Bahasa Jawa Indramayu
Bahasa Jawa Indramayu atau dialek Dermayu (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮꦆꦤ꧀ꦢꦿꦩꦪꦸ, translit. Basa Jawa Indramayu) adalah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama di Kabupaten Indramayu, sebagian utara dan timur Kabupaten Subang, serta sebagian utara Kabupaten Karawang.[2][3]
Sejarah
Perbedaan yang mencolok dari kebudayaan masyarakat Indramayu dengan kebudayaan masyarakat Jawa Barat pada umumnya terdapat pada bahasa yang digunakan.[4] Sebagian besar masyarakat Indramayu menggunakan bahasa Jawa Indramayu sebagai bahasa daerahnya meskipun di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Lelea dan Kecamatan Kandanghaur ada juga yang menggunakan bahasa Sunda fase lama (dialek Indramayu), juga di kecamatan Anjatan (Mangunjaya), Cikedung, Gantar, Haurgeulis, dan Terisi yang menggunakan bahasa Sunda fase baru (dialek Priangan).
Pada dasarnya bahasa Jawa yang dipertuturkan di Indramayu dan sekitarnya merupakan bagian dari rumpun dialek bahasa Jawa.[5] Masyarakat Indramayu umumnya dapat berbicara dalam dua bahasa dengan baik atau dapat saling mengerti walaupun mereka masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda.[6]
Asal usul
Arya Wiralodra sebagai pendiri Indramayu menjadi tonggak awal digunakannya bahasa Jawa di Indramayu.[5] Ia diketahui memiliki beberapa julukan di antaranya Pangeran Gagak Wiralodra, Pangeran Darmawijaya dan Pangeran Indrawijaya. Arya Wiralodra adalah putra Adipati Singalodra penguasa Bagelen dari Jawa Tengah.[7] Dalam Babad Dermayu koleksi Museum Sri Baduga, diriwayatkan bahwa Arya Wiralodra adalah tokoh yang gagah berani dan memiliki senjata pusaka bernama Cakra Udaksana.[8] Arya Wiralodra dinilai sebagai sosok pemimpin ideal yang menjadi kebanggaan masyarakat Indramayu. Hal ini dibuktikan dengan pemeliharaan situs peninggalan Arya Wiralodra beserta keturunannya yang masih dirawat dengan baik bahkan direvitalisasi beberapa kali dengan biaya yang cukup besar.
Perkembangan
Bahasa Jawa di Indramayu kian mengalami perkembangannya ketika kebijakan Kesultanan Mataram yang mengangkat pejabat-pejabat bawahannya untuk menjaga perbatasan di wilayah Cimanuk. Mereka juga diberi tugas untuk mengolah lumbung padi dan memproduksi beras.[9] Hal ini diperkuat dengan catatan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian bahwa orang Sunda baru mulai bercocok tanam paling cepat abad ke-16 dan semakin berkembang pada abad ke-17, karena mereka terbiasa berladang.[10] Kegiatan bersawah mulai dikenalkan oleh pasukan Mataram yang sengaja didatangkan ke Indramayu untuk mengolah lumbung padi dan memasok beras kepada pasukan Mataram yang sedang berperang melawan VOC di Batavia pada tahun 1628.[11]
Pada abad ke-19, pertanian dengan cara bersawah menjadi kegiatan utama masyarakat Indramayu secara umum karena hasilnya lebih menguntungkan.[11] Bukti lebih lanjut dapat ditemukan dalam Dagh Register yang ditulis oleh VOC pada 9 Desember 1693, melaporkan adanya kegiatan pertanian padi yang dilakukan secara berturut-turut di wilayah Indramayu.[12] Sejak saat itu, Indramayu menjadi daerah di pesisir utara Jawa yang memiliki area persawahan yang cukup luas. Hal ini yang mendorong masyarakat Indramayu lebih dahulu mengenal sistem bersawah dibanding dengan daerah pedalaman Jawa Barat yang masih bergantung dengan sistem berladang.[13] Meskipun di pesisir utara Jawa tidak terkena hujan musim kemarau, namun masyarakat Indramayu sudah lebih dahulu mengenal sistem irigasi sehingga penanaman padi tetap dapat dilakukan sepanjang tahun.[13]
Berkembangnya sistem pertanian yang terjadi di Indramayu tidak hanya membawa perubahan budaya tetapi juga bahasa.[4] Hal ini yang mempengaruhi bahasa Jawa Indramayu lambat laun kian berkembang. Indramayu yang berada di wilayah perbatasan Sunda dan Jawa menjadikan penduduknya dapat memahami dua bahasa dengan baik walaupun dalam percakapan sehari-hari antar keduanya masing-masing saling menggunakan bahasanya tersendiri, namun tetap komunikatif.[5]
Kosakata
Berikut ini perbandingan kosakata dialek bahasa Jawa, yang meliputi dialek Indramayu, Banyumasan, Tegal, dan Pekalongan.
Indramayu
|
Banyumasan
|
Tegal
|
Pekalongan
|
Makna
|
kula, kita, réang, nyong, isun
|
inyong, nyong
|
enyong, nyong
|
enyong, aku
|
aku
|
dika, sampéan, sira, ko, ira
|
rika, ko
|
rika, sampéan, kowén
|
sampéan, kowé
|
kamu
|
kita kabéh
|
awaké déwék
|
awaké déwék
|
awaké déwé
|
kami
|
sira kabéh
|
rika kabéh
|
kowén kabéh
|
kowé kabéh
|
kalian
|
kién, iki
|
kiyé, iki
|
kiyé, iki
|
kiyé, iki
|
ini
|
kuén, kuh, iku
|
kuwé, koh, iku
|
kuwé, koh
|
kuwi
|
itu
|
kéné, méné
|
kéné, mengéné
|
kéné, méné
|
kéné, mréné, méné
|
sini
|
kana, mana
|
kana, mengana
|
kana, mana, mrana
|
kana, månå, mrånå
|
sana
|
kepribén, kepriwén
|
kepribé, kepriwé
|
kepribén, keprimén
|
kepriyé, keprigé
|
bagaimana
|
ora, belih, bli, dudu, sejen
|
ora, udu, séjén
|
ora, blih, dudu, séjén
|
ora, udu, séjé
|
tidak, bukan
|
Lihat pula
Referensi
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Jawa Indramayu". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ "Kamus Bahasa Jawa Indramayu Indonesia Lengkap". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-16. Diakses tanggal 2019-08-11.
- ^ "Sekilas Indramayu – Situs resmi kab. Indramayu". indramayukab.go.id. Diakses tanggal 2019-08-11.
- ^ a b Dasuki, H. A.; Sardjono, J. P.; Sumardjo; Djamara (1977). Sejarah Indramayu. Indramayu: Pemerintah Kabupaten Derah Tingkat II Indramayu. hlm. 359.
- ^ a b c Kasim, Supali (2020). Bahasa Jawa Indramayu: Latar Sosiolingustik, Dialektiktologi, Politisasi & Pemertahanan Bahasa. Indramayu: Rumah Pustaka. hlm. 188. ISBN 9786237788652.
- ^ Dahuri, Rokhimin; Irianto, Bambang; Arovah, Eva Nur (2004). Budaya Bahari-Sebuah Apresiasi di Cirebon. Jakarta: PNRI. hlm. 103. ISBN 9793747064.
- ^ Prawiradiredja, Mohammed Sugianto (2005). Cirebon: Falsafah, Tradisi, dan Adat Budaya. Jakarta: PNRI. hlm. 39–41. ISBN 9793747161.
- ^ Tim Peneliti-Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa) Jawa Barat (2008), Babad Dermayu, Bandung: Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, hlm. 211
- ^ Kasim, Supali (2011). Menapak Jejak Sejarah Indramayu. Yogyakarta: Frame Publishing. hlm. 87. ISBN 9786025557286.
- ^ Ekadjati, Edi S. (2005). Kebudayaan Sunda-Zaman Pajajaran. Jilid II. Bandung: Pustaka Jaya. hlm. 151. ISBN 9794193348.
- ^ a b Collier, William L; Sajogyo (peny.) (1986). Budidaya Padi di Jawa. Jakarta: Gramedia. hlm. 339.
- ^ Lubis; Herlina, Nina; dkk (2003). Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. Bandung: Satya Historika. hlm. 61. ISBN 9799635365.
- ^ a b Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 23. ISBN 9789796054527.
Pranala luar
|
---|
Penulisan | | |
---|
Tingkatan | |
---|
Dialek | Bagian Barat | |
---|
Bagian Tengah |
|
---|
Bagian Timur |
|
---|
|
---|
Bahasa terkait | |
---|
Topik terkait | |
---|
|
|