Gereja Kristen Sulawesi Tengah (bahasa Inggris: Central Sulawesi Christian Church; sering disingkat menjadi GKST), adalah gereja Protestan terbesar di Sulawesi Tengah, Indonesia, dan termasuk dalam kelompok gereja-gereja Reformed. Ide untuk membentuk gereja ini bermula sejak tahun 1893 melalui misi Gereja Reformed Belanda (bahasa Belanda: Nederlands Hervormde Kerk — A.C. Kruyt dan N. Adriani — ) dan menjadi denominasi independen pada tahun 1947 saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya terhadap Belanda. Pada bulan November 1993, sebuah perayaan diadakan di Tentena untuk memperingati 100 tahun masuknya Kekristenan di Poso.[1]
Sejarah
Masa Awal
Sejarah GKST sangat erat hubungannya dengan dua tokoh pekabaran Injil, yaitu Dr. A.C. Kruyt dan Dr. N. Adriani, masing-masing diutus oleh NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap) dan Lembaga Alkitab Belanda. Sebenarnya bukanlah maksud NZG untuk memberitakan Injil ke teluk Tomini, di mana Poso terletak, melainkan untuk mengusahakan pekabaran Injil ke daerah Gorontalo. Menurut rencana tersebut Kruyt-lah yang akan memulai pekerjaannya di Gorontalo pada tahun 1891. Akan tetapi agama Kristen tidak dapat berkembang karena banyak orang Gorontalo sudah memeluk agama Islam.
Akibatnya pada tahun 1892, Kruyt pindah ke Poso. Ia berpendapat, bahwa Injil tidak akan dimengerti serta berakar di dalam suatu suku, jika tidak diberitakan dalam bahasanya serta dalam cara dan bentuk yang tidak asing bagi orang-orang itu. Oleh karena itu, maka syarat yang utama ialah menyelidik bahasa, adat istiadat serta kebudayaan suku tersebut.
Bersama-sama dengan Adriani maka Kruyt menunggu 17 tahun lamanya untuk melakukan penyelidikan bahasa serta adat istiadat secara mendalam sekali sebelum orang-orang yang pertama dapat dibaptiskan. Kemudian Papa i Wunte seorang kabosenya di desa Woyomakuni, dekat Poso, mengambil keputusan untuk masuk Kristen. Sebelum itu bertahun-tahun lamanya ia menjadi teman Kruyt. Sejak saat itu kristenisasi di Poso berjalan dengan baik. Bahkan pada hari Natal 1909 dibaptiskan 180 orang.
Masa Perkembangan
Sejak saat itu dimulailah pekabaran Injil ke seluruh wilayah Sulawesi Tengah. Dari daerah sekitar muara sungai Poso, Injil bergerak ke arah danau Poso (1909), ke Mori (1914), Malili (1915) dan Wana (1926). Seluruh daerah itu ditempati 9 orang tenaga pekabar Injil. Didirikanlah jaringan sekolah dan berangsur-angsur seluruh daerah pedalaman seperti wilayah Napu, Bada dan Besoa. Pada akhir tahun 1937 orang Kristen di Sulawesi Tengah, yakni di wilayah kegiatan NZG berjumlah 40.000 orang lebih.
Tenaga guru sekolah dan di jemaat mula-mula didatangkan dari Minahasa, tetapi pada tahun 1912 didirikanlah sekolah pendidikan guru di Pendolo, yang kemudian pindah ke Tentena pada tahun 1938. Tugas sekolah ini adalah mendidik pemuda asli Sulawesi Tengah menjadi guru, sekaligus meningkatkan mutu mengajar yang lebih baik.
GKST Bersinode
Pada sebuah konferensi yang diadakan bulan Februari 1939, J. Kruyt memberikan pemikiran untuk pekerjaan Injil di Sulawesi Tengah, “Apakah bukan sudah waktunya bahwa kita harus memberi perhatian kepada pengorganisasian selanjutnya Gereja pribumi Sulawesi Tengah secara keseluruhan…” Arah dan tujuan yang terkandung di dalamnya oleh peserta diterima dengan segala senang hati. Maka dimulailah persiapan untuk Gereja di Sulawesi Tengah berdiri sendiri. Namun, Perang Dunia Kedua meletus dan mendesak dengan lebih cepat untuk mengorganisasi Gereja di Sulawesi Tengah. Kedatangan Jepang membuat para penginjil di Sulawesi Tengah membentuk klasis-klasis dan mengangkat ketua-ketua klasis yang memimpin gereja semasa perang. Setelah perang selesai, maka dilaksanakanlah Sinode Pertama di Tentena pada 14-19 Oktober 1947 yang mengambil beberapa butir keputusan berkaitan dengan Tata Gereja, Badan Pengurus Sinode dan berdirinya Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang ditetapkan pada 18 Oktober 1947.
Masa Memekar
Sejak berdiri, GKST mulai menumbuhkan dan mengembangkan pelayanannya. GKST kemudian menjadi anggota Dewan Gereja se-Dunia pada tahun 1948 dan menyusul menjadi anggota Persekutuan Gereja-Gereja se-Indonesia (PGI) dua tahun kemudian.
Selanjutnya dibentuklah panitia-panitia yang mengurusi bidang-bidang pelayanan gereja seperti Teologi, Pekabaran Injil, Persekolahan dan Pendidikan, Perserikatan/Kategorial, Diakonia, Pernikahan dan Ketertiban dan Siasat, menata keuangan GKST dan lain sebagainya. Hasil dari situ adalah dibentuknya Yayasan Pendidikan dan Perguruan Kristen GKST, Sekolah Teologi merupakan kelanjutan Sekolah Guru Injil, Yayasan Pembangunan Masyarakat, Persatuan Bapak Kristen/Komisi Bapak Sinode, Persatuan Ibu Kristen/Komisi Wanita Sinode, Persekutuan Pemuda Kristen/Komisi Pemuda Sinode, Komisi Remaja Sinode didirikan pada ; Komisi Sekolah Minggu Sinode.
Sejak saat itu GKST terus berbenah diri untuk pelayanan penyelamatan kepada manusia secara utuh. Karena itu untuk selalu meninjau arah gerak mekar GKST, maka diadakanlah sidang-sidang Sinode yang diadakan beberapa tahun sekali. Sekarang ini GKST terdiri dari 26 klasis, yang berada di Sulawesi Tengah (Poso, Morowali, Tojo Una-Una, Parigi Moutong, dan Sigi/Donggala/Kodya Palu) dan Sulawesi Selatan (Luwu Utara dan Luwu Timur).
Wilayah pelayanan yang terbentang luas itu, berdasarkan data terakhir sebelum Sidang Sinode Instimewa 2014, terdiri dari 395 jemaat definitif dan 18 kelompok kebaktian. Untuk mengatur pelayanan di semua aras, baik sinode, klasis maupun jemaat, jemaat-jemaat GKST dilayani oleh 547 orang pendeta yang berstatus sebagai pegawai organik.
Menghadapi Konflik
Dalam perjalanan sejarahnya, wilayah pelayanan GKST beberapa kali mengalami konflik horizontal. Pertama, pada tahun 1957 terjadi pemberontakan PRRI/Permesta di Sulawesi Utara yang menjalar sampai ke wilayah Sulawesi Tengah. Di pihak lain, kelompok Pemuda yang menyebut dirinya Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) melawan pemberontakan itu dan kemudian menyingkir ke hutan pada 5 Desember 1957. Kekacauan ini ditandai dengan banyaknya tahanan dari pihak GPST dan jatuhnya korban pada saat perayaan Natal tahun 1957. Beberapa kali Kantor Sinode harus dipindahkan ke beberapa tempat karena ternyata Tentena dinyatakan tertutup dan terkepung pada medio tahun 1958. Pemberontakan itu kemudian dapat diredakan oleh pemerintah Indonesia dan Tentena dinyatakan bebas pada bulan Juni 1958.
Kedua, konflik horizontal yang bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang dimulai pada Desember 1998. Hal itu bermula dari tawuran antara pemuda yang beragama Kristen dengan pemuda yang beragama Islam yang kemudian meluas di wilayah Kabupaten Poso dan Morowali. Korban yang berjatuhan pun tidak sedikit. Banyak orang mengungsi ke wilayah yang aman, termasuk Tentena. GKST diperhadapkan pada posisi yang sulit karena konflik itu terjadi di wilayah pelayanan GKST dan dialami oleh warga gereja. Dalam situasi ini GKST berjuang untuk perdamaian. Akhirnya kesepakatan damai itu terjadi melalui Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001.
Statistik Gereja
Jumlah gereja/jemaat: 383 gereja, dan 24 kelompok kebaktian
Jumlah anggota jemaat: 420.529 jiwa
Jumlah pendeta: 630 orang
Jumlah pelayan lainnya: 1915 orang
Jumlah pelayan kategorial: 400 orang
Kantor Pusat
Kantor Pusat Badan Pekerja Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah