Komite Internasional Palang Merah (International Comittee of the Red Cross, ICRC) adalah lembagakemanusiaanswasta yang berbasis di Jenewa, Swiss. Negara-negara peserta (penanda tangan) keempat Konvensi Jenewa 1864 dan Protokol Tambahan 1977 dan 2005, telah memberi ICRC mandat untuk melindungi korban konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Termasuk di dalamnya adalah korban luka dalam perang, tawanan, pengungsi, warga sipil, dan non-kombatan lainnya.[3]
ICRC adalah salah satu dari tiga komponen, sekaligus cikal bakal, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Selain ICRC, komponen Gerakan antara lain Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) dan 186 Perhimpunan Nasional. Perhimpunan Nasional di Indonesia bernama Palang Merah Indonesia (PMI). ICRC adalah organisasi tertua dan dihormati dalam Gerakan, dan merupakan salah satu organisasi yang paling banyak diakui di seluruh dunia. Salah satu contoh pengakuan dunia, ICRC telah tiga kali menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1917, 1944, dan 1963.
Misi dan mandat
Pernyataan misi resmi ICRC berbunyi: Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi yang tidak memihak, netral, dan mandiri, yang misinya semata-mata bersifat kemanusiaan, yaitu untuk melindungi kehidupan dan martabat para korban konflik bersenjata dan situasi-situasi kekerasan lain dan memberi mereka bantuan. ICRC mengarahkan dan mengkoordinasi kegiatan bantuan kemanusiaan dan berupaya mempromosikan dan memperkuat hukum humaniter dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Tugas utama ICRC bersumber pada Konvensi Jenewa dan Statuta Gerakan, di mana dikatakan bahwa tugas ICRC antara lain:
memantau kepatuhan para pihak yang bertikai kepada Konvensi Jenewa
mengorganisir perawatan terhadap korban luka di medan perang
mengawasi perlakuan terhadap tawanan perang (Prisoners of War – POW) dan melakukan intervensi yang bersifat konfidensial dengan pihak berwenang yang melakukan penahanan.
membantu pencarian orang hilang dalam konflik bersenjata (layanan pencarian)
mengorganisir perlindungan dan perawatan penduduk sipil
bertindak sebagai perantara netral antara para pihak yang berperang
Status hukum
ICRC adalah satu-satunya institusi yang disebut secara eksplisit menurut Hukum Humaniter Internasional (HHI) sebagai otorita pengawas. Mandat hukum ICRC bersumber pada empat Konvensi Jenewa 1864, serta Statuta Gerakan. ICRC juga menjalankan tugas-tugas yang tidak secara khusus diamanatkan oleh hukum, seperti mengunjungi tahanan politik di luar konflik dan memberikan bantuan kemanusiaan dalam bencana alam.
ICRC adalah asosiasi swasta yang terdaftar di Swiss dan mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum di wilayah Swiss selama bertahun-tahun. Hak-hak istimewa itu dikatakan mendekati kedaulatan de facto. Pada tanggal 19 Maret 1993, landasan hukum perlakuan khusus untuk ICRC ditetapkan melalui perjanjian resmi antara Pemerintah Swiss dan ICRC. Perjanjian ini melindungi "kesucian" (sanctity) semua properti ICRC di Swiss termasuk kantor pusat dan arsip-arsip, memberi kekebalan hukum kepada anggota dan staf, membebaskan ICRC dari semua pajak dan biaya, menjamin pengiriman barang, jasa, dan uang yang dilindungi dan bebas kepabeanan, memberi ICRC privilese komunikasi yang aman setara dengan kedutaan asing, dan menyederhanakan perjalanan ke dalam dan ke luar Swiss bagi ICRC. Sebaliknya Swiss tidak mengakui passport yang dikeluarkan ICRC.
Berbeda dengan keyakinan umum, ICRC bukan entitas berdaulat seperti Orde Penguasa Militer Malta (Sovereign Military Order of Malta) dan juga bukan merupakan organisasi internasional, baik non-pemerintah (LSM) maupun antar pemerintah. ICRC membatasi keanggotaannya hanya warga negara Swiss, dan juga tidak seperti kebanyakan LSM, ICRC tidak memiliki kebijakan keanggotaan yang terbuka dan tak terbatas bagi semua orang karena anggota baru dipilih oleh Komite (melalui suatu proses yang disebut cooptation/pemilihan). Akan tetapi, sejak awal 1990-an, ICRC mempekerjakan orang-orang dari seluruh dunia untuk bekerja dalam misi lapangan dan di Kantor Pusat. Pada tahun 2007, hampir setengah staf ICRC bukan warga negara Swiss. ICRC mendapat privilese dan kekebalan hukum di banyak negara, berdasarkan hukum nasional di negara-negara tersebut, berdasarkan perjanjian antara ICRC dan pemerintah, atau, dalam beberapa kasus, berdasarkan yurisprudensi internasional (seperti hak delegasi ICRC untuk tidak memberi kesaksian di depan pengadilan internasional).
Sejarah
Pendirian Komite Internasional Palang Merah
ICRC berawal dari visi dan tekad seseorang yaitu Henry Dunant. Tanggal: 24 Juni 1859. Tempat: Solferino, kota kecil di Italia utara. Pada waktu itu tengah pasukan Austria dan Prancis bertempur sengit. Sore harinya, 40.000 prajurit bergeletakan tewas atau terluka. Henry Dunant, seorang warga Swiss, kebetulan melewati daerah itu untuk suatu urusan bisnis. Ia ngeri menyaksikan ribuan prajurit menderita tanpa pelayanan medis. Ia mengajak penduduk setempat merawat mereka. Dia tekankan bahwa prajurit dari kedua belah pihak harus diberi perawatan yang setara.
Sekembalinya ke Swiss, Dunant menerbitkan sebuah buku berjudul A Memory of Solferino (Kenangan dari Solferino), yang berisi dua usulan:
agar pada masa damai didirikanperhimpunan - perhimpunan bantuan kemanusiaan yang memiliki juru rawat yang siap untuk merawat korban luka pada waktu terjadi perang;
agar para relawan ini, yang akan bertugas membantu dinas medis angkatan bersenjata, diberi pengakuan dan perlindungan melalui sebuah perjanjian internasional.
Pada tahun 1863, sebuah perkumpulan amal bernama Perhimpunan Jenewa untuk Kesejahteraan Masyarakat membentuk sebuah komisi lima orang untuk mewujudkan gagasan Dunant itu. Beranggotakan Gustave Moynier, Guillaume-Henri Dufour, Louis Appia, Theodore Maunoir, dan Dunant sendiri, komisi ini kemudian mendirikan Komite Internasional Pertolongan Korban Luka, yang kemudian menjadi Komite Internasional Palang Merah atau ICRC. Mereka lalu terus mengembangkan gagasan Henry Dunant. Atas undangan mereka, 16 negara dan empat lembaga filantropis menghadiri Konferensi Internasional di Jenewa pada tanggal 26 Oktober 1863. Dalam konferensi ini sebuah lambang pembeda, yaitu palang merah di atas dasar putih, diadopsi. Lahirlah Palang Merah.
Sebelum Perang Dunia I
Untuk memformalkan perlindungan dinas medis angkatan bersenjata di medan tempur dan untuk mendapatkan pengakuan internasional atas Palang Merah beserta cita-citanya, Pemerintah Swiss mengundang pemerintah semua negara Eropa, serta Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko, untuk menghadiri sebuah konferensi diplomatik resmi. Enam belas negara mengirim total 26 delegasi ke Jenewa. Pada tanggal 22 Agustus 1864, konferensi ini mengadopsi sebuah perjanjian bernama “Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Korban Luka dalam Pertempuran Darat,” yaitu perjanjian pertama yang membentuk Hukum Humaniter Internasional. Perwakilan dari 12 negara dan kerajaan menandatangani konvensi ini: Baden, Belgia, Denmark, Prancis, Hesse, Italia, Belanda, Portugal, Prusia, Swiss, Spanyol, dan Württemberg.
Konvensi ini berisi sepuluh pasal, menetapkan untuk pertama kali aturan-aturan yang mengikat secara hukum dan menjamin netralitas dan perlindungan bagi tentara yang terluka, personel medis lapangan, dan lembaga kemanusiaan khusus dalam konflik bersenjata. Selain itu, konvensi juga menetapkan dua persyaratan terkait pengakuan perhimpunan bantuan nasional oleh Komite Internasional:
Perhimpunan nasional harus diakui oleh pemerintah nasionalnya sendiri sebagai perhimpunan bantuan sesuai dengan konvensi, dan
Pemerintah nasional dari masing-masing negara harus menjadi negara pihak dalam Konvensi Jenewa.
Tidak lama setelah penetapan Konvensi tersebut, perhimpunan nasional pertama didirikan di Belgia, Denmark, Prancis, Oldenburg, Prusia, Spanyol, dan Württemberg. Tahun 1864, Louis Appia dan Charles van de Velde, seorang kapten Angkatan Darat Belanda, menjadi delegasi independen dan netral pertama yang bekerja di bawah simbol Palang Merah dalam konflik bersenjata. Tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1867, Konferensi Internasional Perhimpunan Bantuan Nasional untuk Perawatan Korban Luka dalam Perang diselenggarakan untuk pertama kali.
Pada tahun 1867, Henry Dunant terpaksa menyatakan bangkrut karena kegagalan bisnis di Aljazair, sebagian karena dia mengabaikan kepentingan bisnisnya selama aktivitas tak kenal lelah-nya untuk Komite Internasional. Kontroversi seputar masalah bisnis Dunant dan opini publik negatif yang berkembang, ditambah dengan konflik berkepanjangan dengan Gustave Moynier, menyebabkan pencopotan Dunant dari posisinya sebagai anggota dan sekretaris. Dia didakwa memalsukan kebangkrutan dan surat perintah penangkapan dikeluarkan. Dunant terpaksa meninggalkan Jenewa dan tidak pernah kembali ke kota asalnya. Pada tahun-tahun berikutnya, perhimpunan nasional didirikan di hampir semua negara di Eropa. Pada tahun 1876, komite mengadopsi nama "Komite Internasional Palang Merah" (ICRC), yang masih menjadi nama resmi hingga saat ini. Lima tahun kemudian, Palang Merah Amerika didirikan atas upaya dari Clara Barton. Semakin banyak negara menandatangani Konvensi Jenewa dan mulai menghormatinya di lapangan selama konflik bersenjata. Dalam waktu yang relatif singkat, Palang Merah mendapatkan momentum besar sebagai sebuah gerakan yang dihormati secara internasional, dan perhimpunan nasional menjadi kian populer sebagai tempat untuk bekerja secara sukarela.
Pada tahun 1906, Konvensi Jenewa 1864 direvisi untuk pertama kali. Satu tahun kemudian, Konvensi Den Haag X, diadopsi pada Konferensi Perdamaian Internasional Kedua di Den Haag, memperluas ruang lingkup Konvensi Jenewa untuk perang di laut. Sesaat sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama pada tahun 1914, 50 tahun setelah berdirinya ICRC dan pengadopsian Konvensi Jenewa pertama, sudah ada 45 perhimpunan bantuan nasional di seluruh dunia. Gerakan telah menjangkau luar Eropa dan Amerika Utara hingga ke Amerika Tengah dan Selatan (Argentina, Brasil, Chili, Kuba, Meksiko, Peru, El Salvador, Uruguay, Venezuela), Asia (Republik Tiongkok, Jepang, Korea, Siam), dan Afrika (Republik Afrika Selatan).
Perang Dunia I
Ketika Perang Dunia I meletus, ICRC menghadapi tantangan besar yang hanya bisa diatasi berkat kerjasama ICRC dengan perhimpunan nasional Palang Merah. Juru rawat Palang Merah dari seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan Jepang, memberi dukungan pelayanan medis angkatan bersenjata negara-negara Eropa yang terlibat dalam perang. Pada tanggal 15 Oktober 1914, segera setelah dimulainya perang, ICRC mendirikan Badan Tawanan Perang Internasional (POW Agency), yang pada akhir 1914 memiliki sekitar 1.200 staf, sebagian besar relawan. Di akhir perang, Badan ini sudah mengirimkan sekitar 20 juta surat dan pesan, 1,9 juta paket, dan sekitar 18 juta franc Swiss (Rp.170milyar) sumbangan uang untuk POW dari semua negara yang terkena dampak. Selain itu, atas intervensi Badan ini, sekitar 200.000 tahanan menjadi bagian dari pertukaran POW antar pihak-pihak yang bertikai, dibebaskan dari tahanan dan kembali ke negara asal mereka. Indeks kartu organisasi Badan ini mengakumulasi sekitar 7 juta catatan dari tahun 1914 hingga tahun 1923, setiap kartu mewakili satu orang tahanan atau satu orang yang hilang. Indeks kartu membantu identifikasi sekitar 2 juta tawanan perang dan bisa mengontak keluarga mereka. Indeks lengkap tersebut saat ini dipinjamkan ICRC ke Museum Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional di Jenewa. Hak untuk mengakses indeks tersebut masih sangat terbatas untuk ICRC.
Selama perang, ICRC memonitor kepatuhan pihak-pihak bertikai terhadap Konvensi Jenewa yang telah direvisi pada tahun 1907 dan meneruskan keluhan tentang pelanggaran ke negara masing-masing. Ketika senjata kimia digunakan dalam perang untuk pertama kalinya dalam sejarah, ICRC dengan gigih memprotes peperangan jenis baru ini. Bahkan tanpa mandat dari Konvensi Jenewa, ICRC berusaha meringankan penderitaan penduduk sipil. Di wilayah yang secara resmi ditetapkan sebagai "wilayah pendudukan", ICRC dapat membantu penduduk sipil berdasarkan Konvensi Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat tahun 1907. Konvensi ini juga merupakan dasar hukum pekerjaan ICRC terkait tawanan perang. Kegiatan Badan Tawanan Perang Internasional sebagaimana diuraikan di atas mencakup kunjungan inspeksi ke kamp-kamp POW. Sebanyak 524 kamp di seluruh Eropa dikunjungi oleh 41 delegasi dari ICRC hingga perang berakhir.
Antara tahun 1916 dan 1918, ICRC mengeluarkan sejumlah kartu pos yang memuat foto dari kamp POW. Foto-foto tersebut menunjukkan para tawanan dalam kegiatan mereka sehari-hari seperti mendistribusikan surat dari rumah. Tujuan ICRC adalah memberikan harapan dan penghiburan kepada keluarga tawanan dan mengurangi ketidakpastian tentang nasib orang-orang yang mereka cintai. Setelah perang berakhir, ICRC mengatur pemulangan sekitar 420.000 tawanan ke negara asal mereka. Pada tahun 1920, tugas repatriasi diserahkan kepada Liga Bangsa-Bangsa yang baru terbentuk, yang menunjuk diplomat dan ilmuwan Norwegia Fridtjof Nansen sebagai Komisioner Tinggi Pemulangan Tawanan. Mandat hukumnya kemudian diperluas untuk mendukung dan merawat pengungsi perang dan orang-orang telantar manakala kantornya diubah menjadi Komisaris Tinggi untuk Pengungsi Liga Bangsa-Bangsa. Nansen, yang menciptakan paspor Nansen untuk pengungsi tanpa negara dan yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1922, menunjuk dua delegasi dari ICRC sebagai deputinya.
Setahun sebelum akhir perang, ICRC mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1917 atas pekerjaan yang luar biasa selama perang. Itu adalah satu-satunya Hadiah Nobel Perdamaian yang diberikan pada periode 1914-1918. Pada tahun 1923, Komite mengadopsi perubahan kebijakan mengenai pemilihan anggota baru. Hingga saat itu, hanya warga dari kota Jenewa yang bisa bekerja di ICRC. Pembatasan ini diperluas untuk mencakup warga negara Swiss. Sebagai konsekuensi langsung dari Perang Dunia I, satu protokol tambahan dari Konvensi Jenewa diadopsi pada tahun 1925 yang melarang penggunaan gas cekik atau gas racun dan unsur-unsur biologi sebagai senjata. Empat tahun kemudian, Konvensi asli direvisi dan Konvensi Jenewa kedua mengenai "Perlakuan terhadap Tawanan Perang" ditetapkan. Kejadian-kejadian selama Perang Dunia I dan kegiatan-kegiatan ICRC secara signifikan meningkatkan reputasi dan kewenangan ICRC di antara komunitas internasional dan membuat kompetensinya diperluas.
Di awal tahun 1934, rancangan usulan sebuah konvensi tambahan untuk perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata diadopsi oleh Konferensi Internasional Palang Merah. Sayangnya, mayoritas pemerintah kurang tertarik melaksanakan konvensi ini, sehingga konvensi tersebut masih belum berlaku sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Perang Dunia II
Dasar hukum kegiatan ICRC selama Perang Dunia II adalah Konvensi Jenewa yang direvisi tahun 1929. Kegiatan ICRC mirip dengan yang dilakukannya selama Perang Dunia I: mengunjungi dan memantau kamp-kamp POW, mengorganisir bantuan kemanusiaan bagi penduduk sipil, dan mengatur pertukaran berita terkait tawanan dan orang-orang hilang. Di akhir perang, 179 delegasi telah melakukan 12.750 kunjungan ke kamp POW di 41 negara. Badan Informasi Pusat tentang Tawanan Perang memiliki 3.000 staf, indeks kartu penelusuran tawanan memuat 45 juta kartu, dan 120 juta pesan dipertukarkan oleh Badan ini. Salah satu kendala utama adalah Palang Merah Jerman yang dikendalikan Nazi menolak mematuhi statuta Jenewa termasuk pelanggaran secara terang-terangan seperti deportasi keturunan Yahudi dari Jerman dan pembunuhan massal yang dilakukan di kamp-kamp konsentrasi yang dijalankan oleh pemerintah Jerman. Selain itu, dua aktor besar lain yang terlibat dalam konflik, Uni Soviet dan Jepang, bukan negara pihak pada Konvensi Jenewa 1929 dan secara hukum tidak diwajibkan mematuhi aturan-aturan konvensi.
Selama perang, ICRC gagal membuat kesepakatan dengan Nazi Jerman tentang perlakuan terhadap tahanan di kamp konsentrasi, dan akhirnya memilih untuk tidak memberi tekanan guna menghindari terganggunya kegiatan-kegiatannya dengan POW. ICRC juga gagal memberi respon atas informasi yang dapat dipercaya mengenai kamp-kamp pemusnahan dan pembunuhan massal orang Yahudi di Eropa. Ini masih dianggap sebagai kegagalan terbesar ICRC dalam sejarahnya. Setelah November 1943, ICRC mendapat izin untuk mengirim paket kepada tahanan di kamp konsentrasi bagi yang nama dan lokasinya sudah diketahui. Karena tanda terima paket-paket tersebut sering kali ditandatangani oleh penghuni lain, ICRC berhasil mendata identitas sekitar 105.000 tahanan di kamp-kamp konsentrasi dan mengantar sekitar 1,1 juta paket, terutama ke kamp Dachau, Buchenwald, Ravensbrück, dan Sachsenhausen.
Pada tanggal 12 Maret 1945, Presiden ICRC Jacob Burckhardt mendapat pesan dari Jenderal SS Ernst Kaltenbrunner yang menerima permintaan ICRC untuk mengizinkan delegasi ICRC mengunjungi kamp-kamp konsentrasi. Perjanjian ini terikat oleh persyaratan bahwa delegasi harus tinggal di kamp-kamp sampai akhir perang. Sepuluh orang delegasi, di antaranya Louis Haefliger (Mauthausen Camp), Paul Dunant (Theresienstadt Camp) dan Victor Maurer (Dachau Camp), menerima penugasan tersebut dan mengunjungi kamp-kamp. Louis Haefliger mencegah pengusiran paksa atau peledakan Mauthausen-Gusen dengan memperingatkan pasukan Amerika, sehingga berhasil menyelamatkan nyawa sekitar 60.000 tahanan. Tindakannya dikutuk oleh ICRC karena dianggap bertindak tidak tepat dan berdasarkan keinginannya sendiri sehingga mempertaruhkan netralitas ICRC. Baru pada tahun 1990, reputasinya akhirnya direhabilitasi oleh Presiden ICRC Cornelio Sommaruga.
Contoh lain dari spirit kemanusiaan yang luar biasa adalah Friedrich Born (1903-1963), seorang delegasi ICRC di Budapest yang menyelamatkan 11.000 hingga 15.000 orang Yahudi di Hungaria. Marcel Junod (1904-1961), seorang dokter dari Jenewa, adalah salah satu delegasi terkemuka lainnya selama Perang Dunia Kedua. Cerita tentang pengalamannya, termasuk kisahnya sebagai salah satu orang asing pertama yang mengunjungi Hiroshima setelah bom atom dijatuhkan, bisa dibaca dalam buku Warrior without Weapon.
Pada tahun 1944, ICRC menerima Hadiah Nobel Perdamaian kedua. Seperti pada Perang Dunia I, hadiah ini juga menjadi satu-satunya Nobel Perdamaian yang diberikan selama periode utama Perang Dunia Kedua, 1939 sampai 1945. Di akhir perang, ICRC bekerja sama dengan perhimpunan nasional Palang Merah untuk mengatur bantuan kemanusiaan ke negara-negara yang paling parah kondisinya. Tahun 1948, Komite mengeluarkan sebuah laporan kajian kegiatan-kegiatan selama perang, dari tanggal 1 September 1939 sampai 30 Juni 1947. Sejak Januari 1996, arsip ICRC untuk periode ini dibuka untuk penelitian akademik dan publik.
Pasca Perang Dunia II
Pada tanggal 12 Agustus 1949 revisi lanjutan atas dua Konvensi Jenewa sebelumnya diadopsi. Konvensi tambahan tentang "Perbaikan Kondisi Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Kapal Karam", kini disebut Konvensi Jenewa kedua, dibawa dalam payung Konvensi Jenewa sebagai pengganti Konvensi Den Haag 1907 X. Konvensi Jenewa 1929 mengenai "Perlakuan terhadap Tawanan Perang" mungkin menjadi Konvensi Jenewa kedua dari sudut pandang sejarah (karena konvensi itu sebenarnya dirumuskan di Jenewa), tapi setelah 1949 disebut Konvensi ketiga karena secara kronologis dirumuskan setelah Konvensi Den Haag. Merespon pengalaman Perang Dunia II, Konvensi Jenewa Keempat, sebuah Konvensi baru tentang "Perlindungan Penduduk Sipil pada Masa Perang," ditetapkan. Selain itu, Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II tanggal 8 Juni 1977 dimaksudkan untuk membuat konvensi tersebut berlaku dalam konflik internal seperti perang sipil. Protokol Tambahan III Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai lambang pembeda tambahan dengan menambahkan lambang baru, kristal merah, diadopsi pada tahun 2005. Saat ini, empat konvensi dan protokol tambahan berisi lebih dari 600 pasal, perluasan yang luar biasa jika dibandingkan dengan hanya 10 pasal dalam konvensi pertama tahun 1864.
Dalam perayaan seabad ICRC pada tahun 1963, ICRC dan Liga Perhimpunan Palang Merah, mendapat Hadiah Nobel Perdamaian ketiga. Sejak tahun 1993, orang-orang non-Swiss diperbolehkan bekerja sebagai delegasi ICRC di luar negeri, tugas yang sebelumnya dibatasi hanya untuk warga negara Swiss. Sejak saat itu, kuota staf yang bukan warga negara Swiss telah meningkat sekitar 35%.
Pada tanggal 16 Oktober 1990, Majelis Umum PBB memutuskan untuk memberikan status pengamat kepada ICRC untuk sesi-sesi sidang umum dan pertemuan-pertemuan sub-komite, status pengamat pertama yang diberikan kepada organisasi non-pemerintah. Resolusi tersebut diusulkan bersama oleh 138 negara anggota dan diperkenalkan oleh duta besar Italia, Vieri Traxler, untuk mengenang asal mula organisasi tersebut dari Pertempuran Solferino.
ICRC untuk pertama kali mengakhiri sikap bungkam kepada media yang lazim dilakukannya dengan mengutuk Genosida yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. ICRC berupaya mencegah kejahatan yang terjadi di sekitar Srebrenica pada tahun 1995 tetapi kemudian membuat pernyataan, "Kami harus akui kendati berbagai upaya yang kami lakukan untuk membantu ribuan warga sipil yang diusir secara paksa dari kota dan meskipun dedikasi rekan-rekan kami di lapangan, dampak ICRC terhadap tragedi yang terungkap sangat terbatas". ICRC kembali sekali lagi muncul ke publik pada tahun 2007 untuk mengutuk "pelanggaran hak asasi manusia"oleh pemerintah militer Myanmar termasuk kerja paksa, kelaparan, dan pembunuhan pria, wanita, dan anak-anak.
Organisasi
ICRC berkantor pusat di kota Jenewa, Swiss dan memiliki kantor-kantor di luar negeri yang disebut Delegasi di sekitar 80 negara. Setiap delegasi berada di bawah tanggung jawab seorang Kepala delegasi yang adalah perwakilan resmi ICRC di suatu negara. Dari 2.000 karyawan profesionalnya, sekitar 800 orang bekerja di kantor pusat Jenewa dan 1.200 ekspatriat bekerja di lapangan. Setengah dari pekerja lapangan bertugas sebagai delegasi (delegate) yang mengatur operasi ICRC di negara-negara berbeda sedangkah separuh lainnya adalah tenaga spesialis seperti dokter, agronomis, insinyur atau penterjemah. Di kantor delegasi, staf internasional dibantu oleh sekitar 13.000 staf nasional, sehingga jumlah total staf yang bekerja untuk ICRC sekitar 15.000 orang. Delegasi juga sering bekerja sama dengan Perhimpunan Nasional Palang Merah/Bulan Sabit Merah dimana delegasi berada sehingga bisa memanfaatkan relawan Palang Merah/Bulan Sabit Merah Nasional untuk membantu sebagian operasi ICRC.
Struktur organisasi ICRC sulit dipahami oleh orang luar. Hal ini sebagian karena kerahasiaan organisasi, tetapi juga karena strukturnya yang berubah-ubah. Majelis (Assembly) dan Presiden (Presidency) adalah dua institusi yang telah lama ada, sedangkan Dewan Majelis (Assembly Council) dan Direktorat (Directorate) baru dibentuk pada paruh kedua abad kedua puluh. Keputusan sering kali dibuat secara kolektif, sehingga kewenangan dan hubungan kekuasaan tidak kaku. Saat ini, organ terpenting adalah Directorate dan Assembly.
Direktorat
Direktorat adalah badan eksekutif ICRC. Direktorat bertanggung jawab atas manajemen sehari-hari, sementara Majelis membuat kebijakan. Direktorat terdiri atas Direktur Jenderal dan lima direktur di bidang "Operasi", "Sumber Daya Manusia", "Sumber Daya Keuangan dan Logistik", "Manajemen Komunikasi dan Informasi ", dan "Hukum Internasional dan Kerjasama dalam Gerakan". Anggota Direktorat diangkat oleh Majelis untuk bekerja selama empat tahun. Direktur Jenderal memikul tanggung jawab yang hampir seperti seorang CEO dalam beberapa tahun terakhir, di mana ia sebelumnya lebih merupakan orang pertama di antara yang sederajat di Direktorat.
Majelis
Majelis (juga disebut Komite) mengadakan pertemuan secara teratur dan bertanggung jawab mendefinisikan tujuan, pedoman, dan strategi dan mengawasi masalah keuangan ICRC. Majelis memiliki keanggotaan maksimum 25 warga Swiss. Anggota harus fasih Bahasa Prancis, tetapi banyak yang juga berbahasa Inggris dan Jerman. Para anggota Majelis dipilih untuk jangka waktu empat tahun, dan tidak ada batasan berapa kali seorang anggota Majelis bisa dipilih. Tiga perempat suara dari semua anggota dibutuhkan untuk terpilih kembali setelah masa ketiga, yang mana ini menjadi motivasi bagi anggota untuk tetap aktif dan produktif.
Pada tahun-tahun awal, anggota ICRC adalah orang Jenewa, Protestan, putih, dan laki-laki. Wanita pertama, Renée-Marguerite Cramer, terpilih pada tahun 1918. Sejak saat itu, beberapa orang wanita telah menjabat sebagai Wakil Presiden, dan jumlah wanita setelah Perang Dingin telah mencapai sekitar 15%. Anggota non-Jenewa diterima pertama kali pada tahun 1923, dan satu orang keturunan Yahudi pernah bertugas di Majelis.
Kalau komponen-komponen lain Gerakan banyak yang multi-nasional, ICRC percaya bahwa sifatnya yang satu negara (mono-national) merupakan aset karena kewarganegaraannya adalah Swiss. Berkat netralitas permanen Swiss, pihak yang berkonflik bisa yakin bahwa tidak seorangpun dari pihak "musuh" yang akan menentukan kebijakan di Jenewa. Perang Prancis-Prusia 1870-1871 menunjukkan bahwa bahkan aktor Palang Merah (dalam hal ini Perhimpunan Nasional) dapat begitu terikat dengan nasionalisme sehingga mereka tidak dapat mempertahankan kemanusiaan yang netral.
Dewan Majelis
Selanjutnya, Majelis memilih Dewan Majelis (assembly council) beranggotakan lima orang yang merupakan inti aktif dari Majelis. Dewan bertemu setidaknya sepuluh kali setiap tahun dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan atas nama Majelis dalam beberapa hal. Dewan juga bertanggung jawab mengorganisir pertemuan Majelis dan memfasilitasi komunikasi antara Majelis dan Direktorat. Dewan Majelis biasanya termasuk presiden, dua wakil presiden dan dua anggota terpilih. Seorang wakil presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun, sedangkan yang lainnya diangkat secara permanen di mana masa jabatannya berakhir ketika yang bersangkutan pensiun dari jabatan wakil presiden atau dari ICRC. Saat ini Olivier Vodoz dan Christine Beerli adalah wakil presiden ICRC.
Presiden
Majelis juga memilih, untuk jangka waktu empat tahun, satu orang untuk menjadi Presiden ICRC. Presiden adalah anggota Majelis dan pemimpin ICRC, dan presiden selalu disertakan dalam Dewan Majelis sejak pembentukannya. Presiden secara otomatis menjadi anggota kelompok tersebut setelah dia diangkat, tetapi ia tidak harus selalu berasal dari dalam organisasi ICRC. Ada faksi yang kuat dalam Majelis yang ingin menjangkau ke luar organisasi untuk memilih presiden dari pemerintah Swiss atau kalangan profesional seperti perbankan atau kedokteran. Tiga presiden terakhir sebelumnya merupakan pejabat dalam pemerintahan Swiss. Pengaruh dan peran presiden tidak terdefinisikan dengan baik, dan perubahan tergantung pada waktu dan gaya pribadi masing-masing presiden. Sejak tahun 2000, presiden ICRC adalah Jakob Kellenberger, seorang penyendiri yang jarang membuat penampilan diplomatik tetapi yang terampil dalam negosiasi pribadi dan nyaman dengan dinamika Majelis. Pada bulan Februari 2007, dia diangkat oleh Majelis untuk periode empat-tahun berikutnya yang akan berakhir pada tahun 2011.
Presiden-presiden ICRC antara lain:
1863–1864: Henri Dufour
1864–1910: Gustave Moynier
1910–1928: Gustave Ador
1928–1944: Max Huber
1944–1948: Carl Jacob Burckhardt
1948–1955: Paul Ruegger
1955–1964: Leopold Boissier
1964–1969: Samuel Gonard
1969–1973: Marcel Naville
1973–1976: Eric Martin
1976–1987: Alexandre Hay
1987–1999: Cornelio Sommaruga
2000-2012: Jakob Kellenberger
2012-Sekarang: Peter Maurer
Staff
Setelah ICRC berkembang dan kian terlibat secara langsung dalam konflik, terjadi peningkatan jumlah staf dengan latar belakang profesional, bukan relawan, selama beberapa tahun terakhir. ICRC hanya memiliki dua belas karyawan pada tahun 1914 dan 1.900 selama Perang Dunia Kedua yang didukung 1.800 relawan. Jumlah staf yang dibayar menurun setelah Perang Dunia I dan II, tetapi mengalami peningkatan kembali dalam beberapa dasawarsa terakhir; secara rata-rata ada 500 staf lapangan tahun 1980-an dan lebih dari seribu staff pada tahun 1990-an. Dimulai tahun 1970-an, ICRC menjadi lebih sistematis dalam pelatihan untuk mengembangkan staf yang lebih profesional. ICRC menjadi karier yang menarik bagi lulusan universitas terutama di Swiss, tetapi beban kerja sebagai karyawan ICRC sukup menuntut. 15% dari staf keluar setiap tahun dan 75% karyawan bekerja kurang dari tiga tahun. Staf ICRC multi-nasional dan sekitar 50% bukan warga negara Swiss pada tahun 2004. Staf internasional ICRC dibantu dalam pekerjaan mereka oleh sekitar 13.000 karyawan nasional yang dipekerjakan di negara-negara di mana delegasi ada.
Pendanaan
Anggaran ICRC pada tahun 2010 mencapai 1.156 juta franc Swiss (Rp11 triliun). Seluruh dana yang diberikan kepada ICRC bersifat sukarela dan diterima sebagai sumbangan berdasarkan dua jenis permintaan yang diajukan oleh Komite: Appeal Kantor Pusat yang bersifat tahunan untuk menutup biaya-biaya internal dan Appeal Darurat untuk misi-misi yang bersifat per kasus. Pendanaan ICRC berasal dari tiga kategori, yaitu negara, swasta dan perhimpunan nasional. Negara-negara penyumbang ICRC antara lain Swiss, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, Selandia Baru, Negara-negara Eropa lainnya, dan Uni Eropa. Negara-negara ini menyumbang sekitar 80-85% dari anggaran ICRC. Sekitar 3% berasal dari hibah pihak swasta, dan sisanya berasal dari perhimpunan nasional.
Emblem/Lambang
Konferensi diplomatik yang diadakan di Jenewa pada tahun 1864 mengadopsi tanda berupa palang merah di atas dasar putih, yang merupakan kebalikan dari bendera Swiss. Namun, dalam perang Rusia-Turki 1876-1878, Kekaisaran Ottoman menyatakan akan menggunakan tanda berupa bulan sabit merah, bukan palang merah, sebagai lambangnya dan akan tetap menghormati lambang palang merah yang digunakan oleh pihak musuh. Setelah itu, Persia juga memutuskan untuk menggunakan tanda yang lain, yaitu singa dan matahari merah. Kedua lambang ini kemudian diakui oleh konferensi diplomatik yang diadakan pada tahun 1929. Pada tahun 1980, Republik Islam Iran memutuskan untuk mengganti singa dan matahari merah dengan bulan sabit merah. Lambang palang merah dan bulan sabit merah berhak memperoleh penghormatan sepenuhnya berdasarkan hukum internasional. Namun, kadang-kadang timbul persepsi di sementara kalangan bahwa kedua lambang ini memiliki konotasi budaya, agama, atau politik tertentu. Hal ini dapat membahayakan pemberian perlindungan bagi korban konflik bersenjata, dinas medis militer, dan pekerja kemanusiaan.
Selain itu, hingga belum lama ini, Perhimpunan Nasional yang tidak ingin menggunakan lambang palang merah ataupun bulan sabit merah tidak dapat diakui sebagai anggota penuh Gerakan. Ini mempersulit Gerakan mewujudkan prinsip kesemestaan (universality), yang merupakan salah satu Prinsip Dasarnya, serta memperbesar kemungkinan terus munculnya lambang-lambang baru. Untuk mengatasi masalah tersebut, diusulkan pemberlakuan sebuah lambang baru yang bisa diterima oleh semua Perhimpunan Nasional dan semua Negara. Gagasan ini sangat didukung oleh Gerakan dan kemudian terwujud pada bulan Desember 2005, yaitu ketika sebuah konferensi diplomatik memutuskan untuk mengakui kristal merah sebagai tanda pembeda bersama-sama dengan palang merah dan bulan sabit merah.
Prinsip-Prinsip Dasar
Kegiatan ICRC dipandu oleh tujuh Prinsip Dasar yang ditaati bersama oleh ICRC dan semua komponen lain Gerakan. Prinsip-prinsip tersebut –yaitu kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan– dikemukakan dalam Statuta Gerakan dan menjadi nilai bersama yang membedakan Gerakan dari organisasi-organisasi kemanusiaan lain. Gerakan telah memberi ICRC tugas menegakkan dan mendiseminasikan prinsip-prinsip tersebut.
Ketujuh Prinsip Dasar berikut ini diproklamasikan dalam Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20 (Wina, 1965):
Kemanusiaan
Gerakan, yang lahir dari keinginan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada korban luka di medan pertempuran, berusaha dengan kemampuan internasional maupun nasionalnya untuk mencegah dan meringankan penderitaan manusia di mana saja. Tujuan Gerakan adalah untuk melindungi kehidupan dan kesehatan serta memastikan penghormatan terhadap umat manusia. Gerakan memajukan saling pengertian, persahabatan, kerja sama, dan perdamaian abadi di antara semua bangsa.
Kesamaan
Gerakan tidak membeda-bedakan kebangsaan, ras, agama, status sosial, atau pandangan politik korban. Gerakan membantu korban hanya atas dasar kebutuhan mereka. Bantuan diprioritaskan bagi kasus penderitaan yang paling mendesak.
Kenetralan
Agar tetap dipercaya oleh semua pihak, Gerakan tidak akan berpihak dalam konflik yang terjadi dan tidak akan terlibat dalam pertentangan politik, ras, keagamaan, ataupun ideologis.
Kemandirian
Gerakan bersifat independen. Setiap Perhimpunan Nasional, sekalipun merupakan pendukung pemerintah masing-masing di bidang kemanusiaan dan tunduk pada hukum nasional negaranya, harus mempertahankan otonominya supaya dapat bertindak sesuai prinsip-prinsip Gerakan.
Kesukarelaan
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah sebuah gerakan yang memberikan bantuan atas dasar kesukarelaan, tidak didorong dengan cara apapun oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan tertentu.
Kesatuan
Hanya boleh ada satu Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di suatu negara. Perhimpunan itu harus terbuka bagi semua orang. Perhimpunan itu harus melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah negaranya.
Kesemestaan
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, di mana semua Perhimpunan Nasional mempunyai status yang setara dan tanggung jawab serta kewajiban yang sama dalam membantu satu sama lain, ada di seluruh dunia.
ICRC dan Gerakan
ICRC bertanggung jawab atas pengakuan secara hukum perhimpunan bantuan kemanusiaan sebagai perhimpunan nasional Palang Merah/Bulan Sabit Merah dan dengan demikian menerimanya ke dalam Gerakan. Aturan-aturan yang tepat terkait pengakuan itu didefinisikan dalam Statuta Gerakan. Setelah pengakuan oleh ICRC, suatu perhimpunan nasional diakui sebagai anggota Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. ICRC dan Federasi bekerjasama dengan perhimpunan nasional dalam misi internasional mereka, terutama dengan sumber daya manusia, material, dan keuangannya dan mengatur logistik di lokasi. Menurut Perjanjian Sevilla 1997, ICRC adalah pimpinan lembaga Palang Merah dalam konflik, sementara organisasi lain dalam Gerakan menjadi pimpinan dalam situasi non-perang. Perhimpunan Nasional akan menjadi pimpinan terutama ketika konflik terjadi di dalam negara mereka sendiri.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah lembaga pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Selain melaksanakan kegiatan-kegiatan operasional untuk melindungi dan membantu para korban konflik bersenjata, ICRC juga berperan sebagai promotor dan pemelihara Hukum Humaniter Internasional. Organisasi ini juga merupakan pelindung Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Secara bekerja sama dengan Federasi Internasional, ICRC menyelenggarakan pertemuan-pertemuan Gerakan sebagaimana yang ditetapkan dalam anggaran dasar Gerakan.
Perhimpunan-perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah mewujudkan pekerjaan dan prinsip-prinsip Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional di sekitar 180 negara. Perhimpunan-perhimpunan Nasional bertindak sebagai pendukung (auxiliaries) bagi pemerintah negara mereka masing-masing di bidang kemanusiaan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan pelayanan, termasuk program bantuan darurat kemanusiaan bencana, program kesehatan, dan program sosial. Pada waktu perang, Perhimpunan-perhimpunan Nasional membantu penduduk sipil yang terkena dampak dan, bilamana diperlukan, memberikan dukungan kepada dinas medis angkatan bersenjata.
Federasi Internasional Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah bekerja berdasarkan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional untuk mengilhami, memperlancar, dan meningkatkan semua kegiatan kemanusiaan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan-perhimpunan Nasional yang menjadi anggotanya, dalam rangka memperbaiki situasi kelompok penduduk yang paling rentan. Didirikan pada tahun 1919, Federasi Internasional mengarahkan dan mengkoordinasi bantuan internasional yang diberikan oleh Gerakan kepada para korban bencana alam dan bencana teknologi, kepada para pengungsi eksternal, dan dalam situasi darurat kesehatan. Federasi Internasional bertindak sebagai wakil resmi di bidang internasional bagi perhimpunan-perhimpunan yang menjadi anggotanya. Federasi Internasional memajukan kerja sama di antara Perhimpunan-perhimpunan Nasional dan memperkuat kemampuan kemampuan mereka untuk mempersiapkan diri secara efektif dalam menghadapi bencana dan untuk melaksanakan program-program kesehatan dan sosial.
Kegiatan
Kegiatan ICRC terbagi dalam empat kategori, yakni perlindungan (protection), bantuan (assistance), pencegahan (prevention) dan kerjasama (cooperation).
Perlindungan
ICRC berusaha untuk melindungi manusia dalam situasi konflik atau kekerasan bersenjata, dan untuk dapat melakukan hal ini, ICRC harus terus berada di dekat para korban dan menjalin dialog secara konfidensial dengan pihak-pihak yang terlibat, baik Negara maupun non-Negara. Kegiatan perlindungan mencakup kunjungan ke tempat-tempat penahanan dan pemulihan kembali hubungan keluarga.
Bantuan
Krisis kemanusiaan sering kali terjadi secara bersamaan dengan, atau menjadi penyebab tak langsung bagi, krisis-krisis lain seperti kelaparan, wabah penyakit, dan kekacauan ekonomi. Dalam kondisi seperti itu, ICRC memberikan bantuan yang dibutuhkan. Walaupun demikian, ICRC selalu berusaha untuk tetap terarah pada tujuan utamanya, yaitu memulihkan kemampuan orang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri atau mandiri. Bantuan bisa bermacam-macam bentuknya, seperti makanan dan/atau obat-obatan, pembangunan atau perbaikan sistem penyediaan air atau sarana medis dan pemberian pelatihan kepada staf kesehatan primer, ahli bedah, dan teknisi prostetik/ortotik.
Pencegahan
Kegiatan ICRC yang bersifat preventif dirancang untuk membatasi efek buruk dari konflik dan menjaga agar efek-efek semacam itu sekecil mungkin. Semangat yang sesungguhnya dari Hukum Humaniter Internasional ialah agar penggunaan kekuatan dilakukan secara terkendali dan secara proporsional dengan tujuannya. Karena itu, ICRC berusaha untuk menyebarluaskan seluruh rangkaian prinsip-prinsip kemanusiaan dalam rangka mencegah atau sekurang-kurangnya membatasi ekses-ekses terburuk dari peperangan.
Kerjasama
Tujuan kegiatan kerja sama ICRC adalah untuk meningkatkan kemampuan Perhimpunan-perhimpunan Nasional memenuhi tanggung jawab mereka sebagai lembaga Palang Merah atau Bulan Sabit Merah dalam memberikan pelayanan kemanusiaan di negara masing-masing. ICRC terutama membantu dan mendukung Perhimpunan-perhimpunan Nasional dalam kegiatan mereka untuk memberikan bantuan kepada para korban konflik dan ketegangan dalam negeri (kesiapan dan tanggapan); mempromosikan Hukum Humaniter Internasional dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai Prinsip-Prinsip Dasar, cita-cita, dan kegiatan-kegiatan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional; dan memulihkan hubungan antara anggota keluarga yang tercerai berai sebagai bagian dari jaringan kerja pencarian Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia.
ICRC di Indonesia
Kegiatan
Berkat kerjasama yang telah lama terjalin antar ICRC, PMI dan Pemerintah Indonesia, puluhan ribu orang yang terkena dampak dari berbagai situasi kekerasan dan bencana dan orang-orang yang dicabut kebebasannya mendapat manfaat dari kegiatan kemanusiaan. ICRC mengembangkan sebagian besar kegiatannya bersama dengan PMI, kecuali untuk kegiatan yang berkaitan dengan sifat khusus ICRC sebagai perantara yang sangat netral dan mandiri, seperti kunjungan ICRC kepada orang-orang yang dicabut kebebasannya.
Kegiatan terkait penahanan:
ICRC melaksanakan kegiatan perlindungan terutama untuk kepentingan orang-orang yang dicabut kebebasannya. Akses selama bertahun-tahun semakin meningkat dan berkat kerjasama dari pihak berwenang Indonesia (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia - DITJENPAS - dan Kepolisian Republik Indonesia), maka kunjungan ICRC ke fasilitas penahanan telah diperluas hinggu di luar lingkup awal tahanan yang ditemui secara individual dan ditahan karena alasan tertentu. Pada akhir periode peninjauan kembali kegiatan ICRC di Indonesia, kunjungan tahanan dan keahlian khusus ICRC yang didukung pendekatan struktural multi-disiplin (kesehatan, air & sanitasi, manajemen penjara, dll) telah memberi manfaat bagi semua penghuni fasilitas penahanan yang dikunjungi (hampir 100 tempat penahanan). ICRC meretas jalan bagi tahanan dan keluarganya untuk tetap menjalin kontak melalui surat menyurat. Bertindak sebagai perantara yang netral, ICRC juga memfasilitasi pembebasan orang-orang yang ditahan oleh suatu kelompok bersenjata.
Bantuan untuk penduduk sipil:
Bekerja sama dengan PMI, ICRC memberi bantuan kemanusiaan dengan segera kepada orang yang memerlukan, baik akibat konflik bersenjata maupun bentuk-bentuk kekerasan lain atau bencana alam. Berdasarkan kapasitas dan sumber daya yang tersedia dan sesuai dengan skala dan intensitas permasalahan yang dihadapi, ICRC memberi bantuan atau mendukung pihak lain khususnya PMI dan pemerintah setempat dalam upaya untuk menangani suatu situasi kemanusiaan. ICRC telah bekerja secara khusus di Papua, Sulawesi dan Nanggroe Aceh Darusalam dan berkonsentrasi pada bantuan medis/kesehatan, materi, dan pangan, rehabilitasi pertanian, dan program air dan sanitasi. Kegiatan-kegiatan usai tsunami 2004 merupakan yang terpenting dari segi kuantitas dan keberagamannya.
Kegiatan yang bertujuan meningkatkan penghormatan terhadap penduduk sipil:
Dalam kerangka mandat perlindungannya, ICRC sebagai perantara netral telah mengkombinasikan berbagai bentuk representasi kepada pihak berwenang. Dengan berpegang teguh pada prinsip kerahasiaan (confidentiality) yang melandasi semua aksinya, Tim ICRC mengumpulkan laporan perlakuan buruk dan bentuk kesewenangan lainnya, untuk kemudian diserahkan dan ditindaklanjuti secara semestinya oleh pihak berwenang, dalam kerangka dialog bilateral yang telah terjalin. ICRC juga memberikan pelayanan langsung kepada orang-orang yang terkena dampak, atau yang menghadapi risiko, dan kepada keluarga mereka, seperti pencarian orang hilang atau orang yang tidak jelas nasibnya, mengorganisir pertemuan kembali (reuni) keluarga, dan mendorong atau memberi dukungan secara langsung kepada keluarga orang hilang, dan mengurus jenasah.
Promosi Hukum Humaniter Internasional (HHI) dan norma-norma lainnya:
ICRC telah bekerja terus-menerus untuk menyebarkan pengetahuan dan memperluas penerimaan HHI termasuk aturan-aturan kebiasaannya, dan dalam lingkup yang lebih kecil, standar-standar hukum internasional terkait seperti Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Target audiens antara lain institusi Pemerintah yang dalam posisi untuk mencegah atau membatasi kekerasan dan untuk mengatur penggunaan kekuatan, dan dalam batasan tertentu yang menyasar masyarakat sipil. Penekanan khusus diarahkan untuk membantu institusi terkait mengadopsi aksi nasional dalam mengimplementasikan komitmen internasional Pemerintah Indonesia di level nasional dan membantu mengikuti praktik terbaik internasional. ICRC juga mendorong pengkajian masalah-masalah hukum ini, terutama HHI, di kalangan akademik. Pencapaian di bidang yang terakhir sangat besar. Sebagai contoh, dukungan ICRC, Militer dan Kepolisian telah mengkreasikan materi pelatihan mereka sendiri, dan fakultas hukum di seluruh Indonesia telah mengembangkan program pengajaran HHI.
Kerjasama dengan Perhimpunan Nasional:
PMI adalah mitra operasional tak ternilai bagi ICRC. ICRC melibatkan PMI dalam perencanaan dan implementasi dalam sebagian besar kegiatannya. ICRC juga mendukung banyak kegiatan yang dilakukan secara langsung oleh PMI dan secara konsisten berupaya meningkatkan kapasitas Perhimpunan Nasional di sektor yang berbeda-beda, khususnya kegiatan pemulihan kembali hubungan keluarga dan pencarian, siaga dan tanggap darurat, promosi HHI, air dan sanitasi. Upaya-upaya pengembangan kapasitas termasuk mengorganisir pelatihan, penyediaan sumber daya keuangan dan materi lainnya, menerbitkan kebijakan dan pedoman, dan penyediaan masukan teknis.
David P. Forsythe: Humanitarian Politics: The International Committee of the Red Cross. Johns Hopkins University Press, Baltimore 1978, ISBN 0-8018-1983-0
Henry Dunant: A Memory of Solferino. ICRC, Geneva 1986, ISBN 2-88145-006-7
Hans Haug: Humanity for all: the International Red Cross and Red Crescent Movement. Henry Dunant Institute, Geneva in association with Paul Haupt Publishers, Bern 1993, ISBN 3-258-04719-7
Georges Willemin, Roger Heacock: International Organization and the Evolution of World Society. Volume 2: The International Committee of the Red Cross. Martinus Nijhoff Publishers, Boston 1984, ISBN 90-247-3064-3
Pierre Boissier: History of the International Committee of the Red Cross. Volume I: From Solferino to Tsushima. Henry Dunant Institute, Geneva 1985, ISBN 2-88044-012-2
André Durand: History of the International Committee of the Red Cross. Volume II: From Sarajevo to Hiroshima. Henry Dunant Institute, Geneva 1984, ISBN 2-88044-009-2
International Committee of the Red Cross: Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement. 13th edition, ICRC, Geneva 1994, ISBN 2-88145-074-1
John F. Hutchinson: Champions of Charity: War and the Rise of the Red Cross. Westview Press, Boulder 1997, ISBN 0-8133-3367-9
Caroline Moorehead: Dunant's dream: War, Switzerland and the history of the Red Cross. HarperCollins, London 1998, ISBN 0-00-255141-1 (Hardcover edition); HarperCollins, London 1999, ISBN 0-00-638883-3 (Paperback edition)
François Bugnion: The International Committee of the Red Cross and the protection of war victims. ICRC & Macmillan (ref. 0503), Geneva 2003, ISBN 0-333-74771-2
Angela Bennett: The Geneva Convention: The Hidden Origins of the Red Cross. Sutton Publishing, Gloucestershire 2005, ISBN 0-7509-4147-2
David P. Forsythe: The Humanitarians. The International Committee of the Red Cross. Cambridge University Press, Cambridge 2005, ISBN 0-521-61281-0
Dominique-D. Junod: "The Imperiled Red Cross and the Palestine Eretz Yisrael Conflict: The Influence of Institutional Concerns on A Humanitarian Operation." 344 pages. Kegan Paul International. @ The Graduate Institute of International Studies Geneva. ISBN 0-7103-0519-2, 1995.
Artikel
François Bugnion: The emblem of the Red Cross: a brief history. ICRC (ref. 0316), Geneva 1977
Jean-Philippe Lavoyer, Louis Maresca: The Role of the ICRC in the Development of International Humanitarian Law. In: International Negotiation. 4(3)/1999. Brill Academic Publishers, p. 503–527, ISSN 1382-340X
Neville Wylie: The Sound of Silence: The History of the International Committee of the Red Cross as Past and Present. In: Diplomacy and Statecraft. 13(4)/2002. Routledge/ Taylor & Francis, p. 186–204, ISSN 0959-2296
David P. Forsythe: "The International Committee of the Red Cross and International Humanitarian Law." In: Humanitäres Völkerrecht – Informationsschriften. The Journal of International Law of Peace and Armed Conflict. 2/2003, German Red Cross and Institute for International Law of Peace and Armed Conflict, p. 64–77, ISSN 0937-5414
François Bugnion: Towards a comprehensive Solution to the Question of the Emblem. Revised third edition. ICRC (ref. 0778), Geneva 2005
International Review of the Red Cross An unrivalled source of international research, analysis and debate on all aspects of humanitarian law, in armed conflict and other situations of collective violence.
LegacyDiarsipkan 2012-12-20 di Archive.is Dr. Cornelio Sommaruga, President of the ICRC from 1987–1999, donated four hours of high-definition audiovisual life story interviews to Legacy. The ICRC audiovisual library houses copies of these interviews.