Perkembangan laju perekonomian dunia saat ini dipengaruhi oleh adanya pandemi COVID-19 khususnya dalam memasuki akhir dari kuartal I di tahun 2020 menjadi fenomena yang merugikan bagi seluruh umat manusia di berbagai negara. Bahkan, organisasi yang berskala internasional dalam bidang keuangan yaitu Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia telah memprediksi bahwa hingga di akhir kuartal I di tahun 2020 ekonomi global akan memasuki resesi dan penurunan yang sangat signifikan yang akan dirasakan seluruh dunia.[1]
Dampak umum
Menurunnya kondisi ekonomi dunia terjadi karena munculnya virus baru yang menjangkit dunia saat ini yaitu Coronavirus (Covid-19). Salah satu organisasi internasional yang bergerak pada bidang kesehatan yaitu World Health Organization menyatakan bahwa Covid-19 dapat menyebar melalui saluran pernafasan pada manusia. Virus tersebut memiliki nama ilmiah yaitu Covid-19. Covid-19 dapat menimbulkan efek samping mulai dari flu yang ringan sampai dengan demam tinggi yang dialami individu yang terinfeksi serta dapat menyebabkan kematian jika tidak dirawat dengan penanganan khusus.[2]
Covid-19 dalam dunia ilmu kesehatan disebut juga sebagai zoonotic yaitu penyebaran virusnya dapat ditularkan melalui antar manusia dan/atau hewan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa pandemi Covid-19 pertama kali terdeteksi penyebarannya di Wuhan, China pada tanggal 30 Desember 2019. Covid-19 dianggap sebagai virus yang memtikan dengan proses penyebaran yang sangat cepat ke seluruh penjuru dunia dan berubah menjadi pandemi yang merugikan bagi masyarakat dunia salah satunya pada bidang ekonomi dunia. Ditemukan bahwa 93 negara yang telah terjangkit Covid-19 dan membawa risiko yang sangat buruk bagi perekonomian dunia termasuk Indonesia khususnya dari sisi pariwisata, perdagangan serta investasi.[3]
Dampak bagi ekonomi di Indonesia
Dalam menjaga stabilitas moneter perekonomian, Indonesia menerapkan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial yang sudah ada sejak tahun 2000 Menurut Rapat Dewan Gubernur BI, dengan penerapan kebijakan tersebut maka nilai tukar Rupiah relatif terkendali di tengah tingginya tekanan pada sektor ekonomi pada Agustus-September 2020. Hingga 16 September 2020, nilai tukar Rupiah tercatat depresiasi 1,58% secara point to point bila dibandingkan dengan akhir Juli 2020, atau terdepresiasi 6,42% dari akhir Desember 2019. Adanya pelemahan nilai Rupiah pada Agustus-September 2020 antara lain dipengaruhi oleh faktor masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan yang ada di dunia, baik karena faktor global maupun sejumlah risiko domestik setiap negara. Hal tersebut membuat BI menilai bahwa nilai tukar Rupiah akan berpotensi kembali menguat seiring levelnya yang secara fundamental masih undervalued didukung inflasi yang rendah dan terkendali, defisit transaksi berjalan yang rendah, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang sedang menurun. BI berusaha akan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar dengan melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar global.[4]
Dampak lain yang terjadi di Indonesia adalah dapat terlihat juga pada sektor pariwisata yaitu hotel, restoran maupun pengusaha retail. Sebagian besar hotel mengalami penurunan okupansi hingga 40% selama pandemi. Wisatawan mancanegara yang sepi juga berdampak pada usaha rumah makan atau restoran sekitar yang sasaran konsumennya adalah wisatawan mancanegara yang sedang berlibur ke Indonesia. Pada industri retail juga mengalami penurunan yang signifikan seperti pada daerah Kota Jakarta, Manado, Bali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Medan.[5]
Pada sektor UMKM di Indonesia juga terdampak parah dapat dilihat dari data Kementerian Koperasi yang memaparkan bahwa 1.785 koperasi dan 163.713 pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mengalami penurunan pendapatan yang sangat besar. Sektor UMKM yang paling terdampak adalah pada penjualan makanan dan minuman. Kementerian Koperasi dan UMKM menjelaskan bahwa koperasi yang bergerak pada bidang jasa dan produksi juga paling terdampak pada pandemi Covid-19 karen para pengusaha UMKM mengalami penurunan penjualan, kekurangan modal untuk membuat produk, dan terhambatnya distribusi barang. Sedikitnya 39,9 persen UMKM memutuskan mengurangi stok barang yang dibuat selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) karena akan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Sementara itu 16,1 persen UMKM memilih untuk mengurangi karyawan akibat adanya penutupan toko untuk sementara waktu.[6]
Memburuknya kondisi ekonomi akibat wabah Covid-19 memberikan tiga dampak besar bagi perekonomian Indonesia, yaitu membuat konsumsi dan kebutuhan rumah tangga atau daya beli menjadi lebih banyak, melemahkan proses inventasi yang berkepanjangan dan memungkinkan terhentinya usaha yang sedang berjalan, dan menyebabkan harga komoditas pasar menjadi turun dan ekspor Indonesia ke beberapa negara juga berkurang bahkan terhenti karena seluruh dunia mengalami pelemahan ekonomi secara signifikan.[7]
Dampak bagi masyarakat
Dampak dari pandemi Covid-19 membuat pemerintah di Indonesia telah memberlakukan berbagai macam kebijakan dalam merespon kondisi pandemi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan yaitu pada awal bulan Maret 2020 diterapkannya proses social distancing dan physical distancing bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan aturan tersebut tetapi sebagian besar masyarakat tidak mematuhinya karena adanya beberapa kendala seperti masih kurangnya kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat dalam menghadapi kondisi pandemi yang sedang terjadi, sehingga kebijakan ini dianggap kurang efektif oleh pemerintah dengan alasan kurangnya pemberian informasi. Meskipun kebijakan tersebut telah berlaku dari awal Maret 2020, kenyataan di lapangan didapatkan bahwa masih adanya kantor bahkan pusat-pusat perbelanjaan yang beroperasi dengan melibatkan orang banyak dan kerumunan yang sedang berkumpul tetap berjalan. Selain itu, masyarakat masih kurang dalam hal kesadaran dan rasa takut terhadap penyebaran virus Covid-19 saat beraktivitas diluar rumah. Adapun kebijakan PSBB yang diterapkan di beberapa kota di Indonesia yang melarang perkantoran dan sebagian besar proses industri beroperasi untuk sementara waktu tanpa batasan waktu yang menyebabkan kerugian ekonomi dan terganggunya produksi barang dan jasa.[8]
Bentuk nyata dari dampak pandemi Covid-19 dalam sektor perekonomian bagi masyarakat Indonesia dapat dilihat dari banyaknya kejadian PHK pada karyawan. Banyak karyawan kantoran yang dirumahkan secara mendadak dan banyaknya perusahaan yang mengalami kerugian hingga terancam bangkrut. Sebanyak 114.340 perusahaan di Indonesia telah melakukan PHK dan merumahkan tenaga kerja yang sebelumnya bekerja di perusahaan tersebut dengan total pekerja yang terkena PHK mencapai angka 1.943.916 orang dengan persentase 77% pada sektor formal dan 23% dari sektor informal.[9]
Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi mekanisme pasar dan tidak hanya berdampak pada fundamental ekonomi riil saja. Terganggunya mekanisme pada pasar ini dapat menghilangkan surplus ekonomi yang mempengaruhi permintaan dan penawaran pada sektor ekonomi dan bisnis. Adapun tiga aspek vital yang terganggu akibat terjadinya perekonomian di Indonesia seperti penawaran, permintaan dan suppy-chain. Apabila ketiga aspek mengalami gangguan yang signifikan maka akan terjadi krisis ekonomi di berbagai lapisan masyarakat Indonesia secara merata. Kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak krisis ekonomi tersebut adalah masyarakat dengan pendapatan yang dihasilkan dari pendapatan harian seperti buruh dan petani.[10]