Islam di Georgia diperkenalkan pada tahun 645 Masehi ketika tentara yang dikirim oleh Khalifah kedua Islam, Umar, menaklukkan Georgia Timur dan mendirikan negara Islam di Tbilisi. Jumlah penganut Islam di Georgia tercatat 463.062 jiwa atau 9,9%, dari keseluruhan jumlah penduduk Georgia, dan merupakan komunitas keagamaan terbesar kedua di Georgia, setelah Gereja Ortodoks.[1] Menurut sumber lain, komunitas Muslim membentuk 10-13% jumlah penduduk Georgia.[2]
Pada Juli 2011, Parlemen Georgia mengesahkan hukum baru yang memperbolehkan kelompok agama minoritas dengan "ikatan bersejarah" dengan Georgia untuk mendaftarkan diri. Rancangan hukum tersebut secara khusus menyebutkan Islam beserta dengan kelompok agama minoritas lain, yaitu Gereja Katolik Roma, Gereja Apostolik Armenia, Gereja Injilis Baptis, dan Yahudi.[2]
Masjid di Georgia beroperasi dalam pengawasan Departemen Muslim Georgia yang dibentuk pada Mei 2011. Sebelumnya, komunitas Muslim di Georgia diatur oleh Departemen Muslim Kaukasus yang berdasar di kota Baku di Azerbaijan.[3] Pada tahun 2010, Georgia dan Turki menandatangani perjanjian di mana Turki akan merehabilitasi tiga masjid serta membangun masjid baru di Georgia, sementara Georgia akan merehabilitasi biara-biara Georgia di Turki.[4] Perjanjian Georgia-Turki akan memperbolehkan pembangunan kembali masjid bersejarah Azize di Batumi, Ajaria yang dihancurkan pada tahun 1940. Turki akan merehabilitasi masjid di daerah Samtskhe-Javakheti beserta tempat mandi Turki (hammam) di Batumi.
Sejarah
Emirat Tbilisi
Bangsa Arab pertama kali muncul di Georgia pada tahun 645. Pada tahun 735, Marwan bin Muhammad mengadakan penyerangan dan berhasil menaklukkan sebagian besar daerah Georgia. Marwan mengendalikan kota Tbilisi dan menetapkan emir Arab yang dikonfirmasi oleh Kalif Baghdad atau Ostikan Arminīya.
Pada masa penguasaan Arab, Tbilisi berkembang menjadi pusat perdagangan antara dunia Muslim dan Eropa Utara. Tbilisi juga berfungsi sebagai daerah penyangga berhadapan dengan kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur dan Bangsa Khazar. Dari waktu ke waktu, penduduk Tbilisi mulai berganti agama menjadi Islam.
Dinasti Timuriyah
Antara tahun 1386 dan 1404, Georgia menjadi subyek penyerangan Tamerlane yang mengontrol dinasti dengan kekuasaan dari Asia Tengah hingga Anatolia. Pada penyerangan pertama dari paling tidak tujuh penyerangan, Tamerlane merampok Tbilisi dan menangkap raja Bagrat V pada tahun 1386. Pada tahun 1401, Tamerlane kembali menyerang Kaukasus. Raja Georgia akhirnya mengadakan perdamaian dengan Tamerlane, yang menyetujuinya karena dia berharap untuk membekukan konflik di Georgia sementara dia bersiap-siap dalam pertempuran melawan Kesultanan Utsmaniyah.[5]
Dinasti Safawiyah dan Kesultanan Utsmaniyah
Dinasti Safawiyah dan Kesultanan Utsmaniyah terlibat dalam konflik berkepanjangan tentang kendali dan pengaruh atas daerah Kaukasus. Dari abad ke-16 hingga 18, Safawiyah harus menghadapi beberapa kerajaan dan kepangeranan independen karena status Georgia yang belum disatukan. Safawiyah sebagian besar mengendalikan daerah timur (kerajaan Kartli dan Kakheti) dan selatan (kerajaan Samtskhe-Saatabago), sementara Georgia Barat dikendalikan oleh Utsmaniyah. Kerajaan-kerajaan independen ini menjadi negara bawahan Persia setelah tahun 1518.
Pada 29 Mei 1555, Safawiyah dan Utsmaniyah menyimpulkan perjanjian yang membagi Kaukasus Selatan menjadi dua: Georgia Barat dan daerah barat Georgia Selatan jatuh pada tangan Utsmaniyah, sementara Georgia Timur dan bagian timur Georgia Selatan dikendalikan oleh Safawiyah. Pada tahun 1703, raja Vakhtang VI menjadi penguasa kerajaan Kartli. Ia berganti agama menjadi Islam pada tahun 1716 dan ditetapkan sebagai raja Kartli oleh penguasa Safawiyah, namun setelah diperintahkan untuk menghentikan operasi militer, ia beralih sisi dengan Kekaisaran Rusia. Walau begitu, Rusia gagal untuk mengirimkan bala tentara kepada raja Vakhtang.
Demografi
Agama di Georgia (2002)
Kristen Ortodoks Georgia (82.1%)
Islam (9.9%)
Gereja Apostolik Armenia (5.7%)
Gereja Katolik Roma (0.8%)
Yahudi (0.1%)
Lain-lain (1.4%)
Muslim membentuk dari 9,9% hingga 10-13% jumlah penduduk Georgia. Ada dua kelompok besar Muslim di Georgia. Etnis Muslim Georgia adalah Muslim SunniHanafi yang terkonsentrasi di Republik Otonomi Ajaria Georgia berbatasan dengan Turki. Sedangkan etnis Muslim Azerbaijan didominasi oleh Muslim Syi'ah Imam Dua Belas yang terkonsentrasi di perbatasan dengan Armenia dan Azerbaijan. Walau begitu, ada pula minoritas penganut Islam yang termasuk dalam kelompok etnis Kaukasus Selatan lain, seperti Bangsa Ossetia, Bangsa Armenia, dan Bangsa Yunani Pontus (dibagi antara Kaukasus Yunani dan Urum berbahasa Turki), semuanya keturunan penganut Kristen Ortodoks yang mengganti agamanya menjadi Islam Turki pada zaman Kesultanan Utsmaniyah. Banyak Muslim Georgia yang didefinisikan sebagai 'Utsmaniyah' setelah Ekspedisi Kaukasus Lala Mustafa Pasha yang berakhir pada penaklukan wilayah Georgia oleh Utsmaniyah pada tahun 1570-an sebenarnya mempunyai leluhur dari etnis Armenia dan Yunani Pontus dari daerah Anatolia timur laut yang menjadi mualaf, salah satu contoh yaitu Reşid Mehmed Pasha.
Bangsa Turki Meskheti yang juga merupakan Muslim Sunni Hanafi adalah bekas penduduk daerah Meskheti Georgia, di dekat perbatasan dengan Turki. Mereka dideportasi secara paksa oleh Josef Stalin menuju Asia Tengah dan ditetapkan di Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Uzbekistan pada 15-25 November 1944, sebagai salah satu bagian pemindahan penduduk di Uni Soviet. Dari 120.000 penduduk yang dideportasi dengan truk ternak, 10.000 tewas dalam perjalanan.[6] Pada zaman sekarang, mereka tersebar di beberapa negara bekas Uni Soviet. Di Azerbaijan dan Asia Tengah, terdapat 120,000 bangsa Turki Meskheti yang hidup dalam pengasingan.[7][8]
Referensi
^Religion and education in Europe: developments, contexts and debates
By Robert Jackson, pg.67