Sekitar tahun 701 SM, Sanherib, raja Asyur, menyerang kota-kota berkubu di Kerajaan Yehuda, dan mengepung Yerusalem, tetapi gagal merebutnya. Hal ini tercatat dalam sejumlah dokumen kuno, antara lain Prisma Taylor yang dibuat oleh Sanherib sendiri, mencatat bahwa Yerusalem adalah salah satu kota yang telah dikepung tetapi satu-satunya yang tidak dicatat berhasil direbut).
Latar belakang
Pada tahun 721 SM, tentara Asyur merebut ibu kota Kerajaan Israel Utara, Samaria, dan membawa penduduk kerajaan itu ke dalam pembuangan. Kehancuran kerajaan Israel bagian utara meninggalkan kerajaan selatan, Kerajaan Yehuda, untuk membela diri sendirian menghadapi negara-negara Timur Dekat yang giat berperang. Pada waktu kota Samaria jatuh, ada dua raja di Yehuda — Ahas dan putranya Hizkia — yang memerintah bersama. Setelah kejatuhan kerajaan utara, raja-raja Yehuda berusaha meningkatkan pengaruh dan perlindungan bagi penduduk yang tidak ikut dibuang, juga berusaha melebarkan kekuasaan ke wilayah-wilayah yang tadinya dikuasai oleh kerajaan utara. Pada akhir masa pemerintahan Ahas dan sebagian besar masa pemerintahan Hizkia terdapat stabilitas di mana Yehuda dapat mengkonsolidasi secara politik dan ekonomi. Meskipun Yehuda merupakan negara taklukan Asyur selama itu dan membayar upeti tahunan kepada kekaisaran besar tersebut, Yehuda merupakan suatu negara penting di antara wilayah Asyur dan Mesir.[1]
Pada tahun 715 SM, setelah kematian Ahas, Hizkia menjadi raja tunggal di Yehuda dan memulai perubahan agamawi, termasuk penghancuran patung-patung berhala. Ia merebut sejumlah wilayah Filitina di gurun Negev (bagian selatan Yehuda), membentuk aliansi dengan Askelon dan Mesir, serta menentang Asyur dengan menolak membayar upeti.[2] Sanherib membalas dengan menyerang Yehuda, serta mengepung Yerusalem.
Pengepungan
Sumber-sumber dari kedua pihak mengklaim kemenangan, orang-orang Yehuda (atau pengarang kitab) dalam Alkitab Ibrani, dan Sanherib dalam prisma berisi catatan sejarahnya. Sanherib mengklaim telah mengepung dan merebut banyak kota-kota Yehuda tetapi hanya mengepung—tidak merebut—Yerusalem.
Kisah pengepungan tentara Asyur dicatat dalam sejumlah kitab Alkitab Ibrani yaitu Kitab Yesaya, Kitab Raja-raja dan Kitab Tawarikh. Ketika tentara Asyur mulai menyerang, Hizkia memulai upaya untuk mempertahankan Yerusalem. Agar tentara Asyur kekurangan air, sumber-sumber air di luar kota ditutup. Para pekerja menggali terowongan sepanjang 533 meter untuk menyalurkan air bersih dari Mata air Gihon ke dalam kota Yerusalem. Persiapan pertahanan lain adalah memperkuat tembok-tembok pertahanan di sekeliling kota, pendirian menara-menara penjagaan, dan pembuatan tembok-tembok pertahanan baru. Hizkia mengumpulkan penduduk di lapangan kota serta mengingatkan mereka bahwa orang Asyur hanya mempunyai "lengan dari daging", tetapi orang Yehuda memiliki perlindungan Yahweh.
Menurut 2 Raja-raja 18, ketika Sanherib sedang mengepung Lakhis, ia menerima pesan dari Hizkia yang menawarkan pembayaran upeti supaya Asyur tidak jadi menyerang. Menurut Alkitab Ibrani, Hizkia membayar upeti 300 talenta perak dan 30 talenta emas kepada Asyur — suatu harga yang mahal sehingga ia harus mengosongkan kas Bait Suci dan kerajaan serta mengerat emas dari tiang-tiang pintu Bait Salomo. Namun setelah menerima upeti, Sanherib tetap mengepung Yerusalem dengan tentara yang besar.
Selama pengepungan, Hizkia berpakaian kabung sebagai pernyataan melawan perang urat saraf yang dijalankan oleh tentara Asyur. Nabi Yesaya mengambil bagian aktif dalam kehidupan politik Yehuda. Ketika Yerusalem diancam, ia meyakinkan Hizkia bahwa kota itu akan diselamatkan dan Sanherib akan jatuh.[1] Alkitab Ibrani mencatat bahwa pada malam pengepungan itu, malaikatYHWH membawa kematian 185.000 tentara Asyur.[2] Hizkia telah menutup sumber-sumber air di luar kota, sehingga kehausan dan kelelahan setelah peperangan lama dan melelahkan mungkin telah menyebabkan tentara Asyur untuk mundur. Juga kemungkinan besar merebak wabah penyakit di perkemahan tentara yang menyebabkan kematian sejumlah besar prajurit Sanherib.[3] Ketika Sanherib melihat kehancuran pasukannya, ia mundur dan kembali ke Ninewe. Yerusalem selamat dari kehancuran.
Catatan orang Asyur
Prisma Taylor atau "Prisma Sanherib" yang mencatat detail serangan Sanherib atas kerajaan Yehuda ditemukan di reruntuhan kota kuno Ninewe pada tahun 1830, dan sekarang disimpan di Oriental Institute di Chicago, Illinois, Amerika Serikat.[2] Kisah ini bertarikh sekitar tahun 690 SM dan sebagaimana umumnya membesar-besarkan kemenangan Asyur. Teks dalam prisma tersebut mencatat bagaimana Sanherib telah menghancurkan 46 kota Kerajaan Yehuda dan memerangkap Hizkia di Yerusalem "seperti burung dalam sangkar."[4]
Catatan pihak lain
Pandangan Alkitab Ibrani bahwa Yerusalem mendapat kemenangan didukung oleh catatan sejarawan Yahudi-Romawi, Flavius Yosefus.[5] Ia mengutip Berossus, penulis sejarah Babel yang terkenal, bahwa wabah pes merebak di perkemahan tentara Asyur. Menurut Herodotus, sejarawan Yunani, tikus-tikus ladang yang mengigiti kulit-kulit penutup peralatan persenjataan Asyur sehingga rusak. Lebih memungkinkan tikus-tikus yang dicatat oleh Herodotus itu menyebabkan wabah pes yang dicatat oleh Berossus. Namun, semua catatan itu dianggap pengembangan catatan Alkitab Ibrani, termasuk Midrash, bukan saksi independen. Meskipun demikian kebanyakan sarjana sepakat bahwa Sanherib mengalami kekalahan memalukan ketika mengepung Yerusalem, sehingga pulang ke Ninewe dan tidak pernah kembali lagi. "Sebagaimana Xerxes kalah di Yunani, Sanherib tidak pernah pulih dari syok akibat kekalahan di Yehuda. Setelah itu ia tidak pernah lagi menyerang Levant selatan (Siria, Palestina) maupun Mesir."[6]
Sejarawan YunaniHerodotus, yang menulis Sejarah-nya sekitar 450 SM, juga berbicara tentang suatu bencana yang diberikan oleh Tuhan atas pasukan Sanherib dalam peperangan yang sama, sementara pangilma tertingginya dikalahkan di Yerusalem (2:141):
ketika Sanakharib, raja orang-orang Arab dan Asyur, mengirim sejumlah pasukannya yang besar ke Mesir, dan para pahlawannya semua tidak satupun yang datang untuk menolongnya [yakni, Firaun Sethos'] . Oleh karena itu, firaun merasa sangat resah; ia masuk ke tempat ibadahnya dan di hadapan patung dewa, ia meratapi nasib malang yang akan segera menimpanya. Sementara menangis ia jatuh tertidur dan bermimpi bahwa dewa datang dan berdiri di sisinya, menyuruhnya agar tidak khawatir, dan sebaliknya pergi dengan berani untuk menemui pasukan-pasukan Arab, yang tidak akan melukainya, karena dewa sendiri akan mengirim orang-orang yang akan menolongnya. Lalu, sambil mengandalkan mimpinya itu, Sethos mengumpulkan orang-orang Mesir yang mau mengikutnya. Tak satupun dari mereka itu adalah para pahlawannya, melainkan para pedagang, tukang, dan orang-orang di pasar, dan bersama-sama mereka berangkat ke Pelusium, yang merupakan pintu masuk ke Mesir, dan di sana mereka mendirikan tendanya. Sementara kedua pasukan saling berhadapan, datanglah pada malam hari sejumlah besar tikus lading, yang memakan semua tempat anak panah dan busurnya, dan mengganyang bahan yang digunakan sebagai perisai mereka. Esok paginya mereka berperang, dan banyak sekali di antara musuh yang gugur, karena mereka tidak mempunyai senjata untuk mempertahankan diri. Hingga hari ini berdirilah di kuil Vulkan, sebuah patung Sethos dari batu, dengan tikus di tangannya, dan sebuah tulisan yang berbunyi demikian "Lihatlah aku, dan belajarnya untuk menghormati para dewa."
Teori lain
Dalam buku What If?, kumpulan tulisan mengenai counterfactual history', sejarawan William Hardy McNeill berspekulasi bahwa catatan kematian massal di antara tentara Asyur dapat dijelaskan akibat merebaknya wabah kolera (atau penyakit lain yang tesebar melalui air) karena sumber-sumber air di luar tembok kota telah ditutup, sehingga tentara penyerang kekurangan air bersih. Dalam tulisan spekulatif McNeill, tentara Asyur dipaksa mundur karena penyakit, suatu peristiwa yang menguatkan tradisi monoteistik Yudaisme saat itu. Menurut McNeill, kekalahan Sanherib oleh YHWH mendukung ideologi monoteisme pada masa di mana orang-orang taklukan biasanya beralih menyembah dewa-dewa penakluknya, karena dewanya sendiri kalah. Kekalahan Sanherib yang luar biasa, meskipun oleh penyakit yang menurut McNeill tidak dapat dipahami, membuktikan YHWH lebih kuat daripada dewa-dewa kekaisaran Asyur yang merupakan negara adidaya terbesar dalam pandangan orang Yahudi saat itu. McNeill berpendapat, jika Sanherib berhasil merebut Yerusalem, orang Yahudi akan beralih ke politeisme, dan akibatnya agama-agama Abrahamik tidak akan muncul.
Henry T. Aubin menulis dalam The Rescue of Jerusalem: The Alliance Between Hebrews and Africans in 701 B.C. ("Penyelamatan Yerusalem: Aliansi antara orang Ibrani dan Afrika pada tahun 701 SM") bahwa tentara Asyur dipukul mundur oleh tentara Mesir di bawah pimpinan firaun dari Dinasti ke-25 Mesir yang berasal dari Kush/Nubia (sekarang Etiopia).
Akhir hayat Sanherib
Nubuat Yesaya tidak terjadi segera, tetapi akhirnya terpenuhi mengenai akhir hayat Sanherib.[7] Menurut catatan sejarah yang dihubungkan dengan tahun 681 SM, ketika beribadah di kuil Nisroch, raja Asyur itu dibunuh oleh putra-putranya sendiri (20 Tebet 681 SM). Saat itu ia telah memerintah Asyur selama 24 tahun. Catatan ini didukung oleh dokumen-dokumen kuno dari Asyur maupun Babel, serta kitab sejarah karya Berossus.[8]
Budaya populer
Pusia tahun 1813 karya Lord Byron, The Destruction of Sennacherib, berkaitan dengan serangan Sanherib di Yudea dari sudut pandang orang Ibrani. Ditulis dalam anapestic tetrameter, puisi ini populer untuk resitasi di sekolah-sekolah.
^Laato, Antti. "Assyrian Propaganda and the Falsification of History in the Royal Inscriptions of Sennacherib." Vetus Testamentum XLV (1995): 198-226. JSTOR. 15 Oct. 2007