The Passion of the Christ telah menjadi kontroversi dan mendapat berbagai ulasan beragam hingga yang positif, dengan beberapa kritikus mengklaim bahwa kekerasan ekstrem dalam film ini "mengaburkan pesannya".[10][11][12][13] Film ini mengalami kesuksesan besar, memperoleh pendapatan kotor sebesar $612 juta selama penayangannya di bioskop.[14]The Passion of the Christ menjadi film keagamaan dengan pendapatan kotor tertinggi dan film bukan berbahasa Inggris dengan pendapatan kotor tertinggi sepanjang sejarah.[15] Film ini juga mendapat tiga nominasi di Academy Awards ke-77.
Dalam The Passion: Photography from the Movie "The Passion of the Christ", Mel Gibson sebagai sutradara film ini mengatakan: "Ini adalah suatu film tentang kasih, pengharapan, iman, dan pengampunan. Ia [Yesus] wafat untuk semua umat manusia, menderita bagi kita semua. Sekarang saatnya untuk kembali ke pesan dasar tersebut. Dunia ini sudah gila. Kita semua dapat menggunakan sedikit lebih banyak cinta, iman, harapan, dan pemberian maaf."
Materi sumber
Perjanjian Baru
Menurut Mel Gibson, sumber bahan utama untuk The Passion of the Christ adalah kisah sengsara Kristus dalam keempat Injil kanonik. Film ini mencakup peristiwa pengadilan Yesus di istana Herodes, yang hanya ditemukan dalam Injil Lukas. Banyak perkataan Yesus dalam film ini yang tidak bersumber langsung pada Injil dan merupakan bagian dari suatu narasi Kristen yang lebih luas. Film ini juga bersumber dari bagian Perjanjian Baru yang lain. Kalimat yang diucapkan oleh Yesus dalam film ini, "Aku menjadikan segala sesuatu baru," dapat ditemukan dalam Kitab Wahyu.[16]
Banyak penggambaran dalam film ini yang mencerminkan representasi tradisi Kisah Sengsara dalam karya seni. Sebagai contoh, 14 stasi Jalan Salib merupakan pusat penggambaran Via Dolorosa dalam The Passion of the Christ. Semua stasi atau perhentian tersebut tergambarkan dalam film ini, kecuali stasi ke-8 (Yesus menghibur perempuan-perempuan Yerusalem yang menangisi-Nya, suatu adegan yang dihapus di versi DVD) dan stasi ke-14 (Yesus dimakamkan). Gibson juga terinspirasi secara visual oleh representasi Yesus dalam Kain Kafan Turin.[19]
Atas saran aktris Maia Morgenstern, Seder Paskah Yahudi dikutip di awal film. Maria bertanya, "Mengapa malam ini berbeda dengan malam-malam lainnya?", dan Maria Magdalena menjawab dengan tanggapan sebagaimana lazimnya: "Karena kita pernah menjadi budak dan [sekarang] kita bukan lagi budak".[20]
Identifikasi Maria Magdalena dengan pezina yang diselamatkan oleh Yesus dari hukuman rajam memiliki beberapa preseden dalam tradisi, dan menurut sang sutradara hal ini dilakukan demi alasan-alasan dramatis. Nama beberapa karakter dalam film ini adalah berdasarkan tradisi dan tidak terdapat dalam Kitab Suci, misalnya para penyamun yang disalibkan bersama dengan Kristus, yaitu Dismas dan Gesmas.
Tulisan devosional Katolik
Para penulis skenario film ini, Gibson dan Benedict Fitzgerald, mengatakan bahwa mereka membaca banyak laporan mengenai Kisah Sengsara Kristus sebagai inspirasi, termasuk tulisan-tulisan devosional dari para mistikus Katolik Roma. Salah satu sumber utama yaitu Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus yang berisi visiun-visiun (penglihatan) dari stigmatis bernama Anna Katharina Emmerick (1774–1824) yang adalah seorang biarawati Jerman, sebagaimana ditulis oleh penyair bernama Clemens Brentano.[6][7][8] Pembacaan dengan cermat atas buku Emmerick tersebut menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi film ini padanya.[6][7][21]
Bagaimanapun atribusi Clemens Brentano atas buku Dukacita Sengsara pada Emmerick telah menimbulkan perdebatan, dengan dugaan bahwa Brentano menulis sendiri kebanyakan isi buku tersebut; penyelidikan Vatikan menyimpulkan bahwa: "Benar-benar tidak yakin kalau [Emmerick] pernah menulisnya".[22][23][24] Dalam ulasan terhadap film ini di suatu publikasi Katolik berjudul America, seorang imam Yesuit bernama John O' Malley menggunakan istilah "fiksi kesalehan" dan "penipuan bermaksud baik" untuk menyebut tulisan-tulisan Clemens Brentano tersebut.[5][22]
Di antara banyak elemen yang diambil dari Dukacita Sengsara misalnya adegan tergantungnya Yesus di sebuah jembatan setelah Ia ditangkap oleh para penjaga Bait Allah, penyiksaan Yudas oleh roh-roh jahat setelah ia menyerahkan Yesus kepada Sanhedrin, penyekaan darah Yesus setelah Ia didera, dan dislokasi bahu Yesus sehingga telapak tangan-Nya dapat dipaku pada lubang yang telah disiapkan.[25]
Perbedaan dengan Kisah Sengsara menurut tradisi
Elemen-elemen tertentu The Passion of the Christ tidak memiliki preseden dalam penggambaran awal Kisah Sengsara. Dalam adegan di Taman Getsemani pada permulaan film ini, Setan tampil dan berupaya untuk mengalihkan perhatian Yesus yang sedang berdoa. Yesus kemudian meremukkan seekor ular dengan tumit-Nya (hal ini merujuk pada protevangelium, Kejadian 3:15 – suatu nubuat mengenai Mesias); peristiwa ini tidak terdapat dalam Injil mana pun. Contoh lainnya yaitu Yudas Iskariot disiksa oleh anak-anak yang ditampilkan padanya sebagai roh-roh jahat. Film ini memberi penekanan pada kerapuhan hubungan antara Tiberius Caesar dengan Pontius Pilatus dalam percakapan Pilatus dengan istrinya mengenai perintah imperial untuk menghindari pemberontakan lanjutan Yudea. Film ini juga secara jelas mengidentifikasi Simon dari Kirene sebagai orang Yahudi, kendati Injil Sinoptik hanya menginformasikan nama dan tempat asalnya. Dalam film ini, seorang prajurit Romawi mengejek Simon (yang membantu memikul salib Yesus) dengan secara ketus menyebutnya Yahudi. Sebaliknya, Simon dideskripsikan sebagai seorang pagan dalam Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus.[25] Perbedaan utama lainnya yang sering luput dari perhatian adalah tulisan INRI di kayu salib Yesus yang hanya tertulis dalam dua bahasa (namun menempati tiga baris), bukannya tiga bahasa sebagaimana disebutkan dalam Injil.
Adegan-adegan unik lainnya dalam film ini misalnya salah seorang penyamun, yang disalibkan bersama Yesus dan mengejek-Nya, matanya dipatuk seekor burung gagak, serta kilas balik sosok Yesus sebagai seorang tukang kayu yang membuatkan sebuah meja tinggi berkaki empat untuk seorang Romawi. Adegan Setan menggendong bayi jahat saat Yesus didera ditafsirkan sebagai suatu pemutarbalikan dari penggambaran Madonna dan Sang Putra menurut tradisi. Gibson mendeskripsikan adegan itu sebagai berikut:
Adalah kejahatan yang memutarbalikkan apa yang baik. Apakah yang lebih lembut dan indah daripada seorang ibu dan seorang anak? Jadi Iblis menggunakan [gambaran] itu dan sedikit memutarbalikkannya. Alih-alih seorang ibu normal dan anak, Anda melihat seorang figur androgini sedang memegang seorang 'bayi' berusia 40 tahun dengan rambut di punggungnya. Ini aneh, ini mengejutkan, ini hampir-hampir terlalu berlebihan – sama seperti membalikkan [tubuh] Yesus untuk terus menyesah Dia di dada-Nya adalah mengejutkan dan hampir-hampir terlalu berlebihan, yang merupakan saat tepat untuk menampilkan [adegan] Iblis dan sang bayi ini.[26]
Produksi
Naskah dan bahasa
Gibson awalnya mengumumkan bahwa ia akan menggunakan dua bahasa lama tanpa sub judul dan hanya mengandalkan "penceritaan filmis". Karena cerita Sengsara telah sedemikian terkenal, Gibson merasa perlu menghindari bahasa-bahasa vernakular untuk memberi kejutan kepada penonton: "Saya pikir hampir-hampir kontraproduktif jika mengucapkan beberapa hal ini dalam suatu bahasa modern. Membuat Anda ingin berdiri dan meneriakkan kalimat berikutnya, seperti ketika Anda mendengar 'Jadi atau tidak' dan secara naluriah Anda berkata kepada diri sendiri, 'Itulah pertanyaannya.'"[27] Naskah film ditulis dalam bahasa Inggris oleh Gibson dan Benedict Fitzgerald, kemudian diterjemahkan oleh William Fulco, S.J., seorang profesor di Universitas Loyola Marymount, ke dalam bahasa Latin dan Ibrani yang direkonstruksi. Gibson memilih menggunakan bahasa Latin daripada bahasa Yunani karena bahasa Latin adalah lingua franca di bagian Kekaisaran Romawi tersebut pada saat itu, dan tidak ada referensi yang menyebutkan kalau bahasa Yunani Koine digunakan di wilayah tersebut. Bahasa Yunani sehari-hari yang digunakan di wilayah Levant kuno pada zaman Yesus bukan merupakan bahasa Yunani sebenarnya yang digunakan dalam Kitab Suci.[28] Fulco terkadang memasukkan kesalahan-kesalahan yang disengaja dalam berbagai pelafalan dan akhiran kata ketika karakter-karakter berbicara bahasa yang asing bagi mereka, dan beberapa bahasa kasar yang digunakan oleh para prajurit Romawi tidak diterjemahkan dalam teks (sub judul).[29]
Pengambilan gambar
Film ini diproduksi secara independen dan syuting dilakukan di Italia – terutama dalam Studio Cinecittà di Roma, di kota tua Matera, dan di kota hantu Craco (Basilicata).[30] Biaya produksi yang diperkirakan sebesar US$30 juta, ditambah dengan biaya pemasaran yang diperkirakan sebesar $15 juta, ditanggung sepenuhnya oleh Gibson dan perusahaannya, Icon Productions. Film ini dirilis pada hari Rabu Abu tanggal 25 Februari 2004. Motion Picture Association of America memberi rating "R" (Restricted atau ada batasan bagi yang ingin menontonnya) karena terdapat "rangkaian kekerasan grafis". Icon Entertainment mendistribusikan versi bioskop film ini, dan 20th Century Fox mendistribusikan versinya dalam media VHS/DVD/Blu-ray.
Gibson berkonsultasi dengan beberapa penasihat teologis selama pengambilan gambar, termasuk Pastor Jonathan Morris. Saat syuting, asisten sutradara Jan Michelini disambar petir dua kali. Beberapa menit kemudian, Jim Caviezel juga terkena sambaran petir.[31][32][33]
Suatu musik pendahuluan digubah dan direkam oleh Lisa Gerrard dan Patrick Cassidy, namun tidak terselesaikan saat film dirilis. Jack Lenz merupakan peneliti musik utama dan termasuk salah satu komponis soundtrack film ini;[34] beberapa klip dari komposisinya diposkan secara daring.[35]
Pasca produksi
Perubahan judul
Meskipun Mel Gibson berkeinginan untuk menyebut filmnya The Passion, pada tanggal 16 Oktober 2003 juru bicaranya mengumumkan bahwa judul yang digunakan di Amerika Serikat akan menjadi The Passion of Christ karena Miramax Films telah mendaftarkan judul The Passion dengan MPPA untuk novel tahun 1987 karya Jeanette Winterson.[36] Belakangan judulnya diganti lagi menjadi The Passion of the Christ untuk semua pasar.
Distribusi dan pemasaran
Gibson memulai produksi filmnya tanpa mengamankan pendanaan ataupun distribusi dari luar. Pada tahun 2002, ia menjelaskan mengapai ia tidak dapat memperoleh dukungan dari studio-studio Hollywood: "Ini adalah sebuah film tentang sesuatu yang tak seorang pun ingin menyentuhnya, difilmkan dalam dua bahasa mati. Di Los Angeles mereka pikir saya gila, dan mungkin demikian."[37] Gibson dan perusahaan Icon Productions miliknya merupakan satu-satunya dukungan untuk film ini, menghabiskan sekitar $30 juta untuk biaya produksi dan sekitar $15 juta untuk pemasarannya.[38] Setelah tuduhan-tuduhan awal terkait antisemitisme, sulit bagi Gibson untuk mendapatkan suatu perusahaan distribusi Amerika Serikat. 20th Century Fox memiliki kesempatan pertama untuk mendistribusikan film ini dan, menanggapi protes publik, kemudian melewatkan kesempatan itu.[39] Untuk menghindari penolakan film ini dari studio lain dan menghindari distributornya menerima kritikan publik yang intens sebagaimana telah ia terima, sehingga berpotensi menjadi tontonan khalayak ramai, Gibson memutuskan untuk mendistibusikan sendiri film ini di Amerika Serikat, dengan Newmarket Films.[40]
Gibson meninggalkan formula pemasaran film yang biasa digunakan. Ia menggunakan suatu kampanye iklan telvisi skala kecil tanpa acara-acara yang berkaitan dengan pers.[41]The Passion of the Christ dipromosikan secara besar-besaran oleh banyak kelompok gereja, baik di dalam organisasi mereka maupun kepada publik.[42]Gereja Metodis menyatakan bahwa banyak anggotanya, sama seperti umat Kristen lainnya, merasa kalau film ini merupakan salah satu cara yang baik untuk melakukan pewartaan.[43] Akibatnya banyak jemaat yang ambil bagian di bioskop-bioskop, beberapa di antaranya menyiapkan meja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan melakukan pelayanan doa.[43] John Tanner, seorang pastor Gereja Metodis dari Hampton Cove, Alabama, mengatakan: "Mereka merasa film ini menyajikan suatu kesempatan unik untuk berbagi Kekristenan dengan cara yang dengannya masyarakat publik dapat mengidentifikasinya."[43]
Dukungan kalangan Evangelikal
The Passion of the Christ memperoleh dukungan kuat dari komunitas Evangelikal atau Injili di Amerika Serikat.[44] Sebelum film ini dirilis, Gibson secara aktif melakukan pendekatan kepada para pemimpin komunitas tersebut untuk mendapatkan dukungan dan masukan dari mereka.[45] Dengan bantuan mereka, Gibson mengorganisir dan menghadiri serangkaian penayangan prarilis bagi para pemirsa Evangelikal, membahas pembuatan film ini dan keyakinan personalnya.
Rilis
Box office
Penayangan perdana The Passion of the Christ di Amerika Serikat dilakukan pada tanggal 25 Februari 2004 (Rabu Abu, awal Masa Prapaskah). Film ini mendapatkan $83.848.082 pada akhir pekan pembukaannya, membuatnya meraih peringkat 4 dalam penghasilan akhir pekan pembukaan di dalam negeri untuk tahun 2004. Secara keseluruhan film ini meraih pendapatan $370.782.930 di Amerika Serikat,[3] dan tetap menjadi film dengan rating "R" yang berpenghasilan kotor tertinggi dalam sejarah Amerika Serikat.[46] Diperkirakan 59.625.500 tiket film ini terjual di Amerika Serikat saat tayangan awalnya di bioskop.[47]
Di Malaysia, badan sensor pemerintah awalnya sama sekali melarang penayangan film ini, tetapi setelah para pemimpin Kristen memprotesnya, larangan itu dicabut namun hanya untuk para penonton Kristen, mengizinkan mereka untuk menonton film ini di bioskop-bioskop khusus yang ditunjuk.[48] Di Israel, film ini tidak dilarang. Namun film ini tidak pernah ditayangkan di bioskop karena tidak ada distributor Israel yang bersedia memasarkan film ini.[49]
Walaupun terjadi beragam kontroversi dan penolakan dari pemerintah tertentu untuk mengizinkan penayangan film ini di layar lebar, The Passion of the Christ menghasilkan $611.899.420 dari seluruh dunia.[3] Film ini juga relatif sukses di negara-negara tertentu dengan populasi Muslim yang besar,[50] seperti di Mesir, tempat film ini meraih peringkat terlaris ke-20 untuk tahun 2004.[51] Film ini tetap menjadi film bukan berbahasa Inggris dengan pendapatan kotor tertinggi sepanjang sejarah.[15]
Rilis ulang di bioskop
Suatu versi yang diedit dengan judul The Passion Recut dirilis pada tanggal 11 Maret 2005, dengan penghapusan 5 menit tayangan kekerasan yang paling eksplisit untuk memperluas jangkauan pemirsanya. Gibson menjelaskan alasannya untuk versi baru film ini:
Setelah tayangan awal di bioskop-bioskop, saya menerima banyak surat dari orang-orang di seluruh negeri. Banyak yang mengatakan kepada saya kalau mereka ingin berbagi pengalaman dengan orang yang mereka cintai tetapi mengkhawatirkan gambar-gambar yang lebih keras pada film ini akan terlalu berat untuk mereka tanggung. Sehubungan dengan hal ini saya memutuskan untuk mengedit ulang The Passion of the Christ.[52]
Meskipun telah ada upaya untuk memperhalus kontennya, Motion Picture Association of America menganggap film ini masih terlalu keras untuk mendapat rating "PG-13", sehingga Gibson merilisnya sebagai unrated (tanpa rating).[52] Rilis ulang film ini tidak berakhir dengan kesuksesan komersial, hanya ditayangkan selama 3 minggu sebelum hasil box office yang buruk menyebabkan film ini harus ditarik dari bioskop-bioskop.[53]
Media rumah
Pada tanggal 31 Agustus 2004, film ini dirilis dalam media DVD,[54] VHS, dan belakangan D-VHS, di Amerika Utara oleh 20th Century Fox Home Entertainment. Sebagaimana halnya rilis asli di bioskop, rilis film ini dalam format video rumah terbukti sangat populer. Laporan-laporan awal mengindikasikan bahwa terdapat lebih dari 2,4 juta kopi film ini yang terjual sampai pertengahan hari tersebut. Film ini tersedia dalam format DVD dengan sub judul bahasa Inggris dan Spanyol, dan dalam kaset VHS dengan sub judul bahasa Inggris. Pada tanggal 17 Februari 2009, film ini dirilis dalam format Blu-ray di Amerika Utara sebagai set Definitive Edition dalam dua cakram.[55]
Siaran televisi
Pada tanggal 17 April 2011 (Minggu Palma), Trinity Broadcasting Network (TBN) menayangkan perdana film ini pada pukul 7:30 pm ET/PT, dengan beberapa tayangan terjadwal. Jaringan televisi tersebut terus menayangkan film ini sepanjang tahun, dan secara khusus sekitar perayaan Paskah.[56] TBN menayangkan film ini sama sekali tanpa diedit; akibatnya tayangan tersebut diberi rating TV-MA (karena terdapat kekerasan grafis).
Penerimaan
Diskusi dan promosi independen
Sejumlah situs web independen seperti MyLifeAfter.com dan Passion-Movie.com dilansir untuk mempromosikan film ini dan pesannya, serta memungkinkan orang-orang untuk mendiskusikan pengaruh film ini pada kehidupan mereka. Dokumenter-dokumenter seperti Changed Lives: Miracles of the Passion mencatat berbagai kisah terjadinya keajaiban dalam hal penyelamatan, pengampunan, penemuan iman baru, dan cerita tentang seorang pria yang memberi pengakuan kalau ia telah membunuh pacarnya kendati pihak berwenang telah menetapkan kematian sang pacar adalah karena bunuh diri.[57]
Ketika penayangan film The Passion of the Christ telah dilakukan, Vatikan memberikan komentar bahwa film tersebut telah sesuai dengan Perjanjian Baru. Paus menyatakan bahwa film tersebut seperti Perjanjian Baru, karena rujukan dari ceritanya adalah Perjanjian Baru. Dalam film ini, pembunuhan Yesus dilakukan oleh kaum Yahudi sehingga mereka harus bertanggung jawab atasnya. Sementara itu, Majalah Newsweek edisi 16 Februari 2004 menyatakan bahwa Alkitab merupakan sumber yang bermasalah untuk digunakan sebagai rujukan. Majalah ini menyatakan bahwa di dalam film ini banyak terdapat penyimpangan cerita dari Alkitab.[58]
Sekuel
Pada bulan Juni 2016 diumumkan bahwa Mel Gibson akan membuat sekuel The Passion of The ChristEntertainment Weekly mendapatkan konfirmasi aktor 49 tahun tersebut tengah dalam perundingan untuk kembali menjadi Yesus di sekuel film yang dijadwalkan akan bertajuk Resurrection.
Dalam wawancara dengan Stephen Colbert pada 2016, sutradara dan pencetus The Passion of the Christ Mel Gibson mengatakan versi sekuel dari film tersebut baru bakal rampung pada sekitar 2019.
Namun, Gibson mengatakan sekuel film peraih nominasi Academy Awards tersebut bakal berisikan kisah yang jauh lebih besar dibanding versi awalnya.
"Ini lebih dari sekadar peristiwa tunggal, ini momen luar biasa," kata Gibson.
"Ini bukan hanya sekadar peristiwa. Ini bukan hanya sekadar penuturan kronologis atas sebuah kejadian. Itu bisa membosankan, dan yah [karena] semua sudah membacanya [dari injil]" lanjutnya.
Gibson pun mengisyaratkan kisah kelanjutan dari The Passion of the Christ bakal berlatar waktu setelah peristiwa penyaliban hingga kejadian kebangkitan kembali Yesus, yang dituturkan injil terjadi pada tiga hari setelah peristiwa penyaliban.
Namun Gibson mengatakan kepada Colbert, bahwa sekuel ini bukan hanya mengisahkan penyaliban dan kematian lalu kebangkitan Yesus kembali. Ia mengisyaratkan akan mengeksplorasi tiga hari kepergian Yesus dari dunia fana itu.
Jim Caviezel menjadi sorotan usai perannya sebagai Yesus dalam film The Passion of the Christ menuai perhatian publik. Film itu mengisahkan 12 jam terakhir hidup Yesus sebelum disalib, berdasarkan kisah injil.yang berfokus pada kebangkitan Yesus Kristus.[59]
SEBAGIAN BESAR PEMERAN DAN KRU MENGUBAH IMAN MEREKA SETELAH SYUTING FILM TERSEBUT
Karena banyaknya kejadian-kejadian tak terduga dalam penggarapan film tersebut, banyak diantara para kru dan para aktor yang beralih agama menjadi Kristen. Salah satu orang yang bertobat adalah seorang ateis yang berperan sebagai Yudas Iskariot, namanya Luca Lionello.
Selain kepada para kru, saya juga percaya dampak yang diberikan film ini terhadap penontonnya juga sangatlah besar
SEBAGIAN BESAR PEMERAN DAN KRU MENGUBAH IMAN MEREKA SETELAH SYUTING FILM TERSEBUT
Karena banyaknya kejadian-kejadian tak terduga dalam penggarapan film tersebut, banyak diantara para kru dan para aktor yang beralih agama menjadi Kristen. Salah satu orang yang bertobat adalah seorang ateis yang berperan sebagai Yudas Iskariot, namanya Luca Lionello.
Selain kepada para kru, saya juga percaya dampak yang diberikan film ini terhadap penontonnya juga sangatlah besar
^Susman, Gary (October 16, 2004). "Napoleon Branding". "Entertainment Weekly". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-22. Diakses tanggal 2008-08-16.
^Pauley, John L.; King, Amy (2013). Robert H. Woods, ed. Evangelical Christians and Popular Culture. 1. Westport: Praeger Publishing. hlm. 36–51. ISBN978-0313386541.
^Husaini, Adian (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal. Jakarta: Gema Insani. hlm. 52. ISBN978-602-250-517-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)