Gereja Protestan Minahasa atau Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (disingkat KGPM) adalah kelompok gereja Kristen Protestan di Indonesia, yang berkantor pusat di Jl. 5 September No. 6, Manado, Sulawesi Utara.
Sejarah
KGPM lahir sebagai bentuk kesaksian kepada Indische Kerk yang dinilai hadir sebagai alat untuk mengukuhkan dominasi pemerintahan penjajah di Indonesia. Didorong oleh rasa nasionalisme yang kuat, maka pada 25 Maret 1933 dalam suatu rapat di Manado, diputuskan untuk mendirikan satu sinode gereja dengan nama Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Pengurus yang terpilih pertama kali pada waktu itu adalah J. Jacobus (ketua), Z. Talumepa (wakil ketua), B. W. Lapian (Sekretaris), dan N. B. Pandean (Bendahara). Kemudian, KGPM melepaskan diri dari Indische Kerk pada 29 Oktober 1933 dan sejak itu menyatakan diri sebagai gereja yang berdiri sendiri.
Situasi Yang Mempengaruhi Berdirinya KGPM
Muncul dan berdirinya KGPM pada tahun 1933, sebagai satu gereja di Minahasa, merupakan jawaban atas berbagai masalah yang ada pada Gereja Negara (Indische Kerk) yang menguasai kehidupan kerohanian jemaat-jemaat protestan sejak permulaan abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20. Namun, kelahiran KGPM itu tidaklah secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses perjuangan yang cukup lama dengan dasar dan latar belakang yang kuat seperti: kepincangan/kelemahan Indishe Kerk (aspek gerejawi/rohani), kepincangan social dan situasi perjuangan bangsa Indonesia ketika itu (aspek politik).
Berbagai kelemahan dan kepincangan itu dihayati oleh jemaat-jemaat dan kemudian sadar, bahwa hal-hal itu harus diatasi. Lahirlah gagasan untuk memperbaiki dan mengadakan perubahan atas cara kerja Indische Kerk yng mana usah-usaha itu pada puncaknya ditandai dengan berdirinya KGPM, sebagai gereja yang berusaha berbuat untuk mengikis segala kepincangan yang dialami dlam kehidupan gereja. Itulah yang kemudian dilakukan KGPM kemudian dengan berusaha menumbuhkan dan mengembangkan sikap serta nilai yang bertentangan dengan apa yang berkembang dalam Indische Kerk.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan KGPM adalah ingin mengembalikan gereja pada misinya, yakni mewujudkan karya penyelamatan umat-Nya dan bukan sebaliknya, gereja dengan birokrasinya berlaku sebagai lembaga pemerintah yang menindas dan membelenggu kemerdekaan jemaat-jemaat dalam sikap dan bertindak dengan penuh percaya diri dalam beribadah.
Perjuangan nasional seperti berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang diikuti munculnya organisasi politik, kepemudaan maupun keagamaan yang tujuannya untuk mencapai kemerdekaan seperti Serikat Islam (1912), PNI (1927) ikut juga memberi motivasi bagi keinginan untuk mendirikan sebuah gereja yang benar-benar merdeka baik oleh orang-orang Minahasa maupun orang Minahasa yang berada di luar daerah seperti Rukun Minahasa yang berdiri di Semarang dengan tujuannya untuk mempertinggi tingkat kehidupan rakyat Minahasa, terutama menyokong pengajaran dan pendidikan serta memajukan ekonomi rakyat.
Pada tahun 1927 Rukun Minahasa ini pecah menjadi dua bagian. Pertama, kelompok orang Minahasa yang berstatus militer di bawah pimpinan J. H. Pangemanan. Kedua, kelompok sipil orang Minahasa dengan nama Persatuan Minahasa dipimpin oleh GSSJ. Ratulangi. Pada tahun 1928 Persatuan Minahasa menyatakan menuju Indonesia Merdeka.
Perkembangan perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, jelas sangat mempengaruhi kehidupan gerejawi, khususnya Indische Kerk yang pada saat itu beruntung mendapatkan sorotan dan kecaman dari berbagai pihak yang berhasrat untuk memperbaiki gereja serta diperkuat oleh semangat bangsa Indonesia yang ingin merebut kemerdekaan. Bahkan, berkeinginan mendirikan gereja yang merdeka, dalam konteks wawasan nasional terlepas dari ikatan gereja protestan.
Dalam mencermati situasi dan perkembangan perjuangan bangsa Indonesia, kaum nasionalis Minahasa dapat memberikan penilaian, bahwa:
- Terlambatnya perwujudan kemerdekaan Indonesia itu disebabkan oleh sangat tipisnya rasa kebangsaan dari sebagian rakyat Minahasa. Hal itu disebabkan mental kolonial sudah begitu tebal, akibat pembinaan secara teratur melalui gereja protestan (Indische Kerk).
- Perjuangan kemerdekaan bangsa dan tanah air harus simultan dengan perjuangan memperoleh kemerdekaan rohani. Karena itu perlu diusahakan lebih dahul kemerdekaan rohaniah kemudian dibina kemerdekaan tanah air di kalangan masyarakat.
- Perjuangan memperoleh kemerdekaan dapat pula dilaksanakan melalui lembaga gereja, sebab dari pengalaman selama itu,pihak pmerintah kolonial telah menyalahgunakan tugas gereja, yakni dengan menjadikan gereja sebagai tempat tutupan kepentingan politik kolonial
- Perlu diadakan usaha pembinaan mental, dar mental kolonial ke mental nasional melaluian lembaga gereja yang merdeka dan berwawasan nasional terlepas sama sekali dari Indische Kerk.
Usaha Mendirikan Gereja Otonom
Lambertus Mangindaan
Usaha perintisan mendirikan gereja otonom dimulai dari Dominggus Lambertus Mangindaan (asal Pondang, Minahasa Selatan). Pada tahun 1858 dia selesai menempuh pendidikan teologia I Rotterdam Negeri Belanda. Dia membawa dua ijazah yaitu Hoofdacte(ijazah kepala sekolah) dan Domine (pendeta). Dia dikirim belajar ke Rotterdam tahun 1848 oleh Zendeling CT Herman yang bertugas di Amurang. Setelah kembali dia sebagai utusan Injil NZG. Diangkat oleh Indische Kerk sebagai pendeta di Tikala, Manado dan wakil Predikant Manado.
Pada khotbah awalnya, Lambertus Mangindaan sudah mengumandangkan Gereja Minahasa berdiri sendiri dengan alasan tertulis dalam Alkitab Yohanes 9:5, 8:12, 12:36, yaitu Yesus Kristus Terang Dunia. Usaha ini terus diperjuangkannya. Dia mendapat simpati dari Zendeling HJ Tendelo di Amurang (1857-1862), AC Schaafmn Langowan (1860-1870), JAT Schwarz di Sonder (1866-1905) dan CJ Van de Lufde di Amurang (1861-1898).
Aksinya ini membuat dia diberhentikan dari jabatannya dengan alasan:
- Ia pribumi, dianggap lebih rendah dengan petugas bangsa Belanda.
- Ia diprotes menjadi wakil Predikant di Manado.
- Ia berjuang untuk mendirikan Gereja Minahasa berdiri sendiri. Tidak disetujui oleh petugas Gereja di Eropa dan dianggap tidak layak memberitakan injil pada suku bangsanya.
Joel Walintukan dan Wellem Sumampouw
Joel Walintukan berasal dari Wuwuk dan Amurang (Minahasa Selatan) adalah seorang guru Kweekschool NZG di Tanawangko. Pada tahun 1886 dipindahkan ke Kuranga, Tomohon. Dia menentang penyerahan jemaat-jemaat ke Indische Kerk dan berjuang mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Dalam perjuangannya dia dibantu oleh Willem Sumampouw (Tonsea Lama) yang ada guru pertukangan di Kweekschool dan pengikutnya para guru NZG yang merangkap sebagai guru jemaat. Karena tindakannya, maka dia diberhentikan pada tahu 1890 dan digantikan oleh AM Pangkey (Kawangkoan Bawah) yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Sekolah di Pondang Amurang. Setelah Joel Walintukan diberhentikan, Wellem Sumampouw juga kembali ke Amurang dan berdagang hasil bumi dia kemudian menikah dengan Nona Tumbuan di Wakan. Di desa Wakan dia berusaha menanamkan ide tentang pendirian Gereja Minahasa Berdiri Sendiri.
Perserikatan Pangkal Setia
Pada tahun 1912, A. M. Pangkey dan J. U. Mangowal (Sonder) yang adalah guru di Kweekschool Kuranga Tomohon membentuk Perserikatan Pangkal Setia. Pangkal Setia didirikan untuk memajukan pengajaran Kristen, memperhatikan kepentingan sekutunya dan memperkuat hubungan dengan Belanda
Pada 12 Juli 1920 Perserikatan Pangkal Setia diakui sah sebagai organisasi oleh pemerintah dengan diterbitkannya besluit No. 31 dari Gubernur Jenderal Nederland di Betawi (Jakarta). Tapi pada tahun 1921 Perserikatan Pangkal Setia mulai berusaha kearah pembentukan Gereja Minahasa berdiri sendiri lepas dari Indische Kerk.
Tahun 1928 Perserikatan Pangkal Setia dikembangkan untuk umum dengan dipelopori guru-guru NZG. Pada tahun itu B. W. Lapian menduduki posisi sebagai Wakil Ketua. Pada waktu itu Pangkal Setia sudah ada cabang-cabangnya. Perjuangan Pangkal Setia pada tahun 1921 disetujui pegawai NZG (Heiebink Rooker, G. B. Tiekstra, B. Barends ten Kate dan Jansen Klomp). Mereka meminta Kweekschool Kurang yang akan menjadi dasar dari Sekolah Pendeta Minahasa yang dibuka pada 1 Juli 1927 dan pelaksanaannya dibuktikan dengan pengiriman Ds. J. E. Stap yang tiba bulan November 1927 di Tomohon. Dia menjadi direktur asrama yang menampung 55 orang siswa kelas III, termasuk J.G. Mangindaan dan Ds. J. E. Stap dibantu isterinya Nyonya Stap Glader.
Pada bulan Juli 1922 Direktur Sekolah Barends ten Kate memberitahu kepada siswa kelas III bahwa mereka adalah kelas yang terbaik dan menjadi siswa pertama dari sekolah pendeta itu dengan lamanya studi selama 2 tahun. Tapi para siswa minta agar mereka belajar selama 3 tahun supaya pelajaran lebih luas dan tinggi. Mereka ini yang akan menjadi pendeta-pendeta Gereja Minahasa berdiri sendiri yang didirikan oleh Pangkal Setia. Kebaktian Gereja Minahasa Berdiri Sendiri dimulai A M Pangkey di Kuranga, Tomohon pada bulan Juli 1925 dan dilanjutkan pada setiap hari Minggu. Pada tahun itu juga disusunlah Peraturan Gereja (Peraturan itu setelah diadaptasi menjadi Peraturan KGPM). NZG juga dimintakan supaya mengambil alih jemaat-jemaat di Minahasa, dengan alasan Indische Kerk tidak melaksanakan amanat setelah surat timbang terima pada 1880 untuk mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri.
Gerakan Pangkal Setia ini pada triwulan I tahun 1926 ditentang oleh Predikant Ds E.A De Vreede dan Inlandsch Leraren Bond melalui Kerk Bestuur. Gubernur Jenderal dan Menteri Kolonie Colyn di Belanda mendesak dibatalkan. Akibatnya J. E. Stap memperpadat pelajaran teologia sehingga pendidikan bisa selesai pada April 1926 dan ujian pada Mei 1926. Usaha mendirikan Gereja Minahasa berdiri sendiri akhirnya juga kandas, J. U. Mangowal yang diutus ke Batavia tidak menghasilkan apa-apa seperti yang dialami oleh Joseph Jacobus.
Nlandsch Leraren Bond
Penolong-penolong Injil dari Indische Kerk mulai menyadari betapa pentingnya usaha yang sedang dilaksanakan oleh Pangkal Setia, Majelis Gereja di Manado serta beberapa tokoh masyarakat lainnya. Maka pada tahun 1928 dibentuklah di Manado Organisasi Persatuan Penolong-penolong Injil dengan dana dari Nlandsch Leraren Bond atas usaha dari Talumepa. Salah satu tujuan organisasi ini ialah mendukung lagi mempekukuh usaha Pangkal Setia guna pendirian gereja otonom buat Minahasa.
Kaum Nasionalis
Para tokoh nasionalis juga mempunyai peran dalam mempengaruhi rakyat Minahasa untuk mendirikan gereja berdiri sendiri. Tokoh-tokoh itu seperti Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, B. W. Lapian (ayah dari Adrian B. Lapian) dan lain-lain.
B.W. Lapian menilai perjuangan menuju Indonesia merdeka sangat berat, karena itu dia mau berjuang melalui gereja. Karena itu dia bercita-cita untuk mendirikan gereja yang berdiri sendiri. Sedangkan GSSJ. Ratulangi yang waktu itu adalah anggota Volksraad (DPR) di Jakarta diminta untuk bisa memperjuangkan aspirasi warga Minahasa ini di pusat.
Pembentukan KGPM
Sekitar tahun 1931 dan 1932 gerakan keluar dari Indische Kerk semakin meluas dan semakin hangat dibicarakan di kalangan masyarakat. Gerakan ini semakin kuat karena pemerintah tidak mau melepaskan gereja dari Negara dan akan mengabil alih kembali NZG pada tahun 1930.
Dalam kondisi seperti itu Komisi Reorganisasi (Komisi XII) dibentuk Ds. De Vreede tepat melaksanakan tugas. Pada tahun 1932 Komisi XII memutuskan mengangkat GSSJ. Ratulangi, R. Tumbelaka dan Mr. A. A. Maramis, sebagai wakil masyarakat untuk memperjuangkan kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia berdirinya gereja otonom di Minahasa.
Pada bulan Agustus 1932 Perserikatan Pangkal Setia mengundang Majelis Gereja Manado dan lain-lain mengadakan rapat besar di Kuranga, Tomohon dengan keputusan:
- Membentuk Gereja Minahasa berdiri sendiri, dengan pemimpin orang Minahasa.
- Dibentuk Panitia Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Panitia ini bertugas untuk persiapan berdirinya gereja otonom, dengan sembilan anggota:
- Ketua: Josef Jacobus (Ketua Pengadilan Negeri Manado),
- Wakil ketua: Zacharias Talumepa (pensiunan Inlands Leraren Bond),
- Sekretaris: B. W. Lapian (Pangkal Setia).
- Anggota-anggota:
- A. Kandou (pensiunan School Opziener),
- B. Warouw (pensiunan Hoof Opziener),
- E. Sumampouw (pensiunan guru Manadosche School),
- A. E. Tumbel (pensiunan guru Manadosche School),
- P. A. Ratulangi (pensiunan Kepala Distrik)
- J. L. Tambajong (pensiunan Kepala Distrik).
Pada 11 Maret 1933 bertempat di Sicieteit Harmoni (sekarang Bank BNI 1946) yang dulunya dikenal dengan jalan Juliana Lau kemudian jalan Hatta, berkumpullah 75 orang tokoh gereja dan tokoh masyarakat seperti: J. U. Mangowal, J. Jacobus, F. E. Kumontoy, dr. C. Singal, d.r A. B. Andu, Z. Talumepa, N. B. Pandean, B. W. Lapian, R. C. Pesik dan lain-lain. Mereka bertemu dengan GSSJ Ratulangi yang memimpin pertemuan. Pertemuan itu membicarakan pemisahan gereja dan Negara dan tuntutan untuk segera mendirikan Gereja Protestan Minahasa.
Meski belum mendapat restu dari pemerintah Belanda untuk mendirikan gereja berdiri sendiri, namun para peserta telah sepakat mendirikan gereja otonom. Dengan memilih Josep Jacobus menjadi formatur tunggal sebagai ketua badan dan membentuk pengurusnya. Hasil ini diminta disampaikan oleh Sam Ratulangi pada sidang Volksraad berikut. Pertemuan ini sempat heboh setelah diberitakan dalam media melalui Mingguan Pikiran Pangkal Setia, Keng Hwa Poo, Menara, Pewarta dan media lain.
Pertemuan dilanjutkan seminggu kemudian yakni 18 Maret 1933 di rumah Joseph Jacobus di Tikala Manado. Pertemuan ini tidak lagi dihadiri oleh Sam Ratulangi, Mr. A. A. Maramis dan Tumbelaka karena mereka telah kembali ke Batavia. Pada pertemuann ini berhasil ditetapkan Badan Pengurus Organisasi Gereja dan nama pengurus organisasi gereja.
Susunan Organisasi:
- Pengurus Badan Organisasi:
- Ketua: Joseph Jacobus,
- Wakil Ketua: Zacharias Talumepa,
- Sekretaris: B. W. Lapian,
- Bendahara: A. K. Kandou.
- Pembantu-pembantu: B. Warouw, E. Sumampouw, P. A. Ratulangi, E. A. Tumbel dan J. L. Tambajong.
- Badan Pengembalaan: Zacharias Talumepa, H. Sinaulan dan N. B. Pandean.
- Badan Penasihat: GSSJ Ratulangi, A. B. Andu, Ch. Singal dan A. Mononutu.
- Badan Pendamping: J. U. Mangowal, A. M. Pangkey dan H. M. Pesik.
Nama organisasi yang disepakati waktu itu adalah: KERAPATAN GEREJA PROTESTAN MINAHASA disingkat KGPM.
Pada tanggal 21 April 1933 atas dorongan Sam Ratulangi diadakan pertemuan yang dikenal dengan nama Kongres Rakyat di Gemeente Bioskoop Manado (dikenal dengan gedung Manguni, Balai Pertemuan Umum atau sekarang Hotel Plaza Manado). Pertemuan ini dihadiri kurang lebih 70 orang dari latar belakang politik yang berbeda, termasuk pada pendeta, penolong injil syamas, tokoh Indische Kerk Minahasa dan Badan Pengurus KGPM. Ikut juga 12 organisasi yakni: Pangkal Setia (1915), PIKAT (1917), Partai Nasional Indonesia (1927), Persatuan Minahasa (1927), Inlandsch Leraren Bond (1928), Permufakatan Kaum (1930), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia Raya, Partai Indonesia, Partai Bangsa Indonesia, Manangkung Nusa dan Persatuan Pakasaan.
Pertemuan ini sempat menimbulkan sikap pro dan kontra. Kongres Rakyat bersama Badan Pengurus KGPM diprotes oleh Ds. De Vreede dan dia meminta agar itu dibubarkan, termasuk Badan Pengurus KGPM. Bahkan 12 organisasi yang hadir dipanggil dan diperiksa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Akibat upaya itu sempat menghambat upaya pembentukan KGPM karena merasa tidak mendapat dukungan politik dan harus bubar karena tidak ada AD dan ART. Tapi Pangkal Setia akhirnya menjadi KGPM di bawah lindungannya. Maka, KGPM menggunakan Peraturan Gereja dari Pangkal Setia.
Jemaat Mula-mula KGPM
Setelah peristiwa 23 April 1933 yang berbuntut pada larangan yang dilakukan pemerintah Belanda, tetapi tertolong oleh karena KGPM masuk dalam organisasi binaan Pangkal Setia, keinginan untuk mendirikan gereja otonom semakin kuat. Malahan Pangkal Setia sejak 8 Juni 1933 memulai pertumbuhannnya dengan tetap melaksanakan ibadah setiap hari Minggu dan hari-hari biasa. Ibadah masih dilaksanakan di rumah-rumah. Sewaktu-waktu dilaksanakan juga kebaktian Padang seperti di Wawonasa bertempat di kebun N. B. Pandean. Sementara itu, pada beberapa jemaat Indische Kerk di Minahasa mulai terjadi perselisihan-perselisihan atau masalah-masalah lain yang mendorong jemaat untuk mencari jalan keluar seperti yang terjadi di desa Tetey dan desa Wakan. Akibatnya banyak jemaat yang meminta agar Badan Pengurus KGPM bisa menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Tapi Ketua Badan Pengurus KGPM Joseph Jacobus tetap pada pendiriaannya menunggu keputusan dari Batavia.
Namun pendiriannya ini berubah ketika datang utusan dari desa Wakan yang meminta perlindungan pada KGPM. Untuk memenuhi keinginan warga desa Wakan Joseph Jacobus tidak bisa karena menderita sakit, sehingga dia menugaskan Sekretaris Badan Pengurus KGPM B. W. Lapian untuk menunggu desa Wakan. Namun B. W. Lapian meminta mandat sebagai ketua untuk mengunjungi Wakan. Permintaan itu dipenuhi oleh Joseph Jacobus. Kepergian B. W. Lapian tidak terikat pada keputusan mau bekerjasama dengan Indische Kerk. Sehingga setelah melalui pertimbangan bahwa tidak kesepakatan dari rencana semula dan melihat geagat Belanda yang tidak peduli selama 6 bulan (pasca pertemuan 21 April 1933), maka pada tanggal 29 Oktober 1933 dia memproklamirkan KGPM sebagai gereja merdeka dan otonom dengan jemaat Wakan sebagai jemaat mula-mula dan lepas dari ikatan dengan Indische Kerk. Sejak itulah KGPM akhirnya resmi berdiri sebagai gereja otonom di Minahasa sebagaimana yang dicita-citakan sejak tahun 1800an oleh Lambertus Mangindaan.
Pertumbuhan dan Perkembangan KGPM
Pemerintah Belanda dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kebangkitan KGPM. Pasca pertemuan 21 April 1933 Belanda terus meningkatkan pengawasan. Tindakan-tindakan tegas akhirnya dilakukan setelah diproklamirkannya KGPM yang ditandai dengan diterimanya sidang jemaat Wakan sebagai anggota gereja KGPM yang pertama. Karena itu pihak Belanda terus berupaya untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan KGPM.
Namun, peristiwa di Wakan disambut positif rakyat di Minahasa. Tak heran meski berada di bawah tekanan, dalam kurun waktu 3 tahun (1933-1936) jumlah sidang jemaat di KGPM sudah mencapai 72 sidang.
Pemerintah Belanda melalui De Vreede terus melakukan penghambatan yang dilakukannya adalah dengan mengeluarkan pengumuman bahwa KGPM bukanlah gereja yang sah sehingga surat pemandian yang dikeluarkan tidak sah. Surat permandian dijadikan alat karena pemerintah Belanda ketika itu untuk mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk harus mengikutsertakan surat permandian juga akta kelahiran. Tidak itu saja, perkawinan di KGPM dinyatakan tidak sah. Selain itu, pihak Belanda juga melakukan siasat adu domba antar jemaat di Minahasa dengan melalui propaganda.
Di samping itu pula, ketika Gubernur Jenderal Belanda mengunjungi Minahasa pada tahun 1934 dia membawa persetujuan Ratu Belanda untuk mendirikan Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) pada 30 September 1934 dengan alasan memenuhi permintaan rakyat Minahasa untuk mendirikan gereja otonom di Minahasa. Di kalangan petinggi KGPM melihat “sikap baik itu” hanyalah untuk menghambat perkembangan KGPM dengan cara mengadu-domba sesama masyarakat Minahasa.
Setelah sidang Wakan secara berturut-turut muncul 6 sidang pelopor yakni, Sidang Karimbow (5 November 1933), Sidang Tompasobaru (12 November 1933), Sidang Tetey (19 November 1933), Sidang Tompaso (10 Desember 1933), Sidang Kawangkoan (7 Januari 1934) dan Sidang Wuwuk (7 Juli 1934).
Sidang Raya Ke-32 Tahun 2010
Sidang Raya (SR) ke-36 KGPM berlangsung dari tanggal 30 Juni sampai 5 Juli 2010, bertempat di jemaat KGPM Sentrum, Kawangkoan. Sidang yang secara resmi dibuka oleh Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang itu diikuti seluruh pucuk pimpinan KGPM se-Indonesia, melibatkan sekitar 1000 peserta dan dihadiri ribuan anggota jemaat KGPM yang tersebar diseluruh pelosok Minahasa guna membicarakan program gereja kedepan.
Pada pemilihan Pucuk Pimpinan yang baru KGPM posisi Ketua Umum tetap dipercayakan kepada Gbl Tedius K Batasin, sementara Gembala Fetrisia Aling MTH terpilih sebagai Sekretaris Umum (Sekum) menggantikan Sekum lama Gembala Ferry Liow STh, Bendahara Umum Pnt Charles Tumbel SE Ak dan Ketua Majelis Gembala juga tetap dipercayakan kepada Gbl Joppy Laloan MTh., untuk pelayanan di tingkat Pucuk Pimpinan selama lima tahun ke depan.[1][2][3]
Terbentuknya Jemaat KGPM Pertama
Gereja "Wale Pinaesaan” di Wakan
Gereja Negara ( Staatskerk ) Indische Kerk.
1. Tahun 1853 Pemerintah Kerajaan Belanda Willem Van Oranye I dengan mempergunakan kekuasaan Negaranya mempersatukan berbagai Gereja di Indonesia termasuk Minahasa menjadi satu bentuk Gereja Kesatuan dengan nama Protestans Indische Kerk atau Gereja Protestan Hindia Belanda yang kemudian dikenalkan dengan nama singkatan Indische Kerk. Karena Indische Kerk ini berdiri atas prakarsa dan kekuasaan Pemerintah Belanda, maka status Gereja ini adalah Gereja Negara di pimpin oleh Pengurus Besar yang dibentuk dan dibawah perintah kekuasaan Pemerintah penjajah yaitu Gubernur Jenderal berkedudukan di Batavia ( Jakarta ). Semua anggota pengurus Pejabat Gereja, Pendeta, Penolong, Guru Injil di angkat menjadi Pegawai Negeri digaji oleh Pemerintah.
Gubernur Jenderal melantik, membentuk Kerk Bestuur pengurus Gereja. Gedung Gereja dibangun oleh Pemerintah penjajah dibiayai oleh Kas Negara. Semua tugas Gereja harus dilakukan sesuai dengan kebijaksanaan Gubernur Jenderal / Pemerintah.
2. Status Jemaat Dan Gereja Di Wakan.
Sebagaimana struktur dan status Gereja Indische Kerk di Minahasa yang dibawah pimpinan dan kekuasaan Pemerintah penjajah, demikianlah juga yang berlaku dengan Jemaat Indische Kerk di Wakan. Guru Jemaat di Wakan bekerja dibawah perintah dan pengawasan ketat dari Pendeta Wilayah Amurang berbangsa Jerman yaitu Pendeta Tiel berkedudukan di Amurang. Semua Pejabat Gereja di Wakan di paksa harus menaati Peraturan – Peraturan, dari Pengurus Besar, Pucuk Pimpinan Indische Kerk yang juga harus tunduk pada Pemerintah / Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi Indische Kerk di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta.
Inilah struktur Pemerintah Gereja Indische Kerk yang dikenal dengan system “Sinodal” dimana Jemaat harus tunduk pada perintah dari atas ke bawah ( top down ) Yaitu Pimpinan Sinode Indische Kerk yang disebut Pengurus Besar, Pucuk Pimpinan.
Dari penjelasan tersebut diatas terlihat pola hidup Gereja Negara dengan struktur kepengurusan Sinodal Indische Kerk itu, ternyata Gereja diperalat Pemerintah untuk menguasai orang – orang Minahasa agar tunduk pada perintahnya.
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan amanat Tuhan karena Jemaat hanya berfungsi alat untuk menghidupkan kepemimpinan Gereja Sinodal, sekaligus mempermudah Pemerintah penjajah untuk berkuasa di tanah Toar Lumimuut.
E. Indische Kerk Di Minahasa.
Di sekitar tahun 1876 s / d 1882 Gereja di Minahasa mulai dialihkan atau diserahkan oleh NZG menjadi asuhan dibawah Indische Kerk karena NZG tidak sanggup lagi membiayai usaha perkembangan Gereja di Minahasa yang sangat pesat kemajuannya. Dalam penyerahan Gereja tersebut, sebagian besar dari sekolah – sekolahnya tetap menjadi tanggung jawab NZG yang dikenal dengan singkatan Zending. Dalam hal ini terjadinya persaingan ketat antara Guru – Guru Zending ( swasta ) dengan Guru – Guru sekolah Pemerintah / sekolah Gubernemen, Pegawai Negeri. Guru – Guru sekolah Pemerintah / Gubernemen mendapat bayaran gaji lebih tinggi dari Guru – Guru sekolah Zending yang juga berfungsi sebagai Guru Jemaat. Adanya persaingan ini menjadi faktor penyebab pertentangan antara dua kelompok yaitu sekolah Zending dengan pihak Indische Kerk yang mengasuh sekolah – sekolah Gubernemen / Pemerintah. Kelompok Guru – Guru Zending inilah yang kemudian menjadi pelopor dalam usaha mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri melalui Organisasi mereka yang dikenal dengan nama: “Perserikatan Pangkal Setia” di Tomohon.
F. Permasalahan.
Berdasarkan pokok – pokok pikiran tentang metode dan tujuan penyusunan sejarah tersebut diatas, maka Jemaat Minahasa khususnya Jemaat Wakan mulai menyadari bahwa urusan Gereja urusan mereka juga bukan harus bergantung pada Pemerintah penjajah. Artinya urusan Gereja harus lepas dari campur tangan Pemerintah sesuai ajaran Reformator Marten Luther / Gereja Kristen Protestan.
Oleh karena itu perlu suatu usaha perbaikan dan perubahan dalam sistem Organisasi kehidupan Gereja Kesatuan Indische Kerk. Tetapi bagaimana dan dari mana dimulai dan oleh siapa? Ini merupakan suatu problema besar dan serius yang tidak mudah untuk dipecahkan.
Masalahnya:
• Pertama: mengenai pembiayaan Gereja pasti akan mengalami kesulitan bilamana harus menanggung sendiri biaya hidup Gereja diluar Pemerintah / Kas Negara.
• Kedua: dilihat dari segi politis adalah tidak mungkin melawan dan melanggar Peraturan – Peraturan Pemerintah penjajah. Berani melawan berarti masuk penjara dan untuk mencapai usaha perbaikan kehidupan Gereja di luar pengawasan Pemerintah penjajah harus melalui proses pemahaman perkembangan situasi dan kondisi Gereja dan Perjuangan Bangsa Indonesia.
Bab 3. Perintis Berdirinya Gereja Minahasa Otonom.
A. Usaha Mengadakan Perubahan.
Usaha mengadakan perbaikan dan perubahan kehidupan Gereja pada pertengahan abad ke 19 mulai muncul putra – putra Minahasa yang telah menyadari perlunya mengadakan perubahan dan perbaikan dalam hal ini kehidupan Gereja dan Jemaat.
1. Perintis DS. Lambertus Mangindaan.
Pada tahun 1858, DS. Lambertus Mangindaan asal Pondang Amurang tiba di Manado dari Rotterdam Belanda dengan membawa dua ijazah hasil studi 10 tahun yaitu ijazah Domine dan ijazah Guru Hoofd akta.
Beliau kemudian diangkat oleh Indische Kerk menjadi Pendeta di Tikala dan Manado dan sebagai Wakil Predikant Indische Kerk berkedudukan di Manado. Dalam khotbahnya pertama di Tikala ia kumandangkan dan menjelaskan betapa pentingnya suatu Gereja di Minahasa Berdiri Sendiri berdasarkan pada pembacaan Alkitab yakni Injil Yohanes 8:12,13 dan Yohanes 9:5.
2. Perintis Yo’el Walintukan.
Penyerahan pengurus Gereja dari NZG tahun 1876 kepada Indische Kerk pada tahun 1879-1880 ditentang oleh seorang Guru Kweekschool Tanawangko bernama Yo’el Walintukan asal Wuwuk, sebagai usaha mempropagandakan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri yaitu ide dari DS. Lambertus Mangindaan yang juga didukung oleh Guru – Guru Zending.
Tindakan Yo’el Walintukan ini menyebabkan beliau diberhentikan dari pekerjaan sebagai Guru pada tahun 1890 dan digantikan oleh A.M. Pangkey. Beliau lalu beralih profesi menjadi pedagang hasil bumi di Amurang. Usaha Y. Walintukan ini bagaikan menanam benih yang kemudian akan bertumbuh menunggu saatnya berkembang dan berbuah.
3. Situasi Perjuangan Bangsa Indonesia.
Pada awal abad ke 20 diawali dengan kebangunan Asia, dimana kesadaran berpolitik Bangsa – Bangsa terjajah mulai bangkit. Tanggal 20 Mei 1908 berdirilah Budi Utomo yang merupakan Organisasi modern pertama Bangsa Indonesia melawan penjajah untuk merebut Kemerdekaan dan Kedaulatannya.
4. Pada tahun 1912 A. M. Pangkey dan J. U. Mangowal mendirikan perkumpulan bernama “Perserikatan Pangkal Setia” di Tomohon, dipelopori oleh Guru – Guru Zending dengan maksud memajukan ajaran Kekristenan dan setia pada cita – cita DS. Lambertus Mangindaan dan Yo’el Walintukan untuk mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri.
5. Tahun 1918 lahir Organisasi kepemudaan “ Yong Minahasa” dan diluar Minahasa yaitu di pulau Jawa terbentuk Organisasi “Persatuan Minahasa” dengan tokoh utamanya DR. G.S.S.J Ratulangi. Juga lahir beberapa Organisasi sosial politik lainnya dengan maksud menentang penjajahan Belanda di bumi Indonesia. Kaum Nasionalis Minahasa menilai bahwa sebaiknya usaha dulu pembinaan MENTAL NASIONAL melalui wadah Gereja mereka, baru dilanjutkan dengan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa dan Tanah air.
6. Peranan Kaum Kristen Nasionalis.
Gagasan mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri sejak abad ke - 20, telah mulai tersebar luas dikalangan Rakyat Minahasa. Situasi ini adalah pengaruh Tokoh – Tokoh Kristen Nasionalis di Minahasa antara lain: DR. G.S.S.J. Ratulangi, DR. R Tumbelaka, Mr A.A. Maramis, B.W. Lapian, A.M. Pangkey, Josep Yakobus, dll. Yang dihubungkan dengan tujuan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan usaha mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri, lalu dikaitkan dengan gagasan pemisahan Gereja dari Negara ( Zending Van Straat En Kerk ) yang lepas atau terpisah dari Indische Kerk.
Tahun 1928 DR. G.S.S.J. Ratulangi anggota Volksraad / DPR mulai melancarkan aksi – aksi politik yang berkaitan dengan Perjuangan pembentukan Gereja Minahasa Merdeka dan pemisahan Gereja dari negara melalui persidangan Dewan Perwakilan Rakyat / Volksraad. Begitu pula B.W. Lapian, anggota Dewan Minahasa Raad / DPRD Minahasa menyalurkan cita – cita Nasionalnya untuk merealisasikan Gereja Merdeka melalui usaha – usaha yang dirintis oleh Perserikatan Pangkal Setia, diwaktu tahun 1928 beliau menjadi Ketua.
Mereka berpendapat memperjuangkan Kemerdekaan Bangsa akan mengalami kesulitan kalau mental spritual masih terjajah. Jiwa kebangsaan Jemaat harus dibangkitkan kembali melalui jalur Gereja yang Merdeka Berdiri Sendiri.
B. Sikap Pemerintah Penjajah Dan Indische Kerk.
1. Baik Pemerintah penjajah maupun pihak Indische Kerk tidak mau melayani aspirasi Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Kristen Minahasa, karena aparat pelaksananya masih tetap melaksanakan kepentingan politik penjajah yang terkenal dengan istilah Devide Et Empera yaitu politik pemecah belah. Namun demikian kelompok – kelompok pelopor pejuang cita – cita Rakyat Minahasa untuk mendirikan Gereja Minahasa Merdeka tetap harus dilanjutkan. Kelompok Majelis Gereja Indische Kerk di Manado turut memperkuat Perjuangan Perserikatan Pangkal Setia merintis mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri.
2. Pada tahun 1926 terjadi pertentangan antara Guru – Guru Zending dengan pegawai – pegawai Indische Kerk. Pokok persoalan ialah Pendeta – Pendeta Indische Kerk melarang menggunakan gedung Gereja untuk dipakai untuk sekolah. Larangan itu berlaku juga di Wakan. Selain itu status Guru – Guru sekolah Zending dianggap rendah dan gaji lebih rendah dari Guru – Guru sekolah Gubernemen atau Pemerintah.
Pertentangan itu terus berlanjut sampai tahun 1932, dimana sekolah – sekolah Zending ( NZG ) hendak diambil oleh Indische Kerk, tetapi sangat ditentang keras oleh Guru – Guru Zending. Sebab dengan penyerahan ini akan membawa akibat buruk bagi mereka.
C. Kesimpulan Tentang Usaha – Usaha Mendirikan Gereja Merdeka Berdiri Sendiri.
Sebagai kesimpulan dari berbagai Perintisan mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri dimasa lampau yang di mulai sejak pertengahan abad ke – 19 tercatat beberapa peristiwa secara kronologis sebagai berikut:
1. Tahun 1858 DS. Lambertus Mangindaan melalui khotbahnya di Tikala Manado mengumandangkan gagasan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri mengakibatkan beliau diberhentikan dari jabatan sebagai Wakil Predikant Indische Kerk Manado. Dengan alasan karena dia pribumi, diprotes oleh petugas Gereja Eropa lainnya bahwa ia tidak layak menjadi Wakil Predikant Indische Kerk dan beliau berjuang untuk mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Dengan demikian usaha gagasan tersebut gagal dan tidak dapat dilanjutkan. Ia dipecat dari jabatannya sebagai Wakil Predikant.
2. Tahun 1890 DS. Yo’el Walintukan sekembalinya dari studinya di Negeri Belanda beliau menggunakan kesempatan untuk menyelidiki kehidupan kerohanian Jemaat Minahasa kemudian berusaha berjuang mendirikan “Gereja Maesa” Berdiri Sendiri di Popontolen. Akibat dari aksi ini beliau dipecat dari jabatannya sebagai Guru. Dengan demikian usahanya pun mengalami kegagalan, tetapi cita – citanya tidak menjadi padam.
Beliau lalu beralih profesi menjadi pedagang hasil bumi di Amurang, lalu menikah dengan nona S. Tumbuan di Wakan dan tinggal untuk sementara waktu disana. Selama di Wakan beliau menerangkan kepada Jemaat di Wakan tentang arti dan maksud Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Semangat Yo’el Walintukan ini tetap tertanam di hati sanubari masyarakat / Jemaat Wakan dan menjadi momumental Perjuangan, dimana 43 tahun kemudian menjadi kenyataan berdirinya satu Gereja Merdeka Berdiri Sendiri di Wakan terpisah dari Indische Kerk tahun 1933.
3. Tahun 1911 para Majelis Gereja Indische Kerk di Manado dibawah pimpinan Joseph Jakobus pensiunan Jaksa Kepala di Manado terpanggil untuk mempelopori perbaikan dan pembaharuan atas kelemahan Gereja – Gereja Protestan di Minahasa. Joseph Jakobus diutus ke Batavia ( Jakarta ) menyampaikan petisi mereka kepada Pemerintah / Hoofd Bestuur Indische Kerk, tetapi kembali tanpa hasil. Bahkan pihak Indische Kerk tidak menghiraukan sama sekali. Dengan gagalnya petisi yang diajukan itu maka pada tahun 1912 Majelis Gereja Manado lalu bekerja sama dengan Perserikatan Pangkal Setia di Tomohon, membahas cita – cita mendirikan Gereja Minahasa yang Otonom.
4. Dengan dipelopori oleh Guru – Guru Zending ( NZG ) seluruh Minahasa pada tahun 1912 A.M. Pangkey dan J.U. Mangowal mendirikan suatu Perserikatan orang – orang Kristen dengan nama: Perserikatan Pangkal Setia berkedudukan di Tomohon. Pada tahun 1920 diakui sah sebagai Badan Hukum dengan Beslit Gubernur Jenderal No. 31 di Betawi / Jakarta. Tahun 1921 Perserikatan Pangkal Setia mulai bergerak ke jurusan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri berdasarkan anggaran dasar pasal 2 ayat 29 diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: memperbaiki kelanjutan pengajaran Kristen dalam Residen daerah tingkat I Manado. Pada tahun 1925 Perserikatan Pangkal Setia mulai kebaktian di Gereja Minahasa Berdiri Sendiri ( Zelfstanding / Independent ) tiap hari minggu di gedung sekolah Kuranga Tomohon. Dengan berpegang pada anggaran dasar pasal 15 yang mengatakan bahwa tiap – tiap rapat Perserikatan Pangkal Setia didahului kebaktian lengkap seperti di Gereja pada hari minggu dan menjalankan kolekte atau sedekah.
Ketentuan – ketentuan anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia itu dianggap mirip struktur Gereja bentuk Kongregasional / ala Robert Brown di Belanda tahun 1854 yang mengutamakan kepentingan dan aspirasi Jemaat, sistem botom up, yakni kekuasaan dari bawah ke atas, dimana kedaulatan berada pada siding / Jemaat, karena Gereja didirikan oleh Jemaatnya sendiri, mengurus rumah tangganya sendiri bukan Pucuk Pimpinan.
Pada tahun 1925 J.U. Mangowal diutus oleh Perserikatan Pangkal Setia ke Hoofd Bestuur / pengurus besar Indische Kerk di Jakarta mendesak pemberian Gereja Kristen Otonom buat Minahasa. Namun ternyata tidak membawa hasil atau jawaban positif sebagaimana yang dialami oleh J. Jakobus demikian juga terjadi pada J.U. Mangowal yang kembali dengan tangan hampa.
5. Tahun 1928 B.W. Lapian menjadi Wakil Ketua Perserikatan Pangkal Setia dan terus berusaha bergerak ke jurusan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri karena menurut pendapat Tokoh – Tokoh Nasional Minahasa seperti G.S.S.J. Ratulangi, B.W. Lapian dll bahwa Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia akan sulit tercapai kalau jiwa Jemaat masih terjajah.
A.M. Pangkey berpendapat bahwa Belanda masuk Minahasa melalui jalur Gereja, mereka pula harus keluar harus melalui jalur yang sama, melalui Gereja. Untuk itu Perserikatan Pangkal Setia membuka cabang – cabang di seluruh Minahasa termasuk di Wakan melalui Guru – Guru Zending yang tersebar di sekolah – sekolah merangkap Guru – Guru Jemaat.
6. Pada tahun 1928 juga terbentuk Organisasi Persatuan Penolong – Penolong Injil dengan nama “Inlands Leeraren Bond” atas usaha Z. Talumepa. Tujuan utama Organisasi ini ialah mendukung dan memperkokoh usaha Perserikatan Pangkal Setia mendirikan Gereja Otonom buat Minahasa dan berkewajiban Memperjuangkan nasib para anggotanya. Selain Tokoh utama Z. Talumepa terdapat juga Tokoh – Tokoh terkenal Penolong ; H. Sinaulan dan N.B. Pandean.
Demikianlah beberapa catatan penting sejarah dalam usaha mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri di Minahasa yang selama itu hingga tahun 1932 belum tercapai cita – cita yang diharapkan.
Dan bagaimanakah sejarah kelanjutan usaha perkembangan gagasan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri itu, kita ikuti Perjuangan heroik Tokoh – Tokoh masyarakat dan Jemaat Wakan yang mendirikan gedung Gereja baru kemudian menjadi Gereja Minahasa Pertama yang Merdeka Berdiri Sendiri lepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah penjajah Belanda dan Indische Kerk.
Pentingnya penulisan sejarah ini karena merupakan protes sosial para pencetus ide pelopor pendiri Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri di Wakan terhadap Organisasi Gereja Indische Kerk yang penuh kepincangan dalam aspek Gerejawi, birokrasi, sosial dan politik. Ditegaskan pula bahwa kehadiran Indische Kerk di bumi Toar Lumimuut tidak sesuai lagi dengan aspirasi Jemaat dan masyarakat Minahasa dimana mekanisme kerja penguasa Sinode Indische Kerk berorientasi pada kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda dengan perlakuan diskriminatif / perbedaan perlakuan terhadap orang Minahasa dengan orang Belanda yang secara Alkitabiah tidak sesuai dengan ajaran dan kehendak Tuhan.
Bab 4. Gagasan Membangun Rumah Gereja Baru.
A. Mengenal == Desa Wakan. ==
1. Pada ruas jalan yang berliku – liku naik gunung turun gunung melintasi lereng – lereng bukit dengan tanaman pohon nyiur terbentang ke arah selatan seberang sungai ranoyapo pada jarak 20 km dari kota kecil Amurang terletak satu desa namanya “Wakan” berada pada ketinggian 400 m di atas garis permukaan laut.
Dari suatu rekonstruksi sejarah dan pengalaman dikatakan bahwa berdirinya desa Wakan adalah bermula pada awal abad XV ketika beberapa orang Kawangkoan Sumonder berangkat menuju ke arah selatan Minahasa dengan maksud berburu rusa, babi hutan dll. Dengan persiapan dan perlengkapan untuk beberapa hari lamanya mereka berjalan kaki menuju Amurang lalu menyeberangi sungai Ranoyapo
Terus menelusuri tepian sebelah barat sungai menjelajahi hutan belantara secara terus keselatan hingga tiba di suatu lokasi yang dirasakan baik untuk mendirikan daseng / pondok kecil tempat menginap sementara yaitu ditepi sungai kecil yang bermuara ke air terjun ke sungai Tawalen.
Hasil – hasil perburuan dijual atau ditukar dengan kain – kain atau perabot rumah dan lain – lain di daerah Tomohon dan sekitarnya. Hal ini mereka lakukan terus berulangkali hingga suatu ketika mereka mendirikan tempat pemukiman untuk menetap di Mawale dengan jumlah penduduk yang kian hari bertambah banyak.
Keberadaan mereka di Mawale ini termotivasi oleh indentitas melalui sejarah dan peristiwa – peristiwa yang mengatakan mereka adalah termasuk suatu rumpun penduduk winaiyan tongau yang lebih dekat keterkaitannya dengan budaya kaum Tontembuan didesa Tawaang, Pondos, Pakuure, Boyong Atas dan sekitarnya berasal dari Minahasa tengah beragama / kepercayaan Alifuru.
Lama kelamaan melihat perkembangan dan jumlah penduduk dan didorong keinginan untuk bermukim di lokasi dekat sumber mata air, akhirnya mereka pindah ke arah timur menelusuri sungai kecil. Pada suatu lembah di kiri kanan sungai inilah mereka lalu merombak hutan dan membangun tempat pemukiman yang menjadi lokasi yang pemanent bakal menjadi desa.
Pada tahun 1450 lokasi pemukiman ini diresmikan oleh Tonaas mula – mula / temani berdirinya desa baru ini dengan nama “Wakan” ditandai dengan peletakan batu Patanein dibagian barat pekarangan keluarga Yohakim Lapian.
Nama desa Wakan berasal dari nama pohon kayu yang pada waktu itu banyak tumbuh di tepi sungai yang mengalir ditengah desa dan dikenal dengan pohon kayu Wakan.
Konon pada waktu itu ada satu batang pohon kayu Wakan yang roboh melintasi diatas sungai itu dan dijadikan Jembatan Pateten / Titian Menyeberangi Sungai / Palewetan. Dan apabila ada orang yang melakukan perjalanan tiba di desa ini dan bertanya dimana tempat Palewetan sungai ini maka selalu dijawab: “ada batang kayu Wakan yang roboh disitu dan dijadikan patetean untuk menyeberangi Kuala”. Maka jadilah desa ini di kenal dengan nama tempat petetean / palawetan, “Wakan”.
Desa Wakan ini terletak di suatu lembah di kaki pegunungan Ratowulan sebelah utara gunung Lolombuan dikelilingi perbukitan kecil Manembo, Tolaina, Inggodong, Wasian dan Leler, termasuk wilayah Kepolisian Onderdistrik ( kecamatan ) Motoling.
Menurut penuturan Bapak Alex Buyung asal Kawangkoan yang sejak tahun 1950 berdomisili di Wakan bahwa lewat percakapannya dengan tetangganya di Kawangkoan, H.M. Taulu alias Ceping hulubalang Minahasa tengah. Seorang penulis sejarah Minahasa, mengetahui bahwa desa Wakan berdiri tahun 1450 dan merupakan tempat akhir kolonisasi orang – orang Kawangkoan, Kayuuwi, Sumonder di daerah Selatan Minahasa seberang sungai Ranoyapo. Seterusnya ke arah selatan Wanga, Motoling adalah kolonisasi orang Tompaso Besar.
Itulah sebabnya bahasa daerah / bahasa Tana Tontembuan orang Wakan berbeda dengan bahasa Tana Tontembuan orang Wanga, Malola, Motoling terus ke selatan. Hal ini dapat terlihat antara lain ucapan dua kata: “Matanaai / Makelaai”, berbeda tapi sama artinya.
Pada tahun 1962 desa Wakan yang berpenduduk kurang lebih 700 orang menganut agama Kristen Protestan, di bawah kepemimpinan Sinode Indische Kerk yang adalah Gereja Negara ( Staatskerk ) Pemerintah kolonial Belanda.
Desa Wakan pada waktu itu sebuah negeri yang tidak menarik hati orang yang melihatnya tapi pada bulan Oktober 1933, kesanalah mata kaum Maesa ditujukan karena tahun itulah pangkal sejarah berdirinya Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan / Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri memisahkan diri dari Indische Kerk.
2. Penginjilan Di Wilayah Seberang Ranoyapo.
Adapun Penginjilan di wilayah selatan seberang sungai Ranoyapo mulai dirintis oleh Penginjil – Penginjil Bangsa Belanda dan Jerman yang tergabung dalam suatu Badan Penginjilan Swasta dari Belanda yaitu “Nederlands Zending Genootschap” ( NZG ) dikenal dengan sebutan “Zending” berkedudukan di Kumelembuai.
• Penginjilan pertama tahun 1838 ialah Pendeta Carl Herman.
• Tahun 1849 – 1885 Pendeta Siebold Ulfres, Resort pelayanan di Kumelembuai sebanyak 8 desa termasuk desa Wakan, sebagaimana terungkap dalam satu nyanyian yang menyebarluas dikalangan Jemaat semenjak tahun 1857 sbb:
Perintah tuan Luperes, jaga delapan negeri – Rumoong Winaian
1 1 5 5 4 4 4 3 3 2 2 1. 5 5 4 4 3 3 2
Wakan Karimbau Tokin Wanga Malola Kumelembuai
1 1 5 5 5 6 5. 4 4 4 3 3 2 2 2 2 1
• Pada tahun 1876 Penginjilan diserahkan / dialihkan oleh NZG kepada Indische Kerk Gereja Negara Pemerintah kolonial Belanda dibawah Pimpinan Ketua Sinode DS. E. A. De Vreede. Tercatat 9 pendeta Bangsa Belanda / Jerman sempat meneruskan Penginjilan di Resort seberang sungai Ranoyapo.
• Tahun 1921 Penginjilan Resort pelayanan Kumelembuai di pimpin oleh seorang Pendeta Bangsa Indonesia yaitu DS. Albertus Zacharias Runturambi Wenas.
• Tahun 1922 Pdt. AZR Wenas di gantikan oleh Penginjil Bangsa Jerman Pdt. H.G. Thiel mulai tahun 1926 berkedudukan di Amurang, di bantu oleh Penolong Injil Markus Kainde Rampengan tahun 1931 di Kumelembuai tahun 1926 – 1933 Jemaat Wakan termasuk dalam wilayah kerja Pdt. H.G. Thiel, dibantu Penolong Injil M.K. Rampengan dari Resort Kumelembuai.
Disinilah batasan rentang waktu masa lampau yaitu tahun 1926 yang menjadi awal fokus perhatian penulisan sejarah Gereja ini dan tahun 1933 sebagai tahun konflik dalam usaha pembaharuan kehidupan Gereja Negara Indische Kerk menjadi Gereja Minahasa Merdeka Pertama Berdiri Sendiri di desa Wakan yang didirikan oleh masyarakat dan Jemaat Wakan menentang kekuasaan asing penguasa birokrasi Indische Kerk yang secara konfrontatif berhadapan langsung dengan Pimpinan Ketua Sinode Indische Kerk berkedudukan di Tomohon, DS. E.A. Vreede dan Pimpinan Wilayah Amurang Pdt. H.G Thiel.
Semenjak tahun 1931 kondisi kehidupan Organisasi dan Manajemen Indische Kerk di Wakan ialah dihadapkan pada berbagai masalah kepincangan dalam aspek Gerejawi, sosial politik mengakibatkan terjadinya konflik Jemaat Wakan yang mulai menentang kekuasaan asing dan memisahkan diri dari Gereja Negara Indische Kerk.
B. Dari Tulisan – Tulisan Sejarah.
Dari tulisan – tulisan sejarah oleh J.D. Kesek dan hasil – hasil percakapan yang bersumber dari orang Tua – Tua pelaku sejarah Gereja di Wakan mengatakan bahwa desa Wakan adalah desa pertama di seberang selatan sungai Ranoyapo tempat kedudukan Hukum Kedua ( camat ) dan sebagai negri / desa orang – orang pindahan distrik Kawangkoan Atas. Maka tidaklah mengherankan apabila di desa Wakan waktu itu ada rumah persinggahan, ada passer kecil dan ada gudang kopi tempat penampung hasil kebun kopi umum di Wakan. Tercatat sebagai mandor penjaga gudang ialah Markus Aseng dan Pakhuismeeter ( pakois ) pertama ialah Tumangken berikut kemudian Tumbuan.
Dan berikut ini daftar nama orang – orang yang pernah menjadi Pemimpin / Pejabat Pimpinan desa Wakan:
Sebagai Pimpinan Desa merangkap pendidik : ..........., Rembet
Sebagai Pimpinan Desa dengan sebutan Perewis : ..........., Kessek
Pamatu’an / Hukum Tua thn 1845 : ..........., Waroka
Pamatu’an / Hukum Tua : Sam Tumangken
( Buyungon Amurang )
Pejabat Hukum Tua Y. Rasu
Hukum Tua Zacharias Tumilaar ......1931
Pejabat Hukum Tua Adrian Tumbuan 1931 – 1933
Hukum Tua A.A. Tumiwa 1933 – 1949
Hukum Tua Yosis Moring 1950 - 1957
Hukum Tua Paul Tumbuan 1957
Pejabat Hukum Tua Yansen Kandey 1960 – 1961
Hukum Tua Paul Tumbuan 1962
Hukum Tua William Rembet 1976 – 1980
Pejabat Hukum Tua Hendrik Lembong 1981
Hukum Tua Piet Rembet 1981
Pejabat Hukum Tua Yance Mawitjere 1982
Hukum Tua Arie H. Tampemawa 1982
Hukum Tua William Tumbuan 1994 - 2001
Hukum Tua Nico Tampemawa 2002 – sampai saat sekarang sejarah ditulis
Demikianlah hasil pendataan yang sempat didapat untuk terus dikenang sebagai Monumental Perjuangan dan jasa – jasa pembangunan desa Wakan.
C. Membangun Rumah Gereja Baru.
1. Komite Pembangunan Dibentuk.
Melihat perkembangan dan kondisi rumah Gereja tempat beribadah yang sudah tua dimana dinding – dinding papan dan tiang – tiang kayunya yang sudah berlubang – lubang dimakan rayap sehingga kelihatannya tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan keberadaan Jemaat, maka timbulah pemikiran gagasan Tokoh – Tokoh pemuka masyarakat Wakan untuk perlunya membangun rumah Gereja yang lebih baik dan lebih besar.
Menyadari akan kondisi rumah Gereja tua termaksud diatas maka diawal tahun 1926 orang – orang tua dan Tokoh – Tokoh pemuda agama dan masyarakat mengadakan musyawarah bersama Pemerintah desa Wakan / Hukum Tua Zacharias Tumilar membicarakan soal rencana perbaikan rumah Gereja yang sudah tua dan dalam keadaan rusak. Akhirnya dicapai mufakat untuk membangun rumah Gereja yang lebih baik dan lebih besar secara gotong royong / kerja bakti. Disepakati pula bahwa biaya pembangunan akan diusahakan juga meminta bantuan dari Pimpinan Indische Kerk di Tomohon.
Dan untuk kegiatan pembangunan itu maka dibentuklah suatu panitia pembangunan yang disebut Voor Plaatselijke Belangen dengan komposisi dan personalia sebagai berikut:
Ketua 1 Markus Makaliwe
Ketua 2 Jan Pangaila
Sekretaris 1 Junus Runtuwene
Sekretaris 2 Nahum Kandei
Bendahara Johakim Lapian
Adrian Tumbuan
Simon Talumepa
Anggota – Anggota Joey Lapian
Benyamin Tampemawa
Edward Rembet
Musa Talumepa
Elisa Rempowatu
Frederikus Tulungen
Frederik Siwu
Simon Kesek
Abed Nego Talumepa
Markus Siwu
Tugas utama komite ini ialah mengadakan pengumpulan dan mengatur kelancaran jalannya pelaksanaan pembangunan. Dan sebagai koordinator pelaksanaan pembangunan ditetapkan ialah Junus Runtuwene.
Pada sekitar tahun 1926 Hukum Tua Z Tumilar mengumumkan pemberitahuan kepada masyarakat untuk segera memulai kerja bakti mengumpulkan bahan – bahan, menggergaji kayu di hutan / kebun bernama Mawale Winaian untuk keperluan mendirikan rumah Gereja baru di Wakan. Para tukang penggergaji akan segera didatangkan dari Kawangkoan Atas. Dengan modal semangat persatuan yang kokoh dan didorong oleh keinginan untuk memiliki rumah Gereja baru maka segala usaha dan tenaga yang akan dikerahkan secara Gotong – Royong / Mapalus beramai – ramai mengangkat kayu – kayu berupa papan dan balok dari hutan / kebun Mawale Winaian yang berada di sebelah barat desa Wakan berjarak kurang lebih 4 km, pergi pulang. Pada waktu itu juga muncul Organisasi Mapalus bernama “hati – hati Rosi” Pimpinan Bernadus Lembong dan Josephina Lintjewas yang dengan semangat kerja tak kenal lelah turut bersama – sama dengan masyarakat Wakan lainnya mengangkat kayu – kayu bahan bangunan tersebut. Sepanjang jalan yang ditempuh mereka terus menyanyi dengan riang lagu – lagu rohani memuji Tuhan dengan selingan lagu – lagu rakyat Manado untuk sekadar menghibur hati dari pekerjaan yang berat melelahkan itu.
2. Pembangunan Rumah Gereja Dimulai.
Dengan Rahmat dan Bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa pada sekitar awal tahun 1928 pelaksanaan pembangunan rumah Gereja dimulai. Sebagai Kepala Bas / tukang khusus didatangkan dari luar desa Wakan yaitu Charles Mewengkang asal Pinabetengan Tompaso Besar. Tukang – tukang lainnya semua asal desa Wakan sendiri antara lain: Frederik Tulungen, Elisa Rempowatu, Markus Siwu, Musa Talumepa, Joost Lembong, Dore Siwu, Johan Siwu, Paul Tumbuan, dll yang tak sempat didata.
Usaha Pengumpula Dana.
Adapun usaha yang diperlukan untuk membayar biaya kerja tukang – tukang dan untuk membeli bahan – bahan bangunan lainnya, pengumpulan dana dilakukan oleh komite dengan cara mendatangi rumah – rumah penduduk dan dari hasil kebun kopi umum desa seluruhnya yang diserahkan untuk keperluan pembangunan Gereja.
Pada kesempatan pertama ini diutuslah Guru Jemaat J.C. Polla ( Indische Kerk ) dan Junus Runtuwene menghubungi Pimpinan Sinode Indische Kerk, DS. E.A Vreede di Tomohon dengan maksud meminta bantuan dana guna pembangunan rumah Gereja baru di Wakan. Oleh Predikant DS. E.A. Vreede menyambut baik kedatangan dan permohonan kedua utusan tersebut dan berjanji akan segera mengirimkan dana bantuan melalui Ketua Wilayah Amurang Pdt. H.G. Thiel, dengan catatan akan memeriksa dahulu seteron – setoran dari Jemaat Wakan di kantor Sinode Tomohon.
Guru Jemaat J.C. Polla dan Junus Runtuwene kembali ke Wakan dengan hati gembira dan menyampaikan pada para Majelis Gereja serta Pemerintah desa Wakan dan komite pembangunan bahwa bantuan dana akan segera dikirim oleh Pimpinan Sinode Indische Kerk sesuai janji Predikant DS. E.A. Vreede. Namun setelah Berhari – hari, berminggu – minggu, bahkan berbulan – bulan menunggu ternyata dana bantuan yang dijanjikan itu tak kunjung datang. Janji tinggal janji dan bantuan yang ditunggu – tunggu hanya tinggal harapan yang tak kunjung tiba.
Hal ini jelas merupakan suatu tragedi bagi Jemaat yang tumbuh dan hidup dalam Gereja Negara dibawah Pemerintah Penjajah.
Peristiwa ini cukup meresahkan dan membuat amarah yang meluap – luap dari komite, para Pejabat Gereja, Tokoh – Tokoh pemuka masyarakat dan Pemerintah desa Wakan.
3. Krisis Melanda Kegiatan Pembangunan.
Pada pertengahan tahun 1931 proses pembangunan rumah Gereja mengalami hambatan disebabkan karena:
• Komite mengalami kesulitan dana ( tidak ada bantuan dari Indische Kerk ).
• Kepala Bas Ch. Mewengkang minta berhenti karena pembayaran upah tidak lancar.
Akibat faktor – faktor tersebut maka seluruh kegiatan membangun terhenti sama sekali dengan kondisi bangunan 50% - 60% berdiri / setengah jadi.
Dalam keadaan setengah terpaksa dicobalah sekali lagi mengutus J.C. Polla dan J. Runtuwene ke Tomohon untuk meminta bantuan dana. Namun kali ini kedua utusan ini sangat dikecewakan oleh Pimpinan Sinode Indische Kerk yang sangat singkat dan tegas memberi jawaban “tidak ada uang”.
Pada saat – saat yang kritis dan genting inilah Jemaat dan masyarakat Wakan menyadari akan pentingnya tanggung jawab terhadap maksud dan arti pembangunan rumah Gereja guna kepentingan bersama. Sikap dan rasa tanggung jawab tersebut telah mengetuk pintu hati seorang bernama Fredik Siwu yang secara spontan dengan ikhlas menyumbang seekor kuda miliknya kepada komite dengan maksud agar segera diserahkan kepada Kepala Bas Ch. Mewengkang di berhentikan setelah ia setuju menerima seekor kuda sebagai ganti upah kerjanya.
Dalam situasi dan kondisi yang sangat memprihatinkan ini, pola pemikiran Kelanjutan pembangunan mulai berorientasikan pada usaha swadaya masyarakat.
Menjelang akhir tahun 1931, oleh sesuatu dan lain hal Hukum Tua Z. Tumilaar berhenti dari tugasnya sebagai Hukum Tua dan untuk sementara ditunjuk penggantinya yaitu Adrian Tumbuan.
Dibawah bimbingan pejabat Hukum Tua Adrian Tumbuan kegiatan pembangunan rumah Gereja dilanjutkan kembali dan sebagai Kepala Bas / Tukang diangkat dan ditetapkan seorang dari desa Wakan sendiri yaitu Jan Pangaila. Dan semenjak saat itu CAKRAWALA baru mulai mewarnai jiwa persatuan dan semangat gotong royong masyarakat yang melahirkan kebulatan tekad untuk terus menyelesaikan pembangunan rumah Gereja tanpa meminta dan mengharapkan bantuan dari luar, bahkan disepakati pula untuk menutup pintu bagi campur tangan pihak Indische Kerk.
Bab 5. Lahirnya Wale Pinaesaan E Wakan.
A. Pembangunan Secara Mandiri / Swadaya Masyarakat.
1. Pemilihan Hukum Tua.
Bahwa terlaksananya pembangunan rumah Gereja baru itu selain peran serta potensi yang ada dengan spontanitas yang tinggi dari masyarakat, harus pula diakui dan diketahui peranan Hukum Tua merupakan faktor utama penunjang yang menentukan, baik menghadapi permasalahan maupun usaha – usaha mencapai sukses untuk kepentingan bersama.
Pada bulan Juli 1933 diadakan pemilihan Hukum Tua baru di Wakan. Dalam pemilihan tersebut telah terpilih Alfrits A.M. Tumiwa sebagai Hukum Tua. Beliau seseorang yang dianggap cukup berwibawa dan bijaksana.
2. Pembangunan Desa Diselesaikan.
Atas bimbingan dan dukungan moril HukumTua A.M. Tumiwa ini kegiatan pembangunan ditingkatkan secara maksimal sehingga pada medio Agustus 1933, pembangunan rumah Gereja baru dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan demikian hasil usaha pembangunan dimulai sejak tahun 1928 barulah terlihat bulan Agustus 1933, dimana sebuah gedung Gereja baru berdiri dengan Megahnya ditengah – tengah desa Wakan sebagai hasil swadaya melalui masyarakat sendiri dalam kondisi bangunan 90% selesai.
Lahirnya Wale Pinaesaan E Wakan.
Dengan diprakarsai, para Pensiunan Militer bersama dengan para orang Tua – Tua tokoh masyarakat, mereka mendesak komite melakukan upacara adat “ Nae Rumah Baru” tanda selesainya pembangunan gedung Gereja baru. Adapun upacara adat ini akan dilaksanakan oleh untuk para tukang bersama para pemuka adat serta Tokoh – Tokoh masyarakat dilaksanakanlah upacara tradisional khusus (belum untuk umum) sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan bimbingannya sehingga pembangunan rumah Gereja dapat terselesaikan 90% dengan baik dan selamat. Pada acara itu ada pula adat khas yang mengandung nilai budaya dan senantiasa bersifat simbolis dinyatakan dan dilakukan oleh seorang pemuka adat yang disebut Tonaas, Manuel Tampi dengan mengucapkan kata – kata “ Tioo Ma Inde – Inde, Manguni Maka Siow Aitoor Si Wale Anio” lalu ia menghentakan kaki kanannya tiga kali di lantai pintu samping mimbar Gereja, pernyataan itu merupakan perlambang, kekuatan yang penuh arti menurut tafsiran budaya dan pandangan hidup tradisional Minahasa yang bukan merupakan Mekanistis, akan tetapi sangat menunjang keyakinan Perjuangan dan kebulatan tekad masyarakat Wakan untuk menyelesaikan pembangunan.
Dan sebagai inti sari dari segala kepastian dan keyakinan dalam upacara adat, telah pula melahirkan kesatuan pandangan dan pendapat dengan mencetuskan dan menetapkan ikrar bersama membulatkan tekad dan memutuskan hal – hal sebagai berikut:
I. Rumah Gereja baru ini dinamakan “Wale Pinaesaan E Wakan” yang mengandung arti dan makna:
a. Rumah lambang persatuan masyarakat / Jemaat Wakan dilihat dari segi Organisasi dan Perjuangan Fisik ( melawan Pemerintah Belanda ).
b. Rumah tempat beribadah / persekutuan dengan Tuhan.
II. Rumah Gereja baru ini adalah milik Jemaat Wakan, karena dibangun oleh masyarakat sendiri secara mandiri tanpa bantuan dari luar.
III. Rumah Gereja baru ini tidak diserahkan kepada pihak Indische Kerk / Pemerintah penjajah, karena pembangunan keseluruhannya adalah hasil swadaya murni masyarakat Wakan, tanpa bantuan dari Indische Kerk dan Pemerintah penjajah.
3. Nama == Wale Pinaesaan E Wakan. ==
Pada upacara adat ini rumah Gereja baru diresmikan dengan nama “Wale Pinaesaan E Wakan” dengan status yang telah disepakati dalam ikrar bersama ialah menjadi milik Jemaat dan tidak akan diserahkan kepada pihak Indische Kerk. Upacara peresmian tersebut dilaksanakan secara sederhana oleh komite, tanpa memberitahukan pihak Pimpinan Wilayah Indische Kerk Pdt. H.G. Thiel di Amurang. Dan semenjak waktu itu Jemaat Wakan melakukan kebaktian tiap hari minggu dirumah Gereja baru dibawah Pimpinan Guru Jemaat Joost Rembet dalam kapasitas sebagai Pejabat Gereja Indische Kerk.
B. Peranan Organisasi – Organisasi Penunjang.
1. Tidak ada asap jika tidak ada api. Demikian bunyi pepatah. Demikian halnya dengan peresmian rumah Gereja di Wakan, tidak akan terjadi kalau tidak ditunjang oleh peran Hukum Tua serta unsur – unsur kekuatan Organisasi – Organisasi yang ada dimasyarakat, memang ternyata aksi sepihak pada peresmian tersebut, bagaikan asap menghembus tak terbendung karena karena didorong dan ditunjang oleh api semangat keyakinan dan kekuatan Organisasi – Organisasi yang teratur dengan baik dikalangan masyarakat yaitu:
Oleh beberapa Tokoh masyarakat yang adalah anggota partai politik yang bertujuan untuk membangkitkan Kesadaran Nasionalisme serta mengorbarkan semangat Perjuangan melawan kaum penjajah mencapai Kemerdekaan Bangsa Indonesia berdasarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Suatu kekuatan Persatuan yang kokoh para Guru – Guru Zending dengan Organisasinya Perserikatan Pangkal Setia bertujuan setia pada gagasan mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri yang anggaran dasarnya sangat relevan dengan tujuan aksi Perjuangan dan tindakan masyarakat Wakan mendirikan Wale Pinaesaan E Wakan sebagai Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri / Otonom.
Selain kedua kekuatan Organisasi tersebut diatas, ternyata keyakinan akan semangat dan cita – cita Jo’el Walintukan yang sudah ditanamkannya pada orang Tua – Tua di Wakan pada hampir setengah abad yang lalu, sekarang masanya mulai bertumbuh dan berkembang.
Itulah tiga unsur pendukung sebagai pendorong yang berperan dibalik potensi persatuan Tokoh masyarakat Wakan yang mampu mengalihkan pola pemikiran mendirikan Gereja Sendiri / Otonom yang memang sudah lama terpendam di hati sanubari orang Tua – Tua Tokoh masyarakat Wakan sebagaimana yang pernah ditanamkan oleh Jo’el Walintukan sejak tahun 1890.
2. Reaksi Pimpinan Indische Kerk.
Peristiwa aksi sepihak Jemaat Wakan yang meresmikan rumah Gereja baru “Wale Pinaesaan E Wakan” itu dalam waktu singkat dapat diketahui oleh Pdt. H.G. Thiel Pimpinan Indische Kerk Wilayah Amurang. Secara spontan Pdt. Thiel menyatakan reaksinya dengan memutuskan akan mengadakan Rapat Klasis / Majelis Wilayah di Wakan pada tanggal 22 September 1933 dengan acara tunggal mengambil alih / menguasai gedung Gereja baru di Wakan.
Oleh koordinator pelaksana pembangunan Junus Runtuwene bersama para Tokoh masyarakat dan komite yang mendapat informasi dan rencana Pdt. Thiel tersebut, segera pula mempersiapkan diri, mengatur siasat dan menyusun strategi untuk memboikot dan menggagalkan Rapat Klasis dimaksud yang akan dilaksanakan di rumah Gereja baru Wale Pinaesaan E Wakan tanggal 22 September 1933.
Tugas penting dan utama oleh koordinator pembangunan menginstruksikan kepada Kepala Bas Jan Pangaila untuk mengunci semua pintu dan jendela dengan pesan “Tiyoo Ipaweewee Ai Syera Eng Kunci, Tinowoan Erao Kita” artinya jangan serahkan kunci – kunci kepada mereka ( Pdt. Thiel Cs ), mereka telah membohongi kita.
Sudah diperkirakan dari semula bahwa dari sinilah akan berawal aksi dan reaksi berantai yang menjadi jawaban dan alasan masyarakat dan Jemaat Wakan untuk menentang bahkan menolak rencana Indische Kerk menguasai rumah Gereja baru yang pada akhir bulan Agustus tahun 1933 sudah diresmikan dalam upacara adat menjadi “Wale Pinaesaan E Wakan “ tempat ibadah milik Jemaat dan masyarakat Wakan.
3. Kisah Perjuangan Heroik Masyarakat Wakan.
Pada tanggal 22 September 1933, sesuai rencana Pdt. Thiel dan beberapa Staf Penolong ( sebutan untuk jabatan pembantu Guru Injil ) dan Guru Injil Sewilayah Kumelembuai tiba di Wakan, mampir sebentar di rumah Hukum Tua A.A.M. Tumiwa kemudian segera menuju rumah Gereja baru “Wale Pinaesaan E Wakan” sementara dirumah Gereja baru telah menunggu orang Tua – Tua Tokoh agama, Tokoh – Tokoh masyarakat bersama puluhan anggota masyarakat dibawah Pimpinan koordinator pelaksana pembangunan Junus Runtuwene, maka segeralah tiba sang Pendeta di halaman Gereja sang Pendeta Indische Kerk, H.G. Thiel dan rombongannya. Sang Pendeta segera memanggil dan mencari Guru Jemaat Joost Rembet bersama – sama berjalan menuju ke pintu utama Gereja yang kelihatannya masih tertutup rapat. Pendeta Thiel kemudian mencoba membuka pintu namun tidak berhasil membukanya karena memang pintu masih terkunci.
Pada saat yang sama koordinator pembangunan Junus Runtuwene segera mendekatinya dan bertanya apa maksud kedatangan tuan Pendeta. Tanpa menjawab pertanyaan ini Pendeta Thiel menegur Guru Jemaat Joost Rembet menanyakan kunci dan terjadilah dialog sebagai berikut:
Pdt. Thiel “Guru Jemaat, kenapa pintu Gereja tidak dibuka? Mana kuncinya?”
GJ “Kunci di pegang kepala Bas Jan Pangaila”
Pdt. Thiel “Ah kenapa begitu! Guru Jemaat mestinya pegang itu kunci – kunci Gereja. Mana kepala Bas mari kesini!”
Kepala Bas datang mendekati Pdt. Thiel dan berkata:
“Kunci – kunci memang ada pada saya;
Dan saya tahu rumah baru ini dibangun oleh orang Wakan dengan biaya mereka sendiri. Ongkos kerja kami tukang – tukang belum dibayar. Jadi saya tidak mau serahkan kunci rumah baru ini kepada tuan Pendeta, karena saya tahu betul bangunan rumah baru ini orang Wakan yang punya.”
Pdt. Thiel menjadi marah dan berkata: “Oh, kamu sudah berani melawan saya, ya? Apa kamu tidak mengerti saya yang menjadi Ketua Gereja di Wilayah Amurang? Jadi kamu mesti dengar perintah saya.”
Kep. Bas “Baik tuan Pendeta, saya mau serahkan kunci – kunci tapi tuan Pendeta harus bayar dulu harga rumah baru ini. Dan juga mesti bayar ongkos kerja kami tukang – tukang yang mendirikan rumah ini.”
Pendeta dengan nada emosi dan marah berkata: “Oh, God Verdomme, kamu orang Wakan ini kurang ajar ya, Gereja ditahbiskan tidak dikasih tau tuan Pendeta”
Pada saat – saat kritis itu dimana pihak Indische Kerk mencoba berusah memasukkan politik kolonial kedalam permasalahan Gereja maka bangkitlah budaya asli masyarakat Wakan sebagai mana sifat umum orang Minahasa dengan strategi menyerang dan memberontak, maka tanpa diduga sebelumnya Junus Runtuwene mendekati dan menentang Pdt. Thiel sambil berkata: “apa tuan Pendeta bilang? Orang Wakan yang kurang ajar atau tuan Pendeta.”
Kemudian segera pula disusul oleh salah seorang dari antara puluhan masyarakat yang hadir di halaman Gereja ( Musa Talumepa ) dengan tiba – tiba berteriak “Tangka en sia wakesenta sia, ipun pun ang karong” ( tangkap dia, kita ikat dia, masukan dikurung ) sambil melakukan gerakan – gerakan mendekati Pdt. Thiel.
Suasana menjadi tegang dan kacau, sehingga koordinator Junus Runtuwene harus bekerja ekstra keras untuk menenangkan masyarakat dan segera melaporkan kepada Hukum Tua apa yang terjadi di halaman Gereja.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Pendeta Thiel segera meninggalkan halaman Gereja menuju rumah Hukum Tua mencari perlindungan keamanan sekaligus meminta Hukum Tua mengurus perkara yang baru aja terjadi di halaman Gereja. Alasannya ialah Pendeta Thiel menuduh Kepala Bas tidak mau menyerahkan kunci – kunci Gereja kepadanya.
Namun sebaliknya Junus Runtuwene mengatakan kepada Hukum Tua bahwa mereka menggugat Pdt. Thiel yang memfitnah dan menghina masyarakat Wakan dengan kata – kata “orang Wakan kurang ajar”. Mula – mula Pendeta Thiel menolak tuduhan tersebut, namun dengan bijaksana Hukum Tua menanyakan kepada salah seorang staf pendamping Pendeta Thiel, yaitu tuan Rampengan, seorang Rohaniawan dari Kumelembuai sebagai saksi dengan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah benar Pdt. Thiel mengucapkan kata – kata orang Wakan kurang ajar!?” Ternyata kesaksian tuan Rampengan membenarkan kesaksian itu.
Akhirnya Hukum Tua menutup proses verbal perkara ini dan akan diajukan ke Pemerintah di Amurang, karena Hukum Tua sebagai orang pribumi tidak berhak mengurus perkara orang asing / Eropa.
Pada akhirnya dengan penuh kekecewaan Pendeta Thiel meninggalkan desa Wakan dengan meminta pengawalan Hukum Tua, karena Ia takut melihat banyak masyarakat yang berada di jalan – jalan dengan muka yang terlihat penuh amarah dan benci melihat tingkah laku Pendeta Thiel itu.
C. Konflik Politik Jemaat Wakan Dengan Indische Kerk.
1. Usaha Indische Kerk di Wakan Gagal Total.
Dengan terjadinya peristiwa pemboikotan rencana Rapat Klasis / Majelis Wilayah di Wakan pada tanggal 22 September 1933 yang berakhir dengan pertengkaran dan perang mulut di halaman Gereja, maka usaha pihak Indische Kerk untuk menguasai rumah Gereja baru di Wakan gagal total. Hubungan enggan Indische Kerk menjadi renggang. Jemaat Wakan bahkan menggugat Pendeta Tiel dengan tuduhan memfitnah dan menghina masyarakat Wakan. Akibat peristiwa tersebut, maka pada tanggal 24 September 1933 Guru Jemaat Joost Rembet di non aktifkan dari tugas jabatannya sebagai Guru Jemaat oleh Pimpinan Wilayah Indische Kerk Amurang ( tidak boleh melakukan tugas kegiatan Gereja ).
2. Peristiwa 22 September Diperiksa Jaksa.
Untuk penyelidikan dan pemeriksaan perkara peristiwa 22 September 1933 tersebut, pada tanggal 25 September 1933 tiba di Wakan Hukum Besar Tambayong dan Jaksa Rambing dari Amurang menemui Hukum Tua. Sehubungan dengan itu pula orang – orang Tua Tokoh masyarakat dan koordinator pelaksana pembangunan Junus Runtuwene sudah berkumpul dihalaman rumah Hukum Tua.
Sebelum acara pemeriksaan di mulai, Hukum Besar Tambayong mengambil kesempatan sejenak berjalan – jalan dihalaman menuju kelamaan pohon murbei yang lebat buahnya dan banyak orang – orang tua berdiri dekatnya. Sambil memetik dan memakan buah murbei, Hukum Besar perlahan – lahan mendekati orang – orang yang sedang berkumpul disitu dan berkata dengan nada suara perlahan – lahan agar jangan terdengar dengan Jaksa Rambing ( yang diucapkan dalam bahasa daerah ) sbb: “eh sare, E tanitu en aicuai tuang Pandita Thiel, maente – ente O mio kamu, camu re’en en muntung ya!” Artinya: kalo benar demikian yang dikatakan oleh Pendeta Thiel, peganglah teguh pada pendirian kamu, kamulah yang akan menang.
Demikianlah suatu ungkapan dukungan moril dari seorang Hukum Besar, sebagai pejabat Pemerintah pribumi yang merasa simpati dan menyadari visi dan persepsi Perjuangan dengan Jemaat Wakan menuntut hak kebebasan Bergereja dari Penindasan penjajah.
Dan setelah Jaksa Rambing melakukan penelitian.
Dan pemeriksaan terhadap pelaku – pelaku peristiwa 22 September 1933, ternyata masyarakat Wakan tidak dapat dinyatakan bersalah, dengan alasan pokok pembelaan sebagaimana yang dituturkan oleh koordinator pembangunan Junus Runtuwene kepada Jaksa bahwa:
Pertama: Sehubungan dengan peraturan tuntutan Pendeta – Pendeta Indische Kerk tahun 1927 yang melarang rumah Gereja sebagai sekolah – sekolah Zending ( swasta ) maka rumah baru yang didirikan dibangun sendiri oleh masyarakat Wakan. Ini akan dipakai menjadi rumah sekolah dan tidak akan diserahkan kepada Pendeta Thiel Indische Kerk.
Kedua Bahwa rumah baru yang di bangun masyarakat Wakan sendiri dengan biaya swadaya murni masyarakat dan Jemaat Wakan tanpa bantuan daya dan dana Indische Kerk.
Dengan adanya keputusan Jaksa Rambing tersebut diatas maka konflik politis bentrokan masyarakat Wakan dengan Indische Kerk dapat dihindari dan dibendung namun gagasan untuk mendirikan Gereja Berdiri Sendiri terus membara dan berkembang, bahkan sudah dapat dipastikan bahwa rumah Gereja yang baru dibangun ini akan jadi milik Jemaat Wakan dan tidak diserahkan pada pihak Indische Kerk.
Akhirnya Pendeta Thiel mencoba untuk membujuk Jemaat Wakan bekerja sama dengan Indische Kerk dengan janji – janji yang menarik bagi Jemaat Wakan antara lain dengan memberikan sumbangan keuangan, segala daya dan upayanya tidak berhasil.
Dengan penuh keprihatinan Pendeta Thiel kemudian melaporkan peristiwa 22 September 1933 di Wakan itu kepada pimpinan Indische Kerk Predikant DS. De Vreede di Tomohon.
Bab 6. Gereja Wale Pinaesaan E Wakan Berdiri Sendiri.
A. Pentahbisan Wale Pinaesaan E Wakan.
1. Status Gereja Wale Pinaesaan E Wakan.
Menyadari akan status dan kondisi Jemaat Wakan yang berada dibawah kekuasaan Indische Kerk / Pemerintah penjajah maka perlu kiranya dipikirkan penentuan nasib Gereja baru itu setelah terjadi konflik sosial politik dan pertentangan Jemaat Wakan dengan Indische Kerk tanggal 22 September 1933, yang telah diusut perkaranya oleh pihak yang berwenang ternyata dimenangkan oleh masyarakat dan Jemaat Wakan. Kemenangan itu merupakan momentum historis yang strategis dimana status rumah Gereja baru itu sudah dipastikan menjadi suatu Gereja Berdiri Sendiri / Siding Otonom yang akan tumbuh dan yang akan dikembangkan oleh Jemaat Wakan sendiri sebagai orang percaya yang mengekspresikan kebebasan kontrol otoritatif yang memerintah dan berkuasa dengan pengertian bukan kebebasan persekutuan.
Karena pada prinsipnya Gereja bebas berdiri sendiri / Otonom ialah Gereja ( bukan – bukan Gereja ) yang:
• Dibangun dan bertumbuh sendiri dari masyarakat setempat / lokal.
• Mengatur diri sendiri / rumah tangga sendiri.
• Membiayai sendiri / mandiri.
• Mengurus dan mengembangkan sendiri. Dengan demikian maka Gereja bebas Merdeka Berdiri Sendiri itu sangat dekat pengertian dengan bentuk Pemerintahan Otonom Kongregasional yang mengatur, membiayai dan mengembangkan diri sendiri.
Berdasarkan hal tersebut dan dipicu oleh semangat spiritual dan gagasan Joel Walintukan yang pernah ditanamkannya dalam hati sanubari orang Tua – Tua dan Jemaat Wakan sejak tahun 1890 tentang arti dan maksud suatu Gereja Minahasa Berdiri Sendiri maka akhirnya para Tokoh masyarakat dan Tokoh – Tokoh agama serta pemuka adat desa Wakan mengambil sikap tegas dan menetapkan:
a. Putuskan hubungan dengan Indische Kerk.
b. Status rumah Gereja baru Wale E Pinaesaan E Wakan ditetapkan menjadi rumah sekolah dan Gereja Berdiri Sendiri milik jemaat dan masyarakat Wakan.
c. Sebagai langkah pertama menjaga kemungkinan tekanan dan ancaman hukuman yang akan dilakukan Pemerintah penjajah atas keputusan Jemaat Wakan memisahkan diri dari Indische Kerk, maka semua kepala rumah tangga keluarga Jemaat Wakan dicatat masuk menjadi anggota Perserikatan Pangkal Setia, dengan demikian kebaktian, ibadah – ibadah dirumah Gereja baru ini dapat dianggap pertemuan anggota Perserikatan Pangkal Setia karena dalam satu pasal anggaran dasarnya dikatakan bahwa anggota – anggota Perserikatan Pangkal Setia boleh berkumpul melakukan pertemuan dan melakukan ibadah, menyanyi lagu – lagu rohani, berdoa, membaca Alkitab serta memungut kolekte persembahan seperti ibadah biasa hari – hari minggu.
2. Pentahbisan Wale Pinaesaan E Wakan Tanggal 1 Oktober 1933.
Dengan semangat kesatuan yang kokoh dan penuh keyakinan akan nilai Perjuangan luhur serta tekad yang membara dari Tokoh – Tokoh masyarakat, agama dan komiter serta dengan mendapat restu dan dukungan Hukum Tua Wakan A.A.M. Tumiwa, maka pada hari minggu tanggal 1 Oktober 1933 dilaksanakan upacara resmi Pentahbisan rumah Gereja baru di Wakan menjadi rumah sekolah, rumah Gereja “Wale Pinaesaan E Wakan” dengan status menjadi Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri / Otonom yang berlindung pada Hak Badan Hukum Perserikatan Pangkal Setia di Tomohon ( Badan Hukum No. 31 – Betawi tanggal 12 Juli 1920 ).
Acara ibadah di Pimpin Guru Jemaat Tua David Moring dan acara Pentahbisan itu di Pimpin oleh Guru Jemaat Joost Rembet dan sengaja tidak memberitahukan kepada Pendeta H.G. Thiel Pimpinan Wilayah Indische Kerk Amurang. Upacara Pentahbisan itu dihadiri para undangan dari beberapa desa sekeliling desa Wakan. Turut hadir beberapa tamu dari Motoling antara lain Guru Zending J.D. Kesek, E.F. Paat dan R. Sondakh seorang Guru partikulur / swasta Motoling, dari Amurang hadir Jaksa Rambing yang kemudian memberi komentar; “Lolouren ( Bintang Fajar Timur ) sudah terbit, sudah tiba saatnya Jemaat Maesa mengatur sendiri Jemaatnya” dan berpesan: “pergilah kamu jangan berbantah – bantah dijalan” ( Kej 45: 24 ).
Sejak tanggal 1 Oktober 1933 itu, didepan rumah Gereja baru dipasang papan bertuliskan: “Wale Pinaesaan E Wakan”. Semenjak itu Jemaat Wakan mengadakan kebaktian – kebaktian di rumah Gereja milik sendiri, sekaligus di pakai juga sebagai rumah Sekolah Rakyat ( SR ).
Dilihat dari segi Organisatoris Administrative maupun dari segi Hukum, kedudukan Gereja “Wale Pinaesaan E Wakan” itu berdiri sendiri dan dilindungi diatas anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia sebagai Gereja Minahasa Berdiri Sendiri Otonom dan sebagai Gereja Nasional bebas dari kekuasaan dan penindasan Pemerintah kolonial Indische Kerk.
Keberanian Jemaat dan masyarakat Wakan menempuh langkah – langkah yang penuh risiko itu dorong oleh dukungan moril oleh dua orang Guru Zending anggota Perserikatan Pangkal Setia di Motoling yaitu J.D. Kesek asal Wakan dan E.F. Paat asal Motoling yang secara serius penuh perhatian membantu usaha berdirinya Gereja “Wale Pinaesaan E Wakan”. Perjuangan mereka itu dimotivasi oleh keyakinan bahwa Jemaat Gereja “Wale Pinaesaan E Wakan” itu pada dasarnya adalah Gereja Tuhan yang lahir dibawah bimbingan dan kekuasaan roh kudus menjadi Gereja Merdeka Berdiri Sendiri, tanpa adanya ketergantungan pada Gereja Negara Indische Kerk tetapi tetap mendasari pengajarannya pada Alkitab sebagai Dasar Iman.
Kebaktian – kebaktian yang dilaksanakan Jemaat Wakan pada hari minggu tanggal 15 dan 8 Oktober 1933 telah menumbuhkan kemarahan besar pada Indische Kerk. Pdt. H.G. Thiel yang kemudian mengetahui peristiwa Pentahbisan tersebut segera mengadakan kunjungan ke Wakan tanggal 17 Oktober 1933 dengan maksud berusaha membujuk Jemaat Wakan dan menawarkan untuk secara damai bekerjasama dengan pihak Indische Kerk disertai janji – janji menarik bagi Jemaat Wakan ( akan mendapat sumbangan keuangan ), namun hasilnya sia – sia belaka karena Jemaat Wakan tidak bisa lagi diajak kompromi.
Akhirnya Pendeta Thiel harus menerima realita kebenaran Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan yang telah menyatakan berdiri sendiri / otonom memisahkan diri dari kekuasaan Indische Kerk hal mana segera dilaporkan kepada Pimpinan Sinode DS. E.A. Veerde di Tomohon tentang peristiwa yang terjadi di Jemaat Wakan yang secara tegas telah menolak campur tangan Indische Kerk terhadap Eksistensi Gereja Wale Pinaesaan E Wakan.
3. Usaha Pimpinan Indische Kerk Menguasai Kembali Jemaat Wakan.
Predikant DS. E.A. De Veerde sebagai Ketua Sinode Indische Kerk di Tomohon menerima laporan dari Pimpinan Sidang Indische Kerk Amurang Pendeta H.G. Thiel tentang peristiwa Jemaat Wakan, masih terus berusaha membujuk Jemaat untuk tidak memisahkan diri dari Indische Kerk dengan janji akan memberikan bantuan dana guna pembangunan rumah Gereja, namun hasilnya sia – sia belaka.
Usaha terakhir untuk membujuk kembali Jemaat Wakan ialah mengutus Pendeta B. Mundung Pemimpin Klasis Kumelembuai. Pendeta Mundung kemudian datang di Wakan, langsung menemui seseorang yang kebetulan ia kenal yaitu Nahum Kendei dan terjadilah dialog singkat dalam bahasa Tontembuan, antara lain sbb:
Pendeta Mundung : Eh poowta Nahum, sapaka aku anio’ai rudu I Predekan De Vreede mangilek woo ai camu sa woo rona atoreino se Jemaat miou am Wakan. Casale era woo kamu tetap tumawoi mewali – wali kerapi era se Indische Kerk.
Nahum Kendei : ‘ore karu’ tambisanku pe’sera e tuang Pandita. Yo ro’na karu mamuali en tanitu e’tuang, sebab tambisa nai pokei wonaitani e matu – matua am Wakan, tanitu engkiiten e Jemaat.
Dalam terjemahan bebas artinya sbb:
Pendeta Mundung : eh, saudara kita Nahum, saya ini diutus oleh Predikant De Vreede datang memohon kepada kamu kalau boleh tolong atur supaya Jemaat Wakan tetap mau bekerja sama dengan Indische Kerk.
Nahum Kendei : ya, kami harus bagaimana lagi, tuan Pendeta. Sudah tidak mungkin lagi tuan, sebab bagaimana yang sudah diputuskan, dikatakan dan diatur oleh orang Tua – Tua pemuka adat begitulah yaah kami Jemaat Wakan harus ikut.
Mendengar akan jawaban Nahum Kendei yang sangat singkat dan tegas itu, Pendeta B. Mundung tak dapat berbuat apa – apa lagi selain mohon diri dan selanjutnya melaporkan hasil pertemuannya dengan Nahum Kendei / Jemaat Wakan kepada Ketua Sinode Indische Kerk DS. E.A. Veerde.
4. Guru Jemaat Joost Rembet Diskors ( SK Skorsing lihat hal ... ).
Setelah menerima laporan dari Pendeta B. Mundung yang gagal karena tidak berhasil membujuk Jemat Wakan untuk bekerja sama dengan Indische Kerk, maka akhirnya Ketua Sinode Indische Kerk DS. E.A. DE Veerde mengeluarkan surat surat keputusan tanggal 19 Oktober 1933 menskors Guru Jemaat Jost Rembet dari tugas jabatannya sebagai Guru Jemaat Indische Kerk di Wakan dan memerintah bahwa segala kegiatan pelaksanaan ibadah di rumah Gereja di Wakan, hanya boleh dilaksanakan oleh Pendeta Indische Kerk wilayah Amurang H.G. Thiel.
Dan bagaimanakah kelanjutan dan nasib surat keputusan DS. E.A. DE Veerde tersebut ?
Ternyata surat keputusan yang dikeluarkan oleh DS. E.A. DE Veerde malahan telah membakar semangat patriotisme Jemaat Wakan yang ingin mempercepat dan mengakhiri kekuasaan Indische Kerk di Wakan khususnya dan bahkan di bumi Tana Toar Lumimuut umumnya.
Sementara itu pada hari minggu tanggal 22 Oktober 1933 Jemaat Wakan tidak dapat lagi melaksanakan kebaktian di Gereja karena Pemimpin Guru Jemaat Joost Rembet telah diskors dan tidak boleh mengadakan kegiatan – kegiatan ibadah Gereja. Nanti pada siang hari barulah diadakan kebaktian yang diusahakan oleh Perserikatan Pangkal Setia di Wakan, di pimpin Y.D. Kesek dan kawan – kawan Guru Zending dari Motoling. Namun kebaktian ini tidak memuaskan Jemaat karena hanya boleh dihadiri oleh anggota Jemaat yang berumur 18 tahun ke atas, yaitu para anggota Perserikatan Pangkal Setia.
Peristiwa minggu 22 Oktober 1933 itu sangat meresahkan masyarakat Jemaat Wakan namun apa mau dikata, sejarah berdirinya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan tanggal 1 Oktober 1933 sebagai Gereja yang Merdeka / Independen, berdiri sendiri telah dicanangkan untuk terus maju pantang mundur dan tetap menolak campur tangan kekuasaan Indische Kerk.
Sekali ditahbiskan menjadi Gereja Wale Pinaesaan E Wakan, tetap menjadi Gereja milik Jemaat masyarakat Wakan dan menolak campur tangan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Demikianlah tekad dan pendirian Jemaat Wakan mempertahankan Wale Pinaesaan E Wakan.
5. Tindakan Penyelamatan Perjuangan Jemaat Wakan.
Dengan dipelopori Guru – Guru Zending Y.D. Kesek dan E.F. Paat sebagai anggota Perserikatan Pangkal Setia segera mengambil langkah – langkah penyelamatan, dimana Perjuangan Jemaat Wakan itu harus dibantu, dibela dan dilindungi karena usaha berdirinya Gereja baru Wale Pinaesaan E Wakan itu merupakan PERJUANGAN NASIONAL yang harus dipertahankan dan diselamatkan statusnya dari perlawanan dan penindasan oleh Pemerintah penjajah. Untuk itu harus dibela dan dilindungi dicarikan solusi untuk segera bertindak karena landasan motivasi Perjuangan masyarakat Jemaat Wakan untuk membangun Gereja Otonom berdiri sendiri merupakan bukti dari produk situasi dan berbagai interaktif dari 100% masyarakat desa Wakan yang menentang tata kehidupan Gereja Sinodal Indische Kerk dengan struktur sentralisasi dan kekuasaan absolut memerintah dari atas ke bawah atau top Down, sepertinya Jemaat harus tunduk melaksanakan perintah dari Pemimpin / Atasan dalam hal ini Pendeta Ketua Sinode yang berkuasa penuh memerintah Jemaat.
Dengan adanya rancangan Otonomisasi Gereja dan Jemaat yang sedang diperjuangkan masyarakat desa Wakan itu dimaksudkan agar sentralisasi kekuasaan sistim Sinode Indische Kerk itu harus segera diubah atau diakhiri, artinya peranan Jemaat Wakan melalui Jemaat Wakan harus dihormati dan dihargai.
Dan untuk tujuan kesemuanya itu maka bermusyawarahlah orang Tua – Tua dan para Tokoh masyarakat dan Jemaat untuk mencari hubungan dengan pihak Gereja Katholik di Tomohon dengan maksud meminta agar Jemaat Wakan dapat diterima anggota Jemaat Katholik. Namun sebelum sempat mengirim utusan ke Tomohon, ada berita melalui surat kabar Perserikatan Pangkal Setia yang mengatakan bahwa di Manado ada suatu Badan Pengurus Organisasi yang bercita – cita mendirikan suatu Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri dengan nama “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa” disingkat “KGPM” dipimpin oleh Bangsa sendiri dan beralamat: gedung Sinode Harmoni Manado. Dengan demikian niat ke Tomohon dibatalkan dan dialihkan ke Manado.
B. Jemaat Wakan Merintis Berdirinya Gereja Minahasa Otonom.
1. Kontak Pertama Dengan KGPM.
Kontak pertama dengan pengurus / Hoofd Bestuur KGPM di Manado dilakukan oleh Y.D. Kesek dan bertemu dengan Y. Yakobus, Ketua Hoofd Bestuur KGPM di rumahnya di Tikala Manado dan melaporkan peristiwa yang telah terjadi di desa Wakan dimana Jemaat telah mendirikan rumah Gereja baru dan ditahbiskan menjadi Gereja Merdeka Berdiri Sendiri pada tanggal 1 Oktober 1933 dan telah memisahkan diri dari Indische Kerk. Akan tetapi pada hari minggu tanggal 22 Oktober 1933 oleh Pimpinan Indische Kerk melarang Jemaat Wakan mengadakan kebaktian / ibadah di rumah Gereja baru itu. Padahal rumah Gereja baru itu dibangun atas usaha swadaya masyarakat Jemaat Wakan sendiri tanpa bantuan sedikitpun dari pihak Indische Kerk.
Oleh sebab itu untuk menyelamatkan hasi Perjuangan heroik Jemaat Wakan, kami datang meminta kepada Hoofd Bestuur KGPM agar Gereja dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan yang sudah berdiri sendiri dan sudah memisahkan diri dari Indische Kerk dapat segera dialihkan dan diresmikan / disahkan menjadi Jemaat dan Gereja KGPM.
Ketua Pengurus Hoofd Bestuur KGPM Y. Yakobus menyatakan terima kasih dan sangat bergembira berita Jemaat Wakan yang sudah memisahkan diri dari penguasaan Indische Kerk itu, namun karena kondisi tubuhnya yang sedang sakit dan lemah, kepada Y.D. Kesek dianjurkan untuk langsung saja menemui teman – teman pengurus lainnya. Selanjutnya usaha Y.D. Kesek menemui B.W. Lapian Sekretaris KGPM tidak berhasil, tetapi secara kebetulan dapat bertemu dengan Wakil Ketua Z. Talumepa. Namun tuan Z. Talumepa yang mendengar laporan yang di sampaikan Y.D. Kesek akhirnya menyatakan takut melaksanakan permintaan Jemaat Wakan. Sambil mengangkat tangannya ia berkata, oh bukan begitu maksud KGPM. Maksud pendirian KGPM ialah secara kooperatif / bekerja sama dengan Indische Kerk untuk memperbaiki hal – hal yang menyangkut Organisasi maupun Administrasi Gereja sampai terbentuk Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Jadi tindakan Jemaat Wakan adalah salah. Demikian jawaban Z. Talumepa.
Y.D. Kesek yang kecewa dengan sambutan Z. Talumepa itu segera mohon diri dan selanjutnya menemui N.B. Pandean, juga anggota Hoofd Bestuur KGPM, dengan hasil pertemuan yang sangat membesarkan hatinya. Kemudian kembali ke Wakan dan menceritakan kepada Jemaat Wakan segala hasil pertemuannya dengan Hoofd Bestuur KGPM tersebut diatas.
2. Kontak Dengan Hoofd Bestuur KGPM.
Pada tanggal 25 Oktober 1933 Jemaat Wakan mengutus delegasi terdiri dari tiga orang yakni, 1). Yunus Runtuwene, 2). Joel Lapian dan 3). Nahum Kendey untuk menemui Hoofd Bestuur / pengurus KGPM di Manado menyampaikan peristiwa – peristiwa yang telah terjadi pada Jemaat Wakan dan meminta supaya Jemaat Wakan secara keseluruhan segera dialihkan dan diresmikan menjadi Gereja dan Jemaat KGPM.
Sesuai pesan Y.D. Kesek delegasi langsung saja menemui Sekretaris B.W. Lapian di toko dewan Minahasa di Manado dan melaporkan maksud kedatangan mereka.
Setelah mendengarkan laporan dan informasi dari ketiga utusan Jemaat Wakan tentang keberadaan Jemaat dan Gereja Wale Pinaesaan E Wakan itu, B.W. Lapian mengajak mereka bersama – sama menemui Ketua Y. Yakobus untuk menyampaikan dan menceritakan akan maksud kedatangan mereka.
Kepada utusan Wakan bersama B.W. Lapian, Y. Yakobus menyatakan sangat menyesal tidak dapat mengurus sendiri urusan yang amat penting di Jemaat Wakan karena dalam keadaan sakit.
Namun kemudian beliau selanjutnya menyatakan bahwa untuk melaksanakan segala urusan Gereja di Jemaat Wakan sebagaimana permintaan yang disampaikan utusan Wakan itu akan beliau Wakilkan kepada B.W. Lapian sebagai penanggung jawab. Dan untuk itu berkata: saya tidak sanggup lagi karena sakit, tuan Z. Talumepa sudah menyatakan takut untuk bertindak, jadi “ngana jo Bena”: Bena adalah nama panggilan akrab dari Bernard / B.W. Lapian. B.W. Lapian menyatakan bersedia melaksanakan tugas itu tetapi bukan dalam tugas sebagai Sekretaris melainkan sebagai Ketua Pengurus KGPM. Hal ini disetujui Y. Yakobus lalu menyerahkan surat mandat hak Ketua kepada B.W. Lapian.
Kemudian B.W. Lapian menyuruh ketiga utusan segera kembali ke Wakan dengan pesan: Bersiap– siaplah hari minggu tanggal 29 Oktober 1933 yang akan datang, kami akan berada di Wakan. Dengan penuh sukacita pulanglah ketiga utusan ke Wakan menyampaikan pesan dari Hoofd Bestuur KGPM kepada Jemaat di Wakan.
3. B.W. Lapian Mulai Merintis Jalan Mendirikan Gereja Minahasa Otonom.
Setelah mendapat surat mandat sebagai Ketua Pengurus KGPM untuk melaksanakan tugas memenuhi permintaan Jemaat Wakan, maka B.W. Lapian mulai bertindak melalui jalur Hukum Pemerintah. Bersama A. Kandow, H Sinaulan dan R.C. Pesik, kemudian B.W. Lapian menemui Asisten Resisten Oberman setingkat Wakil Gubernur di Manado. Mereka menyampaikan maksud dan permintaan Jemaat Wakan yang akan mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri / Otonom di Wakan.
Asisten Resisten Oberman yang adalah Ketua Dewan Minahasa / DPRD mengenal benar Perjuangan dan pribadi B.W. Lapian sebagai anggota Volksraad / Dewan Minahasa, dengan secara bebas bergurau antara lain katanya: oh mengapa mau mendirikan Gereja sendiri? “Apakah kamu tidak senang lagi dengan orang – orang Belanda! Ataukah mau usir kami orang – orang Belanda dari sini?” Namun kemudian secara diplomatis Oberman menyuruh mereka membicarakan hal itu dengan H.V.B. Konterlir Vingerhoeds ( tk. Bupati ). Setelah B.W. Lapian dan kawan – kawan menghadap Konterlir Vingerhoeds dan menyampaikan maksud mereka, terjadilah dialog sebagai berikut:
B.W. Lapian : “Tuan Konterlir, kami datang untuk melaporkan bahwa kami akan mendirikan Gereja Otonom”
Konterlir : “Apa maksud tuan – tuan mendirikan Gereja Berdiri Sendiri / Otonom?”
B.W. Lapian : “Betul sekali tuan Konterlir”
Konterlir : “oh, itu tidak boleh” seraya ia menekan tombol bel memanggil stafnya tuan Sam Wakari hadir bersama untuk membuat catatan dan sebagai saksi mendengarkan percakapan dengan B.W. Lapian
B.W. Lapian : “tuan katakan kepada kami Undang – Undang mana yang menyatakan melarang untuk mendirikan Gereja!”
Konterlir : “ya, mendirikan Gereja sendiri yang Otonom, harus ada izin dari Pimpinan Indische Kerk di Batavia” (Jakarta)
B.W. Lapian : “tuan Konterlir, kami datang bukan untuk minta izin, hanya datang memberitahukan kepada tuan.”
Pada akhirnya B.W. Lapian dan kawan – kawan meminta izin meninggalkan kantor Konterlir dengan mengatakan: “Tuan luluskan atau tidak yang penting kami telah datang dan memberitahukan kepada tuan, bahwa kami akan melakukan suatu tugas pekerjaan besar dan mulia.”
Mendengar ucapan B.W. Lapian itu, Konterlir terdiam dan tidak dapat berbuat apa – apa lagi. Situasi yang demikian itu membuat B.W. Lapian sebagai seorang pejuang lebih percaya diri untuk melakukan Perjuangannya bersama Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan Memproklamasikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri / Otonom yang pertama di desa Wakan, Minahasa Sulawesi Utara.
Bab 7. Konsep Gereja Minahasa Berdiri Sendiri.
A. Situasi Gereja Indische Kerk Di Wakan.
1. Latar Belakang Berdirinya Organisasi KGPM.
Sejarah berdirinya Organisasi Gereja KGPM ( Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ) pada mulanya ditetapkan 21 April 1933. Ternyata dibubarkan oleh Pemerintah kolonial karena dianggap Organisasi ilegal tidak ada pengakuan / Erkenning resmi dari Pemerintah Cq. Indische Kerk, dan tidak memiliki anggaran dasar.
Kemudian pada tanggal 8 Juni 1933 KGPM muncul kembali secara diam – diam dengan wajah baru non Kooperatif / tidak ada hubungan kerjasama dengan Indische Kerk melainkan menggabungkan diri jadi satu bagian / onderbow dari Perserikatan Pangkal Setia, dimana B.W. Lapian menjabat sebagai sekretarisnya, berkedudukan di Kurangga Tomohon.
Hingga pada bulan Oktober 1933 tidak pernah ada terdengar aktivitas dan usaha KGPM mendirikan suatu Gereja Berdiri Sendiri / Otonom. Nanti pada tanggal 25 Oktober 1933 ketiga delegasi Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan pergi menghubungi Hoofd Bestuur KGPM di Manado dan meminta agar pengurus Hoofd Bestuur dapat menerima dan meresmikan Jemaat / Gereja Wale Pinaesaan E Wakan menjadi Jemaat / Gereja KGPM, barulah pengurus KGPM terbuka mata dan bangkit dari tidurnya untuk segera memanfaatkan momentum yang sangat berharga itu guna bertindak mewujudkan Gereja Minahasa yang Otonom.
Tekad baja dan semangat juang B.W. Lapian untuk mewujudkan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri, bukan hanya kata – kata belaka melainkan berbuat, berdoa dan bekerja. Itulah semboyannya. Gedung Gereja Wale Pinaesaan E Wakan sudah ada, Guru Jemaat, ada Dasar Hukum Organisasi dilindungi dengan anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia, Jemaat / masyarakat Wakan keseluruhannya telah siap mental spritual mewujudkan konsep Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri dengan demikian lengkaplah sudah persyaratan dan persiapan untuk memisahkan diri dari kekuasaan dan penindasan Indische Kerk, dengan struktur Pemerintah Gereja yang mirip dengan Kongregasional yang bersumber dari ajaran Perserikatan Pangkal Setia. Adapun pola hidup Gereja sistem Kongregasional itu ialah Pemerintah Gereja berada ditangan Jemaat yang OTONOM NASIONALIS, berdiri sendiri dan mengatur, mengurus serta membiayai rumah tangga sendiri, mandiri, independen.
Perserikatan Pangkal Setia dengan Ketuannya A.M. Pangkey diakui sah dengan Beslit Gubernur Jendral di Betawi pada tanggal 12 Juli 1920 nomor 31. Pada tahun 1921 mulai bergerak ke jurusan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri, Zelfstanding, independen.
2. Status Hukum Gereja Wale Pinaesaan E Wakan.
Keberhasilan Perjuangan masyarakat dan Jemaat Wakan yang mendirikan rumah Gereja Wale Pinaesaan E Wakan menjadi milik sendiri dan berdiri sendiri itu, ternyata benar – benar dimanfaatkan pengurus besar KGPM sebagai modal pokok serta motivasi untuk memproklamasikan KGPM menjadi Gereja Minahasa Berdiri Sendiri yang memisahkan diri / lepas dari kekuasaan Indische Kerk. Ditambahkan pula bahwa situasi Indische Kerk di Wakan pada saat itu memang sudah sukar dikendalikan untuk dipertahankan dan sedang berada pada jalur kehancuran.
Dan sebaliknya keberadaan Jemaat dan Gereja di Wakan bahkan sudah memenuhi syarat dan sudah siap diresmikan menjadi satu sidang / Jemaat berdiri sendiri, dengan pertimbangan bahwa:
a. Baik Organisatoris maupun Administrtif, secara yuridis formal dilindungi dengan anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia.
b. Ditinjau dari segi yuridis material, sudah memiliki gedung Gereja sendiri, ada Jemaat dan Guru Jemaat, sehingga dapatlah melaksanakan kebaktian – kebaktian Gereja dan mengatur membiayai serta mengurus rumah tangga Gereja sendiri secara mandiri.
c. Dari segi Nasional – Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan itu adalah Gereja Minahasa Independen Otonom milik seluruh masyarakat dan Jemaat Wakan bebas dari kekuasaan Indische Kerk, yang pelayanan dan pemberitaan Firman Tuhan tanpa batas wilayah yaitu keseluruh pelosok tanah air Indonesia bukan terbatas hanya di Minahasa. Jelas bukan Gereja suku, melainkan Gereja Nasional dari Sabang sampai Merauke.
Berdasarkan hal – hal tersebut diatas, maka kesempatan untuk bertindak mewujudkan konsep dan cita – cita mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri, tidak disia – siakan oleh B.W. Lapian. Sementara dipihak lain Jemaat Wakan sudah tidak sabar lagi menunggu saatnya akan kedatangan dan kehadiran Ketua Pengurus Besar KGPM di Wakan.
B. Gereja Wale Pinaesaan E Wakan Diresmikan Dan Sah Menjadi Gereja Pertama KGPM.
1. Proklamasi Gereja KGPM.
Pada hari bahagia yang dinanti – nantikan yaitu tepatnya hari minggu tanggal 29 Oktober 1933 pukul 08.00 pagi, tiba di Wakan Pengurus Besar KGPM B.W Lapian, J.L. Tambayong dan H. Sinaulan dari Manado serta A.S. Pangkey dari Amurang. Dari Motoling hadir pula Y.D. Kesek, E.F. Paat dan R. Sondakh Guru sekolah partikulir ketiganya adalah anggota Perserikatan Pangkal Setia cabang Motoling. Pada pukul 09.00 pagi pihak Indische Kerk memulai kebaktian di gedung Gereja baru, dipimpin oleh David Moring yang di upayakan Indische Kerk menggantikan Indische Kerk menggantikan Joost Rembet Guru Jemaat yang sudah diskors sejak 19 Oktober 1933 oleh Pimpinan Indische Kerk.
Dari Pengurus Besar KGPM turut hadir dalam kebaktian itu ada 4 orang jemputan lain dan 5 orang anggota Majelis Gereja Indische Kerk, sehingga jumlah yang hadir menjadi 13 orang. Dari Jemaat / masyarakat Wakan tidak ada yang menghadiri ibadah tersebut.
Selesai kebaktian ini, Diaturlah kebaktian Gereja Minahasa Merdeka Otonom bertempat dirumah Yohakim Lapian. Dalam sekejap saja rumah tersebut penuh sesak oleh Jemaat Wakan. Telah hadir pula Pengurus Besar KGPM beserta para undangan sehingga jumlah yang hadir semuanya mencapai 198 orang.
Kebaktian di Pimpin oleh H. Sinaulan dari Pengurus Besar KGPM dengan nats pembimbing dari Roma 8:31. Selesai kebaktian, Jemaat mendesak Ketua Hoofd Bestuur B.W. Lapian untuk terus melaksanakan maksud pertemuan mulia itu, yaitu meresmikan / mengesahkan Jemaat dan Gereja Wale Pinaesaan E Wakan menjadi Jemaat dan Gereja KGPM Berdiri Sendiri / Otonom.
B.W. Lapian menyatakan setuju, lalu segera bangkit berdiri menyampaikan sambutannya sebagai Ketua Pengurus Besar KGPM dalam bahasa daerah Tontembuan yang antara lain mengatakan sebagai berikut:
“Po’opo’ow pakasa, mayo waya kita rumangat ing ngaran I Amang Walian Kasuruan nimena intana ‘wo langit wo nimee mai keter Osaka sama ase’cita imbaya asiendo anio. Po’opo’ow pakasa, sapaka aku siendo anio ambiai selaku Ketua Hoofd Bestuur KGPM em pa’pa’an siendo anio endo sama kita maliu – lius asi Wale anio, mai muka ‘ing KGPM Wakan.
Karapi ing ngaran I Amang Kasuruan Muka ‘ing KGPM / Kerapatan Gereja Protestan Minahasa – tumo’tol am Wakan asiendo anio duminggo 29 Oktober 1933, wo sapaka eng Gereja karapi se Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan pakasa katare – tare tino’tolang ing KGPM am Wakan. Kita maliu – lius wayarumangat wo rumayo si Amang wailamn Kasuruan em papaan KGPM asiendo anio nimamualio Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Po’opo’ow pakasa sapaka sipaumungan kita anio nimamuali asiendo kinamang anio tanggal 29 Oktober 1933 emaantaendo pataneya tinowan ing Jemaat KGPM katare am Wakan, wo tiyo’o ipalupa – lupa akar ing kaure – ure.
Sipoouta David Moring angka’anta mamuali Guru Jemaat KGPM – wo sipo’owta Yoost Rembet mamuali Gembala am KGPM– sipoowta Junus Runtuwene mamuali Pengurus Daerah / Wilayah KGPM, J Sombayang – ta waya sapaka eng KGPM tumo’tol asiendo – anio akar ing kaure – ure, pakatuan wo pakalowiren kita imbaya.
Demikianlah pidato sambutan dan Proklamasi KGPM oleh B.W. Lapian Ketua Hoofd Bestuur KGPM, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya sbb:
“Bahwa saya sebagai Ketua Pengurus Besar Kerapatan Gereja Protestan Minahasa / KGPM dengan Rahmat Tuhan Pencipta Langit dan Bumi, pada hari ini minggu, 29 Oktober 1933 Memproklamasikan / Menyatakan berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ( KGPM ) Berdiri Sendiri / Otonom di Wakan melalui peresmian Gereja dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan menjadi Gereja dan Jemaat KGPM pertama dimulai di Wakan.
Kita jadikan hari bahagia ini 29 Oktober 1933 hari sejarah lahirnya Gereja Jemaat KGPM di Minahasa kita mengangkat saudara kita David Moring menjadi Guru Jemaat KGPM dan saudara kita Yoost Rembet menjadi Gembala Am KGPM sedangkan saudara kita Junus Runtuwene menjadi Pengurus Daerah / Wilayah KGPM, kita doakan semua kiranya KGPM mulai berdiri hari ini di Wakan dan untuk selama – lamanya. Pakatuan wo pakalowiren kita imbaya”.
Selesai pidato, acara berikutnya ialah peleburan dan penggabungan diri para anggota Majelis Gereja Indische Kerk Wakan, sejak tanggal 29 Oktober 1933 menjadi Majelis Gereja KGPM siding Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan. Dengan demikian sejak saat itu minggu 29 Oktober 1933 Gereja dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan resmi menjadi Gereja dan Jemaat KGPM yang pertama di Minahasa sehingga disebut Anak Sulung KGPM / Sidang Jemaat Sulung KGPM.
2. Reformasi Gereja Di Minahasa.
Kalau Reformasi – Pembaharuan dan Perubahan Gereja Roma menjadi Gereja Protestan oleh Reformator DR. Martin Luther pada kebaktian pertamanya tanggal 29 Oktober 1525 di Wittenberg Jerman, maka Reformasi Gereja di Minahasa – Indonesia terjadi dengan menginspirasi dan memotivasi Jemaat Wakan berjuang membebaskan Gereja dari dominasi Negara dan Pemerintah kolonial Belanda sejak 1 Oktober 1933 ; kemudian diproklamasikan menjadi Gereja Jemaat pertama berdirinya Gereja Reformasi pada tanggal 29 Oktober 1933 di Wakan dengan nama “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa – ( KGPM )”.
Hingga pada penulisan sejarah ini tahun ( 2002 ), didesa Wakan hanya ada satu golongan Gereja yaitu Gereja Protestan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan yang merupakan moment gerakan Gereja melawan politik Pemerintah kolonial dengan semboyan: Pemerintah kolonial masuk di Minahasa lewat Gereja, mereka harus keluar melalui jalur yang sama yaitu lewat Gereja ( A.M. Pangkey, Perserikatan Pangkal Setia ). Dalam bidang doktrin dan ibadah didasarkan dengan Pengakuan Iman Rasuli – tidak ada perbedaan yang prinsipal antara Wale Pinaesaan E Wakan / KGPM dengan Indische Kerk atau GPHB ( Gereja Protestan Hindia Belanda ).
Bab 8. Nama Dan Struktur Organisasi Gereja.
I. Arti Nama Wale Pinaesaan E Wakan.
Wale Pinaesaan E Wakan mengandung arti serta makna sebagai berikut:
a. Rumah Gereja milik masyarakat dan Jemaat Wakan, sebagai lambang persatuan dan Perjuangan masyarakat Wakan yang menjadi satu menentang politik Pemerintah kolonial beralaskan pada jiwa dan MENTAL NASIONALISME bertolak dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
b. Rumah Gereja adalah tempat ibadah Jemaat Wakan mengadakan persekutuan dengan Tuhan Yang Maha Esa didasarkan pada kepentingan Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri dengan hak Otonomi Jemaat menolak campur tangan Indische Kerk, Gereja Negara ( Staatskerk ) warisan Pemerintah kolonial Belanda.
c. Pembangunan Gereja Wale Pinaesaan E Wakan secara fisik keseluruhannya adalah hasil swadaya masyarakat dan Jemaat Wakan sendiri, tanpa bantuan Indische Kerk.
II. Struktur Dasar Organisasi Gereja Reformasi.
Desa Wakan yang tidak menarik hati setiap orang luar yang melihatnya tiba – tiba semenjak 1 Oktober 1933 kesanalah mata dan perhatian orang – orang ditujukan khususnya oleh para Indische Kerk karena disana telah terjadi suatu peristiwa yang sangat besar menggemparkan Pemerintah kolonial umumnya, dimana Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan telah menjadi pangkal tolak sejarah lahirnya Gereja Reformasi Berdiri Sendiri / Otonom.
Sebagai Tubuh Kristus yang banyak anggotanya, Roma 12:4-5, Kor. 12:12-14, 19-20, Efs. 4:16, Kol. 2:19b. Tentunya masyarakat dan Jemaat Wakan dengan sangat berbangga hati dan penuh sukacita iman menerima realita suatu Gereja Minahasa Merdeka, Gereja Minahasa Otonom yaitu Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ( KGPM ) yang Diproklamasikan oleh B.W. Lapian di Wakan melalui Gereja pelopor Reformasi dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan, yang sejak tanggal 1 Oktober 1933 telah berdiri sendiri terpisah dari pihak Indische Kerk.
III. Struktur Gereja Kongregasional.
KGPM dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya secara Organisasi sejak bulan Oktober 1933 menjadi salah satu afdeling / bagian dibawah perlindungan dan tanggung jawab Perserikatan Pangkal Setia. Berdasarkan ketentuan – ketentuan anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia pasal 15, KGPM telah bebas melakukan rapat Organisasi Gereja dan secara rutin melaksanakan kegiatan – kegiatan kebaktian lengkap tiap hari minggu dengan tata cara pengaturan kebaktian oleh Jemaat sendiri / Majelis Gereja sendiri, ( bukan Pucuk Pimpinan ). Kegiatan Bergereja itulah yang sangat mirip dengan struktur Gereja Kongregasional ala Robert Brown 1854 mengutamakan kepentingan dan aspirasi Jemaat.
Sistem Pemerintah Kongregasional itu yakni kekuasaan atau kedaulatan berada ditangan Jemaat dari bawah ke atas ( Down Top ) karena pembangunan Gereja dan pembentukan Jemaatnya itu dilaksanakan oleh Jemaatnya sendiri secara mandiri bukan karena Pucuk Pimpinan.
Jadi prinsip Kerapatan dari Kerapatan Gereja Protestan Minahasa itu adalah benar sesuai dengan apa yang dimaksud dengan Kongregasional dan berarti Gereja Reformasi sesuai dengan Sabda Kristus. Matius 18:20.
Dengan didasarkan pada Kepentingan Nasional dan kepentingan Gereja, maka akhirnya masyarakat dan Jemaat Wakan telah mampu mewujudnyatakan serta menciptakan berdirinya suatu Gereja Reformasi Berdiri Sendiri hasil – hasil Perjuangan dengan kekuatan Roh Kudus dalam bentuk Gereja Wale Pinaesaan E Wakan yang Kongregasional.
Sistem Pemerintahan Gereja yang paling Demokratis barang kali sistim Kongregasional itu, karena setiap sidang / Jemaatnya berdiri sendiri / Otonom sehingga Jemaatlah yang mengatur dan menentukan segalanya ( Bottom Up ). Tidak diadakan Sinode ( Pimpinan Gereja, presbyter dengan hak memerintah karena Jemaatlah yang mengatur, membiayai dan mengembangkan Gerejanya ).
Gereja Wale Pinaesaan E Wakan sebagai anak sulung KGPM sudah barang tentu mengikuti dan menganut struktur Gereja Kongregasional dengan rumus dan ciri – cirinya sebagai mana yang dikutip dari sejarah KGPM yang telah diresmikan tahun 1984 di Kawangkoan, antara lain disepakati sebagai berikut:
Gereja bentuk Kongregasional yang pertama di dunia didirikan oleh Robert Brown di Northwich Inggris tahun 1580 dan di Middelburg Belanda 1582 – 1584.
Ciri – ciri Kongregasional KGPM itu banyak perbedaan dari Kongregasional Robert Brown harus diberlakukan dan dituruti juga oleh Gereja Wale Pinaesaan E Wakan sebagai anak sulung KGPM, sebagai berikut:
1. Suatu Gereja Yang Esa, yang Nasional, Indonesia sejati bukan Kongregasional dari banyak Gereja Kongregasional ( bahasa Inggris ): congregate = sistim Gereja – Gereja berdiri sendiri menurut kamus umum Inggris Indonesia Poerdarminta SAM Goustra 1959.
2. Suatu Kongregasional sidang – sidang ( bukan Gereja – Gereja ).
3. Tiap siding berdiri sendiri, bertumbuh sendiri, berkembang sendiri, memimpin mengurus sendiri, bertanggung jawab ( Matius 18:20; 1 Kor 3:6-9; 1 Tes 5:24; 2 Tim 1:7 ).
4. Tiap – tiap sidang mempunyai Majelis Gereja dan badan Pengurus Organisasi sekarang disebut Badan Pimpinan Sidang ( BPS ) sebagai pembantu Majelis Gereja / Majelis siding.
5. Kepemimpinannya Presbiteral (yang tua) seperti Injil.
6. Sidang berdiri sendiri, yaitu sidang dewasa, yang sudah ada Guru Jemaat. Majelis Gereja / Majelis siding dan Badan Pimpinan Sidang dengan anggota diatas 20 keluarga. Yang belum memenuhi syarat untuk sementara menjadi dari satu siding induk.
7. Mempunyai satu keyakinan yang sama.
8. Lembaga tertinggi ialah kongres ( Sidang Raya ) bersifat musyawarah saudara bersaudara. Kis. 15:2,6,22.
9. Keputusan – keputusan kongres tidak mutlak, melainkan dituruti secara sukarela / tanpa paksaan, tergantung pada situasi kondisi dan kesanggupan sidang – sidang. Kis 15:28; 2 Kor. 1:24; 1 Kor 4:8.
10. Tiap siding yang hadir menyumbang uang ongkos kongres dan uang pelayanan makan minum yang ditetapkan oleh Pucuk Pimpinan.
11. Tiap utusan sidang bebas mengeluarkan pendapat, saran dan usul.
12. Pucuk Pimpinan, Dewan Gembala dan Dewan Pengurus Organisasi dipilih oleh kongres secara langsung atau oleh suatu badan formatur atau oleh Ketua Umum yang terpilih.
13. Tokoh awam yang saleh, berwibawa, berpengaruh dan aktif di Gereja dapat dipilih menjadi anggota Pimpinan Gereja atau Majelis Sidang.
14. Pucuk Pimpinan hanya bersifat koordinator, Stabilator dan dinamisator, motivator atau bersifat memimpin, mengatur bersama ( Mat. 20:25-28; 23:12; 1 Petr. 5:2-3; 1 Kor 3:5-9; 4:8; 2 Kor 1:24 ) antara Pucuk Pimpinan dan Pimpinan Sidang.
15. Hubungan keuangan dari sidang ke Pucuk Pimpinan bersifat sukarela ( 2 Kor. 9: 78 ) hal ini perlu ditinjau ( 1 Kor. 9:14; Gal 6:2 ).
16. Oleh karena Pucuk Pimpinan tidak mempunyai dana anggota P.P. bersifat sukarela pula seperti Zaman rasul ( 1 Kor. 4:9-13; 2 Tes. 3:8; Kis. 20:34-35 ).
17. Siasat Gereja harus berdasarkan kasih. ( Luk. 6:36; Mat 7:12; 22:39 ).
18. Hak milik sidang, tetap dalam kuasa siding. Pucuk Pimpinan hanya perlu mengawasi dan melindungi, oleh karena siding berdiri sendiri / Otonom.
IV. Majelis Sidang Dan Pengurus Sidang.
1. Majelis sidang / Majelis Gereja yaitu:
a. Penatua / Tua – Tua dalam bahasa asing presbyter, yaitu pelayanan rohani tiap – tiap lingkaran ( kring ) dalam siding dan pembantu tugas pelayanan rohani dan Guru Jemaat atau Gembala sidang ( Kis. 14:23; 15:6; 1 Petr. 5:1-3; 1 Tim. 5:17; Tit. 1:5-6 ).
b. Samas, dalam bahasa asing diakui, yaitu pelayanan sosial dalam sidang ( Kis. 6:1-3; 1 Tim. 3:8-13 ).
2. Badan pengurus sidang / Badan Organisasi, yaitu Badan Pembantu Majelis Gereja, khusus mengurus soal organisasi yang bukan tugas Penatua dan Samas, mereka bertugas dibawah pengaturan sidang berpatokan di Injil tentang muda – muda sidang, suatu Badan Pembantu dalam sidang. Badan Pengurus sidang bukanlah Badan Pimpinan Sidang diatas Majelis Sidang.
3. Ajaran Gereja Reformasi KGPM.
Azas Pengajaran dan Sakramen.
a. Azas pengajaran.
1. Segenap Alkitab, perjanjian lama dan baru
2. 12 perkara iman Masehi ( Perserikatan Pangkal Setia, ialah Yesus Kristus, 1 Kor. 3:10-13 ) bagian – bagian yang dari peraturan Gereja Perserikatan Pangkal Setia, sudah diubah oleh Gbl. Z. Talumepa dengan 12 perkara Iman Masehi.
b. Sakramen.
1. Pembaptisan.
2. Perjamuan.
3. Pernikahan.
4. Pengurapan Gembala, Guru Injil, Penatua dan Syamas.
Dalam peraturan Gereja Perserikatan Pangkal Setia hanya ada dua jenis Sakramen yaitu 1 dan 2, yang 3 dan 4 ditambahkan oleh Gbl. Z. Talumepa pada kongres KGPM 17 Desember 1939 di Kawangkoan, kedua Sakramen akhir (3 dan 4) dicoret.
V. KGPM dan Proklamasi kemerdekaan.
Sejak kongres tersebut diatas 17 Desember 1939, KGPM melepaskan diri dari ikatan Perserikatan Pangkal Setia dan tidak lagi menjadi cabang / bagiannya. Perlindungan dialihkan kepada Fraksi Nasional Volksraad (DPR) yang di Ketuai oleh M.H. Thamrin (B.W. Lapian anggota Fraksi itu), supaya tidak dibekukan oleh Pemerintah kolonial karena belum ada Erkening (Pengakuan sebagai Badan Hukum).
Bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan melalui Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, setelah perjuangan fisik berjalan kurang lebih 4 tahun maka pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui Kedaulatan Bangsa Indonesia. Pada tahun 1950, B.W. Lapian mendaftarkan Organisasi Gereja KGPM dalam Departemen Agama di Jakarta, sejak Tahun 1950 itu KGPM dinyatakan sebagai Organisasi Gereja yang sah didalam Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian masyarakat dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan Cq. KGPM sebagai Gereja Nasional turut mengsukseskan program Pemerintah dalam pembangunan terutama dalam Pembinaan Mental. Pembangunan mengisi kemerdekaan hanya dapat berhasil apabila Subyek dan objek pembangunan itu sudah benar – benar BERMENTAL NASIONAL.
Inilah antara lain Perjuangan Gereja Wale Pinaesaan E Wakan dalam masa mengisi Kemerdekaan R.I. menyediakan manusia – manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bab 9. Penutup.
A. Kesimpulan.
1. Bahwa proses pembangunan Wale Pinaesaan E Wakan oleh masyarakat Jemaat yang dimulai sejak tahun 1928 ( masa penjajah kolonial Belanda ), adalah bersamaan dengan hangat – hangatnya semangat Perjuangan Bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan bangsa yang bertolak dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dengan demikian pula para pemuda / pemudi desa Wakan waktu itu bangkit semangat patriot mereka walau tanpa mengangkat senjata berjuang melalui misi Gerejawi mengusir penjajah menuntut pemberian hak mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri dan tahap berikutnya menuntut pemisahan Gereja lokal setempat dari penguasa Gereja Negara Indische Kerk ( Gereja Protestan Hindia Belanda / GPHB ).
2. Kebersihan perjuangan masyarakat Wakan mendirikan Gereja Wale Pinaesaan E Wakan tanggal 1 Oktober 1933 yang ditandai dengan Peresmian suatu Gereja Reformasi Gereja Merdeka Berdiri Sendiri / Otonom oleh para Tokoh – Tokoh dan Jemaat Wakan adalah kehendak Tuhan mendirikan Gereja di segala tempat di Indonesia untuk menjadi saksiNya.
3. Gereja Wale Pinaesaan E Wakan menampakkan dirinya sebagai Gereja Nasional Merdeka yang oleh kekuasaan dan kekuatan Roh Kudus melaksanakan tugas panggilan Gereja memberitakan Injil menampakkan persekutuan dan panggilan kasih.
4. Motivasi berdirinya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan, adalah benar – benar bersifat Gerejawi yang kemudian menandai Pendorong Pemicu Proklamasi KGPM ( Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ) tanggal 29 Oktober 1933 di Wakan yang hendak melaksanakan tugas pelayanan Gereja menurut kehendak Tuhan, tidak didikte atau diperintah dan dikuasai oleh Pemerintah duniawi agar Jemaatnya dapat melaksanakan ibadah secara bebas menurut kepercayaan, keyakinan yang telah digariskan Gerejanya.
5. Hari minggu tanggal 1 Oktober 1933 adalah tonggak sejarah berdirinya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan dengan garis tugas panggilan pokok ialah: bersekutu, bersaksi, di seluruh tanah air dan Bangsa Indonesia bukan hanya terbatas di Minahasa.
6. Gereja Wale Pinaesaan E Wakan adalah Gereja Merdeka / Independen, Gereja Minahasa berdiri sendiri merupakan moment Gerakan Perjuangan Gereja Reformasi berjiwa sosial yang dilaksanakan secara mandiri dan swadaya murni oleh Jemaat Wakan mewarnai persatuan kehidupan masyarakat Wakan melawan politik Pemerintah kolonial dan Gereja Negara Indische Kerk.
7. Tulisan – tulisan sejarah Wale Pinaesaan E Wakan ini yang terdapat dalam bab IV dan VI umumnya hampir keseluruhan diperoleh dari naskah sejarah desa Wakan dan KGPM di tambah dengan percakapan – percakapan langsung dengan pelaku sejarah J.D. Kesek oleh E.F. Rembet anggota tim penyusun sejarah Wale Pinaesaan E Wakan.
Namun bukanlah berarti penyusunan sejarah ini sudah sempurna, masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan untuk itu diharapkan sangat bantuan perbaikan serta koreksi yang membangun dari semua pihak, demi untuk menampakkan kepribadian identitas dan persatuan sesuai arti dan makna dari namanya Wale Pinaesaan E Wakan.
Akhirnya kami Tim penyusun / penulis sejarah ini menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya kepada semua pihak dan sumber – sumber lainnya yang telah membantu kami memungkinkan tersusunnya bahkan mempercepat terbitnya Buku Sejarah Wale Pinaesaan E Wakan ini.
B. Pesan Dan Saran – Saran.
1. Diminta kepada seluruh masyarakat dan Jemaat Wakan agar dapat kembali mempelajari dan memahami benar – benar serta menghayati akan nilai – nilai Perjuangan orang Tua – Tua pendahulu kita sehingga dengan demikian kita mempunyai modal dasar yang kuat untuk mengahadapi tantangan – tantangan baik dari dalam maupun dari luar.
2. Dalam hubungan kerja samanya dengan Gereja – Gereja dan Jemaat secara ekstern supaya tetap menjaga dan menyadari bahwa Gereja Wale Pinaesaan E Wakan memiliki nilai – nilai luhur yang membentuk kepribadiannya sebagai tonggak sejarah berdirinya suatu Gereja Reformasi, Gereja Minahasa Merdeka yang Otonom, hasil Perjuangan orang Tua – Tua kita sebagai perintis, pelopor dan pelaku pembangunan Gereja Nasional tersebut ( 1926 – 1933 ).
3. Mari kita tingkatkan mutu kehidupan Jemaat dalam segala bentuk aspeknya berdiri teguh dan konsekuen dalam melaksanakan Visi dan Misi Gereja yang mempunyai indentitas dan sejarah yang normatif ( dapat dijadikan ukuran dan pegangan ) agar jangan terbawa oleh oknum Pemimpin – Pemimpin avonturir yang terus berusa merusak identitas Gereja Wale Pinaesaan E Wakan dan KGPM Kongregasional itu, demi kepentingan pribadi maupun golongan. Kesemuanya ini adalah merupakan beban histories Jemaat Wakan yang harus diselesaikan dan diatasi secepat mungkin.
4. Hal – hal tersebut diatas perlu kita pahami benar, jika kita teliti secara cermat sejak lahirnya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan 1933 sebagai Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri / Otonom, maka sebagai generasi penerus Jemaat Wakan, seolah – olah kehilangan kecintaan, kehilangan fanatisme dan kepedulian terhadap penelitian dan pengetahuan tentang sejarah proses lahirnya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan, kesemuanya itu dapat terjadi karena:
Pertama: Semenjak generasi pelaku, pendiri Gereja di Wakan tahun 1926 hingga menjelang akhir tahun 2000, belum pernah ada tersusun suatu tulisan sejarah Gereja di desa Wakan secara lengkap tentang lahirnya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan yang merupakan Gereja Reformasi di Wakan, Minahasa Sulawesi Utara pada tanggal 1 Oktober 1933 bahkan menjadi anak sulung / Jemaat sulung Gereja KGPM ( Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ) yang Diproklamadikan di Wakan pada tanggal 29 Oktober 1933.
Kedua: Pada tahun 1969 terjadi perpecahan Pucuk Pimpinan Gereja KGPM, yaitu selain keberadaan P.P. KGPM 29 Oktober 1933 di Kawangkoan dengan Ketua Umum B.W. Lapian, maka pada bulan Oktober 1969 muncul Pucuk Pimpinan tandingan yang didirikan oleh Ny. S.K. Pandean, dkk di Manado, dikenal dengan “Perkumpulan Gereja” ( Kerk Genootschap ) KGPM 21 April 1933. Hal ini telah mengakibatkan persatuan Jemaat Wakan menjadi goyah dimana sebagian dari Jemaat dan generasi muda berangsur – angsur kehilangan percaya diri, kehilangan dasar berpijak bahkan seolah – olah berada dipersimpangan jalan kemudian kehilangan motivasi untuk memiliki dan mempelajari sejarah Wale Pinaesaan E Wakan secara utuh dan tanggung jawab.
Perpecahan KGPM ini berlangsung selam 13 tahun ( 1969 sampai 1982 ) dan hanya oleh kehendak Tuhan dan Roh Kudus bersatu kembali pada siding raya KGPM di Molompar tahun 1982 menjadi KGPM 29 Oktober 1933 yang asli / Kongregasional.
Berdasarkan hal – hal tersebut diatas, maka tidaklah mengherankan apabila sebagian besar generasi muda penerus Jemaat Wakan diperkirakan sangat kurang menghayati dan memahami bahwa Proklamasi Gereja dan Jemaat Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ( KGPM ) yang pertama – tama di Minahasa itu, dilakukan oleh Hoofd Bestuur KGPM tanggal 29 Oktober 1933 di Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan yang sejak tanggal 1 Oktober 1933 telah berhasil berdiri sendiri, Otonom, melepaskan dan memisahkan diri dari kekuasaan Indische Kerk / Gereja Negara Pemerintah kolonial. Dengan kata lain modal dasar Proklamasi Gereja dan Jemaat KGPM pertama tanggal 29 Oktober 1933 itu bersumber dari eksistensi Gereja dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan sebagai Gereja Minahasa Merdeka pertama yang berdiri sendiri sejak tanggal 1 Oktober 1933 di Sulawesi Utara.
Dapat pula diungkapkan disini bahwa kebangkitan dan kesadaran Nasionalisme masyarakat desa Wakan menentang pengaruh dan kekuasaan Pemerintah kolonial dan Indische Kerk itu merupakan hasil Perjuangan dan pergerakan sosial politik orang Tua – Tua perintis dan pelaku pembangunan Gereja Reformasi yang perlu dicatat dalam sejarah dan perlu dikenang selalu sebagai usaha menuju tercapainya Kebebasan Bergereja dan Kemerdekaan Bangsa. Sedangkan maksud dan tujuan Gereja Reformasi Wale Pinaesaan E Wakan menjalankan tugas Gereja Tuhan, tidak terlepas dari Program Nasional dan merupakan bagian mutlak dari Perjuangan suci demi Kemuliaan Kerajaan Tuhan dan Kemerdekaan bersekutu dan Bergereja.
Untuk itulah sejarah Gereja ini disusun dan ditulis oleh Tim penyusun dengan penghargaan besar kiranya penyajian sejarah yang sederhana ini dapat dijadikan ukuran dan pegangan dasar dalam membantu masyarakat dan Jemaat Wakan terutama bagi generasi penerus, anak cucu kita semua untuk menegakkan dan meneruskan cita – cita Perjuangan luhur orang – orang Tua para pendahulu kita hanyalah demi Hormat Kemuliaan Tuhan.
Mengakhiri semua penulisan ini, perkenalkan kami mengingatkan kita akan Doa Rasul Paulus dalam Filipi 1:9-11 “Semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memiliki apa yang baik supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah. Amin .
Pimpinan Pusat (2010-2015)[1][4]
1. Drs. S. H. Sarundajang
2. Drs. Markus Wauran
3. Dr. Jefrry Tamboto
4. Prof. Dr. L. M. Ghandi Lapian, S.H.
5. Gbl. Andries Sengkey, S.Th.
1. Gbl. Dr. Jan Tambajong, M.Th
2. Prof. Dr. Dolfi Mokodongan
3. Dr. D. Massie
- Ketua Umum Pucuk Pimpinan: Gbl. Tedius K. Batasina, S.Th.
- Ketua Bidang Oikumene: Gbl. Ferry Liow, M.Th.
- Ketua Bidang SDM: Pnt. Prof. Dr. Ir. Syeni Mandang, M.S.
- Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan: Pnt. Ir. Jantje Wauran, M.M.
- Sekretaris Umum: Gbl. Fetrisia Aling, M.Th.
- Wakil Sekretaris I: Gbl. Joyke Rambitan, S.Th.
- Wakil Sekretaris II: Drs. Tenni Assa
- Wakil Sekretaris III: Pnt. Prof. Dr. Revolson Mege, M.S.
- Bendahara Umum: Pnt. Charles Tumbel SE.Ak.
- Ketua Majelis Gembala: Gbl. Joppy A. Laloan, M.Th.
- Ketua Bidang Persekutuan: Gbl. Rolly Liow, S.Th.
- Ketua Bidang Pelayanan: Gbl. Vera Lintong, S.Th.
- Ketua Bidang Kesaksian: Gbl. James Rumagit, S.Th.
- Ketua Bidang Pembinaan: Gbl. Boyke Suak, M.Th.
Kantor pusat
Alamat kantor pusat Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM):[5]
- Jalan Sea Malalayang Satu,
- Kotak Pos 1239
- Manado 95012,
- Sulawesi Utara
- Indonesia
- Telepon: 62-431-865 941
Referensi
Lihat pula
Pranala luar