Nihilisme eksistensial
Nihilisme eksistensial adalah teori filsafat bahwa kehidupan tidak punya makna atau nilai intrinsik. Dalam kaitannya dengan alam semesta, nihilisme eksistensial menyatakan bahwa satu orang atau bahkan seluruh umat manusia itu tidak penting, tidak ada tujuan, dan tidak mungkin berubah sepanjang masa eksistensinya. Menurut teori ini, setiap orang adalah makhluk terisolasi yang terlahir ke alam semesta, tidak tahu apa sebabnya, tetapi tergerak untuk menciptakan makna.[1] Tidak pentingnya kehidupan secara inheren dibahas lebih lanjut dalam mazhab eksistensialisme yang memungkinkan seseorang menciptakan "makna" atau "tujuan" sendiri secara subjektif. Dari semua jenis nihilisme, nihilisme eksistensial mendapat sorotan terbanyak dari dunia sastra dan filsafat.[2] Makna kehidupanGagasan bahwa makna dan nilai tidak memiliki dasar adalah salah satu bentuk nihilisme, dan tanggapan eksistensial terhadap gagasan tersebut adalah menunjukkan bahwa makna bukanlah "urusan teori kontemplatif", melainkan "konsekuensi hubungan dan komitmen." Jean-Paul Sartre, pengarang Being and Nothingness, menulis dalam esainya yang berjudul Existentialism and Humanism, "Apa maksudnya eksistensi ada di atas esensi? Maksudnya adalah manusia eksis, menghadapi dirinya sendiri, berkembang di dunia – dan menetapkan jati dirinya. Apabila jati dirinya tidak dapat ditetapkan oleh sang eksistensialis, itu karena dari awal ia [manusia] bukan siapa-siapa. Ia tidak akan menjadi siapapun sampai nanti, dan kemudian ia akan menjadi yang ia inginkan." Sartre menjelaskan apa yang dimaksud para eksistensialis ketika mereka mengatakan bahwa makna adalah "konsekuensi hubungan dan komitmen". Teori ini berusaha menjelaskan kecenderungan manusia untuk mengarang pandangan kehidupan dan makna, "Meskipun kita bertumpu pada sesuatu, gelisah, dan menipu diri sendiri, kehidupan kita tetap tidak penting. Sia-sia saja mencari atau membenarkan makna yang sebenarnya tidak ada."[3] Nihilis eksistensial mengklaim bahwa, sejujurnya, seseorang harus menghadapi absurdnya eksistensi, bahwa ia pada akhirnya akan mati, dan agama dan metafisika tercipta karena manusia takut mati.[2] Menurut Donald A. Crosby, "tidak ada alasan untuk hidup, tetapi tidak ada pula alasan untuk tidak hidup. Mereka yang mengaku menemukan makna kehidupan pasti berbohong atau tertipu. Apapun itu, mereka gagal mengakui kenyataan pahit yang dihadapi umat manusia".[3] SejarahNihilisme eksistensial telah menjadi bagian tradisi intelektual Barat sejak zaman para pemikir Sirenaika seperti Hegesias dari Sirenaika. Pada masa Pencerahan, William Shakespeare dengan cakap meringkas perspektif nihilis eksistensial melalui pola pikir Macbeth pada penghujung lakonnya. Arthur Schopenhauer, Søren Kierkegaard, dan Friedrich Nietzsche memperluas gagasan ini. Nietzsche sendiri menjadi tokoh utama nihilisme eksistensial. Gerakan eksistensial ateistik menyebar pada tahun 1940-an di Prancis. Being and Nothingness karya Jean-Paul Sartre dan The Myth of Sisyphus karya Albert Camus membahas topik ini. Camus menulis beberapa karya lainnya seperti The Stranger, Caligula, The Plague, The Fall, dan The Rebel.[1] Tokoh-tokoh lainnya adalah Martin Heidegger dan Jacques Derrida. Selain itu, The Denial of Death karya Ernest Becker merupakan koleksi pemikiran tentang nihilisme eksistensial.
Lihat pula
Referensi
|