Bahasa Jawa Tegal
Bahasa Jawa Tegal (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮꦠꦼꦒꦭ꧀, translit. Basa Jawa Tegal) adalah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Tengah yang meliputi wilayah Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan bagian barat Kabupaten Pemalang. Dialek ini juga dituturkan di daerah kantong di bagian barat Kabupaten Indramayu.[1] Bahasa Jawa Tegal secara umum dituturkan di pesisir utara eks-Keresidenan Pekalongan (tidak termasuk Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan). Selain itu, dialek ini juga dituturkan di daerah dekat perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, di mana Kecamatan Losari di Kabupaten Brebes menjadi batas tradisional daerah penggunaan bahasa Jawa Tegal dengan bahasa Jawa Cirebon. Bahasa Jawa Tegal memiliki banyak kesamaan dengan rumpun bahasa Jawa Bagian Barat lainnya, terutama dengan bahasa Jawa Banyumasan. Kesamaan ini umumnya meliputi kosakata yang digunakan. Meskipun memiliki kosakata yang relatif sama dengan bahasa Jawa Banyumasan, Penutur dialek Tegal tidak serta merta ingin disebut Ngapak karena beberapa alasan, diantaranya perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata. Sebagai bentuk pelestarian bahasa Jawa dialek Tegal, saat ini Universitas Pancasakti yang terletak di Kota Tegal mulai menjadikan puisi berbahasa Jawa Tegal sebagai salah satu bahan ajar di perkuliahan.[3] KekhasanSelain pada intonasinya, bahasa Jawa dialek Tegal juga memiliki ciri khas tersendiri dalam pengucapan tiap frasa, yaitu apa yang diucapkan sama dengan apa yang ditulis. Sebagaimana dijelaskan oleh Enthus Susmono dalam Kongres Bahasa Tegal I, hal ini dinilai mempengaruhi konsistensi perilaku masyarakat penggunanya. Perbedaan dengan bahasa Jawa WetananBahasa Jawa Tegal yang termasuk dalam rumpun bahasa Jawa Bagian Barat (Kulonan), diketahui memiliki banyak perbedaan dengan dialek bahasa Jawa yang termasuk dalam rumpun bahasa Jawa Bagian Timur (Wetanan), perbedaan-perbedaan ini biasanya mencakup perbedaan dalam pengucapan dan beberapa kosakata kuno yang masih banyak dipertahankan dalam rumpun bahasa Jawa Bagian Barat (termasuk dialek Tegal). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada contoh berikut ini.
Karena perbedaan pelafalan vokal /a/ dan /o/ tersebut, dialek utama dalam bahasa Jawa terbagi menjadi dua, yakni dialek Barat (Kulonan) yang melafalkan /a/ dan dialek Timur (Wetanan) yang melafalkan /o/. Berikut perbandingannya dalam tabel di bawah ini.
Dalam hal ini, Enthus menilai masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa Wetanan kurang konsisten dalam mengucapkan beberapa kata, misalnya kata gatutkaca yang ditambahkan akhiran -ne. Oleh penutur bahasa Jawa Wetanan kata tersebut tidak lagi diucapkan gatutkacane, melainkan gatutkåcåne. Berikut ini perbandingannya pada tabel di bawah.
Contoh percakapanBerikut ini adalah contoh percakapan dalam bahasa Jawa Tegal berdasarkan sub-dialek dan variasi geografisnya. Tegal–BrebesA: "pan maring ngendi?" Tegal Kota dan PesisirA: "ente walade sapa, tong?" Pemalang BaratA: "kabare pime, wis ndue bojo durung?" Bahasa gaul TegalSama seperti beberapa daerah lain di Jawa, Tegal yang juga merupakan daerah berkembang juga memiliki bahasa gaul yang berbasis pada bahasa Jawa Tegal. Bahasa ini pada awalnya digunakan oleh para gerilyawan pada masa penjajahan Belanda. Namun, perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bahasa sandi ini telah berubah fungsinya menjadi bahasa gaul. Pola pembentukan bahasa gaul Tegal menggunakan distribusi fonem. Salah satu contohnya, jasak berasal dari kata bapak. Pada kata ini, huruf /b/ digeser (diganti) dengan huruf /j/, dan huruf /p/ diganti dengan huruf /s/. Sementara huruf vokal tidak berubah. Berikut ini contoh kosakata bahasa gaul Tegal dalam tabel di bawah.
DistribusiBahasa Jawa Tegal terutama dituturkan di Kabupaten Brebes (kecuali bagian barat dan selatan), Kota Tegal, Kabupaten Tegal (bagian tengah dan utara), dan Kabupaten Pemalang (bagian barat). Selain itu, bahasa Jawa Tegal juga dituturkan di daerah kantong di bagian barat Kabupaten Indramayu, wilayah penuturannya meliputi Kecamatan Anjatan, Bongas, Haurgeulis, Patrol, dan Sukra. Awal mula bahasa Jawa Tegal juga dituturkan di Kabupaten Indramayu berawal dari tahun 1920an. Saat itu, terdapat migrasi penduduk dari Tegal dan Brebes ke beberapa desa maupun blok di bagian barat Kabupaten Indramayu.[1] Di bagian barat daya Kabupaten Tegal, tepatnya di Desa Prupuk Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Brebes, bahasa Jawa Tegal yang digunakan sebagai bahasa ibu oleh masyarakatnya juga digunakan bersama dengan bahasa Sunda Brebes (lihat bahasa Sunda di Kabupaten Tegal). Kedua bahasa tersebut dituturkan secara bersamaan oleh sekitar 1.000 masyarakat Prupuk Selatan di sepanjang Sungai Pemali bagian selatan.[4][5] Upaya pelestarianKongres Bahasa TegalKongres Bahasa Tegal I diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Tegal pada tanggal 4 April 2006 di Hotel Bahari Inn, Kota Tegal. Acara ini digagas oleh Yono Daryono, serta juga dihadiri oleh beberapa tokoh penutur bahasa Jawa Tegal, diantaranya S.N. Ratmana (penulis cerpen), Ki Enthus Susmono (dalang), dan Eko Tunas (penyair). Tujuan diselenggarakannya kongres ini adalah untuk mengangkat status bahasa Jawa Tegal menjadi bahasa daerah. Salah satu pelopor dan pegiat bahasa Jawa Tegal adalah Lanang Setiawan. Selain menciptakan lagu-lagu Tegalan, ia juga menerbitkan tabloid berbahasa Jawa Tegalan, Tegal Tegal, menulis novel berjudul Oreg Tegal, dan secara rutin menulis kolom anekdot berbahasa Jawa Tegal di harian pagi Nirmala Post. Karena hal tersebut, pada tanggal 19 Oktober 2008, ia menerima anugerah Penghargaan Penggiat Bahasa Jawa Tegal dari Wali Kota Tegal, Adi Winarso. Pendidikan bahasa daerahSejak masa kepemimpinan H. Mardiyanto, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menerapkan aturan agar setiap siswa (mulai dari SD hingga SMA) mendapatkan pelajaran bahasa Jawa. Namun kebijakan ini menemui kendala, yaitu masalah perbedaan dialek.[6] Misalnya, anak yang lahir di Tegal secara otomatis akan menggunakan dialek Tegal sebagai bahasa ibunya, bukan dialek baku seperti Yogyakarta dan Surakarta. Jika pendidikan bahasa daerah di sekolah hanya mengacu pada bahasa baku, tentu saja siswa akan kesulitan beradaptasi dengan budaya dan bahasa yang telah diterimanya sejak lahir. Akhirnya muncul anggapan bahwa pelajaran bahasa Jawa di sekolah merupakan 'paksaan' untuk menggunakan bahasa masyarakat Wetanan. Lihat jugaReferensi
Pranala luar
|