Menurut Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus, Yakobus Sadik, saudara Yesus, adalah salah seorang pemimpin jemaat perdana Yerusalem.
Eusebius dan Epifanius dari Salamis, bapa-bapa Gereja abad ke-4, mengutip sebuah tradisi yang mengatakan bahwa sebelum Yerusalem dihancurkan pada tahun 70 Masehi, umat Kristen Yahudi Yerusalem sudah mendapat peringatan untuk mengungsi ke Pela di daerah Dekapolis, seberang Sungai Yordan.[5] Mereka kembali dari pengungsian sesudah Yerusalem dihancurkan. Yakobus dan para penggantinya adalah pemuka umat Kristen Yahudi sampai Yerusalem dihancurkan Kaisar Hadrianus pada tahun 135 Masehi.
Menurut tradisi Kristen, tempat penyelenggaraan Perjamuan Terakhir adalah Senakel, ruang lantai dua sebuah bangunan di Gunung Sion. Konon Kubur Daud berada di lantai pertama bangunan yang sama. Arkeolog AlkitabBargil Pixner[4] mengaku sudah menemukan tiga tembok bangunan asli yang terlestarikan sampai sekarang. Getsemani, tempat Yesus berdoa dengan susah hati kemudian dikhianati, mungkin sekali tidak jauh letaknya dari Gereja Segala Bangsa di Bukit Zaitun. Yesus mungkin diadili Ponsius Pilatus di Benteng Antonia, sebelah utara dari lingkungan Bait Allah. Banyak orang percaya bahwa lapisan teratas perkerasan tanah tempat pengadilan itu digelar terdapat di bawah bangunan Susteran Kongregasi Bunda Sion. Ada pula orang-orang Kristen yang percaya bahwa Pilatus mengadili Yesus di Istana Herodes di Gunung Sion.
Lewat serangkaian artikel yang dimuat dalam Jerusalem Christian Review, Sejarawan Yerusalem Dan Mazar melaporkan temuan-temuan arkeologis yang didapati di lokasi tersebut oleh kakeknya, Profesor Benjamin Mazar, antara lain undak-undakan dari abad pertama, tempat Yesus dan murid-muridnya berdakwah, demikian pula kolam-kolam pembasuhan yang digunakan para peziarah Yahudi dan Kristen untuk bersuci. Sebagian besar area tersebut juga tersingkap berkat kegiatan-kegiatan ekskavasi yang dilakukan Profesor Benjamin Mazar.
Konsili Kalsedon tahun 451 menaikkan kedudukan Uskup Yerusalem ke peringkat batrik, sejajar dengan Uskup Roma, Uskup Konstantinopel, Uskup Aleksandria, dan Uskup Antiokhia. Meskipun demikian, manuver politik Romawi Timur membuat Yerusalem hanya sekadar berpindah dari yurisdiksi Suryani di Antiokhia ke yurisdiksi Yunani di Konstantinopel. Selama berabad-abad, rohaniwan Yunani mendominasi Gereja Yerusalem. Sementara itu, Gereja Roma tidak pernah menerima Pentarki, malah mendaku sebagai takhta keuskupan yang terutama. Di lain pihak, gagasan lama tentang keutamaan Gereja Yerusalem terlestarikan di dalam beberapa karya tulis, misalnya di dalam naskah abad pertengahan yang berjudul Pengetahuan dan Pemahaman tentang Takhta-Takhta Kebatrikan (bahasa Yunani: Γνώσις και επίγνωσις των πατριαρχών θρόνων, Gnosis kai epignosis ton patriarkhon tronon).
Pada tahun 638, Sofronius, Batrik Yerusalem, menyerahterimakan kunci-kunci kota itu kepada angkatan perang Muslim di bawah pimpinan KhalifahUmar bin Khatab. Para pejabat daulat Islam di Yerusalem tidak memperlakukan kawula Kristen mereka dengan baik. Umat Kristen dipaksa menjalani hidup penuh "diskriminasi, perbudakan, dan penistaan".[8]
Perang Salib I
Perlakuan buruk terhadap umat Kristen kian parah ketika laskar-laskar Perang Salib I bergerak mendekati Yerusalem. Lantaran curiga umat Kristen Timur sudah bersekongkol dengan laskar salib, pemerintah daulat Islam di Yerusalem membantai sebagian besar warga Kristen, dan warga Kristen yang luput dari maut lekas-lekas hengkang meninggalkan kota itu.[9] Meskipun laskar-laskar salib memang berniat melindungi para peziarah Kristen yang sering diserang dan dibunuh orang-orang Turki, melindungi tempat-tempat suci Kristen yang dihancurkan Khalifah Alhakim Biamrillah, dan sesungguhnya jauh-jauh datang demi menanggapi permintaan bantuan dari Kaisar Aleksius Komnenos, tidak ada bukti persekongkolan semacam itu.
Pada tanggal 15 Juli 1099, angkatan bersenjata Perang Salib I berhasil merebut Yerusalem. Kecuali umat Kristen Timur, sebagian besar populasi kota itu dibunuh. Meskipun demikian, umat Kristen Timur selanjutnya diusir keluar dari Yerusalem, lantaran dicurigai bersekongkol dengan umat Islam oleh pemerintah daulat Latin di kota itu.[10] Yerusalem menjadi ibu kota sebuah 'kerajaan Kristen Latin', lengkap dengan jemaat Latin dan seorang batrik Latin, yang semuanya tunduk kepada Sri Paus. Godefridus dari Bouillon, pemimpin Latin pertama kota itu, terpilih pada tahun 1099.[11] Karena berwatak rendah hati lagi sangat mengagungkan Yesus, sampai-sampai beranggapan bahwa Yesus sajalah yang pantas menyandang gelar raja di Yerusalem, Godefridus menolak digelari raja dan hanya mendaku diri sebagai pelindung kota itu. Selaku pelindung Yerusalem, Godefridus berdaya upaya mendongkrak populasi kota itu sampai akhir hayatnya pada tahun 1100. Pada tahun 1100, Balduinus I, adik Godefridus, naik takhta menggantikan mendiang abangnya. Berbeda dari abangnya, Balduinus tidak sungkan menyandang gelar Raja Yerusalem. Seawal-awalnya sejak tahun 1115, lantaran prihatin melihat populasi Yerusalem yang terus menyusut, Balduinus I menawarkan salah satu lingkungan di Yerusalem kepada umat Kristen Seberang Yordan untuk dijadikan tempat bermukim. Umat Kristen di daerah Seberang Yordan langsung menyambut tawaran Balduinus, lantaran kerap menjadi bulan-bulanan agresi Muslim.[12] Sesudah Salahuddin merebut Yerusalem pada tahun 1187, pengurusan Gereja Makam Kudus dan banyak gereja lain kembali dipercayakan kepada umat Kristen Timur.
Zaman modern
Dari abad ke-17 sampai abad ke-19, berbagai negara Katolik Eropa mendesak Kekaisaran Usmani untuk mengizinkan umat Katolik menguasai 'tempat-tempat suci'. Tarekat Fransiskan merupakan juru kunci tradisional tempat-tempat suci dari pihak Katolik. Selama jangka waktu tersebut, kewenangan atas tempat-tempat suci Kristen ulang-alik berpindah tangan di antara Gereja Barat dan Gereja Timur. Mungkin lantaran sudah muak, Sultan Abdul Mejid I (1839–1861) akhirnya mengeluarkan firman yang memerinci hak dan tanggung jawab masing-masing komunitas Kristen atas Makam Kudus. Firman inilah yang kemudian hari disebut Status Quo, dan masih menjadi dasar protokol menjelimet dari tempat suci itu. Status Quo dijunjung dan dilanggengkan pemerintah Mandat Inggris maupun negara Yordania.
Di dalam Kekristenan, kadang-kadang Yerusalem dimaknai sebagai suatu kiasan atau tipe jemaat Kristus.[13][14] Kekristenan memiliki khazanah tradisi apokaliptis yang khusus menyoroti Yerusalem surgawi alih-alih menyoroti kota Yerusalem yang harfiah dan bersejarah. Cara pandang semacam ini sangat menonjol di dalam Kota Allah karangan Agustinus dari Hipo, susastra filsafat abad ke-5 yang ditulis pada masa-masa sandyakala Kekaisaran Romawi.
^Seven Ecumenical Councils karangan Schaff: Nikea I: Kanon VII: "Lantaran adat-istiadat dan tradisi purba mengharuskan agar Uskup Elia (Yerusalem) harus dimuliakan, alangkah baiknya jika beliau, tanpa menafikan kelaikan kota itu untuk ditarafkan menjadi Metropolis, diberi tempat kehormatan yang berikutnya."; "Alangkah sukarnya menentukan "keutamaan" macam apa yang harus dianugerahkan kepada Uskup Elia, dan tidak jelas pula metropolis mana yang dirujuk pada klausa terakhir. Menurut kebanyakan penulis, termasuk Hefele, Balsamon, Aristenus, dan Beveridge, kota yang dimaksud adalah Kaisarea Tepi Laut; sementara Zonaras berpandangan bahwa Yerusalemlah kota yang dimaksud, yakni pandangan yang belakangan ini diadopsi dan dipertahankan oleh Fuchs; yang lain menduga kalau kota yang dimaksud adalah Antiokhia."
^Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 491.
^Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 492.
^Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 493.
^Riley-Smith, Jonathan. "The Motives of the Earliest Crusaders and the Settlement of Latin Palestine." The English Historical Review 98.398 (1983): 724.
^Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 496.
^The imagery of the heavenly Jerusalem (Revelation 21:9-22:5) dalam Neotestamentica, Jld. 22, No. 1 (1988), hlmn. 65-86
^ Lawrence Hull Stookey, The Gothic Cathedral as the Heavenly Jerusalem: Liturgical and Theological Sources, Gesta, Jld. 8, hlm. 35