Pada 1 September 1897, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) mendapat konsesi izin pembangunan jalur kereta api baru. Jalur ini akan menghubungan Stasiun Gundih yang sudah ada sebelumnya dengan calon stasiun baru NIS di Surabaya (kini Stasiun Pasarturi).[4] Dengan berbekal konsesi tersebut, NIS mulai membangun jalurnya dengan sepur sempit 1.067 mm. Mengingat terbatasnya dana dan biaya, semua stasiun dan perhentian yang terletak di lintas tersebut sangat sederhana dan terbuat dari kayu, termasuk Stasiun Babat. Stasiun ini diresmikan berbarengan dengan peresmian lintas Babat–Lamongan pada tanggal 15 Agustus 1900 dan pada 1 Februari 1903, jalur kereta api Gundih–Surabaya telah selesai dibangun.[5][6]
Pada 12 Januari 1914, koran Algemeen Handelsblad memberitakan bahwa Stasiun Babat generasi pertama akan dirombak guna mendukung kelancaran angkutan barang dan persiapan pembangunan jalur cabang ke Merakurak.[7]
Generasi kedua
Bangunan Stasiun Babat generasi pertama kemudian diperbesar dengan mengganti kanopi kecil dengan kanopi pelana—serupa kanopi di Stasiun Lempuyangan, Stasiun Bojonegoro, dan Stasiun Surabaya Pasarturi—serta mengubah bangunan yang sebelumnya semipermanen menjadi permanen.
Kemungkinan, bangunan stasiun generasi kedua ini mulai dipergunakan pada kisaran tahun 1920-an. Adapun buktinya, yaitu memiliki fisik yang cenderung serupa dengan stasiun-stasiun NIS lainnya yang juga diresmikan pada dekade tahun 1920-an, seperti Stasiun Tuban dan Stasiun Wonogiri. Stasiun-stasiun tersebut memiliki kemiripan di struktur atapnya, bangunan utama, dan adanya kanopi yang menaungi teras depan dan peron sisi.
Bangunan Stasiun Babat generasi kedua ini hingga kini masih tetap dipertahankan.
Bangunan dan tata letak
Pada awalnya, stasiun ini menggunakan sistem persinyalan mekanik dan memiliki enam jalur kereta api dengan jalur 3 merupakan sepur lurus ditambah dua sepur badug yang mengarah ke gudang di sebelah barat stasiun, satu sepur badug masing-masing di sisi timur laut dan barat daya stasiun, serta satu sepur badug yang terdapat di antara jalur 3 dan 4 yang lama. Setelah jalur ganda menuju Stasiun Bojonegoro dioperasikan per 22 April 2014[8] dan menuju Stasiun Kandangan per 8 Mei 2014,[9] jumlah jalurnya bertambah menjadi tujuh. Sepur badug di area tengah tersebut diubah menjadi jalur 4 yang baru sebagai sepur lurus arah Surabaya, sedangkan jalur 3 dijadikan sebagai sepur lurus arah Semarang saja. Selain itu, sistem persinyalannya telah diganti dengan sistem persinyalan elektrik.
Sejak November 2019, terdapat peron pulau baru yang terletak di antara jalur 4 dan 5 yang baru serta peron pulau yang terletak di antara jalur 2 dan 3 sudah dipanjangkan, sehingga jumlah peron di stasiun ini kini berjumlah empat buah: satu peron sisi dan tiga peron pulau. Stasiun ini juga memiliki depo lokomotif dan pemutar rel, tetapi sudah lama tidak dipakai lagi.
Di sebelah barat stasiun ini terdapat jalur cabang yang akan berakhir di Tuban (dari jalur 1) dan Jombang (dari jalur 5), tetapi kedua jalur cabang tersebut sudah dinonaktifkan. Berdasarkan Perpres No. 80 Tahun 2019, jalur menuju Tuban hingga Merakurak ini direncanakan akan kembali diaktifkan supaya mendukung pemerataan dan percepatan pembangunan di sekitar wilayah Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan).[10] Selain itu, rencana reaktivasi jalur ini juga tercantum dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional tahun 2018.[11]
Layanan kereta api
Berikut ini adalah layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini sesuai Gapeka 2023.[12]
^Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 80 Tahun 2019 Tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan – Mojokerto, Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo - Tengger - Semeru, Serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan