Patung Arjuna Wijaya, yang secara resmi bernama monumen Untukmu Indonesia, adalah monumen berbentuk patung kereta kuda dengan air mancur yang terbuat dari tembaga yang terletak di persimpangan Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka. Perancang monumen ini adalah mahakarya I Nyoman Nuarta, pematung Indonesia asal Tabanan, Bali. Patung ini dibangun sekitar tahun 1987, seusai lawatan kenegaraan Presiden Indonesia Soeharto dari Turki. Proses pembuatan Patung ini dikerjakan oleh sekitar 40 orang seniman dan pengerjaannya dilakukan di Bandung, Jawa Barat.[1]
Monumen ini menggambarkan sebuah adegan dalam kisah klasik Mahabharata, ketika dua tokoh dari kubu Pandawa, yaitu Arjuna yang menggenggam busur panah dan Batara Kresna yang menjadi sais sedang menaiki kereta perang berkepala garuda yang ditarik delapan ekor kuda yang melambangkan delapan filsafat kepemimpinan "Asta Brata". Keduanya digambarkan sedang berada dalam situasi pertempuran melawan Adipati Karna yang berasal dari kubu Kurawa. Kisah ini dikenal sebagai kisah atau lakon wayang Karna Tanding.
Latar belakang
Menurut Nyoman Nuarta, pembangunan patung Arjuna Wijaya dilatarbelakangi kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto ke Turki pada tahun 1987, di mana dia melihat banyak monumen yang menjelaskan tentang cerita-cerita masa lalu Turki di jalan-jalan protokolnya. Presiden Soeharto menyadari hal tersebut tidak dia jumpai di ruas jalan-jalan protokol di Jakarta, sehingga dia menggagas pembangunan sebuah monumen yang memuat filsafat Indonesia. Melalui Nyoman Nuarta akhirnya kisah Perang Baratayuda digunakan sebagai ide di balik wujud akhir patung tersebut.[1]
"Arjuna Wijaya" sendiri berarti "kemenangan Arjuna", yang menceritakan kemenangannya dalam membela kebenaran dan keberaniannya, simbol apresiasi terhadap sifat-sifat kesatrianya. Patung Arjuna Wijaya merupakan patung yang merupakan simbol bahwa hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu. Hal ini dilatarbelakangi salah satu episode dalam cerita Bharatayuddha di mana Arjuna bertempur melawan Adipati Karna yang merupakan saudaranya sendiri. Menurut Nyoman Nuarta, dalam epos Mahabharata, Arjuna pada awalnya ragu karena yang dilawannya adalah saudaranya sendiri, tetapi dia harus menentukan sikap demi kebaikan orang yang lebih banyak, dia harus mengalahkan Adipati Karna yang berdiri di pihak Kurawa.[2]
Patung ini secara tidak tepat juga dikenal oleh masyarakat sebagai Patung Arjuna Wiwaha. Dalam tradisi Jawa Kuno, Arjuna Wijaya merujuk pada tokoh Arjuna Sasrabahu yang mengalahkan Rahwana. Kisah ini ada dalam Epos Ramayana dan Kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular. Sementara itu Arjuna Wiwaha merujuk pada Raden Arjuna, salah satu tokoh Pandawa, dalam Kakawin Kakawin Arjunawiwāha karya Mpu Kanwa yang dianggap sebagai kisah pesanan Raja Airlangga. Secara etimologi, "Wijaya" berarti kemenangan sementara "Wiwaha" berarti perkawinan. Jadi Arjuna Wiwaha berarti perkawinan Arjuna. Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, Arjuna mengawini tujuh bidadari, salah satunya Supraba sebagai hadiah dari para dewa setelah membantu mengalahkan Raksasa yang telah mengganggu ketenteraman para dewa di kahyangan.
Patung ini juga disebut oleh masyarakat sebagai Patung Kuda. Delapan kuda yang menarik kereta perang tersebut melambangkan delapan filsafat kepemimpinan sesuai alam semesta, yang disebut "Asta Brata" yaitu : Kisma (bumi), Surya (matahari), Agni (api), Kartika (bintang), Baruna (samudra), Samirana (angin), Tirta (hujan), dan Candra (bulan). Tampilan kuda-kuda Asta Brata ini telah menjadi ciri tersendiri bagi Patung Arjuna Wijaya, di mana sebagian patung kuda memperlihatkan bentuk bagian tubuh yang utuh, tetapi sebagian lagi berbagian tubuh transparan. Bentuk ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin menghitung jumlah kuda Asta Brata. Menurut Nyoman Nuarta, jumlah patung kuda Asta Brata yang sesungguhnya adalah delapan, di mana yang transparan merupakan bayangan kuda-kuda Asta Brata tersebut.[3]
Pembangunan
Menurut Nyoman Nuarta, ide Patung Arjuna Wijaya berasal dari kunjungan Soeharto ke Turki, yang di sana Presiden Soeharto ketika berkeliling dengan Presiden Turki ditunjukkan patung-patung dan cerita dari masing-masing patung. Kemudian Nyoman diminta oleh Soeharto untuk membuat patung di Jakarta yang bisa dibuat menjadi cerita untuk tamu-tamu negara yang berkunjung ke Indonesia.[4]
Patung ini membutuhkan biaya sekitar 290 hingga 300 juta rupiah dalam penyesuaian harga tahun 1987. Patung ini direnovasi pada awal Oktober 2014 dan diresmikan kembali oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada 11 Januari 2015, didampingi Nyoman Nuarta dan jajaran direksi Bank OCBC NISP selaku pihak yang melakukan renovasi. Patung mengalami penambahan bayangan gerak kuda, perbaikan instalasi air mancur, dan tempat untuk berpose di bagian depan patung.[2]
Galeri
Rujukan
- Heuken, A, (2008) Medan Merdeka - Jantung Ibukota RI, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, No ISBN
- Zoetmulder, P.J, (1985) Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Djambatan, Jakarta
Referensi
Pranala luar