Kerajaan Nabath (Bahasa Aram Nabath: 𐢕𐢃𐢋𐢈 Nabāṭū), adalah sebuah negara bangsa Arab Nabath pada zaman kuno.
Nabath berdiri sebagai sebuah kerajaan merdeka sejak abad ke-4 Masehi sampai dianeksasi oleh Kekaisaran Romawi pada 106 SM. Bangsa Romawi mengganti nama Nabath menjadi Arabia Petraea.[1][2]
Bangsa Nabath adalah salah satu di antara suku-suku Badawi pengembara yang hidup bekelana di Gurun Arab dengan membawa ternak peliharaannya ke tempat-tempat yang memiliki padang rumput dan sumber air.[3] Mereka semakin kenal akan lingkungan tempat tinggalnya seiring berlalunya musim-musim, dan mereka berusaha untuk bertahan hidup sepanjang tahun-tahun buruk manakala curah hujan musiman berkurang.[3] Meskipun bangsa Nabath mula-mula dianggap sebagai bagian dari peradaban Aram, teori-teori tentang asal usul Aram mereka kini ditolak oleh para cendekiawan modern. Sebaliknya, bukti-bukti arkeologi, agama, dan bahasa justru memperlihatkan bahwa mereka adalah sebuah suku Arab Utara.[4]
Masih belum dapat dipastikan dari suku Arab pengembara yang manakah mereka berasal. Salah satu hipotesis mengatakan bahwa negeri asal mereka adalah Yaman, yang terletak di sebelah tenggara Semenanjung Arab, akan tetapi dewa-dewi, bahasa, dan aksara mereka tidak memperlihatkan adanya hubungan dengan dewa-dewi, bahasa, dan aksara yang terdapat di kawasan selatan Arabia. Hipotesis lain mengatakan bahwa mereka berasal dari pesisir timur Semenanjung Arab.[3]
Dugaan bahwa mereka berasal dari kawasan Hijaz dianggap lebih dapat dipercaya, karena banyak dari dewa-dewi mereka yang sama dengan dewa-dewi sesembahan bangsa-bangsa kuno di Hijaz; nbtw, akar kata dari nama suku mereka, terdapat dalam rumpun bahasa Semit permulaan yang ada di Hijaz.[3]
Kemiripan antara dialek Arab Nabathea dan dialek Arab yang terdapat di Mesopotamia pada zaman Asiria Baru, serta pencantuman segolongan orang yang disebut dengan nama "Nabatu" dalam daftar yang disusun bangsa Asiria sebagai salah satu di antara suku-suku Arab pemberontak di wilayah itu, mengisyaratkan adanya hubungan di antara keduanya.[3] Bangsa Nabath dapat jadi berasal dari sana dan kemudian bermigrasi ke barat antara abad ke-6 dan abad ke-4 SM menuju kawasan barat laut Arabia dan kawasan yang sebagian besar kini termasuk wilayah negara Yordania.[3]
Bangsa Nabath pernah secara keliru dihubung-hubungkan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Sebuah bangsa bernama "Nabaiti", yang dikalahkan oleh Asyurbanipal Raja Asyur, oleh sebagian pihak dihubung-hubungkan dengan bangsa Nabath karena kemiripan namanya. Kekeliruan lainnya adalah disamakannya bangsa Nabath dengan Nebayot dalam Alkitab Ibrani, yakni keturunan dari Ismael, putra Abraham.[3]
Tidak seperti suku-suku Arab lainnya, bangsa Nabath kelak tampil sebagai pemeran utama di kawasan itu pada masa-masa kemakmuran mereka. Akan tetapi pengaruh mereka kelak memudar, dan bangsa Nabath pun terlupakan.[3]
Kemunculan
Meskipun bangsa Nabath melek aksara, mereka tidak meninggalkan naskah-naskah sejarah yang panjang-panjang. Akan tetapi ada ribuan prasasti yang sampai sekarang masih didapati di beberapa tempat yang pernah mereka diami, termasuk grafiti dan juga tulisan-tulisan pada uang logam tempaan mereka.[3] Bangsa Nabath pertama kali dipaparkan dalam kitab sejarah oleh sejarawan Yunani, Diodoros Sikeliotes, yang hidup sekitar 30 SM namun memaparkan informasi dari 300 tahun sebelumnya mengenai mereka.[3] Informasinya diperoleh dari salah satu di antara tulisan-tulisan Hieronimos dari Kardia; salah seorang panglima Aleksander Agung yang pernah bertatap muka secara langsung dengan bangsa Nabath.[3]
Diodoros menguraikan bagaimana bangsa Nabath bertahan hidup di gurun tanpa sumber air dan bagaimana mereka mengalahkan musuh-musuhnya dengan jalan bersembunyi di gurun sampai musuh-musuhnya menyerah karena kehabisan air.[3] Bangsa Nabath menggali waduk-waduk yang permukaannya kemudian ditutupi dan diberi tanda yang hanya dapat dikenali oleh mereka.[3] Diodoros mencatat bahwa mereka "sungguh-sungguh cinta akan kemerdekaan" dan menyertakan pula sebuah keterangan tentang kegagalan penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan panglima Yunani, Antigonos I, pada 312 SM.[3]
Baik Orang Asyur dahulu kala, raja-raja Media dan Persia, maupun yang dari Makedonia tidak sanggup memperhambakan mereka, dan... upaya-upaya mereka tak kunjung berakhir dengan keberhasilan. - Diodoros[3]
Setelah Aleksander Agung mangkat pada 323 SM, wilayah kekaisarannya dibagi-bagi oleh para panglimanya. Pada masa pertikaian para panglima Aleksander, Antigonos I bergerak menaklukkan Levant hingga akhirnya tiba di perbatasan Edom, tepat di sebelah utara Petra.[3] Bangsa Nabath yang kaya-raya menjadi sasaran Antigonus berikutnya, sumber kemakmuran mereka adalah pendapatan teratur yang diterima dari kafilah–kafilah niaga yang mengangkut kemenyan, mur, dan lain-lain rempah-ratus dari Eudaemon di Yaman sekarang, melintasi Semenanjung Arab, melewati Petra dan berakhir di Pelabuhan Gaza untuk dikapalkan ke pasar-pasar Eropa.[3] Kemakmuran menjadi ciri khas yang membedakan bangsa Nabath dari suku-suku Arab lainnya.[5] Antigonos memerintahkan salah satu perwiranya untuk menyerbu "orang–orang barbar" Nabath dan merampas ternak mereka. Tiga kali penyerbuan berakhir dengan sia–sia ataupun bencana bagi pihak Yunani.[6]
Pada penyerbuan kali pertama, pihak Yunani berhasil merampas berton-ton rempah-ratus dan perak dari Petra pada 312 SM; meskipun tahun ini dianggap sebagai tahun resmi bermulanya sejarah bangsa Nabath, tetapi kala itu mereka sudah kaya-raya.[3] Dua konfrontasi segera menyusul dan karena berakhir dengan kegagalan, Antigonos pun menyingkirkan rencana-rencananya melawan orang-orang Arab ini, karena ia harus menangani urusan-urusan yang lebih penting. Dalam Pertempuran Ipsos di Anatolia sekitar 301 SM, Antigonos dikalahkan oleh koalisi Yunani yang juga mengikutsertakan Seleukia.[3]
Rentetan peperangan di antara panglima-panglima Yunani ini berakhir dengan pertikaian atas wilayah-wilayah di Yordania sekarang ini antara pihak Ptolemaios yang berpangkalan di Mesir dan pihak Seleukia yang berpangkalan di Suriah. Pertikaian itu memberikan kesempatan bagi bangsa Nabath untuk memperluas wilayah kerajaan mereka ke luar Edom.[7]
Kerajaan
Pada penghujung abad ke-4 SM, bangsa Nabath menduduki kawasan utara Hijaz, Edom, dan Negev sampai ke Laut Mediterania, juga beberapa pulau lepas pantai dan sebentang wilayah sepanjang pesisir Laut Merah.[3] Diodoros menyebutkan bahwa bangsa Nabath telah menyerang kapal-kapal dagang milik Wangsa Ptolemaios di Mesir namun tak lama kemudian menjadi sasaran kekuatan tempur yang lebih besar dan "dihukum setimpal dengan perbuatan mereka".[3] Tidak diketahui sebab-musabab bangsa Nabath yang makmur itu beralih menjadi perompak. Salah satu kemungkinan adalah karena mereka merasa kepentingan-kepentingan dagang mereka disaingi oleh jalur niaga laut yang melintasi Laut Merah.[3]
Setengah abad sesudah agresi Antigonos, untuk kedua kalinya catatan sejarah menyebutkan tentang bangsa Nabath di Hauran.[3] Dionysios, salah seorang dari dua pegawai Yunani yang berusaha mencari sumber penghasilan sampingan dengan menjual perempuan-perempuan untuk dijadikan budak nafsu, pernah ditahan oleh orang-orang Nabath selama seminggu selagi ia berdagang.[3] Mengingat adanya kesetaraan gender dalam masyarakat Nabath kala itu, mungkin saja orang-orang Nabath berkeberatan dengan cara-cara Dionysos memperlakukan kaum perempuan di wilayah kekuasaan mereka, yakni di tempat mereka merasa wajib bertanggung jawab atas penegakan hukum dan ketertiban.[3]
Aretas I adalah Raja Nabath pertama yang diketahui namanya, karena ditemukan pada sebuah prasasti di Negev yang berasal dari abad kedua SM.[3] Sekitar waktu yang sama, bangsa Arab Nabath telah menjalin persahabatan dengan jiran mereka, kaum Yahudi Makabe. Bangsa Nabath bersimpati pada kaum Makabe yang ditindas oleh Wangsa Seleukia.[3] Di abad yang sama, bangsa Nabath mulai menempa uang-uang logam, yang mengisyaratkan kebebasan seluas-luasnya yang mereka nikmati di bidang ekonomi dan politik.[3]
Petra dicantumkan dalam sebuah daftar kota-kota besar di Mediterania yang harus dikunjungi oleh seorang tokoh terkemuka dari Priene, pertanda pentingnya Nabath di dunia kuno. Petra dicantumkan dalam daftar yang sama dengan Aleksandria, yang dianggap sebagai sebuah kota terhebat di dunia beradab.[3]
Nabath dan Hasmonea
Bangsa Nabateq adalah sekutu kaum Makabe tatkala berjuang melawan raja-raja Seleukia. Di kemudian hari bangsa Nabath justru berseteru dengan keturunan kaum Makabe, Wangsa Hasmonea Yudea, yang menjadi unsur utama dalam kekacauan yang mengundang intervensi Pompeius di Yudea.[8] Pelabuhan Gaza adalah perhentian akhir rempah-rempah yang diangkut oleh kafilah-kafilah dagang sebelum dikapalkan ke pasar-pasar Eropa, dan oleh karena itu bangsa Nabath memiliki pengaruh yang cukup besar atas penduduk Gaza.[3] Raja Hasmonea Aleksander Iannaios, mengepung kota Gaza sekitar 100 SM, dengan dalih bahwasanya orang Gaza lebih memihak kubu Ptolemaios ketimbang Yudea dalam pertempuran mereka yang terakhir. Gaza diduduki dan warganya dibantai dengan mata pedang oleh Iannaios.[3]
Hasmonea, di bawah kepemimpinan Iannaios, melancarkan peperangan yang berhasil merebut beberapa wilayah di Transyordania, sebelah utara Nabath, juga jalan menuju Damsyik, yang mencakup Moab dan Gilead. Perebutan wilayah-wilayah itu mengancam kepentingan-kepentingan dagang Nabath, baik yang terkait dengan Gaza maupun dengan pihak Seleukia di Damsyik.[9] Raja Nabath, Obodas I berjuang merebut kembali wilayah-wilayah itu. Obodas berjaya mengalahkan Iannaios dalam Pertempuran Gadara sekita 93 SM, dengan cara tiba-tiba menyergap Iannaios dan bala tentaranya di sebuah lembah terjal sampai-sampai Iannaios hanya mampu "luput dari maut berkat nasib baik" semata.[3]
Setelah menang atas Yudea, Kerajaan Nabateq bertikai pula dengan Seleukia, yang tidak senang dengan makin besarnya pengaruh Nabath atas wilayah selatannya.[10] Sekali lagi Nabath berjaya atas Yunani, dan kali ini atas Seleukia. Dalam Pertempuran Kana, Raja Seleukia Antiokhos XII bertempur melawan Kerajaan Nabath dan tewas dalam pertempuran. Bala tentaranya yang patah semangat lari kocar-kacir dan binasa di gurun akibat kelaparan. Berkat kemenangannya atas Yudea dan Seleukia, Obodas menjadi Raja Nabath pertama yang disembah rakyatnya sebagai dewata.
Avdat adalah sebuah kuil yang dibangun di Gurun Negev olehbangsa Nabateq sebagai peringatan akan Obodas. Ia dimakamkan di kuil itu dan telah ditemukan prasasti yang berisi perkataan "Obodas sang dewa.[3]
Pada masa pemerintahan Aretas III (87 sampai 62 SM) Kerajaan Nabateq tampaknya telah mencapai titik puncak dalam hal luas wilayah, tetapi dapat dikalahkan oleh bala tentara Romawi di bawah pimpinan Markus Aemilius Scaurus. Bala tentara Scaurus bahkan mengepung Petra, tetapi pada akhirnya sebuah kompromi pun harus dirundingkan.
Setelah mempersembahkan upeti, Aretas III mendapatkan pengakuan resmi dari Republik Romawi.[11]
Kerajaan Nabateq melihat dirinya perlahan-lahan dikelilingi oleh Kekaisaran Romawi terus-menerus meluas dengan menaklukkan Mesir dan meaneksasi Yudea Hasmonea. Meskipun dapat mempertahankan kemerdekaannya secara formal, tetapi pada kenyataannya Kerajaan Nabateq menjadi sebuah kerajaan bawahan yang dibayang-bayangi wibawa Roma.[11]
Pada 106 Masehi, semasa Trayanus memerintah sebagai Kaisar Romawi, raja terakhir Kerajaan Nabateq, Rabbel II Soter, mangkat.[11] Boleh jadi peristiwa inilah yang memicu dilakukannya aneksasi secara resmi atas Nabateq oleh Kekaisaran Romawi, akan tetapi alasan resmi aneksasi dan cara pelaksanaannya tidak diketahui.[11]
Beberapa penggalan kata dalam peninggalan-peninggalan tertulis mengisyaratkan adanya tindakan militer, dipimpin oleh Kornelius Palma, gubernur Suriah. Bala tentara Romawi agaknya didatangkan dari Suriah dan Mesir. Sudah jelas bahwa menjelang 107 Masehi ada legiun-legiun Romawi yang ditempatkan di sekitar Petra and Busra, sebagaimana yang ditunjukkan oleh selembar papirus yang ditemukan di Mesir. Kerajaan Nabath dicaplok dan dijadikan provinsi Arabia Petraea. Perniagaan tampaknya terus berlanjut berkat bakat dagang bangsa Nabath yang tak kunjung pudar.[11]
Pada masa pemerintahan Hadrianus, pembangunan limes Arabicus mengabaikan sebagian besar wilayah Nabath dan menjulur ke timur laut dari Aila (sekarang Aqaba) di penjuru Teluk Aqaba. Seabad kemudian, pada masa pemerintahan Severus Alexander, pengeluaran uang logam setempat terhenti. Tidak ada lagi pembangunan makam-makam mewah, agaknya karena terjadi perubahan politik mendadak, seperti invasi kekuatan Persia Baru di zaman Kekaisaran Sasani.
Kota Palmira, yang selama beberapa waktu dijadikan ibu kota Kekaisaran Palmira (marak 130-270), tumbuh menjadi semakin penting dan menarik jalur niaga Arab menjauh dari Petra.[12][13]
Raqmu, yang kini disebut Petra, dahulu kala adalah sebuah kota niaga yang makmur, tertelak pada titik pertemuan beberapa jalur niaga penting. Salah satunya adalah Jalur Kemenyan yang menghubungkan daerah-daerah penghasil mur dan kemenyan di Arab Selatan,[12][14] dan menjulur melewati Mada'in Saleh menuju Petra. Dari Petra, wangi-wangian itu disalurkan ke seluruh wilayah Mediterania.