Al-Musta'li
Abū al-Qāsim Aḥmad bin al-Mustanṣir (bahasa Arab: أبو القاسم أحمد بن المستنصر; 15/16 September 1074 – 12 Desember 1101), lebih dikenal dengan nama pemerintahannya al-Mustaʿlī biʾllāh (المستعلي بالله, artinya: 'Yang Bangkit demi Tuhan'), adalah khalifah Fatimiyah kesembilan dan imam kesembilan belas Ismailisme Musta'li. Meski bukan anak tertua (dan kemungkinan besar bungsu) dari putra Khalifah al-Mustansir Billah, al-Musta'li menjadi khalifah melalui intrik saudara iparnya, wazir al-Afdal Shahanshah. Sebagai tanggapan, kakak laki-laki tertuanya dan kemungkinan besar calon penerus ayah mereka, Nizar, memberontak di Aleksandria, tetapi dikalahkan dan dieksekusi. Hal ini menyebabkan perpecahan besar dalam gerakan Ismaili. Banyak komunitas, terutama di Persia dan Irak, memisahkan diri dari hierarki Isma'ili yang disponsori secara resmi dan membentuk gerakan Nizari mereka sendiri, dengan menganggap Nizar dan keturunannya sebagai imam yang sah. Sepanjang masa pemerintahannya, al-Musta'li tetap berada di bawah al-Afdal, yang merupakan penguasa de facto Kekhalifahan Fatimiyah. Wilayah inti Kekhalifahan di Mesir mengalami masa pemerintahan yang baik dan kemakmuran, namun Fatimiyah mengalami kemunduran di Suriah, di mana mereka dihadapkan pada kemajuan Turki Sunni Seljuk. Al-Afdal berhasil merebut kembali kota pelabuhan Tirus, dan bahkan merebut kembali Yerusalem dalam kekacauan akibat datangnya Perang Salib Pertama di Suriah utara. Meskipun Fatimiyah berusaha untuk mencapai tujuan yang sama dengan Tentara Salib melawan Seljuk, mereka maju ke selatan dan merebut Yerusalem pada bulan Juli 1099, memastikan kesuksesan mereka dengan kemenangan besar atas tentara Fatimiyah yang dipimpin oleh a-Afdal pada Pertempuran Ascalon tak lama setelahnya. Al-Musta'li meninggal pada tahun 1101 dan digantikan oleh putranya yang berusia lima tahun, al-Amir. KehidupanCikal bakal dan latar belakangAhmad, kelak al-Musta'li, lahir di Kairo pada 20 Muharam 467 tahun Hijriyah (15 atau 16 September 1074),[1][2] atau mungkin pada 18 atau 20 Muharam 468 Hijriyah (2 atau 4 September 1075)[3] dari khalifah Fatimiyah kedelapan, al-Mustansir Billah (m. 1036–1094), dan nampaknya merupakan anak bungsu dari seluruh putra al-Mustansir.[a][1][5] Putra lain dari al-Mustansir lahir pada 1060 dengan nama yang sama—Abu'l-Qasim Ahmad—karena kelak al-Musta'li, dan beberapa sumber berikutnya secara keliru menganggapnya sebagai tanggal kelahiran al-Musta'li. Menurut para cendekiawan modern, kakaknya tersebut telah wafat pada suatu waktu, memperkenankan nama tersebut dipakai lagi untuk al-Musta'li. Dalam satu sumber, ia disebut Abu'l-Qasim Ahmad 'yang Muda' (atau mungkin 'yang Bungsu', sebagaimana seluruh putra).[3][6] Pada masa kelahirannya, Kekhalifahan Fatimiyah, yang didirikan di Mesir dengan Kairo sebagai ibukotanya sejak 973, sedang mengalami krisis besar: negara tersebut telah kehilangan sebagian besar Suriah dari Turki Seljuk, sementara di Mesir sendiri, pertikaian antara pasukan Fatimiyah Turki dan pasukan orang kulit hitam Afrika berujung pada perpecahan pemerintah pusat dan penyebaran bencana kelaparan dan anarki, membuat al-Mustansir menjadi pemimpin tak berdaya, yang nampak terpenjara dalam istananya dan naungan para panglima perang militernya.[7] Pada Januari 1074, panglima Badr al-Jamali meraih jabatan wazir dan memutuskan untuk memulihkan perdamaian dan tatanan di negara tersebut dan menangkis invasi Seljuk, menyelamatkan kehidupan al-Mustansir dan dinastinya; namun mengorbankan seluruh kekuasaan al-Mustansir atas pemerintahan, ketentaraan dan administrasi keagamaan dan yudisial terhadapnya.[8][9] Sengketa suksesiSaudara seayah Ahmad, Nizar bin al-Mustansir, nampaknya dianggap pada masa itu sebagai penerus paling disukai dari ayah mereka, karena adatnya sampai saat itu.[1] Sehingga, Nizar bahkan seringkali dinyatakan oleh para sejarawan modern selaku penerus yang dirancang[b] dari ayahnya.[11][12] Tak ada perancangan resmi Nizar selaku pewaris yang tercatata pada masa kematian al-Mustansir.[13][1] Baik Badr al-Jamali maupun putra dan penerusnya al-Afdal Shahanshah mendorong kenaikan takhta Ahmad. Tak lama sebelum kematiannya, al-Mustansir tertantang terhadap perkawinan Ahmad dengan putri Badr, Sitt al-Mulk.[1] Al-Mustansir wafat pada 29 Desember 1094, pada hari Idulghadir, perayaan Syi'ah paling penting.[2] Menurut sejarawan zaman Mamluk al-Maqrizi, al-Afdal menempatkan Ahmad pada takhta dan mengangkatnya menjadi khalifah dengan sebutan al-Musta'li bi'llah (terj. har. 'Yang Bangkit Demi Allah'). Ia kemudian membawa tiga putra al-Mustansir—Nizar, Abdallah, dan Isma'il, yang nampaknya paling menonjol di kalangan keturunan khalifah—ke istana, tempat mereka dipanggil untuk melakukan penghormatan kepada saudara mereka. Ketiganya menolak, masing-masing mengklaim dirancang selaku penerus oleh ayah mereka.[14][15] Penolakan tersebut nampak membuat al-Afdal sepenuhnya terkejut, dan para saudaranya diperkenankan untuk meninggalkan istana. Namun, kala Abdallah dan Isma'il berniat singgah ke masjid terdekat, Nizar dengan cepat meninggalkan Kairo.[14][15] Untuk menambahkan kekeliruan, kala mengetahui kematian al-Mustansir, Baraqat, pemimpin dakwah (da'i) Kairo (dan kemudian kepala kelompok keagamaan Isma'ili), memproklamasikan Abdallah sebagai khalifah dengan nama regnal al-Muwaffaq ('Yang Diberkahi').[16] Namun, al-Afdal kemudian merebut kembali kendali: Baraqat ditangkap (dan kemudian dihukum mati), Abdallah dan Isma'il ditempatkan di bawah pengawasan dan kemudian mengakui Ahmad, dan pertemuan pejabat besar diadakan, yang menyatakan Ahmad sebagai imam dan khalifah.[17] Pada 1122, putra dan penerus Ahmad, al-Amir (m. 1101–1130), mengeluarkan proklamasi publik, al-Hidaya al-Amiriyya, untuk mempertahankan suksesi ayahnya, khususnya melawan klaim-klaim partisan Nizar.[18] Di dalamnya, ia menempatkan banyak argumen, seperti fakta bahwa kala al-Mustansir mengirim para putranya ke provinsi-provinsi untuk melindungi mereka dari pergolakan di ibukota, ini dilakukan dalam urutan peringkat, orang-orang terdekat di Kairo menjadi berpangkat paling tinggi: Abu Abdallah pergi ke Acre; Abu'l-Qasim Muhammad (ayah al-Hafiz, khalifah pada 1131–1149) ke Ascalon; Nizar ke pelabuhan Damietta; dan Ahmad tak diperkenankan untuk meninggalkan istana.[5][19] Para sejarawan modern seperti Paul E. Walker menekankan bahwa ini adalah argumen yang sangat tak benar, karena para pangeran dikirim untuk perlindungan mereka, bukan karena pangkat mereka.[5] Menurut Walker, pengerahan Abu Abdallah ke Acre, tempat pasukan kuat Badr al-Jamali dikerahkan, jika terjadi hal apapun, merupakan tanda pengaruh tingginya dan keinginan ayahnya untuk membiarkannya aman.[5] Pada waktu yang sama, sejak al-Maqrizi mengalami peristiwa tersebut sampai 1068, putra di bawah umum yang meninggalkan Kairo dan secara jelas bukanlah kelak al-Musta'li, yang belum lahir pada waktu itu, namun lebih kepada kakaknya yang bernama sama.[5] Tradisi pro-Musta'li lain menyatakan bahwa Ahmad dirancang selaku pewaris oleh al-Mustansir pada makan besar pernikahan Ahmad. Selain itu, pada acara proklamasi al-Hidaya al-Amiriyya, saudari kandung Nizar hadir, bersembunyi di balik tirai, yang menyatakan bahwa kala menjelang ajalnya, al-Mustansir telah memilih Ahmad selaku pewaris dan meninggalkannya sebagai warisan dengan salah satu saudari Ahmad.[20][21][22] Para sejarawan modern, seperti Farhad Daftary, meyakini bahwa kisah tersebut nampaknya diupayakan untuk membenarkan dan secara retroaktif mengesahkan kenaikan takhta Ahmad, yang mereka pandang sebagai kudeta de facto oleh al-Afdal.[12][23] Menurut pandangan tersebut, al-Afdal memilih iparnya karena jabatannya sendiri masih tak aman, karena ia hanya meneruskan ayahnya Badr. Ahmad, yang terikat dengan al-Afdal lewat perkawinannya dan sepenuhnya bergantung padanya untuk kenaikan takhta, akan menjadi sosok bergesekan yang tak nampak mengancam al-Afdal karena kerapuhan yang dipegang pada kekuasaan lewat upaya memiliki sosok lain untuk jabatan wazir.[12][24][25] Pemberontakan Nizar dan perpecahan NizariSetelah kabur dari Kairo, Nizar datang ke Iskandariyah, tempat ia meraih dujungan gubernur dan masyarakat lokal, dan memproklamasikan dirinya selaku imam dan khalifah dengan nama regnal al-Mustafa li-Din Allah ('Yang Terpilih untuk Agama Allah').[13][26][27] Para partisan Nizar mendorong kembali upaya pertama al-Afdal untuk merebut Iskandariyah, dan pasukan Nizar menyerbu ke pinggiran Kairo. Kemudian, pasukan Nizar dipukul balik ke Iskandariyah, yang ditempatkan di bawah pengepungan, sampai Nizar dan sisa pengikutnya terpaksa menyerah. Mereka dibawa kembali ke Kairo, tempat Nizar menjalani imurasi dan dibiarkan meninggal.[13][26][27] Sebuah surat yang dikirim ke ratu Yaman, Arwa al-Sulayhi, mengumumkan kenaikan takhta al-Musta'li, memberikan versi peristiwa yang dinyatakan secara resmi. Menurut surat tersebut, seperti putra al-Mustansir lainnya, Nizar mula-mula menerima imamat al-Musta'li dan membayarkannya penghormatan, sebelum digerakkan oleh dorongan dan niat untuk memberontak. Peristiwa tersebut membuat Iskandariyah dilaporkan menyerah dalam beberapa penjelasan, namun tak ada yang menyebutkan nasib Nizar.[28] Peristiwa tersebut menyebabkan perpecahan pahit dan kekal dalam gerakan Isma'ili, yang berlangsung sampai sekarang.[4][29] Walau al-Musta'li diakui oleh pihak Fatimiyah dan organisasi dakwah Isma'ili resmi, serta komunitas Isma'ili bergantung padanya di Mesir, Suriah dan Yaman, kebanyakan komunitas Isma'ili di sebagian besar Timur Tengah, dan khususnya Persia dan Irak, menolak pengangkatannya. Entah dugaan atau kejadian sebenarnya, Isma'ili Persia di bawah naungan Hassan-i Sabbah beralih mengakui Nizar sebagai imam yang sebenarnya, memutus hubungan dengan Kairo, dan membentuk hierarki independen mereka sendiri (da'wa jadida, terj. har. 'panggilan baru'). Ini menandai perpecahan kekal gerakan Isma'ili menjadi cabang-cabang pesaing Isma'ilisme Musta'li dan Isma'ilisme Nizari.[30][31] Setidaknya salah satu putra Nizar, al-Husayn, kabur pada 1095 dengan anggota dinasti lain (termasuk tiga putra al-Mustansir lainnya, Muhammad, Isma'il, dan Tahir) dari Mesir ke Maghreb, tempat mereka membantu kelompok oposisi dalam pengasingan terhadap rezim baru di Kairo.[13][27] Pada akhir 1162, para keturunan, atau keturunan yang diusulkan, dari Nizar nampak menentang para khalifah Fatimiyah, dan mampu menghimpun pengikutan menonjol berdasarkan pada sentimen loyalis yang terhimpun pada masyarakat.[32][33] Masa kekuasaanSepanjang masa kekuasaannya, al-Musta'li menjadi bawahan dari al-Afdal.[1] Menurut sejarawan Mesir abad ke-13 Ibnu Muyassar, "[al-Musta'li] tak memiliki hidup yang berarti, sejak al-Afdal mengurus urusan negara seperti sultan atau raja, bukan seperti wazir".[34] Al-Afdal bahkan berlagak khalifah dalam acara-acara umum, dengan mencegah al-Musta'li melihatnya, yang diadakan di istana.[35] Al-Afdal menjadi administrator handal, dan pemerintahan baiknya mewujudkan kemakmuran berkelanjutan Mesir di sepanjang masa kekuasaannya.[1] Al-Musta'li dipuji karena karakter tingginya oleh sejarawan kontemporer Sunni Ibnu al-Qalanisi, meskipun sejarawan abad pertengahan lainnya menekankan pencurahan fanatiknya kepada Syi'ah. Ini nampak bahwa dakwah Isma'ili sangat aktif pada masa kekuasaannya.[1] Sejarawan dan pemimpin agama pro-Musta'li Yaman abad ke-15 Idris Imad al-Din memberikan banyak informasi tentang kesepakatannya dengan dakwah Isma'ili di Yaman, terutama dengan Ratu Arwa dan da'i lokal, Yahya bin Lamak bin Malik al-Hammadi.[1] Dalam urusan luar negeri, Fatimiyah menghadapi peningkatan persaingan dengan Sunni Seljuk dan khalifah Abbasiyah yang dibekingi Seljuk, al-Mustazhir. Seljuk meluaskan kekuasaannya di Suriah sampai Gaza. Pada 1095, khalifah Abbasiyah menerbitkan surat yang menyatakan klaim Fatimiyah dari keturunan bani Ali merupakan pemalsuan.[2] Fatimiyah mencapai beberapa kesuksesan, dengan pengajuan sukarela Apamea di utara Suriah pada 1096, disusul oleh pemulihan Tyre pada Februari/Maret 1097.[1][36] Al-Afdal juga berniat untuk mengadakan aliansi dengan penguasa Seljuk dari Aleppo, Ridwan, melawan Duqaq, penguasa Seljuk dari Damaskus.[1] Pada awal 1097, Ridwan sepakat untuk mengakui kedaulatan al-Musta'li. Pada 28 Agustus kotbah Jum'at dibacakan atas perantara khalifah Fatimiyah. Ini memicu titik balik di kalangan penguasa Seljuk dari Suriah bahwa Ridwan terpaksa berbalik setelah empat pekan, dan menurunkan nama al-Musta'li atas keinginan al-Mustazhir.[2][37] Pada tahun yang sama, 1097, Perang Salib Pertama memasuki Suriah dan terjadi pengepungan terhadap Antiokhia. Al-Afdal mengirim utusan untuk menjalin kontak dengan pasukan Salib, dan memakai pergerakan yang dilakukan lewat Perang Salib untuk merebut kembali kendali Yerusalem dari para penguasa Turki Artuqiyah pada Juli/Agustus 1098.[1][38] Ini membuat Fatimiyah dituduh oleh sumber-sumber Sunni bahwa mereka telah membuat kepentingan umum dengan pasukan Salib. Sejarawan abad ke-13 Ibnu al-Athir bahkan mengklaim bahwa Fatimiyah mengundang pasukan Salib ke Suriah untuk melawan Seljuk, yang sebelumnya bersiap untuk menginvasi Mesir itu sendiri.[2][39] Meyakini bahwa ia menghimpun perjanjian dengan pasukan Salib, al-Afdal tak mengharapkan mereka untuk bergerak ke selatan, dan mendadak dicegat kala mereka bergerak beralih melawan Yerusalem pada 1099. Kota tersebut ditaklukan setelah pengepungan pada 15 Juli 1099, dan kekalahan berikutnya pasukan Fatimiyah di bawah komando pribadi al-Afdal dalam Pertempuran Ascalon pada 12 Agustus 1099 mengkonfirmasikan status quo baru.[1][40] Akibat pergerakan pasukan Salib, banyak orang Suriah lari ke Mesir, tempat bencana kelaparan terjadi pada 1099 atau 1100 pada akibatnya.[1] Al-Musta'li wafat pada 17 Safar 495 Hijriyah (11 atau 12 Desember 1102),[1][2] dengan rumor menyatakan bahwa ia telah diracun oleh al-Afdal.[34] Ia meninggalkan tiga putra yang masih bayi, dengan yang sulung, al-Mansur yang berusia tak lebih dari lima tahun, diangkat menjadi khalifah dengan nama regnal al-Amir bi-Ahkam Allah.[34] Catatan kaki
Referensi
Sumber
|