Pada tahun 1890, di Batavia dan Aceh, dilakukan penerbangan dengan mempergunakan balon "ballonvaarten" dengan berhasil. Hal ini merupakan percobaan pertama yang dilakukan oleh Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dalam dunia kedirgantaraan. dan kemudian pemerintahan Hindia Belanda mulai mengembangkannya. Pada bulan Februari 1913, dilakukan uji coba terbang di Surabaya dengan sebuah pesawat yang diangkut dari negeri Belanda dengan kapal laut. Dan ketika Perang Dunia I meletus, semakin dirasa perlu untuk membangun kekuatan Angkatan Udara.[2]
Sekitar tahun 1939, Belanda mulai membangun "Pangkalan Udara Maospati (PAU Maospati)", dengan ukuran 1.586 X 53 meter, dan berada pada ketinggian 120 meter dpl.[3][4][1] Pangkalan ini dibangun sebagai bagian dari persiapan departemen Van Ooorlog Belanda (Departemen Perang - Belanda) untuk menghadapi serbuan udara Jepang, sehingga dapat segera menampung pesawat-pesawat Militaire Luchtvaart.[1]
Pembangunan pangkalan udara ini memerlukan tanah cukup luas, sehingga diadakan pemindahan penduduk dari desa-desa berikut:[5]
Desa Pandeyan, penduduk desa di bagian selatan dipindah, dan pindah ke wilayah yang sekarang menjadi desa Bogorejo, Barat, Magetan
Desa Mranggen, penduduk desa di bagian selatan dipindah[5]
Penduduk yang sudah memperoleh uang ganti rugi, pindah dengan sukarela, dan ada beberapa desa yang pindah keseluruhannya (bedol desa). Seperti warga desa Pandeyan, mereka pindah ke sebelah utara jalan besar dan menempati desa Bogorejo dan desa Ronowijayan menjadi desa Sukolilo.[5]
Setelah penduduk pindah, dimulailah pembangunan pangkalan udara pada tahun 1939. Landasan pacu adalah hal pertama yang dibangun. Kemudian dilanjutkan dengan pembangunan hanggar sebanyak tiga buah di daerah Klecorejo, Setren dan Ngujung.[6][6][6][6][6][6][6] Kemudian, mereka membangun gedung workshop (sekarang hanggar Skadron Teknik 042), gedung untuk montage dekat workshop, empat buah gudang, bengkel dan lainnya. Pembangunan dilanjutkan dengan membangun perkantoran, asrama militer (campement) untuk tentara Belanda beserta keluarganya.[1][5]
Pembangunan PAU Maospati selesai pada akhir Mei 1940. Pangkalan ini resmi dibuka dengan penempatan tiga skadron udara :
Satu skadron tempur, berkekuatan 13 pesawat Curtiss 75A-7 Hawk, sejak 1 Februari 1941[7]
Total ada 36 pesawat yang terbagi atas ketiga skadron udara tersebut.[6][6][6]
Pendudukan Jepang
Ketika pecah perang pasifik tahun 1941, pangkalan udara ini dijadikan basis kekuatan tentara Sekutu di Pulau Jawa.[1] Ketika Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, Angkatan Laut Jepang (Kaigun Kokusho) menguasai pangkalan udara ini. Di sekitar pangkalan ditempatkan pasukan pertahanan pangkalan dari Rikugun (batalyon AD).[1]
Pada peristiwa penyerbuan pangkalan oleh Jepang, komandan pangkalannya adalah Kapten H.J. Van De Pool, yang akhirnya gugur dalam pertempuran udara. Dikarenakan pendudukannya yang singkat dan kesibukannya dalam Perang Pasifik, Jepang tidak memiliki kesempatan membangun lanud ini.[1]
Pangkalan ini, waktu itu, digunakan untuk menyimpan berbagai jenis suku cadang motor pesawat buatan Jepang.[1]
Pasca kemerdekaan
Pasca kemerdekaan Indonesia, Pangkalan Udara Maospati dikuasai oleh laskar-laskar perjuangan saat itu. Pada tanggal 27 Agustus 1945, Lanud ini diserahkan oleh komandan Dai Nippon di Maospati kepada Wedono Maospati. BKO TKR (Bengkel Kapal Oedara Tentara Keamanan Rakyat) Maospati diserahterimakan dari Komandan Resimen TKR Madiun kepada MB AURI (Markas Besar AURI) pada 5 Mei 1946, dan sejak itu resmi menjadi milik AURI dan disebut sebagai Pangkalan Udara Nasional. Dan Prof. Dr. Abdul Rahman Saleh ditunjuk sebagai komandan pangkalan sekaligus merangkap sebagai komandan pangkalan Bugis, Malang. Dan sebagai wakilnya adalah H. Soejono yang juga berasal dari pangkalan yang sama.[8]
Perjuangan Kemerdekaan I
Dalam periode ini, Lanud ini mengalami kerusakan yang parah akibat serangan pesawat-pesawat tempur Belanda dan hampir semua lanud lainnya di Jawa kecuali Lanud Maguwo dan MB AURI di Yogyakarta karena terlindungi oleh cuaca buruk.
Berdasarkan Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Udara Nomor 564 tanggal 4 November1960, "Pangkalan Udara Maospati" berubah nama menjadi "Pangkalan TNI AU Iswahjudi". Dengan berkembangnya peran Lanud Iswahjudi dalam perebutan Irian Jaya, lanud ini menjadi Pangkalan Udara Utama (Lanuma). Saat ini, Pangkalan TNI AU lswahyudi merupakan Lanud tipe A dan berada di bawah Komando Operasi Angkatan Udara II.
Rahardjo, Drajat (2003). Elang Tanah Air Di Kaki Lawu. Madiun: Iswahyudi Air Force Base.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Soewito, Dra. Irna H.N. Hadi; Suyono, Dr. Nana Nurliana; Suhartono, Dra. Soedarini (2008). Awal Kedirgantaraan Di Indonesia : Perjuangan AURI 1945 - 1950. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN978-602-433-016-3.
Sutisna, Yuyu (2002). Kepak Sayap Skadron Udara 14 "1962 - 2002" : Tentara Langit, Pahlawan Hati. Dinas Penerangan TNI AU ; Skadron Udara 14 - Lanud Iswahjudi. ISBN979-9555-75-2.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)