Halaman ini berisi artikel tentang rumpun dialek yang terdiri dari dua dialek, yaitu Dialek Surabaya dan Dialek Malang. Untuk mengetahui mengenai Dialek Surabaya secara spesifik, lihat Bahasa Jawa Surabaya. Untuk Dialek Malang, lihat Bahasa Jawa Malangan.
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman iniKlasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Dialek Arekan memiliki fonologi yang sedikit berbeda dari bahasa Jawa Standar. Statusnya yang bukan merupakan bahasa baku membuat dialek ini tidak banyak digunakan secara tertulis. Dialek Arekan baru aktif digunakan dalam bentuk tulisan sejak abad ke-21, terutama setelah media sosial banyak digunakan untuk sarana komunikasi dalam bahasa informal. Perbedaan yang paling mencolok antara dialek Arekan dengan bahasa Jawa Standar terletak pada imbuhan dan pemilihan kosakata. Hal ini pula yang membuat dialek ini mendapatkan namanya, Arekan, yang berasal dari penggunaan kata arèk (anak) untuk menggantikan bocah dan juga dapat berarti guys dalam bahasa Inggris.
Persebaran
Dialek Arekan merupakan dialek bahasa Jawa yang umum digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Timur bagian timur. Cakupan wilayah penuturan dialek Arekan diperkirakan mencapai:[butuh rujukan]
Pada dialek Arekan, terdapat cara pengucapan huruf vokal yang sedikit berbeda dari bahasa Jawa Standar.
Fonem/i/ pada suku kata tertutup berbunyi [ɪ][6] atau [e].[7][8] Fonem /i/ pada penultima terbuka umumnya juga berbunyi [ɪ] atau [e] jika ultima memiliki vokal /i/ atau /u/ tertutup.[9][10]
Fonem /u/ pada suku kata tertutup berbunyi [ʊ][11] atau [o].[7][8] Fonem /u/ pada penultima terbuka umumnya juga berbunyi [ʊ] atau [o] jika ultima memiliki vokal /i/ atau /u/ tertutup.[9][10]
Kata
Bahasa Jawa Standar
Dialek Arekan
Arti
kirik
[ki.rɪʔ]
[kɪ.rɪʔ],[ke.reʔ]
anak anjing
kukur
[ku.kʊr]
[kʊ.kʊr],[ko.kor]
garuk
purik
[pu.rɪʔ]
[pʊ.rɪʔ],[po.reʔ]
ambek
pikun
[pi.kʊn]
[pɪ.kʊn],[pe.kon]
pikun
Alofon pada /i/ dan /u/ meluas hingga memiliki kesamaan bunyi dengan /e/ dan /o/. Hal ini membuat fonem /e/ yang berbunyi [e] dan /o/ yang berbunyi [o] yang terletak pada penultima dengan ultima /i/ atau /u/ tertutup terkadang dipahami sebagai fonem /i/ dan /u/.
éling
[ʔe.lɪŋ]
→ iling
'ingat'
kondur
[kon.dʊr]
→ kundur
'pulang'
Fonem /e/ pada penultima terbuka berbunyi [ɛ], kecuali jika kata tersebut memiliki ultima terbuka dengan vokal /e/ atau /o/[12] atau ultima tertutup dengan vokal /i/ atau /u/.[8]
Fonem /a/ yang berbunyi [ɔ] umumnya tetap dibaca [ɔ] meski kata tersebut diberi akhiran, kecuali akhiran yang menyebabkan terjadinya sandi. Hal ini menandakan kemungkinan proses terbentuknya fonem /ɔ/ mandiri yang terpisah dari alofon /a/.[13][14]
Kata
Bahasa Jawa Standar
Dialek Arekan
Arti
kanca
[kɔɲtʃɔ]
[kɔɲtʃɔ]
teman
kancané
[kaɲtʃane]
[kɔɲtʃɔne]
temannya
ngancani
[ŋaɲtʃani]
[ŋaɲtʃani]
menemani
jaga
[dʒɔgɔ]
[dʒɔgɔ]
jaga
jagaen
[dʒaga.nən]
[dʒɔgɔ.ən]
jagalah
njagakaké/njagakna
[ɲdʒagaʔake]
[ɲdʒagaʔnɔ]
mengandalkan
Sistem penulisan
Dialek Arekan umum ditulis menggunakan alfabet Latin tanpa mematuhi pedoman penulisan bahasa Jawa. Hal ini membuat satu kata dapat memiliki beberapa variasi cara penulisan yang berbeda. Penulisan pada dialek Arekan cenderung mengikuti bunyi pengucapan kata.[15]
Vokal
Secara umum, diakritik tidak digunakan pada penulisan huruf vokal[16][8] dan beberapa alofon direpresentasikan dengan huruf yang mendekati bunyinya. Hal ini membuat satu huruf dapat merepresentasikan beberapa fonem yang berbeda.[17] Pemilihan huruf vokal tidak selalu konsisten, sehingga fonem yang sama dapat ditulis dengan huruf yang berbeda antara satu kata dengan yang lain.
Terdapat perbedaan dalam pemilihan kata untuk pronomina persona pada dialek Arekan. Beberapa kata atau frasa juga biasa digunakan untuk menyatakan bentuk jamak.
Awalan tak(-) dan mbok(-) biasa ditulis sebagai kata terpisah meski penggunaannya tetap sama seperti pada bahasa Jawa Standar.[23]Piambake dan tiange berasal dari kosakata krama, yaitu piyambak 'sendiri' (ngoko: dhéwé) dan tiyang 'orang' (ngoko: wong), yang ditambahkan akhiran ngoko -e (krama: -ipun). Akan tetapi, gelar lebih sering digunakan untuk menyebut orang ketiga dalam bahasa yang sopan dibandingkan dengan pronomina persona.[24]
Demonstrativa
Terdapat sedikit berbedaan pada kata tunjuk yang digunakan di dialek Arekan. Hal ini dipengaruhi oleh sistem penulisannya yang tidak mematuhi pedoman penulisan bahasa Jawa.
Penggunaan huruf <u> pada suku kata terbuka untuk menyatakan bunyi [o] hanya ditemui pada kata tunjuk. Hal ini menyimpang dari ketentuan bahwa vokal /u/ pada suku kata terbuka dibunyikan sebagai [u].[25]
Imbuhan
Terdapat beberapa erbedaan pada penggunaan imbuhan antara dialek Arekan dengan bahasa Jawa Standar.
Akhiran -no[f][nɔ] menggantikan seluruh penggunaan akhiran -aké.
lali
[lali]
'lupa'
+ N-/-no
→ nglalekno
[ŋlalɛʔnɔ]
'melupakan'
tuku
[tuku]
'beli'
+ N-/-no
→ nukokno
[nukɔʔnɔ]
'membelikan'
jodo
[dʒoɖo]
'jodoh'
+ tak(-)/-no
→ tak jodokno
[taʔdʒɔɖɔʔnɔ]
'kujodohkan'
gowo
[gɔwɔ]
'bawa'
+ di-/-no
→ digawakno
[digawaʔnɔ]
'dibawakan'
dewe
[ɖewe]
'sendiri'
+ di-/-no
→ didewekno
[diɖɛwɛʔnɔ]
'disendirikan'
Akhiran -e diwujudkan dengan alomorf-ne jika dipasangkan pada kata dengan akhir vokal.[26] Akan tetapi, alomorf -e terkadang dapat juga digunakan.
bojo
[bodʒo]
'suami/istri'
+ -e
→ bojoe
[bodʒo.e]
'pasangannya'
mlaku
[mlaku]
'berjalan'
+ -e
→ mlakue
[mlaku.e]
'jalannya'
mburi
[mburi]
'belakang'
+ -e
→ mburie
[mburi.e]
'belakangnya'
Awalan sak- menggantikan seluruh penggunaan awalan sa- serta alomorf se-, kecuali yang terdapat pada angka.[g]
piring
[pɪrɪŋ]
'piring'
+ sak-
→ sakpiring
[saʔpɪrɪŋ]
'sepiring'
penak
[pɛnaʔ]
'enak'
+ sak-/-e
→ sakpenake
[saʔpɛnaʔe]
'seenaknya'
omah
[ʔomah]
'rumah'
+ sak-
→ sakomah
[saʔomah]
'serumah'
Sisipan -u- digunakan untuk memberikan penekanan dengan makna ‘sangat’ pada suatu kata.[27] Sisipan ini berbeda dengan pendiftongan pada bahasa Jawa Standar yang memiliki fungsi serupa,[28] karena sisipan -u- tidak menghasilkan diftong dan tidak terbatas pada kata sifat. Pada kata yang diawali vokal, sisipan -u- diletakkan di awal kata dan dapat diwujudkan dengan alomorf -u-, -w-, atau -uw-. Pada kata yang diawali konsonan, sisipan -u- diletakkan sebelum vokal pada suku kata pertama dan dapat diwujudkan dengan alomorf -u- atau -uw-. Jika vokal yang mengikuti sisipan adalah /u/, sisipan selalu diwujudkan dengan alomorf -uw-.
akeh
[ʔa.kɛh]
'banyak'
+ -u-
→ uakeh
[ʔu.a.kɛh]
'sangat banyak'
adoh
[ʔa.dɔh]
'jauh'
+ -w-
→ wadoh
[wa.dɔh]
'sangat jauh'
enak
[ʔɛ.naʔ]
'enak'
+ -uw-
→ uwenak
[ʔu.wɛ.naʔ]
'sangat enak'
lapo
[la.pɔ]
'sedang apa'
+ -u-
→ luapo
[lu.a.pɔ]
'sedang apa (heran)'
ngguyu
[ŋgu.ju]
'tertawa'
+ -uw-
→ ngguwuyu
[ŋgu.wu.ju]
'tertawa terbahak-bahak'
Penggunaan
Salah satu ciri khas dialek Arekan adalah tutur kata yang dianggap lugas, tegas, dan kasar, dibandingkan dengan bahasa Jawa Standar yang cenderung halus, lembut, dan secara jelas menunjukkan tata krama. Hal ini muncul dari perbedaan nada bicara dan jarangnya penggunaan kosa kata dengan tingkat tutur tinggi.[butuh rujukan] Berikut ini merupakan beberapa contoh kalimat percakapan dalam dialek Arekan dan bahasa Jawa Standar:
Dialek Arekan
Bahasa Jawa Standar
Bahasa Indonesia
Yo'opo kabare, rek?
Piyé kabaré, cah?
Apa kabar, kawan?
Arek iki tambah mbois ae cok!
Cah ki tambah bagus waé pèh!
Anak ini semakin keren saja ya!
Rek, koen kabeh gak mangan a?
Cah, kowé ra padha madhang toh?
Kawan, apa kalian tidak makan?
Cak, njaluk tolong jukukno montor nang bengkel.
Mas, njaluk tulung jupukaké montor ning bingkil.
Bang, minta tolong ambilkan mobil di bengkel.
Pak, sampean kajenge teng pundi?
Pak, panjenengan badhé dhateng pundi?
Pak, Anda hendak ke mana?
Dialek Arekan juga digunakan sebagai bahasa pengantar oleh media-media lokal setempat.[butuh rujukan]
Kosakata
Dialek Arekan memiliki penggunaan kosakata yang berbeda dari bahasa Jawa Standar. Perbedaan kosakata ini dapat berupa penggunaan suatu kata baku yang lebih sering dibanding sinonimnya, kata yang pengucapannya sedikit berbeda, kata yang maknanya telah bergeser atau meluas, atau kata yang khas dan tidak ada padanannya di bahasa Jawa Standar. Beberapa contoh di antaranya ada di tabel berikut:
^Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat Situbondo dan Bondowoso adalah bahasa Madura.
^Dalam bahasa Jawa, huruf vokal yang terletak sebelum pertemuan antara konsonan sengau dengan konsonan homorganiknya diperlakukan sebagai vokal terbuka meskipun berada dalam suku kata tertutup.
^Fonem /i/ pada bahasa Jawa Standar tidak memiliki alofon [e].
^Fonem /u/ pada bahasa Jawa Standar tidak memiliki alofon [o].
^Kata kaé lebih umum digunakan dalam percakapan, sedangkan ika digunakan pada bahasa sastra.
^Awalan sa- beserta alomorfnya terdapat pada angka sepuluh 'sepuluh', sewelas 'sebelas', selikur 'dua puluh satu', selawe 'dua puluh lima', seket 'lima puluh', suwidak 'enam puluh', satus 'seratus', dan sewu 'seribu'.
^Penulisan huruf pada contoh kata di bawah merupakan penulisan yang umum ditemui. Pada penulisan dialek Arekan, umumnya diakritik tidak digunakan. Diakritik pada tabel ini hanya sebagai petunjuk untuk menghindari abiguasi pembacaan dan beberapa diakritik bukan merupakan diakritik yang digunakan dalam penulisan latin bahasa Jawa. Huruf dengan diakritik beserta bunyinya adalah sebagai berikut: <é> untuk [e], <è> untuk [e], <ó> untuk [o], <ò> untuk [o], <ḍ> untuk [ɖ], <ṭ> untuk [ʈ], dan <ḳ> untuk [k] sebagai koda (konsonan di akhir suku kata).
^Umum digunakan sebagai panggilan untuk persona ketiga jamak, 'kawan-kawan'.
^Dalam bahasa Jawa Standar, clathu memiliki arti 'berbicara'.
^Congok berasal dari gabungan kata kacong (bahasa Madura) dan goblok
^Dalam bahasa Jawa Standar, gègèr memiliki arti 'huru-hara'.
^Dalam bahasa Jawa Standar, jagong memiliki arti 'mendatangi perayaan'.
^Dalam bahasa Jawa Standar, jekèthèk memiliki arti 'umum, mudah dijumpai'.
^Dalam bahasa Jawa Standar, maruk memiliki arti 'bernafsu makan besar'.
^Singkatan dari kata cilik dalam bahasa Jawa Standar yang berarti 'kecil'.
^Dalam bahasa Jawa Standar, lèyèh memiliki arti 'bersandar'.
^Dalam bahasa Jawa Standar, rèken memiliki arti 'menghargai' atau 'menyadari'.
^Sakper berasal dari gabungan kata sak dan pertandingan.
^Dalam bahasa Jawa Standar, tuwuk memiliki arti 'kenyang'.
^Dalam bahasa Jawa Standar, umum memiliki arti 'umum'.
Referensi
^Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Arekan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)
^Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Malang-Pasuruan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)
^Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Surabaya". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)