampaui oleh tiga kota besar yang terletak di Jawa: Batavia, Surabaya, dan Semarang.[22]
Periode pendudukan Jepang
Palembang merupakan sasaran prioritas tinggi bagi pasukan Jepang, karena merupakan lokasi dari beberapa kilang minyak terbaik di Asia Tenggara. Embargo minyak telah diberlakukan terhadap Jepang oleh Amerika Serikat, Belanda, dan Britania Raya. Dengan pasokan bahan bakar melimpah dan lapangan terbang di daerah itu, Palembang menawarkan potensi signifikan sebagai daerah pangkalan militer, baik bagi Sekutu maupun Jepang.[23][24]
Pertempuran utama terjadi selama 13–16 Februari 1942. Sementara pesawat Sekutu menyerang perkapalan Jepang pada 13 Februari, pesawat angkut Kawasaki Ki-56 dari Chutai 1, 2, dan 3, Pasukan Udara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (IJAAF), menerjunkan pasukan parasut Teishin Shudan (Kelompok Penyergapan) di atas lapangan terbang Pangkalan Benteng. Pada saat yang sama, pesawat pengebom Mitsubishi Ki-21 dari Sentai ke-98 menjatuhkan pasokan untuk pasukan parasut. Formasi ini dikawal oleh pasukan besar pesawat pejuang Nakajima Ki-43 dari Sentai ke-59 dan 64. Sebanyak 180 orang dari Resimen Parasut Kedua Jepang, di bawah Kolonel Seiichi Kume, melakukan penerjunan di antara Palembang dan Pangkalan Benteng, dan lebih dari 90 orang melakukan penerjunan di barat kilang minyak di Plaju. Meskipun pasukan parasut Jepang gagal merebut lapangan terbang Pangkalan Benteng, di kilang minyak Plaju mereka berhasil menguasai seluruh kompleks, dalam kondisi tidak rusak. Namun, kilang minyak kedua di Sungai Gerong berhasil dihancurkan oleh Sekutu. Serangan balik darurat oleh pasukan Landstorm dan pasukan senjata antipesawat dari Prabumulih berhasil merebut kembali kompleks namun mengalami kerugian besar. Penghancuran yang direncanakan gagal untuk membuat kerusakan serius pada kilang, tetapi gudang-gudang minyak dibakar. Dua jam setelah penerjunan pertama, 60 prajurit parasut Jepang lainnya diterjunkan di dekat lapangan terbang Pangkalan Benteng.[23][24]
Ketika pasukan pendaratan Jepang mendekati Sumatra, pesawat Sekutu yang tersisa menyerangnya, dan kapal angkut Jepang Otawa Maru tenggelam. Badai melintas di atas sungai, kapal pendarat Jepang bersenapan mesin. Namun, pada sore hari tanggal 15 Februari, semua pesawat Sekutu diperintahkan menuju Jawa, di mana serangan besar Jepang diantisipasi, dan unit udara Sekutu telah ditarik dari Sumatra selatan pada malam 16 Februari 1942. Personel lainnya dievakuasi melalui Oosthaven (kini Bandar Lampung) dengan kapal ke Jawa atau India.[23][24]
Jepang berhasil memulihkan produksi di kedua kilang minyak utama, dan produk-produk minyak ini sangat penting dalam upaya perang mereka. Meskipun ada serangan udara Sekutu, produksi sebagian besar dipertahankan.
Pada Januari 1945, dalam Operasi Meridian, Divisi Armada Udara Angkatan Laut Britania Raya melancarkan dua serangan besar terhadap dua kompleks kilang minyak, melawan pertahanan Jepang yang ditentukan.[26]
Periode revolusi kemerdekaan
Pada 8 Oktober 1945, Residen Sumatera Selatan, Adnan Kapau Gani dengan seluruh perwira Gunseibu mengibarkan bendera Indonesia saat upacara. Pada hari tersebut diumumkan bahwa Keresidensan Palembang berada di bawah penguasaan Republik.[27]
Palembang diduduki oleh Belanda setelah sebuah pertempuran kota antara pasukan Republik dan Belanda pada 1–5 Januari 1947, yang dijuluki Pertempuran Lima Hari Lima Malam. Terdapat tiga front selama pertempuran yakni front Ilir Timur, front Ilir Barat, dan front Ulu. Pertempuran berakhir dengan gencatan senjata dan pasukan Republik dipaksa mundur sejauh 20 kilometer (12 mil) dari Palembang.[28][29]
Selama pendudukan, Belanda membentuk negara bagian federal Sumatera Selatan pada September 1948.[30] Setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Negara Sumatera Selatan, beserta negara-negara federal lainnya membentuk Republik Indonesia Serikat yang berusia pendek, sebelum negara-negara tersebut dihapus dan diintegrasikan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.[31]
Periode Orde Lama dan Orde Baru
Semasa pemberontakan PRRI/Permesta, faksi pemberontak mendirikan Dewan Garuda di Sumatera Selatan pada 15 Januari 1957 di bawah Letnan Kolonel Barlian yang mengambil alih pemerintahan daerah Sumatera Selatan.
Pada April 1962, pemerintah Indonesia memulai pembangunan Jembatan Ampera yang selesai dan secara resmi dibuka untuk umum pada 30 September 1965 oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, hanya beberapa jam sebelum dia dibunuh oleh pasukan Gerakan 30 September. Awalnya, jembatan itu dikenal sebagai Jembatan Bung Karno, sesuai nama presiden saat itu, tetapi setelah kejatuhannya, jembatan itu diganti namanya menjadi Jembatan Ampera.[32] Jembatan kedua di Palembang yang melintasi Sungai Musi, Jembatan Musi II dibangun pada 4 Agustus 1992.[33]
Pada 6 Desember 1988, pemerintah Indonesia memperluas wilayah administratif Palembang sejauh 12 kilometer dari pusat kota, dengan 9 desa dari Musi Banyuasin bergabung menjadi 2 kecamatan baru di Palembang dan 1 desa dari Ogan Komering Ilir digabungkan ke dalam Kecamatan Seberang Ulu I.[33]
Semasa Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia, Palembang juga dilanda kerusuhan dengan 10 toko yang terbakar, lebih dari selusin mobil terbakar, dan beberapa orang terluka yang ditimbulkan oleh para perusuh ketika para mahasiswa berbaris ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Selatan. Ribuan polisi dan tentara berjaga-jaga di berbagai titik di kota. Tim Relawan untuk Kemanusiaan melaporkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual juga terjadi.[33]
Periode Reformasi
Pada tahun 1998, sebuah kompleks olahraga beserta stadion utamanya, Stadion Gelora Sriwijaya, dibangun di Jakabaring, selesai pada tahun 2004. Stadion ini berfungsi sebagai tempat untuk Pekan Olahraga Nasional 2004. Palembang menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional pada tahun 2004 setelah 47 tahun terakhir diselenggarakan di luar Jawa dan 51 tahun di Sumatra.[34] Tujuh tahun kemudian, Palembang menjadi tuan rumah Pesta Olahraga Asia Tenggara 2011 bersama dengan Jakarta. Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengganti tuan rumah Islamic Solidarity Games 2013 dari Pekanbaru ke Palembang karena beberapa masalah yang terjadi di tuan rumah sebelumnya, termasuk Gubernur Riau, Rusli Zainal yang tersandung skandal korupsi.[35] Palembang, bersama lagi dengan Jakarta, terpilih menjadi tuan rumah Asian Games 2018.[36]
Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, mencanangkan Palembang sebagai "Kota Wisata Air" pada 27 September 2005.[37] Lebih lanjut pada 5 Januari 2008, Palembang mempublikasikan objek-objek wisatanya dengan slogan Visit Musi 2008.[38]
^George Coedès, Les inscriptions malaises de Çrivijaya, BEFEO 1930
^Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN978-0-8248-0368-1.
^Coedès, George (1918). "Le Royaume de Çrīvijaya". Bulletin de l'Ecole Française d'Extrême-Orient (edisi ke-18). 6: 1–36.
^Nas, Peter J. M. (1995). "Palembang: The Venice of the East," in Issues in Urban Development: Case Studies from Indonesia. Leiden: CNWS. hlm. 133–134.
^ abAndaya, Barbara Watson (1993). To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawaii Press.
^ abcdeSchellinger, Paul E.; Salkin, Robert M., ed. (1996). Asia and Oceania: International Dictionary of Historic Places. New York: Routledge. hlm. 663. ISBN1-884964-04-4.
^Ta Sen, Tan (2009). Cheng Ho and Islam in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies.
^ abcWinda, Heny (23 October 2012). "Kerusuhan Di Kota Palembang Pada Bulan Mei Tahun 1998 dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Kota Palembang di Bidang Politik, Ekonomi dan Sosial (1998–2003)". UNSRI.