Kakawin Arjunawijaya
Kakawin Arjunawijaya adalah salah satu naskah klasik berbahasa Jawa Kuno yang digubah oleh Mpu Tantular[1] di mana isinya menguraikan peperangan antara Prabhu Arjuna Sahasrabhahu melawan pendeta Parasu Rama, berdasarkan Uttara Kanda, bagian terakhir Ramayana (Sanskerta). Cerita ini sangat populer terbukti dari adanya pelbagai naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuno. Versinya dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk tembang, diusahakan oleh Raden Ngabehi Sindusastra dari Surakarta, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1930. Kakawin Arjunawijaya dikenal dengan Lampahan Arjuna Sasrabahu, banyak dipertunjukkan dalam pergelaran wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang. Naskah ini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dibahas dan diterbitkan sebagai bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia oleh Dr. Supomo pada tahun 1971. SinopsisDiceritakan tentang Raja Raksasa Mali Malyawan dikalahkan oleh Dewa Wisnu sehingga di melarikan diri dari kerajaannya yang bernama Lengka. Untuk mengisi kekosongan kerajaan maka Waiúrawana, putra Wiúrawa menempati kerajaan itu. Raksasa Sumali yang merupakan keluarga Mali Malyawan sangat tertarik dengan kepandaian dan kesaktian Waiúrawana dan ingin memiliki keturunan yang serupa agar dapat membalas dendam kepada Dewa Wiûóu. Kekasi berhasil memenuhi harapan ayahnya sehingga dari perkawinannya dengan Wiúrawa lahirlah empat orang anak yaitu: Daúamukha (yang berkepala sepuluh), Kumbhakaróa, Wibhìûana dan Úùrpaóakhà. Ketiga anak laki laki Wiúrawa itu melakukan tapa brata yang keras di Gunung Gokaróa. Daúamukha bertapa dengan memenggal kepalanya satu persatu dan melemparkan ke api korban, sehingga ia mendapat anugerah kesaktian dari Dewa Brahma yaitu ia tidak tertewaskan oleh seorang Dewa maupun Raksasa. Setelah itu ia dipulihkan kembali seperti semula. Setelah mendapat anugerah dari Dewa Brahma, dengan kesaktian yang dimiikinya Daúamukha selalu berbuat jahat dan meresahkan di dunia. Waiúrawana, yang merupakan kakak tirinya merasa prihatin dan menasehati adiknya. Ia mengutus Gomuka untuk membawa surat yang isinya berupa nasihat agar berhenti berbuat kejahatan di dunia. Daúamukha sangat marah atas nasihat itu dan melampiaskan kemarahannya dengan memenggal kepala Gomuka. Lalu ia dikutuk oleh Gomuka, bahwa istananya kelak akan dibakar oleh seorang utusan. Daúamukha kemudian menyerang Kerajaan Lengka di mana Waiúrawana (Daneúwara) menjadi raja. Perang yang hebat terjadi. Dengan kesaktinnya Daúamukha mengenakan wujud yang tak kelihatan sehingga ia dapat menyerang dan memukul Waiúrawana bertubi-tubi. Waiúrawana tidak dapat melakukan perlawanan . Ia disiksa oleh Daúamukha sampai berlumuran darah. Para Dewa yang melihat tidak berani menolong. Pada saat itulah patih Daúamukha yang bernama Prahasta merasa iba melihat keadaan Waiúrawana, sehingga ia memohon agar jangan membunuh kakak tirinya demi rasa hormatnya terhadap ayahnya Wiúrawa. Kesempatan itu digunakan oleh pengikut Waiúrawana untuk mengamankan dia. Kerajaan Lengka akhirnya dirampas oleh Daúamukha. Daúamukha tidak berhenti sampai di sana ia terus menyebarkan kehancuran di mana-mana. Akhirnya sampailah dia di gunung kailasa, tempat Dewa Siwa dan Dewi Uma bercengrama. Nandi, penjaga gunung itu mengingatkan Daúamukha bahwa para dewapun tidak berani datang ke sana serta mengganggu Dewa Siwa. Daúamukha tidak menghiraukan peringatan itu, malahan ia menghina wajah Nandi úwara, yang mirip dengan seekor kera. Nandi marah sehingga ia mengutuk Daúamukha bahwa kelak para kera akan menghancurkan keratonnya dan membunuh sanak saudaranya. Dalam kemarahannya Daúamukha mengangkat dan mengguncangkan gunung kian kemari. Dewa Siwa lau menekan puncaknya sehingga Daúamukha terjepit. Daúamukha berteriak keras kesakitan sehingga teriakannya mengguncangkan seluruh dunia. Oleh karena itulah ia disebut Rahwana (Ràwaóa) yang berarti teriakan. Daúamukha (Rahwana) melanjutkan perjalanannya, ia kemudian bertemu dengan seorang pertapa wanita yang cantik bernama Dewì Wedawatì. Dewì Wedawatì sudah bertekad tidak akan menikah jika tidak dengan awatara Wisnu. Rahwana merayu pertapa ini dan menyombongkan diri bahwa ia lebih unggul dari Dewa Wisnu. Ketika Ràwaóa terus merayu agar mau menjadi permaisurinya, Dewì Wedawatì marah lalu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setelah menyembah dihadapan api pemujaan ia menceburkan dirinya ke dalam api tersebut. Dewì Wedawatì mengutuk Ràwaóa bahwa kelak dalam penjelmaan berikutnya ia akan menjadi penyebab kematian Ràwaóa ditangan Dewa Wisnu.di medan perang Perjalanan Ràwaóa untuk mengusai dunia terus berlanjut. Dia mendatangi Raja Màruta. Raja Màruta yang sedang melaksanakan yajña tidak melakukan perlawanan sehingga ia dianggap tunduk oleh Rahwana . Kemudian Rahwana menyerang kerajaan Ayodhya. Raja Ayodhya yaitu Banaputra mengadakan perlawanann dengan sengit, namun akhirnya ia wafat oleh Rahwana. Sebelum wafat ia mengutuk Ràwaóa bahwa kelak keturunan raja Ayodhya yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu akan membunuh Rahwana. Diceritakan sekarang seorang raja bernama Arjuna Úahasrabàhu, raja dari kerajaan Mahispati sedang bercengkrama dengan permaisurinya Dewì Citrawatì di Sungai Narmada. Sang raja bermaksud menyenangkan permaisurinya, ia mengubah wujudnya menjadi bertangan seribu, kemudin ia meneentangkan badannya disungai tersebut sehingga sungai menjadi dangkal. Ketika itu di hulu sungai, Rahwana sedang mengadakan pemujaan di hadapan sebuah Lingga. Tiba-tiba air naik dan menggenangi tempatnya memuja. Setelah diselidiki ia akhirnya tahu penyebabnya yaitu Raja Arjuna Úahasrabàhu. Rahwana marah dan memerangi kerajaan Mahispati. Dengan kecerdikannya Arjuna Sahasrabàhu berhasil membuat Ràwaóa pinsan dan mengikat tubuh Ràwaóa dengan rantai baja dan dimasukkan ke krangkeng besi. Ketika Arjuna Úahasrabahu kembali dari medan perang ia menemukan permaisurinya telah wafat. Hal ini terjadi karena ada seorang utusan yang mengatakan bahwa suaminya telah wafat di medan perang. Dewì Citrawatì mengakhiri hidupnya untuk menunjukkan kesetiaan pada suami (patibrata). Mendapati permaisurinya sudah wafat Arjuna Úahasrabàhu merasa sedih dan bermaksud bunuh diri. Tiba- tiba muncul perwujudan dewi sungai Narmada, membawa air mujarab sehingga sang permaisuri dapat dihidupkan kembali. Datanglah Rûi Pulastya kakek Rahwana, memohon agar Arjuna Úahasrabàhu membebaskan dan mengampuni cucunya Rahwana. Permohonan sang rûi dikabulkn imbalannya semua prajurit yang telah tewas di medan perang dihidupkan kembali. Konvensi bahasaSebuah karya sastra memiliki bentuk yang berbeda-beda, ada yang berbentuk puisi dan ada pula yang berbentuk prosa. Bentuk formal sebuah karya sastra puisi tentu berbeda dengan bentuk formal sebuah karya sastra prosa. persyaratan atau bentuk formal dari sebuah karya sastra yang meliputi bagianbagian pelengkap dan kebiasaan-kebiasaan yang harus diikuti dalam penulisan disebut konvensi.[2] Jenis bahasaBahasa yang digunakan dalam kakawin Arjunawijaya adalah bahasa Jawa Kuno. Untuk membuktikan penggunaan bahasa Jawa Kuno akan dikutip beberapa bait dari kakawin Arjunwijaya XX. 1 sebagai berikut.
Terjemahan:
Berdasarkan Kamus Jawa Kuno Indonesia yang ditulis oleh P.J. Zoetmulder bekerjasama dengan S.O. Robson arti kata-kata dalam bait kakawin di atas adalah sebagai berikut:
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kakawin Arjunawijaya merupakan kata-kata bahasa Jawa Kuno yang sebagian kata serapan dari bahasa Sanskerta yang ditandai dengan huruf S di belakang kata tersebut. Gaya bahasaGaya bahasa yang terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya adalah sebagai berikut:
Penggunaan gaya bahasa Perumpamaan dalam kakawin ini dapat dilihat dalam pupuh Kakawin Arjunawijaya XII. 6 berikut ini.
. Terjemahan:
.
Gaya bahasa ini terdapat dalam kutipan Arjunawijaya XXXIII.5 berikut.
Terjemahannya:
Gaya bahasa ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya X.16 berikut.
Terjemahan:
. Demikianlah penggunaan gaya bahasa hiperbol dalam kakawin Arjunawijaya. Petikan di atas menunjukkan adanya pngungkapn oleh pengarang secara berlebihan tentang keadaan yang dilukiskan. Keindahan bahasaAspek alangkara (alaýkara) dalam kakawin ada dua macam yaitu sabdàlangkara dan arthàlangkara. SabdàlangkaraSabdàlangkara berarti hiasan di dalam bait-bait puisi yang didasarkan bunyibunyi bahasa. Pemakaian ini dibedakan menjadi dua macam yaitu anuprasa dan yamaka. AnuprasaAnuprasa sering disebut purwakanti yaitu persamaan bunyi konsonann (asonasi/aliterasi) di dalam bait kakawin. Teknik ini dapat dilihat dalam kakawin Arjunawijaya sebagai berikut.
. Terjemahan:
. Terjemahan:
Kutipan kedua bait di atas, menunjukkan adanya permainan bunyi yang digunakan oleh pengarang dalam menggubah karya sastra. Permainan bunyi tersebut berupa pemilihan kata yang dimulai bunyi “l”. “s”,”m’, dan “t” secara berturut-urut. YamakaDari bentuk Yamaka dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu: Kanci yamaka, Puspa yamaka, Pàdàyamaka, Padanta yamaka, Wrënta yamaka.
Kanci Yamaka artinya kata-kata yang terakhir dalam satu baris diulang pada kata pertama baris berikutnya. Dalam Kakawin Arjunawijaya teknik Kanci Yamaka digunakan dalam bait berikut.
Puspayamaka artinya suku kata (sillabe) yang terakhir dari tiap baris dalam satu bait bunyinya sama. Dalam Kakawin Arjunawijaya pemakaian teknik ini terdapat dalam Arjunawijaya X.18 berikut.
Pàdàyamaka artinya perulangan kata-kata pertama setiap baris dalam satu bait. Pemakaian teknik Pàdàyamaka dalam kakawin Arjunawijaya XXXIII.3 adalah sebagai berikut:
.
Padanta yamaka adalah merupakan kebalikan dari Pàdàyamaka. Maksudnya perulangan kata-kata yang terjadi tiap akhir baris dalam satu bait. Pemakain teknik ini dalam Kakawin Arjunawijaya tidak ditemukan.
Wrënta yamaka.adalah apabila di dalam satu bait puisi (kakawin) katakata pertama dalam setiap baris sama bentuk dan bunyinya. Pemakaian teknik ini tidak ditemukan dalam Kakawin Arjunawijaya. ArthàlamkaraMenurut Hooykaas[33] ada beberapa macam Arthàlamkara dalam kakawin yaitu, sebagai berikut.
Konvensi sastraBentuk dan susunan naskah
Dalam kakawin Arjunawijaya terdapat manggala sebanyak empat bait yang dapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya I berikut:
Terjemahannya:
Berdasarkan kutipan Kakawin Arjunawijaya I.1-4 tersebut dapat diketahui bahwa manggala kakawin Arjunawijaya memuat tentang pemujaan terhadap dewa (istadewata) yaitu dewa raja gunung (úrì parwata ràja dewa) yang tidak lain adalah Dewa Siwa. Pengarang juga menyatakan bahwa pada hakekatnya Dewa Siwa yang dipuja dalam manggala dipersamakan dengan Sang Budha. Disamping itu dalam manggala ini pengarang juga mengungkapkan harapan dan doa kepada sangraja semoga beliu panjang umur dan sehjahtera beserta keluarganya serta tetap jaya memimpin negerinya.
Inti cerita dari Kakawin Arjunawijaya dapat diuraikan sebagai berikut. Perkawinan antara Kekasì denga Wiúrawa melahirkan tiga anak laki dan satu perempuaan yaitu Daúamukha, Kumbhakaróa, Wibhìûana dan Úùrpaóakhà. Daúamukha, Kumbhakaróa, dan Wibhìûana melakukan tapa brata yang keras sehinga mendapat anugerah dari Dewa Brahma (I.5, II.5). Setelah mendapat anugerah dari Dewa Brahma Daúamukha menjadi sangat sakti. Namun dia mengunakan kesaktiannya untuk menyebarkan kehancuran di dunia. Daneúwara (Waiúrawana,) saudara tirinya berusaha menasehati dengan mengutus Gomuka. Daúamukha marah dan membunuh utusan itu. Sebelum wafat Gomuka mengutuk Daúamukha bahwa kelak kerajaannya akan dibakar oleh utusan (IV,1, I.12). Setelah membunuh Gomuka Daúamukha menyerang Daneúwara. Dengan kesaktiannya Daúamukha menyerang Daneúwara. Ketika Daneswara sudah tak berdaya, Prahasta memohon kepada Daúamukha agar tidak membunuh kakak tirinya demi rasa hormat terhadap ayahnya (VI.9-IX.13). Daúamukha menuju gunung Kailasa. Dia bertemu Nandiúwara yang ditugaskan menjaga gunung oleh Dewa Úiwa. Nandiúwara mengingatkan Daúamukha bahwa para Dewapun tidak berani mengganggu ke sana. Daúamukha tidak menghiraukan dan menghina wajah Nandiúwara sehingga ia dikutuk bahw kelak kerajaannya akan dihancurkan oleh kera. Daúamukha mengangkat dan menggoncangkan gunung. Dewa Siwa menekan puncak gunung sehingga Daúamuka berteriak kesakitan. Oleh karena itu ia disebut Rahwana (V.1-X.17).Ràwaóa melanjutkan perjalanan. Ia bertemu dengan pertapa wanita yang cantik bernama Dewi Wedawatì. Rahwana merayu pertapa tersebut agar mau menjadi permaisurinya. Dewi Wedawatì menolak dan menceburkan dirinya ke api pemujaan. Sebelum mengakhiri hidupnya ia mengutuk Ràwaóa bahwa kelak ia akan menjadi penybab kematian Ràwaóa (X.18- XIII.11). Ràwaóa menyerang raja Marutà. Tetapi tidak melakukan perlawanan karena dia sedang melaksanakan yajña. Rahwana menganggap ia tunduk dan melanjutkan menyerang kerajaan Ayodhyà. Raja Ayodhya melakukan perlawanan dan tewas. Sebelum wafat ia mengutuk bahwa keturunannya kelak merupakan awatara Wisnu akan membunuh Ràwaóa (XIV.1 –XIX, 2). Cerita selanjutkannya mengisahkan raja Mahispati yang bernama Arjuna Úahasrabàhu pergi bercengkrama ke sungai Narmada dengan permaisururinya, Dewi Citrawatì. Karena ingin membahagiakan permaisurinya ia mengubah wujudnya menjadi bertangan seribu dan membendung sungai Narmada. Sementara di hulu sungai Ràwaóa sedang melakukan pemujaan dihadapan sebuah Lingga. Hal ini menyebabkan tempatnya tergenang air. Rahwana marah dan memerangi kerajaan Mahispati. Berkali-kali Ràwaóa berhasil dibunuh tetapi hidup kembali. Dengan kecerdikannya Arjuna Ssahasrabàhu berhasil membuat Ràwaóa pinsan lalu mengikat tubuhnya dengan rantai baja dan Ràwaóa dimasukkan ke kerangkeng besi (XXXVIII.9- LXIII.5). Setelah berhasil mengalahkan Rahwana Raja Arjuna Úahasrabàhu kembali dari medan perang, ia menemukan istrinya telah tewas. Ia mendapat kabar bahwa suaminya Raja Arjuna Úahasrabàhu telah wafat sehingga ia melakukan patibrata. Raja Arjuna Úahasrabahu putus asa dan hendak bunuh diri. Ketika itulah muncul perwujudan Dewi Sungai Namardà, membawa air mujarab sehingga sang permaisuri dapat dihidupkan kembali. Pada saat itu datanglah Åûì Pulastya memohon agar Ràwaóa dibebaskan. Arjuna Sahasrabàhu mengabulkan permohonan Åûì Pulastya (LXIII.7-LXXII.5).
Dalam Kakawin Arjunawijaya bagian penutup ini dapat ditemukan pada Kakawin Arjunawijaya LXXIII.5 berikut.
. Bait di atas menunjukkan kerendahan hati pengarang dalam menggubah sebuah kakawin. Sehingga karya yang dianggap tidak sempurna tentulah banyak dicela dan ditertawakan pengarang yang mahir. Tetapi pengarang tetap mempunyai harapan besar untuk menghasilkan karya yang indah. Keindahan isiLukisan AlamLukisan alam merupakan suatu daya pesona yang menyebabkan karya sastra tersebut menarik bagi pembacanya. Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya.
Lukisan alam yang memaparkan tentang waktu terdapat juga pada saat keberangkatan raja dan permaisuri bersenang-senang menikmati keindahan alam yaitu terdapat pada kutipaan Kakawin Arjunawijaya XXXIV. berikut:
Terjemahannya:
Flora dan Fauna yang dilukiskan dalam kakawin Arjuna wijaya dapat dilihat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya XXII. berikut.
. Terjemahan:
. PertempuranDalam Kakawin Arjunawijaya unsur peperangan paling banyak diceritakan. Ràwaóa sebagai salah satu tokoh cerita dalam Kakawin Arjunawijaya yang mempunyai ambisi untuk menguasai dunia (triloka) dengan kesaktiannya, hal ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya IX.3 berikut:
. Terjemahannya:
.. PercintaanPercintaan yang dilukiskan terdapat antara Arjuna Sahasrabàhu dengan permaisurinya Dewi Citrawatì. Hal ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya XXVI.2 berikut ini.
Terjemahannya:
AjaranKakawin Arjuna Wijaya merupakan salah satu bentuk dharmasastra yang berisikan tentang ajaran-ajaran agama Hindu yang bersumber dari kitab suci Weda. Adapun ajaran-ajaran yang terdapat dalam Kakwin Arjunawijaya adalah sebagai berikut.
Konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya adalah Ekaý sad viprà bahudhà vadanti yang mengandung makna bahwa pada hakekatnya Tuhan itu satu hanya orang bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama. Kosep Ketuhan ini terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya. XXVII.1, Kakawin Arjunawijaya, XXVII.2 mengandung suatu pengertian bahwa konsep ketuhanan Úiwa Budha adalah sama. Yang berbeda adalah naamanya pada hakekatnya sama.
Mengeni ajaran Karmaphala dalam Kakawin Arjunawijaya dapat dalam kutipan berikut.
Terjemahannya:
Terjemahannya:
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimak maksudnya bahwa yang menyebabkan manusia berhasil dalam hidupnya bukan semata-mata anugerah Tuhan tetapi akibat hasil dari perbuatan manusia itu sendiri . Dalam hal ini Kumbhakaróa dianggap pantas oleh Dewa Brahma mendapat anugerah karena melakukan semadi dengan taat.
Ajaran punarbhawa dalam Kakawin Arjunawijaya dapat disimak dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya XIII.10 berikut:
Terjemahannya:
Kutipan di atas menunjukkan adanya ajaran punarbhawa dalam Kakawin Arjunawijaya. Dalam kakawin ini tokoh Dewi Wedawatì seorang pertapa yang hanya ingin bersuamikan Dewa Wiûóu menceburkan dirinya ke dalam api demi menjaga kesucian dirinya agar tidak dinodai oleh Ràwaóa. Ia sangat marah ketika Ràwaóa merayu dan membelai rambutnya sehingga ia mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke api pemujaan. Namun sebelum wafat ia mengutuk Ràwaóa bahwa ia akan menyebabkan kematian Ràwaóa dalam kehidupannya kelak. Dikemudian hari Dewi Wedawatì menjelma menjadi Dewi Sità. Konvensi budayaKakawin sebagai hasil karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang dalam mengungkapkan ide-ide yang ada dalam pemikirannya dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Budaya yang melahirkan karya sastra kakawin erat kaitannya dengan agama sang pengarang dan juga agama yang dianut oleh masyarakat pada saat karya sastra tersebut di gubah oleh pengarangnya. Seperti telah diuraikan dalam penjelasan terdahulu bahwa Kakawin Arjunawijaya merupakan hasil karya sastra Jawa Kuno yang bernafaskan ajaran Úiwa -Buddha. Keyakinan terhadap ajaran Úiwa –Buddha tidak terlepas dari perkembangan kerajaan Hindu di Indonesia, yaitu pada zaman kerajaan Majapahit. Adanya pengangkatan terhadap kedua pejabat tersebut menunjukkan pada saat itu kedua agama diakui sejajar, dan hal tersebut menunjukkan adanya sikap toleransi dalam beragama sangat tinggi. Nilai yang terkandungNilai religiusNilai religius dalam Kakawin Arjunawijaya dapat dilihat dalam tokoh Rawana dan saudaranya. Ràwaóa (Daúamuka) dan keempat saudaranya adalah keturunan Brahmana yaitu putra dari seorng Brahmana bernama Wiúrawa dan cucu dari Åûi Pulastya. Namun ibunya adalah keturunan raksasa. Walaupun Ràwaóa adalah tokoh yang jahat tetapi ia memiliki sikap religius yaitu ditunjukkan dengan ketaatannya melakukan pemujaan bersama saudara-saudaranya. Ketaatannya dalam melakukan pemujaan ditunjukkan dengan tapa brata, semadi sebagai wujud rasa bakti kepada Tuhan, dan untuk memohon anugerah dari Tuhan. Mereka melakukan pemujaan dengan caranya masing-masing untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(Kakawin Arjunawijaya.I. 14) Terjemahannya:
Kutipan di atas menunjukkan sikap religius Ràwana dan saudara-saudaranya. Mereka melakukan upacara (ritus) dengan yoga, tapa dan brata. Tapa yang mereka lakukan sangat berat. Daúamuka melakukan tapa dengan mengorbankan kepalanya yaitu dengan melemparkan kepalanya ke dalam api korban, sehingga ia memperoleh anugerah dari Dewa Brahma. Sikap religius dalam Kakawin Arjunawijaya tercermin pula dalam tokoh Arjuna Sahasrabàhu. Ketika Arjuna Sahasràbahu melakukan perjalanan bersama permaisurinya untuk menikmati keindahan ia menyempatkan diri melakukan pemujaan di depan sebuah Arca, sebagai wujud rasa bakti kepada Tuhan yang menciptakan segala keindahan yang ada. Nilai etikaDalam Kakawin Arjunawijaya nilai etika (moralitas) terdapat pada tokoh Dewi Wedawatì. Dewi Wedawati dilukiskan sebagai wanita yang setia dan bakti kepada orang tuanya. Dewi Wedawatì memilih untuk hidup menjadi pertapa setelah kedua orang tuanya wafat. Ia merasa bersalah karena menjadi penyebab kematian kedua orang tuanya. Ia ingin memenuhi pesan orang tuanya yang ingin bermenantukan Dewa Wiûóu. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:
(Kakawin Arjunawijaya, XII.11). Terjemahan:
(Kakawin Arjunawijaya.XII.2). Terjemhannya:
. Kutipan di atas mengandung ajaran atau nilai etika bahwa seorang anak wajib berbakti kepada orang tua sekalipun dia telah tiada. Kewajiban seorang anak terhadap orang tua yang di ungkapkan dalam Kakawin Arjunawijaya sesuai dengan isi kitab Sàrasamuccaya sebagai berikut. Nilai EstetikaNilai Estetik dalam Kakawin Arjunawijaya dapat disimak melalui ungkapan-ungkapan bahasa pengarang dalam memparkan pengalaman estetiknya. Nilai tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
(Kakawin Arjunawijaya.XXII.12). Terjemahannya:
. Kutipan di atas melukiskan keindahan yang dilukiskan berupa keindahan alam dan kecantikan yang dilukiskan pengarang dengan pemilihan kata yang tepat sehingga keindahan yang disampaikan oleh pengarang dapat dirasakan oleh pembaca atau penikmat karya sastra tersebut. PenutupPenelitian terhadap Konvensi Kakawin Arjunawijaya meliputi Konvensi Bahasa, Konvensi Budaya dan Konvensi Sastra. Ditinjau dari Konvensi Bahasa Kakawin Arjunawijaya menggunakan bahasa Jawa Kuno yang kata-katanya juga merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta. Di samping itu penggunaan gaya bahasa seperti gaya bahasa perumpamaan, personifikasi da Hiperbola., juga adanya permainan bunyi (alangkara) mencerminkan bahwa Kakawin ini merupakan karya sastra yang indah ditinjau dari konvensi bahasanya. Konvensi sastra dalam manggala Kakawin Arjunawijaya menunjukkan adanya pemujaan terhadap Dewa Siwa dan Budha. Inti cerita mengisahkan tentang kemenangan dharma yang diwakili oleh tokoh Arjuna Úahasrabàhu melawan adharma (kejahatan) yang diwakili oleh tokoh Ràwaóa. Penutup cerita berisi tentang sikap rendah hati pengarang. Konvensi budaya dalam Kakawin Arjunawijaya menunjukkan adanya toleransi beragama yang tinggi yaitu perpaduan antara ajaran Úiwa Budha. Nilai- nilai Kakawin Arjunawijaya adalah Nilai Religius, Nilai Etika dan Nilai Estetika. Nilai Religius dicerminkan oleh tokoh cerita Ràwaóa dan saudaranya yang taat melakukan pemujaan yaitu dengan melakukan tapa, yoga dan semadi. Nilai Etika di wakili oleh Tokoh Dewi Wedawatì yang memiliki sikap berbakti terhadap orang tua. Sedangkan Nilai Estetika dan Kakawin Arjunawijaya berupa ungkapan pengarang tentang keindahan yaitu keindahan alam dan kecantikan tokoh ceritanya. Referensi
Daftar pustaka
Alih aksara
|