Kongres Bahasa JawaKongres Bahasa Jawa adalah kegiatan rutin lima tahunan yang membahas mengenai Bahasa dan Budaya Jawa. Acara ini diselenggarakan oleh tiga provinsi di Pulau Jawa secara bergantian yakni Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh para praktisi budaya Jawa, birokrat, akademisi dan masyarakat pencinta budaya Jawa serta undangan khusus baik dari dalam maupun luar negeri. Kongres Bahasa Jawa I diadakan di Kota Semarang pada 15-20 Juli 1991 dan hingga saat ini telah dilaksanakan sebanyak 5 kali dengan diadakannya kongres Bahasa Jawa V di kota Kota Surabaya tahun 2011. Kongres Bahasa Jawa
Kongres Bahasa Jawa VI tahun 2016Latar BelakangBahasa dan sastra Jawa hidup di tengah-tengah perkembangan masyarakat yang semakin modern. Kita ingin menjadikan kota-kota di berbagai daerah semakin maju dan mampu menyejahterakan masyarakatnya. Beberapa ahli telah mengidentifikasi beberapa daerah perkotaan berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan tiga kriteria, yaitu perkembangan ekonomi, perkembangan sosial, dan perkembangan lingkungan hidup untuk diberi predikat “kota cerdas”. Berdasarkan jumlah penduduk, kota di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kota yang berpenduduk hingga 200.000 jiwa, kota yang berpenduduk 200.000 – 1.000.000 jiwa, dan kota yang berpenduduk di atas 1.000.000 jiwa. Berdasarkan jumlah penduduk itu, kemudian diidentifikasi berdasarkan tiga kriteria. Atas dasar kriteria di atas, kota-kota di Provinsi DIY, Jateng, dan Jatim yang terpilih sebagai kota cerdas 2015 adalah sebagai berikut. Pertama, predikat kota cerdas berpenduduk 1 juta ke atas di raih Kota Surabaya dan Kota Semarang. Kedua, predikat kota cerdas berpenduduk 200.000 - 1.000.000 diraih oleh Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, dan Kota Malang. Ketiga, kota cerdas berpenduduk hingga 200.000 diraih oleh Kota Magelang, Kota Madiun, Kota Mojokerto, dan Kota Salatiga. Berdasarkan penentuan kota-kota cerdas di Indonesia, tampaknya arah pembangunan bangsa dan negara kita akan diarahkan menjadi kota cerdas berdasarkan kriteria di atas. Di samping itu, harus diakui bahwa sebaran penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan pada tahun 1950 hanya 26%, dan pada tahun 2025 nanti akan menjadi 85% (Budiman Tanuredjo, akun @hariankompas). Kita tidak boleh menutup mata terhadap kehidupan generasi muda sekarang. Mereka hidup di tengah-tengah gegap-gempitanya teknologi yang memberi paparan berbagai informasi, bahkan sampai pada sumber-sumber penghidupan yang dapat menyejahterakan mereka pun terpapar melalui teknologi. Dengan semakin akrabnya teknologi internet, gadget dan teknologi lain, bahasa dan sastra Jawa akan mengambil posisi di mana? Perkembangan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM, pengelolaan sumber daya alam untuk menyejahterakan masyarakat, hubungan sosial kemasyarakatan yang semakin heterogen, bahasa Jawa berada di tengah-tengah himpitan perubahan zaman. Jika potret di atas dipakai sebagai dasar membuat kebijakan pengembangan, pelestarian, dan pendidikan bahasa dan sastra Jawa, kita tidak mungkin lagi hanya kembali bernostalgia ke masa lampau bahwa bahasa Jawa pernah berjaya karena memiliki nilai adi luhung. Kita tidak mungkin bernostalgia seperti itu, sementara realita perubahan masyarakat dan perencanaan pembangunan bangsa ke depan tidak mungkin kembali ke masa lampau. Dengan tantangan seperti itu, kita tidak mungkin hanya berpikir secara konvensional. Masyarakat Jawa harus bangkit berpikir kreatif dan inovatif agar dapat melakukan hal-hal yang spektakuler sehingga bahasa Jawa mampu memberikan sumbangan terhadap pembangunan dan pembentukan kepribadian nasional pada zaman modern. Namun, di sisi lain harus diakui bahwa para pemegang tampuk pimpinan di tingkat Provinsi, Kabupaten/kota tidak boleh lalai dengan kondisi bahasa Jawa di daerah masing-masing. Keberadaan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, memerlukan dukungan politik anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Wali kota. Secara metaforis dapat dikatakan bahwa “mata air” budaya Jawa adalah bahasa Jawa. Bahkan, sebagian ruh kebudayaan nasional teraliri nilai-nilai bahasa dan sastra Jawa yang manifestasinya disebut budaya Jawa. Konsep-konsep kebudayaan nasional sudah teraliri budaya Jawa, seperti semangat gotong royong, sikap lembah manah, slogan “ngono ya ngono, ning aja ngono”, angon rasa, adu rasa adalah ruh budaya Jawa yang telah diterima sebagai unsur kebudayaan nasional. Namun, dewasa ini ”debit mata air” itu semakin mengecil. Bahasa Jawa sudah tidak banyak memunculkan nilai-nilai baru yang dapat “mengaliri” budaya nasional. Hal ini tidak boleh dibiarkan dan masyarakat Jawa harus mau cancut tali wanda untuk ber-triwikrama. Makna triwikrama dapat ditafsirkan secara filosofis sebagai kemampuan untuk mengerahkan segala pikiran, perasaan, dan tenaga untuk mengubah diri sendiri menjadi sosok baru di luar kekuatan apa pun dari yang dipikirkan atau dirasakan sebelumnya. Triwikrama dapat dimaknai sebagai gerakan reformasi. Melalui Kongres Bahasa Jawa VI, masyarakat Jawa harus mampu membangunkan segala kekuatan untuk mereformasi permasalahan yang dihadapi masyarakat Jawa berkaitan dengan kondisi bahasa Jawa yang selama ini telah mengecilkan “debit” budaya Jawa. Tiga hal yang perlu direformasi antara lain:
Tiga pemikiran baru itulah masyarakat Jawa harus cancut tali wanda memfokuskan Kongres Bahasa Jawa VI agar terisi dengan pemikiran baru. Tema Kongres“BASA JAWA TRIWIKRAMA” Pengoptimalan Peran Bahasa dan Sastra Jawa di Kabupaten dan Kota yang Berakarkan Budaya Jawa untuk Memperkuat Kebudayaan Nasional. Subtema:
Pemakalah
Keputusan-keputusan penting Kongres Bahasa Jawa
Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|