Perusahaan ini didirikan pada tahun 1971 sebagai sebuah perusahaan patungan antara Pemerintah Indonesia dengan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), di mana Pemerintah Indonesia memegang 52,79% saham perusahaan ini, sementara GKBI memegang sisanya. Pemerintah Indonesia menyerahkan modal berupa mesin-mesin produksi yang dihibahkan oleh pengusaha tekstil asal Belanda melalui Pemerintah Belanda. Sementara GKBI menyerahkan modal berupa tanah, bangunan, biaya pemasangan, dan modal kerja. Mesin-mesin produksi yang dihibahkan meliputi 18 set mesin pemintal bermerek Rieter dengan 9.072 mata pintal dan 180 set mesin tenun teropong bermerek Picanol.
Untuk meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas produk, perusahaan ini lalu mendirikan Pabrik II dan Pabrik III pada tahun 1975 dan 1981. Unit pemintalan perusahaan ini menghasilkan benang kapas, yang kemudian diproses lebih lanjut di unit penenunan untuk dijadikan kain grey. Untuk memenuhi permintaan dari industri batik, sebagian kain grey kemudian diproses lebih lanjut untuk dijadikan kain mori.[3]
Seiring berjalannya waktu, perusahaan ini mulai kekurangan modal dan salah kelola, sehingga proses produksinya terganggu. Pada tahun 2013, Pemerintah Indonesia bermaksud melepas saham perusahaan ini ke GKBI.[4] Namun hingga saat ini belum dapat terlaksana, karena harga beli yang ditawarkan oleh GKBI terlalu rendah.
Pada tahun 2018, untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, perusahaan ini membeli empat set mesin tenun bermerek Tsudakoma asal Jepang dan empat set mesin tenun bermerek Itema asal Italia. Kapasitas produksi dari delapan mesin tenun baru tersebut diklaim setara dengan 102 mesin tenun lama milik perusahaan ini.[5] Pada bulan April 2020, akibat pandemi COVID-19, perusahaan ini berhenti memproduksi benang, dan hanya memproduksi kain jika ada pesanan.[2]
Referensi
^"Direksi". Primissima. Diakses tanggal 24 September 2021.