Masjid Agung Palembang
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo[1] (Jawi: مسجيد أڬوڠ سولطن محمود بدارودين ١ جايو ويكرامو) adalah sebuah masjid paling besar di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Masjid ini didirikan pada abad ke-18 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Saat ini, Masjid Agung Palembang telah menjadi Masjid regional di kawasan ASEAN. Masjid ini menempati kompleks seluas 15.400 meter persegi, di kawasan 19 Ilir, di mana merupakan salah satu Kampung Asli Melayu Palembang dan Arab yang telah lama didiami. ArsitekturMasjid ini dipengaruhi oleh 3 arsitektur yakni Melayu, China dan Eropa. Gaya khas arsitektur Nusantara adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak masjid atau mustaka memiliki jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika berpola bunga merekah. Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak. Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada rupa jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi kesan kokoh. Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung dari Eropa. Sedangkan arsitektur China dilihat dari masjid utama yang atapnya berbentuk limas, terdiri dari tiga tingkat. Pada bagian atas sisi limas atap terdapat jurai daun simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. Setiap sisi limas memiliki 13 jurai. Bentuk jurai melengkung dan lancip. Rupa ini merupakan bentuk atap kelenteng.[2] Masjid ini dulunya adalah masjid terbesar di Indonesia selama beberapa tahun.[3] Bentuk masjid yang ada sekarang adalah hasil renovasi tahun 2000 dan selesai tahun 2003. Megawati Soekarnoputri adalah orang yang meresmikan masjid raksasa Sumatera Selatan modern ini. SejarahSaat terjadi perang antara masyarakat Palembang dengan Belanda pada tahun 1659 M, sebuah masjid terbakar. Masjid tersebut merupakan masjid yang dibangun oleh Sultan Palembang kala itu, Ki Gede Ing Suro, yang berlokasi di Keraton Kuto Gawang. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1738 M, Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo membangun kembali masjid tepat di lokasi berdirinya masjid yang terbakar.[4] Pembangunan masjid yang baru memakan waktu cukup lama, hingga pada 26 Mei 1748 atau pada 28 Jumadil Awal 1151 tahun Hijriah, masjid tersebut baru diresmikan berdiri. Di awal pembangunannya, Masjid Agung Palembang disebut oleh masyarakat Palembang dengan nama Masjid Sulton. Nama tersebut merujuk pada pembangunan masjid yang diketuai dan dikelola secara langsung oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Ketika pertama kali dibangun,masjid ini meliputi lahan seluas 1.080 meter persegi (sekitar 0,26 hektar) dengan kapasitas 1.200 orang. Lahan kemudian diperluas oleh Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta Mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.[3] Awalnya masjid ini belum memiliki menara.. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid dibangun. Lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di bagian barat. Pola menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa menara masjid menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada bagian ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar yang mengelilingi bangunan menara.[2] Masjid Agung Palembang sebagai salah satu masjid tertua yang ada di nusantara sudah mengalami berbagai renovasi. Dari 1819-1821, renovasi dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah itu, ekspansi lebih lanjut dilakukan pada tahun 1893, 1916, 1950, 1970, dan terakhir pada tahun 1990-an. Selama ekspansi pada 1966-1969 oleh Yayasan Masjid Agung, lantai kedua dibangun dengan luas tanah 5.520 meter persegi dengan kapasitas 7.750 orang.[3] Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai pembangunan menara baru yang disponsori oleh Pertamina. Menara baru ini setinggi 45 meter, mendampingi menara asli bergaya Cina, diresmikan pada tanggal 1 Februari 1971.[2] Masjid ini sangat khas dengan tradisi Melayu Palembangnya. Sebagian besar kayu yang terdapat di arsitektur masjid memiliki ukiran khas Melayu Palembang yang disebut Lekeur.[3] Salah satu renovasi terbesar terjadi pada tahun 1999. Renovasi yang dilakukan oleh Gubernur Laksamana Muda H Rosihan Arsyad tidak hanya memperbaiki bagian yang rusak, tetapi juga merestorasi bangunan masjid dengan menambahkan tiga bangunan baru. Ketiga bangunan tersebut antara lain, bangunan di bagian selatan masjid, di bagian utara, dan bagian timur. Pada renovasi dan restorasi ini, kubah masjid juga mengalami perbaikan di berbagai sisinya. Saat ini, bangunan asli masjid ini terletak di tengah bangunan baru, diresmikan oleh Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Cagar BudayaMengingat Masjid Agung Palembang merupakan salah satu peninggalan sultan, maka berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia MA/233/2003 tertanggal 23 Juli 2003, masjid ini ditetapkan sebagai salah satu masjid nasional. Kemudian pada 2009, berdasarkan UU No 5 tahun 1992 tentang bangunan cagar budaya, serta Surat Peraturan Menteri No PM19/UM.101/MKP/2009, Masjid Agung Palembang menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah.[4] Referensi
|