Tentena memiliki total luas 82.49 km2 dengan populasi mencapai 11.233 jiwa. Tentena adalah kota terbesar kedua di Kabupaten Poso, setelah ibu kota kabupaten. Kawasan urban Tentena umumnya terdiri dari tiga kelurahan, yaitu kelurahan Tentena, Sangele, dan Pamona.[2]
Kata "Tentena" umumnya dipakai masyarakat untuk menjelaskan kepada orang lain terkait daerah asalnya. Dengan menyebut kata "Tentena" sebagai daerah asal, maka individu itu dapat diketahui dari mana asalnya meskipun individu tersebut bukan berasal dari Tentena.[a][9] Sejak awal tahun 1940-an, masyarakat dari 38 desa di sekitaran Tentena menganggap diri mereka sebagai masyarakat Tentena.
Nama "Tentena" lebih dikenal oleh masyarakat di Sulawesi umumnya dan ini sudah berlangsung lama, sejak Tentena memiliki kejayaan di masa lalu, yang secara khusus berkaitan dengan pembentukan pasar tradisional mula-mula atau disebut dengan "PasarSubuh", sehingga nama dari salah satu wilayah administratif kecamatan Pamona Puselemba dipakai sebagai identitas dari seluruh masyarakat yang bermukim pada wilayah kecamatan tersebut.[9]
Sejarah
Tentena telah dipersiapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi tempat hunian baru karena letaknya yang strategis. Tentena sudah lama dipersiapkan jauh hari sebelum orang-orang disuruh turun gunung untuk menempati wilayah tersebut (Tentena). Zending memiliki hak otonom untuk mengolahnya dalam mempersiapkan lokasi-lokasi yang kelak akan dibangun dan ditempatkan berbagai pusat pelayanan masyarakat.[10][11]
Pada akhir tahun 1800-an sampai tahun 1900-an, usaha Albert Christian Kruyt dan Nicolaus Adriani dalam mengajak orang Pamona untuk turun menempati permukiman yang telah dipersiapkan adalah proses perjalanan panjang dalam mewujudkan wilayah yang terintegrasi dengan sistempelayanan masyarakat. Kruyt dan Adriani awalnya mengajak To Wingke mPoso, anak suku yang bermukim di pegunungan sekitar Tentena. Kruyt akhirnya berhasil mengajak To Wingke mPoso bermukim di Tentena, wilayah yang dipersiapkan. Pada tahun 1902 terjadi migrasi besar dari pemukiman To Langgadopi, To Wawolembo, To Wawopada, To Tinoe, To Tamungkudena ke Tentena.[10]
Pada akhir abad ke-19, Tentena adalah pusat pelayanan publik. Dua jenis pelayanan publik pada saat itu adalah pendidikan dan kesehatan.[12] Dalam memenuhi kepentingan masyarakat, Zending banyak mendirikan kantor-kantor pelayanan di Tentena seperti Limbue yaitu kantor sinode pertama sebelum didirikannya kantor sinode GKST di Jalan Setia Budi, Kelurahan Sangele.
Pada tahun 1902, Kruyt mengajak masyarakat yang bermukim di pegunungan[b] untuk turun, dan kemudian menempati pemukiman baru yang telah disediakan. Pada tahun 1905, zending secara efektif menjalankan pembangunannya di Tentena. Pada tahun 1917, Kandepe Kasina dipindahkan ke Tentena dan menjadi satu bagian dari berbagai pusat pelayanan zending. Kandepe Kasina akhirnya dapat menampung dan melayani masyarakat dalam jumlah besar di BalaiPengobatan.[10]
Pada tahun 1940, Raja Talasa tua mengutus putra sulungnya, Wongko Talasa, sebagai raja muda untuk mengepalai pemerintahan di Tentena. Pada tahun 1950, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan beberapa mesingergaji dan para instruktur untuk melatih masyarakat di wilayah Tentena sebagai tempat hunian baru. Salah satu tempat untuk menghasilkan bahan baku rumah penduduk, berada di wilayah Tandongkayuku. Pada tahun 1950, Tentena juga mengalami masa paceklik. Situasi ini mendorong masyarakat mencari cara lain untuk tetap bertahan, dan cara yang dilakukan mereka untuk mengantisipasi hal tersebut antara lain mengolah jagung sebagai bahan makanan atau disebut beras jagung (dalam bahasa Pamona disebut Kina'a Bose).[c]
Demografi
Kependudukan
Jumlah penduduk di Tentena sangat fleksibel, setiap tahun mengalami pertambahan jumlah penduduk akibat arus migrasi dari daerah lain, tidak hanya berasal dari Sulawesi tetapi berasal dari luar Sulawesi, dengan persentase yang meningkat dengan sangat tajam.[10]
Sebelum konflik, wilayah kelurahan Sangele merupakan wilayah terpadat penduduk dengan tingkat persentase kepadatan penduduk sebesar 36.61%, disusul persentase penduduk pada kelurahan Pamona dengan jumlah 34.53%, kemudian kelurahan Tentena dengan jumlah persentase kepadatan penduduk sebesar 28.84%. Saat ini, jumlah penduduk terpadat berada di Kelurahan Pamona dengan persentase 50.79%.[9]
Agama
Penduduk kota ini mayoritas memeluk agama Kristen, sedangkan pemeluk Islam telah berkurang sejak kerusuhan dan hanya sedikit yang kembali pasca kerusuhan. Suku asli yang mendiami kota ini adalah suku Pamona. Suku Pamona juga tersebar hampir di seluruh provinsi Sulawesi Tengah. Tentena adalah pusat Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Agama Kristen diterima sebagai agama rakyat (public religion). Anggota gereja ini tersebar di seluruh kabupaten di Sulawesi Tengah dan sebagian Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu Timur).
Ekonomi
Migrasi penduduk asal kota Poso (eks-pengungsi) pada masa konflik memberikan pengaruh terhadap perkembangan pusat aktivitas ekonomi. Perkembangan pusat aktivitas ekonomi yang terjadi adalah kemunculan titik-titik dari aktivitas ekonomi yang baru.
Dulu, pusat aktivitas ekonomi berada di kelurahan Sangele, dan kini bergeser pada wilayah kelurahan Pamona. Wilayah kelurahan Pamona, selain keberadaan Pasar Sentral Tentena II, juga memiliki pusat pelayanan publik lainnya seperti Kantor Urusan Agama dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan di jenjang pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi.[9]
Selain itu, lokasi Tentena yang strategis dan terletak di pinggir Danau Poso dan lahan yang subur menjadi perhatian pelaku bisnis tertentu sehubungan dengan sogili (belut danau) dan sektor perdagangan untuk hasil pertanian dan perkebunan. Beberapa objek wisata di sekitar Tentena termasuk Danau Poso, Gua Latea dan Air Terjun Saluopa.
Catatan
^Jika seseorang mengatakan bahwa dia orang Tentena, sementara pada kenyataannya yang bersangkutan adalah orang Sangele, maka hal itu bisa diterima karena wilayah Sangele berdekatan dengan Tentena.
^Beberapa anak suku Pamona antara lain To Wingke mPoso.
^Kina'a Bose, pengertian harafiahnya adalah Nasi Gemuk.