Liu Xiaobo (28 Desember 1955 – 13 Juli 2017) adalah seorang kritikus literatur, penulis, sastrawan puisi, aktivis hak asasi manusia dan cendekiawan asal Tiongkok yang menerima hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2010 atas upayanya untuk menciptakan reformasi politik dan keikutsertaannya dalam kampanye untuk mengakhiri sistem monopartai yang dianut Partai Komunis Tiongkok.[1] Ia sempat dipenjara di Jinzhou, Liaoning, sebagai tahanan politik selama 11 tahun atas tuduhan subversi[2][3][4] Pada 26 Juni 2017, ia dibebaskan dari penjara setelah didiagnosis dengan kanker hati stadium lanjut dan meninggal pada 13 Juli 2017.[5]
Liu menjadi terkenal di dunia literatur dengan karya kritikusnya dan sempat menjadi dosen tamu pada beberapa universitas di luar negeri. Ia kembali ke Tiongkok untuk mendukung Demonstrasi Tiananmen 1989 lalu ditahan pertama kali pada 1989 hingga 1991, lalu 1995 hingga 1996, dan ditahan kembali untuk ketiga kalinya pada 1996 hingga 1999 atas keterlibatannya dalam gerakan pro-demokrasi dan hak asasi manusia. Ia sempat menjabat sebagai Presiden dari Pusat Independen PEN di Tiongkok, dari 2003 hingga 2007. Ia juga menjabat sebagai presiden dari majalah Minzhu Zhongguo (Tiongkok Demokratis) sejak pertengahan 1990-an. Pada 8 Desember 2008, Liu ditahan karena keterlibatannya dengan Petisi 08. Ia resmi ditahan pada 23 Juni 2009 atas tuduhan "penghasutan subversi atas kuasa negara".[6][7] Ia diadili atas tuduhan yang sama pada 23 Desember 2009,[8] dan divonis pidana penjara selama 11 tahun dan penghilangan hak politik selama 2 tahun, pada 25 Desember 2009.[9]
Dalam masa tahanannya, Liu diberikan penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2010 atas "perjuangannya yang panjang dan tanpa menggunakan kekerasan untuk hak asasi manusia di Tiongkok.[10][11][12][13]
Liu adalah penerima Nobel pertama yang berkewarganegaraan Tiongkok dan tinggal di Tiongkok saat ia menerima penghargaan tersebut.[14] Ia adalah orang ketiga yang menerima Nobel Perdamaian di penjara atau tahanan, setelah Carl von Ossietzky asal Jerman (1935) dan Aung San Suu Kyi asal Myanmar (1991),[15] serta merupakan orang kedua yang ditolak haknya untuk diwakili dan menerima Penghargaan Nobel untuknya (sehingga pihak panitia Nobel menggunakan kursi kosong untuk mewakili Liu saat menerima hadiah Nobel tersebut). Liu juga penerima Nobel Perdamaian kedua yang meninggal saat ditahan, dengan Ossietzky sebagai penerima pertama, yang meninggal di sebuah rumah sakit di Westend, Berlin-Charlottenburg setelah ditahan dalam kamp konsentrasi Nazi. Dalam konteks ini, nasib tragis dari Liu Xiaobo dibanding-bandingkan dengan nasib Carl von Ossietzky.[16]Berit Reiss-Andersen, ketua dari Komite Nobel Norwegia, menuduh rezim komunis Tiongkok atas kematiannya dan menyatakan bahwa "Liu Xiaobo telah berkontribusi terhadap 'persahabatan rakyat' (fraternity of peoples) melalui perlawanan tanpa kekerasan melawan tindakan rezim komunis yang opresif di Tiongkok."[17]
Kehidupan awal
Liu Xiaobo menempuh pendidikan di Departemen Sastra Tiongkok, Universitas Jilin dan meraih gelar sarjana pada tahun 1982. Kemudian, Liu menjadi mahasiswa riset di Departemen Sastra Tiongkok, Universitas Normal Beijing dan meraih gelar Master of Arts pada tahun 1986. Setahun kemudian, dia memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra Tiongkok. Di universitas tersebut, Liu sempat bekerja sebagai pengajar dan akademisi. Hasil disertasi doktoralnya diterbitkan menjadi buku berjudul Aesthetic and Human Freedom. Buku tersebut menjadi perdebatan filsafat dan estetika yang komprehensif sehingga membuat Liu mulai dikenal dunia dan diundang sebagai dosen tamu di sejumlah universitas seperti Universitas Oslo (Norwegia), University of Hawaii, dan Columbia University (AS). Dia memiliki istri bernama Liu Xia yang merupakan seorang pelukis, penyair, dan fotografer.[18]
Titik balik kehidupan Liu dialaminya ketika ikut dalam aksi demonstrasi mahasiswa di lapangan Tiananmen pada April 1989. Sejak 2 Juni 1989, Liu dan tiga temannya melakukan aksi mogok makan dan berseru kepada pemerintah ataupun gerakan mahasiswa untuk meninggalkan ideologi perjuangan kelas dan mengadopsi budaya politik baru yang terbuka bagi dialog dan kompromi. Liu sempat bernegosiasi dengan pimpinan militer dan gerakan mahasiswa untuk mengakhiri demonstrasi secara damai, namun pembantaian para demonstran tetap terjadi sejak 3 Juni 1989. Negosiasi yang dilakukan Liu dan teman-temannya berhasil mencegah pertumpahan darah dan membuat para demonstran membubarkan diri pada 4 Juni 1989. Dua hari setelah aksi tersebut berakhir, dia dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan melakukan propaganda kontrarevolusi dan menghasut orang. Tiga bulan kemudian, Liu dipecat dari Universitas Normal Beijing dan dilarang menerbitkan tulisan serta berbicara di depan umum.[18]
Publikasi dan Karya
Melalui berbagai tulisannya, Liu Xiaobo mengungkapkan kritiknya terhadap penerapan sistem satu partai dan pemberangusan kebebasan berbicara serta pers. Buku pertama Liu berjudul Criticism of the Choice: Dialogues with Li ZeHou (1987) berisikan tentang kritik terhadap tradisi Konfusianisme dan menantang pendapat Profesor Li ZeHou, tokoh intelektual dan ideologi besar di Tiongkok saat itu. Tulisan-tulisan Liu lebih banyak diterbitkan di luar Tiongkok sehingga dia berada di pengawasan ketat kepolisian. Pada tahun 2000, Liu mendirikan Independent Chinese PEN Center (ICPC) dan pada tahun 2003 terpilih sebagai presiden dan anggota dewan pengarah ICPC. Pada 1995-1996, Liu dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah, kemudian dimasukkan ke kamp kerja paksa selama kurun waktu 1996-1999 karena mendesak pembebasan aktivis Tiananmen. Pada 25 Desember 2009, Liu divonis hukuman penjara selama 11 tahun atas tuduhan subversi. Hukuman tersebut didapat akibat gagasannya tentang Charter 08, sebuah manifesto politik yang mengadaptasi Charter 77 dari gerakan prodemokrasi Cekoslowakia. Sebagian isi Charter 08 tersebut berisi upaya menjadikan kebebasan berbicara sebagai penjamin hak warga untuk mendapatkan informasi dan pengawasan politik.[18]
Penghargaan
Beberapa penghargaan lain yang pernah diterima Liu adalah Human Right Watch-Hammett Grant (1990, 1996), Democracy Education Fund, AS-Prize for Outstanding Democracy Activist (2003), Hongkong's Annual Human Right Press Award (2004-2006), Foundation de France Prize sebagai pejuang kebebasan pers dari Reporters Without Borders (2004), Asia Pasific Human Right Foundation, Australia-Courage of Conscience Award (2007), dan Independent Federation of Chinese Students and Scholars, AS-Free Spirit Award (2009).[18]
Kematian
Liu Xiaobo meninggal pada umur 61 tahun karena kanker liver yang dideritanya sejak lama. Sewaktu menjalani hukuman penjara 11 tahun, ia mendapatkan izin menjalani perawatan medis di salah satu rumah sakit di Shenyang, Liaoning pada tanggal 26 Juni 2017 karena terdeteksi menderita kanker liver stadium terakhir. Amerika Serikat dan Taiwan menyerukan agar Liu dapat diizinkan untuk menjalani perawatan medis di luar Tiongkok, namun tidak mendapat reaksi positif dari pemerintah Beijing. Ia lalu diberitakan meninggal dunia pada tanggal 13 Juli 2017.[19] Setelah kematiannya, seruan dunia internasional untuk membebaskan istri Liu, Liu Xia, dari tahanan rumah tidak direspon positif oleh pemerintah Beijing dengan alasan masalah Liu adalah masalah dalam negeri negara itu dan dunia internasional tidak berhak mendikte kebijakan pemerintah Beijing atas warga negaranya sendiri.[20] Pemerintah Tiongkok bahkan menyensor semua informasi terkait kematian Liu Xiaobo di internet, maupun ucapan dukacita yang dianggap berkaitan dengan kematian Liu Xiaobo. Beberapa ucapan yang dihapus diantaranya emoji lilin dan bunga, ataupun ucapan "RIP" tanpa menyebutkan nama siapapun.[21]
^"刘晓波因涉嫌煽动颠覆国家政权罪被依法逮捕Diarsipkan 2009-06-30 di Wayback Machine." (Liu Xiaobo Formally Arrested on 'Suspicion of Inciting Subversion of State Power' Charges), China Review News, 24 June 2009.
^McKinnon, Mark. "Liu Xiaobo could win the Nobel Peace Prize, and he’d be the last to know". The Globe and Mail. 7 October 2010. 'Istri Liu berkata bahwa suaminya telah diberitahu oleh pengacaranya dalam kunjungan terbarunya bahwa ia telah dinominekan dalam Penghargaan Nobel Perdamaian, namun ia akan terkejut jika ia menang, begitu kata istrinya. "Saya yakin ia akan sulit untuk mempercayainya. Ia tidak pernah berpikir untuk dinominekan, dia tidak pernah menyebutkan penghargaan apapun. Untuk bertahun-tahun, ia terus meminta orang-orang untuk mendukung Tiananmen Mothers (sebuah kelompok dukungan yang dibentuk oleh orang tua dari murid yang dibunuh dalam demonstrasi 1989).."'