Desmond Tutu
Desmond Mpilo Tutu (7 Oktober 1931 – 26 Desember 2021)[1] adalah seorang teolog yang berasal dari Afrika Selatan.[1] Ia juga merupakan seorang aktivis yang dikenal luas pada era 1980-an sebagai salah seorang penentang apartheid.[1] Tutu dipilih dan ditahbiskan menjadi uskup berkulit hitam pertama di Gereja Anglikan[1] Ia ditahbiskan di kota Cape Town.[1] Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela juga memberikan pandangan yang baik tentang Tutu.[2] Ia berkata bahwa Tutu adalah seorang yang tidak pernah takut untuk menyuarakan suara "mereka yang tidak dapat bersuara".[2]. Riwayat HidupDesmond Mpilo Tutu lahir di Transvaal. Ayahnya adalah seorang guru sekolah namun ibunya tidak menempuh pendidikan.[1] Tutu melanjutkkan pendidikannya ke sekolah tingkat atas terkenal yang bernama Johannesburg, sekolah milik kaum Bantu, pada tahun 1945-1950 dan memulai langkah karier pertama dengan mengajar di Pretoria Bantu Norm College mulai tahun 19 Konteks ApartheidSetelah jatuhnya rezim apartheid pada tahun 1994 dan berkuasanya Kongres Nasional Afrika atau ANC (African National Congress), Tutu sering menggunakan frasa Rainbow Nation (Bangsa Pelangi).[3] Ia menggunakannya sebagai sebuah metafora untuk menggambarkan keragaman di Afrika Selatan.[3] Meskipun apartheid resmi dihapus pada tahun 1990, situasi di Afrika Selatan masih belum lepas dari masalah kemanusiaan.[4] Menurut Tutu masih ada dosa dan juga benih yang berkelanjutan yang dapat menghasilkan kemungkinan terjadinya penindasan kembali.[4] Ia berpendapat bahwa "Orang yang ditindas kelak dapat menjadi penindas karena dosa membuat kemungkinan ini menjadi ada".[4] Menurut Tutu berkembangnya diskriminasi ras utamanya disebabkan oleh teori yang disebut fisiognomi.[4] Teori ini adalah hasil analisis psikologis yang menyimpulkan bahwa karakter ditentukan oleh karakteristik fisik.[4] Hendrik Verwoerd menyatakan bahwa karena ciri-ciri fisik manusia berdasarkan ras berbeda maka mereka seharusnya dipisahkan.[4] Situasi politik di Afrika Selatan pada saat itu juga mencegah terjadinya kesetaraan di antara ras yang berbeda.[4] Pada konteks ini Tutu adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam menyuarakan pandangannya menentang apartheid.[4] PerananTutu nyata di bidang politik dengan terlibat langsung dalam organisasi pemerintah untuk menentang apartheid.[4] Ia melakukan hal ini berdasarkan pendiriannya sebagai seorang kristen.[4] PemikiranTutu menolak pandangan yang menilai keberadaan seseorang berdasarkan warna kulit.[4] Sebagai seorang berkebangsaan Afrika Selatan, Tutu mendasarkan teologinya berdasarkan bahasa dan budaya Afrika Selatan dan tentu saja berdasarkan sudut pandang seorang Anglikan.[5] Menurut Michael Battle, pemikiran Tutu dapat disebut sebagai “komunitarian yang spiritual” karena ia menyatakan kemanusiaan manusia berada di dalam relasi dengan yang Allah dan manusia lain.[5] Dalam tulisan Tutu yang berbicara tentang "diabolical policy", ia mengkritik kebijakan pemerintah dengan menyatakan bahwa orang kulit hitam tidak diberi kesempatan untuk memilih dalam hidup mereka sendiri, malahan mereka menderita di tanah sendiri.[3] Selama ia mengepalai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ia merangkul seluruh orang Afrika Selatan dan mengikutsertakan mereka dalam karya komisi ini.[6] Komisi ini mengkampanyekan slogan "Kebenaran itu menyakitkan, tetapi diam itu membunuh", untuk mengajak seluruh pihak terlibat dalam upaya mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi.[6] Teologi UbuntuUbuntu merupakan konsep Afrika Selatan mengenai komunitas yang dipinjam oleh Tutu.[4] Ubuntu berarti "kemanusiaan".[3] Konsep ini dikemukakan oleh Tutu sebagai tafsiran yang mengoreksi teologi keselamatan Barat yang bersifat individualistik.[4] Tutu berargumen bahwa setiap manusia terkait dengan yang lainnya.[4] Keselamatan adalah sebuah pemberian, bukan hasil dari usaha kita sendiri melainkan diberikan secara cuma-cuma oleh Allah.[6] Integritas ciptaan dan panggilan untuk hidup serupa dengan gambar Allah (Imago Dei).[4] Oleh karena itu kondisi ini mensyaratkan hubungan yang mutualis seperti yang diajarkan oleh Yesus dalam Yohanes 15:15.[4] Jika dihubungkan dengan realita yang terjadi akibat apartheid di Afrika Selatan maka sebenarnya baik penindas maupun yang ditindas tidak dapat memperoleh kepenuhannya sebagai manusia.[4] Kondisi saat itu membuat manusia berada di dalam hubungan yang rusak dengan sesamanya.[4] Teologi Ubuntu yang diusung oleh Tutu ini dimulai dengan pandangan mengenai ciptaan Allah.[4] Identitas kemanusiaan diceritakan sebagai gambar Allah.[4] Tutu percaya bahwa Allah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang terbatas yang diciptakan oleh yang tidak terbatas.[4] Pandangan materialistik yang menganggap nilai manusia berdasarkan barang-barang yang dihasilkan membuat adanya pembedaan nilai yang terdapat di dalam manusia.[4] Perbedaan dilihat menjadi ancaman dan hal ini menjadi pemacu munculnya apartheid.[4] Apartheid ini sebenarnya menjauhkan manusia dari keserupaan dengan Allah.[4] Ideologi rasis ini mengarah pada penggunaan kekuasaan untuk menindas sehingga "penindas-lah yang memiliki kuasa untuk dapat menentukan keberadaan yang lain".[4] Kondisi yang rusak ini dapat dipulihkan dengan lensa Ubuntu yang melihat manusia dapat hidup dalam kepenuhannya di dalam suatu komunitas, di dalam persekutuan, dan di dalam damai.[4] Menurut Tutu, hanya Allah yang mengetahui penderitaan itu dan mengatasinya bukan dengan cara yang ajaib, melainkan melalui proses pemusnahan, penghancuran, dan kesakitan. Yesus juga menjalani hal ini melalui penyaliban.[4] Melalui Yesus kita dapat mengetahui bahwa Allah adalah milik kita baik secara partikular maupun secara kosmikal.[4] Peran GerejaTutu menyatakan bahwa Gereja memiliki peran sebagai model dalam menyaksikan keadilan dan kedamaian.[5] Gereja memiliki peran profetis yaitu menyuarakan kebenaran dan keadilan, pada saat itu berfungsi untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil.[5] Ia mengajukan tantangan bagi Gereja untuk hidup sebagaimana Gereja di tengah pergumulan dunia yaitu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.[5] Dalam mewujudkan Kerajaan Allah di dunia, umat memiliki tugas untuk berekonsiliasi demi menyembuhkan dan memulihkan keadaan setiap pribadi, kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sesuai dengan kehendak Allah terhadap manusia yaitu kedamaian.[5] Tulisan-Tulisan dan Khotbah-Khotbah Penting
Pranala luar
Referensi
|